Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien seorang perempuan, 15 tahun datang ke poli mata RSUDZA


dengan keluhan pandangan kabur sejak 1 minggu yang lalu. Pandangan kabur
ketika melihat benda jauh. Hal ini dirasakan semakin hari semakin memberat
terutama setelah belajar. Pasien juga mengeluh pusing yang hilang timbul dan
pasien juga sering menggunakan handphone dalam jarak yang sangat dekat. Ayah
pasien menderita hal yang sama seperti pasien. Riwayat trauma disangkal.
Pasien seorang perempuan berusia 15 tahun, Berdasarkan teori pada
kelainan refraksi angka kejadian miopia di dunia data WHO 2004 menunjukan
10% dari 66 juta anak usia sekolah. Puncak terjadinya miopi adalah usia remaja
yaitu pada tingkat SMA dan miopi paing banyak terjadi pada anak perempuan
terhadap laki – laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki – laki 1,4 : 1.
Perbandingan serupa miopia tinggi adalah 3,5:1. Ada kenaikan prevelensi miopia
seiring dengan peningkatan umur, dari 4% pada usia 12 tahun. Lebih dari 70%
dari umur 17 tahun dan lebih dari 75% dari umur 18 tahun.
Keluhan utama pasien pandangan jauh terutama saat melihat benda jauh,
berdasarkan teori pada penderita miopia, sinar yang datang menuju mata
dibiaskan dengan tidak tepat sehingga menghasilkan bayangan yang tidak tepat
pula. Penderita yang memiliki bola mata yang terlalu panjang atau kornea yang
terlalu melengkung menyebabkan sinar yang masuk ke mata dibiaskan tidak tepat
pada retina (di depan retina) sehingga menyebabkan penglihatan penderita
menjadi kabur. Pada mata normal, apabila saat melihat benda pada jarak tak
terhingga (>6 meter) maka bayangan akan jatuh tepat pada retina (makula lutea).
Jarak antara titik tengah kornea dengan makula lutea adalah 2,4 cm jadi fokusnya
2,4 cm (jika So= ~ maka Si=f)

P = I/F

= 1/0,024M

= 42 dioptri

29
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mata emetropia aksis mata
adalah 24 mm, fokus tepat diretina sehingga bayangan jelas saat melihat jauh.
Pada miopia aksis mata panjangnya lebih dari 24 mm, fokus jatuh didepan retina
sehingga cahaya yang sampai retina sudah menyebar dan bayangan di retina kabur
saat melihat jauh.
Pasien mengeluh pusing yang hilang timbul, berdasarkan teori miopia
memiliki gejala penyerta seperti keluhan sakit kepala, sering disertai dengan
juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan
mengerinyitkan matanya bila ia melihat jauh untuk mencegah aberasi sferis atau
untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) sehingga dapat melihat jelas.
Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang lain,
dapat terjadi ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi. Penglihatan yang
baik harus jernih dan bayangan terfokus pada kedua mata. Bila bayangan kabur
pada satu mata, atau bayangan tersebut tidak sama pada kedua mata, maka Bila
hal ini terjadi, otak akan “mematikan” mata yang tidak fokus dan penderita akan
bergantung pada satu mata untuk melihat. Beratnya ambliopia berhubungan
dengan lamanya mengalami kurangnya rangsangan untuk perkembangan
penglihatan makula. Mata ambliopia yang menggulir ke temporal disebut
strabismus divergen (eksotropia).
Pasien sering berada membaca,menghafal dan melihat hp dengan jarak
dekat dan dalam waktu yang lama, berdasarkan teori lamanya bekerja jarak dekat
juga mempengaruhi kejadian miopia pada seseorang. Aktivitas melihat dekat
jangka panjang menyebabkan miopia melalui efek fisik langsung akibat
akomodasi terus menerus sehingga tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa
menjadi cembung. Namun berdasarkan teori terbaru, aktivitas melihat dekat yang
lama menyebabkan miopia melalui terbentuknya bayangan buram di retina (retina
blur) yang terjadi selama fokus dekat. Bayangan buram di retina ini memulai
proses biokimia pada retina untuk menstimulasi perubahan biokimia dan
struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan elongasi aksial. Peneliti di
Singapura mengamati bahwa anak yang menghabiskan waktunya untuk membaca,
menonton tv, bermain video game, dan menggunakan komputer lebih banyak
mengalami miopia.

30
Ayah pasien menderita hal yang sama seperti pasien, berdsarkan teori
Anak dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia (P= 0,001).
Hal ini cenderung mengikuti pola dose-dependent pattern. Prevalensi miopia pada
anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9% namun jika anak dengan salah
satu orang tua miopia maka berkurang menjadi 18,2% dan kurang dari 6,3% pada
anak dengan orang tua tanpa miopia.

Pada pemeriksaan fisik ophtalmologi didapatkan pasien mengeluh kabur


pada VOS 5/9 setelah dikoreksi dengan lensa negatif 0,75 huruf menjadi lebih
jelas, berdasarkan teori pada kelainan refraksi miopia, ketajaman penglihatan
dapat dikoreksi dengan menggunakan sferis negatif terkecil yang akan
memberikan ketajaman penglihatan terbaik tanpa akomodasi.

Pada gambar diatas menunjukan adanya perbaikan jatuhnya cahaya pada


retina setelah dikoreksi dengan menggunakan lensa negatif. Pasien diterapi
dengan penggunaan kacamata. Dalam hal ini fungsi dari kacamata adalah
mengatur supaya bayangan benda yang tidak dapat dilihat dengan jelas oleh mata
menjadi jatuh tepat di titik jauh mata (pada penderita miopia).1-10

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Wili. Sri. 2010. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Parah di RSUP JATIM.
Vol 4. Media Medika Muda.

2. Richard. Laya. 2014. Kelainan Refraksi Pada Anak di BLU Prof dr RS


Kondou. Vol 2. Jurnal e-clinic

3. Agung. Inlia. 2007. Prevalensi Ketajaman Penglihatan SD JATIM. Vol 59.


JOI

4. Eva PR, Whitcher JP.2009. Optik dan Refraksi. In:Vaughan dan Asbury
Ofthalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC.Pp147-148

5. Hartono, Hernowo AT, Sasongko MB. 2007. Anatomi dan Fisiologi


Penglihatan In: Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Pp 16-27

6. Ilyas S, Yulianti SR,. 2011. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi


Penglihatan Warna. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Pp 76-77

7. Ming ALS, Constable IJ.2011. Refractive Eror In:Color Atlas of


Opthalmology.World Science. Pp 140-141

8. Saleh TT, Suryani PT. 2006. Miopia In: Pedoman Diagnosis dan Terapi.
BAG/SMF Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Pp 173-175

9. Hartono, Hernowo AT, Hernowo. 2007. Refraksi In: Ilmu Kesehatan Mata.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Pp 149-160

10. Ilyas, Sidarta.2009. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI, Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai