Anda di halaman 1dari 2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelainan refraksi mata adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak


dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan
tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk
miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Gangguan penglihatan berhubungan erat
dengan gangguan refraksi. Mata dapat dianggap sebagai kamera, yang terdiri dari
media refraksi dengan retina sebagai filmnya. Media refraksi pada mata dari
bagian depan ke belakang terdiri atas kornea, humor aquos, lensa dan humor
vitreus.1
World Health Organization (WHO), pada tahun 2004 prevalensi kelainan
refraksi pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%), menyatakan
terdapat 135 juta kasus dengan low vision setiap tahunnya, tidak kurang dari 7
juta orang mengalami kebutaan akibat dari kelainan refraksi. Prevalensi kebutaan
tersebut disebabkan salah satunya adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi,
di dunia pada tahun 2007 diperkirakan bahwa sekitar 2,3 juta orang di dunia
mengalami kelainan refraksi Sekitar 90 %. Kelainan refraksi menyebabkan
kebutaan dan gangguan penglihatan, dan ini terjadi di negara-negara miskin dan
terbelakang. Bila dibandingkan dengan 10 negara South East Asia Region
(SEARO), tampak angka kebutaan di Indonesia yang penyebabnya salah satunya
adalah kelainan refraksi yakni sebanyak 0.11%.2
Sekitar 148 juta atau 51% penduduk di Amerika Serikat memakai alat
pengkoreksi untuk mengatasi gangguan refraksi, dengan penggunaan lensa kontak
mencapai 34 juta orang. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Jumlah penderita rabun jauh di Amerika Serikat berkisar 3%
antara usia 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahun dan
25% antara usia 12-17 tahun. Pada etnis tertentu, peningkatan angka kejadian juga
terjadi walaupun persentase tiap usia berbeda. Etnis Cina memiliki insiden rabun
jauh lebih tinggi pada seluruh usia. Studi nasional Taiwan menemukan prevalensi

1
sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan 84 % pada usia 16-18 tahun. Angka yang
sama juga dijumpai di Singapura dan Jepang.1
Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan
prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah yang cukup serius. Sementara
10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi.
Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah,
yaitu 12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara
menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan
kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya juga
mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja. Dan
masih belum banyak lagi penelitian mengenai prevalensi kelainan refraksi di
Indonesia.3

Anda mungkin juga menyukai