Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makhluk hidup memiliki ciri di antaranya dapat berkembang biak, begitu juga
dengan manusia. Manusia hanya mengalami reproduksi secara kawin
(seksual/generatif).
Organ reproduksi pada wanita terdiri atas ovarium, tuba Fallopi, uterus dan
vagina. Ovarium terletak di bawah perut, dan berfungsi sebagai tempat produksi
ovum (Sel Telur). Tuba Fallopi (saluran telur atau oviduk) berbentuk seperti pipa dan
ujungnya berbentuk corong dengan rumbai-rumbai. Rumbai ini berfungsi untuk
menangkap ovum yang dilepaskan ovarium. Uterus atau rahim merupakan tempat
tumbuh dan berkembangnya janin. Vagina merupakan tempat keluarnya bayi saat
dilahirkan. Pembentukan sel kelamin (sel telur/ ovum) pada perempuan disebut
oogenesis. Oogenesis terjadi pada ovarium. Pada ovarium terdapat sel induk ovum
(oogonium) yang secara berurutan akan membelah menjadi oosit primer, oosit
sekunder, ootid, dan terbentuklah ovum. Ovum yang siap dibuahi akan keluar dari
ovarium.
Proses kehamilan akan terjadi jika ovum dibuahi oleh sperma. Peristiwa
pembuahan ovum oleh sperma disebut fertilisasi. Fertilisasi terjadi pada tuba Fallopi.
Sel telur yang telah dibuahi disebut zigot. Zigot bergerak menuju rahim. Dalam
perjalanannya menuju rahim, zigot membelah berulang kali membentuk embrio.
Selanjutnya, embrio akan menempel pada dinding rahim. Embrio akan tumbuh dan
berkembang di dalam rahim membentuk janin. Janin akan keluar sebagai bayi setelah
sekitar 9 bulan berada di dalam rahim.
Penyakit pada sistem reproduksi biasa disebabkan oleh jamur, bakteri atau
virus. Bakteri dapat menyebabkan beberapa gangguan pada organ reproduksi terutama
organ reproduksi pada wanita. Bakteri juga dapat menyebabkan gangguan lebih lanjut
berupa kista bahkan hingga menimbulkan kanker rahim dan dll.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Medik Endometriosis ?
2. Bagaimana Konsep Medik Infertilitas ?
3. Bagaimana Konsep Medik CA Serviks ?
4. Bagaimana Konsep Medik Ca Mamae ?

1
5. Bagaimana Konsep Medik Ca Ovarium ?
6. Bagaimana Konsep Medik Mioma Uteri ?
7. Bagaimana Konsep Medik Kondiloma Akuminata ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep Medik Endometriosis
2. Untuk mengetahui Konsep Medik Infertilitas
3. Untuk mengetahui Konsep Medik CA Serviks
4. Untuk mengetahui Konsep Medik Ca Mamae
5. Untuk mengetahui Konsep Medik Ca Ovarium
6. Untuk mengetahui Konsep Medik Mioma Uteri
7. Untuk mengetahui Konsep Medik Kondiloma Akuminata

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Konsep Medis Endometriosis


a. Definisi

Endometriosis yaitu suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih


berfungsi berada di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar dan stroma,
terdapat di dalam endometriumnataupun di luar uterus. Bila jaringan endometrium
terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, bila brada di luar uterus
disebut endometriosis. Pembagian ini sudah tidak dianut lagi, karena secara
patologik, klinik, ataupun etiologic adenomiosis berbeda dengan endometriosis.
Adenomiosis secara klinis lebih banyak persamaan dengan mioma uteri.
Adenomiosis sering ditemukan pada multipara dalam masa premenopause,
sedangkan endometriosis terdapat pada wanita yang lebih muda dan yang infertile
(Sarwono.2007). Terdapat kurang lebih 15% wanita reproduksi dan pada 30%
dari wanita yang mengalami infertilitas. Implantasi endometriosis bisa terdapat
pada ovarium, ligamentum sakrouterina, kavum dauglasi, ligamentum latum dan
ligamentum rotundum, tuba fallopi, dan pada tempat-tempat ekstra peritoneal (
serviks, vagina, vulva, dan kelenjar-kelenjar limfe).
Penampakan kasarnya bisa dalam bentuk luka berupa sebuah peninggian atau
kista yang berisi darah baru, merah atau biru-hitam. Karena termakan waktu, luka

3
tersebut berubah menjadi lebih rata dan berwarna coklat tua. Ukuran luka dapat
berkisar dari luka kecil dari 10 cm.
b. Etiologi
Mekanisme terjadinya endometriosis belum dapat diketahui secara pasti.
Namun beberpa teori telah dikemukakan dan dipercaya sebagai mekanisme dasar
endometriosis. Beberapa teori tersebut antara lain:
1) Teori regurgitasi
Teori ini menerangkan adanya aliran darah menstruasi mengalir ke arah
berlawanan yaitu mengarah ke tuba falopi sehingga menghasilkan tumpahan
dan implantasi sel endometrium yang masih hidup ke dalam rongga abdomen
atau pelvis. Namun demikian, teori ini tidak bisa menjelaskan endometriosis
yang tumbuh di dalam kelenjar limfe, otot skeletal atau paru-paru.
2) Teori metaplasia
Teori ini menerangkan terjadinya proses diferensiasi epitel coelomic (mesothel
pada pelvis atau abdomen) dimana pembentukan duktus mullerian dan
endometrium bermula pada saat perkembangan embrio. Teori ini juga tidak
bisa menjelaskan terjadinya proses endometriosis di organ seperti paru-paru
dan kelenjar limfe.
3) Teori diseminasi vaskular atau limfatik
Teori ini yang dianggap bisa menjelaskan implantasi ekstrapelvis atau
implantasi intra nodal.
4) Teori metastasis
Teori ini menarangkan dimana jaringan endometrium mengadakan implantasi
di cavum peritoneal akibat menstruasi retrograde ataupun pada mukosa serviks
oleh karena prosedur bedah. Dalam hal ini, penyebaran endometriosis ke
tempat-tempat yang jauh adalah melalui ‘metastasis’ hematogen dan limfogen.
Istilah metastasis disini hanya menunjukkan adanya jaringan endometrium
yang menyebar ke tempat lain, namun tidak menunjukkan mekanisme yang
sama dengan metastasis keganasan.
c. Gejala klinik
Gejala klinis pada endometriosis akan memuncak pada keadaan
premenstruasi, dan mereda setelah menstruasi selesai. Nyeri panggul adalah gejala
yang paling umum terjadi, gejala lain adalah dispareunia, dismenore, nyeri pada
kandung kemih dan nyeri punggung bawah.

4
a) Nyeri saat menstruasi ( Dismenore)
Gejala ini seringkali menjadi gejala awal dari timbulnya endometriosis.
Pasien yang mengalami dymenorrhea dan tidak memiliki respon terhadap
kontrasepsi oral ataupun dengan pemberian anti-infalamasi non-streroid
diduga kuat menderita endometriosis. Gejala yang sering terjadi pada wanita
yang menderita endometriosis adalah timbulnya nyeri yang luar biasa pada
saat menstruasi sejak umur sangat muda, sejak dari usia menarche atau
bahkan sebelumnya. Bagaimanapun, nyeri pada menstruasi tidak dapat selalu
dihubungkan dengan endometriosis karena gejala ini merupakan gejala
nonspesifik juga dapat terjadi pada keadaan fisiologis saat mentrasi.
Bertambahnya derajat keparahan nyeri dan lama waktu dismenore sebanding
dengan perjalanan stadium endometriosis.
b) Sakit saat berhubungan seksual ( Dispareuni)
Ligamentum uterosakral, ligamentum broad, dan the poach of Douglas
merupakan beberapa area tersering ditemukannya endometriosis. Timbulnya
endometriosis pada beberapa area tersebut dapat menyebabkan gejala yang
spesifik dan menetap. Beberapa area yang terlibat tersebut terletak
berdekatan dengan kedua ujung vagina dan rektum, karena itu, setiap
stimulasi fisik pada area tersebut akan dapat menimbukan nyeri.
c) Nyeri pelvis
Sering ditemukan pada pasien endometriosis pada beberapa kasus
nyeri pada pasien tidak hanya dikaitkan dengan periode menstrusi atau
aktifitas seksual, tetapi seringkali nyeri yang dirasakan merupakan nyeri yang
kronik dan rasa tidak nyaman pada bagian bawah pelvis disertai nyeri yang
terus-menerus. Nyeri pada pelvis dihubungkan dengan adanya adhesi dan
ditemukannya jaringan parut pada pelvis. Penyebab yang pasti pada nyeri
masih belum jelas, namun, adaanya substansi sitokin dan prostaglandin yang
dihasilkan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal merupakan salah
satu penyebab.
d) Nyeri punggung bawah
Endometriosis yang terjadi pada ligamen oterosakral dapat
menghasilkan nyeri yang menjalar hingga ke punggung bagian belakang.
Nyeri dari uterus juga dapat menjalar ke area tersebut.
e) Infertilitas

5
Terdapat hubungan antara endometriosis dan infertilitas. Ditemukan
fakta bahwa satu dari tiga wanita infertil didiagnosis menderita
endometriosis. Data retrospektif menunjukkan bahwa 30 – 50 % wanita
dengan endometriosis akan menjadi infertil .Adanya adhesi, kerusakan
ovarium dan tuba, juga distorsi yang ditimbulkan sebagai efek dari
bertambah parahnya perjalanan endometriosis juga menjadi faktor lain yang
menyebabkan infertilitas. Selain kerusakan yang terjadi pada organ terkait,
dihasilkannnya beberapa substansi oleh endometrium yang tumbuh secara
ektopik seperti prostaglandin dan sitokin juga dipercaya menjadi salah satu
faktor infertilitas lainnya.
f) Nyeri pada kandung kemih dan Dysuria
Lesi superfisial pada kandung kemih biasanya asimtomatik. Lesi dapat
menyerang otot dan menimbulkan nyeri saat berkemih, dan dysuria.
Meskipun keluhan ini tidak selalu muncul pada penderita endometriosis,
namun keluhan nyeri pada kandung kemih, dysuria, dan urgensi pada wanita
tetap menjadi gejala pada wantia yang terkena endometriosis, terutama jika
keluhan ini disertai hasil kultur urin yang negatif.
g) Nyeri saat defekasi
Nyeri defekasi merupakan gejala yang paling jarang muncul
dibandingkan dengaan gejala lain pada endometriosis dan biasanya hal ini
mencerminkan adanya keterlibatan rektosigmoid dengan implan
endometriotik (Azzena, 1998). Gejala ini dapat terjadi secara kronik, siklik,
dan sering berhubungan dengan konstipasi, diare, atauapun hematokezia.
d. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi dan stadium endometriosis sangat penting dilakukan
untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil
pengobatan. Stadium endometriosis tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri
keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas
(Winkel, 2010). Hal ini dikarenakan endometriosis dapat dijumpai pada pasien
yang asimptomatik. Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah
menurut American Society For Reproductive Medicine yang berbasis pada tipe,
lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada endometriosis, dilakukan penilaian
terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas

6
dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai – nilai dari skoring yang
kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4
adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah sedang
(stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV). Endometriosis dapat
dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan tipe lesi,yaitu:
1. Peritoneal endometriosis
Lesi di peritoneum memiliki banyak vaskularisasi, sehingga menimbulkan
perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan menyebabkan timbulnya
perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehinggga tumbuh jaringan
fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah menjadi lesi
berwarna hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih
yang memiliki sedikit vaskularisasi dan akan ditemukan debris glandular.
2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)
Pada endoemtriosis yang terjadi di ovarium, dapat timbul kista yang
berwarna coklat dan sering terjadi perlengketan dengan organ – organ lain,
kemudian membentuk konglomerasi. Kista endometrium dapat berukuran
>3cm dan multilokus, juga dapat tampak seperti kista coklat karena
penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista.
3. Deep Nodular Endometriosis
Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum
rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan
ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot
polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan
endometriosisakan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara
klinis yang berhubungan dengan endometriosis nodular dalam. Ada
banyak klasifikasi stadium yang digunakan untuk mengelompokkan
endometriosisdari ringan hingga berat, dan yang paling sering digunakan
adalah sistem American Fertility Society (AFS) yang telah direvisi (Tabel
2.1). Klasifikasi ini menjelaskan tentang lokasi dan kedalaman penyakit
berikut jenis dan perluasan adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut
adalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium:
- Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)
- Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)
- Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)

7
- Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

Gambar, American Society for Reproductive Medicine revised classification of


endometriosis.

8
Gambar, Pembagian stadium endometriosis (Dikutip dari Obstertics and Gynecology, 2007)

e. Diagnosis
Prosedur yang paling akurat untuk diagnosis endometriosis adalah
laparoskopi, metode bedah invasif. Diagnosis definitif didasarkan pada visualisasi
dari lesi karakteristik dan pada konfirmasi histologis. Beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa CA-125, glikoprotein asal epitel ditemukan pada sel normal,

9
memiliki konsentrasi serum tinggi pada pasien dengan endometriosis, terutama ketika
dievaluasi selama menstruasi flow1- 3. Biomarker lain yang menarik untuk penelitian
ini adalah larut CD-23, sebuah protein yang diekspresikan pada permukaan membran
sel, biasanya diidentifikasi sebagai reseptor IgE afinitas rendah pada sel B, eosinofil,
monosit, sel dendritik, epitel sel Langerhans dan trombosit. Beberapa langkah dalam
menegakkan diagnosis endometriosis antara lain :
1. Anamnesis
Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvis kronis yang
disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada
endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek
yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat
diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena
penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh
kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih
mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada
dizigot.
2. Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan
adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan
dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang tegas dan
dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa
pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain
seperti granuloma, abses dan hematom.
3. Pemeriksaan fisik ginekologik
Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada kelainan.
Lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan inspekulo,
sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1% penderita.
Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan endometriosis pada penderita
nyeri pelvik.
4. Diagnosis Laparoskopi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi
langsung ke rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering
dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan

10
endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina,
kavum douglas, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvis
yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas,
permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa
jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di
sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih
haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi
atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih.
f. Penatalaksanaan
Berdasar prinsip umpan balik negatif, pengobatan endometriosis awalnya
masih menggunakan estrogen. Dewasa ini, estrogen tidak terlalu disukai lagi dan
mulai ditinggalkan. Efek samping yang ditimbulkan kadang-kadang dapat berakibat
lanjut kematian. Salah satu efek samping yang sangat dikhawatirkan ialah terjadinya
hi perplasia endometrium yang dapat berkembang menjadi kanker endometrium.
Pengobatan endometriosis sebagai berikut :
1. pemberian agonis GnRH, danazol, dan kontrasepsi oral ternyata cukup
memuaskan untuk mengurangi keluhan nyeri. Terapi hormonal dengan agonis
GnRH harus diikuti dengan pemberian add back therapy untuk mengurangi
komplikasi yang ditimbulkan akibat pemberian agonis GnRH yang lama.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa add back therapy tidak akan
memperberat keluhan nyeri.
2. Tindakan assited reproductive technology (ART) dilakukan pada penderita
endometriosis berat.
3. Kehamilan setelah pengobatan endometriosis. Endometriosis mengakibatkan
intertilitas melalui berbagai mekanisme, yaitu gangguan ovulasi, perlengketan
jaringan, penyumbatan tuba Falopii, kehamilan ektopik, dan penyebab lain yang
tidak di-ketahui. Keberhasilan kehamilan setelah pengobatan dengan pembedahan
dan terapi hormon berkisar 40-70%, tergantung pada beratnya endometriosis.37
Untuk meng-upayakan kehamilan setelah pengobatan endometriosis dapat
dilakukan dengan menunggu, induksi ovulasi, inseminasi intra uterin, atau in vitro
fertilization
4. Cairan peritoneal, tehnik pendekatan yang lebih baik dan rasional yaitu dengan
memperhatikan interaksi faktor lokal yaitu cairan peritoneal dan faktor sistemik
secara imunoendokrinologik dan selular, berhubung telah ditemukan bentuk baru

11
endometriosis yang tak terdeteksi dengan laparoskopi. Bentuk ini dikenal sebagai
endometriosis biokimiawi. Perlu dipikirkan pengobatan terhadap cairan
peritoneum karena lesi peritoneum dari endometriosis berhubungan langsung
secara bebas dengan rongga peritoneum dan menyekresikan produknya secara
langsung pula ke dalam cairan peri-toneum. (Suparman, 2012)
g. Komplikasi
Komplikasi dari endometriosis sering berhubungan dengan adanya fibrosis
dan jaringan parut yang tidak hanya berefek pada organ yang terkena, namun juga
dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ureter. Ruptur dari endemetrioma dan juga
dihasilkannya zat berwarna coklat yang sangat iritan juga dapat menyebabkan
peritonitis. Meskipun jarang, lesi endometrium dapat berubah menjadi malignan dan
paling sering terjadi pada kasus endometriosis yang berlokasi di ovarium.

12
2. Konsep Medis Infertiliti
a. Definisi
Infertilitas merupakan ketidakmampuan untuk mengandung sampai
melahirkan bayi hidup setelah satu tahun melakukan hubungan seksual yang
teratur dan tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun/setelah memutuskan untuk
mempunyai anak. (Saraswati, Infertiliti, 2015)
Infertilitas adalah kegagalan untuk memperoleh kehamilan setelah 12 bulan
atau lebih melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat
kontrasepsi. (Anastasia Oktarina, 2014)
b. Etiologi
Penyebab infertilitas pada wanita sebagai berikut :
1) Hormonal
Gangguan glandula pituitaria, thyroidea, adrenalis atau ovarium yang
menyebabkan kegagalan ovulasi, kegagalan endometrium uterus untuk
berproliferasi sekresi, sekresi vagina dan cervix yang tidak menguntungkan
bagi sperma, kegagalan gerakan (motilitas) tuba falopii yang menghalangi
spermatozoa mencapai uterus.
2) Obstruksi
Tuba falopii yang tersumbat bertanggung jawab sepertiga dari penyebab
infertilitas. Sumbatan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan kongenital,
penyakit radang pelvis yang umum, contohnya apendisitis dan peritonitis, dan
infeksi tractus genitalis, contohnya gonore.
3) Faktor lokal
Faktor-faktor lokal yang menyebabkan infertil pada wanita adalah fibroid
uterus yang menghambat implantasi ovum, erosi cervix yang mempengaruhi
pH sekresi sehingga merusak sperma, kelainan kongenital vagina, cervix atau
uterus yang menghalangi pertemuan sperma dan ovum, mioma uteri oleh
karena menyebabkan tekanan pada tuba, distrorsi, atau elongasi kavum uteri,
iritasi miometrium, atau torsi oleh mioma yang bertangkai.
c. Gejala klinis
Gejala utama infertilitas pada wanita mencakup:
1. Perubahan siklus haid
2. Perubahan kulit, seperti jerawat parah
3. Perubahan dorongan seks

13
4. Sakit saat berhubungan seks
5. Rambut menipis
6. Haid yang menyakitkan
d. Klasifikasi Infertilitas
Menurut pembagiannya, infertilitas dapat diklasifikasikan sebagai:
1. Infertilitas primer adalah pasangan suami-istri belum mampu dan belum
pernah memiliki anak setelah 1 tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali
per minggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
2. Infertilitas sekunder adalah pasangan suami istri telah atau pernah memiliki
anak sebelumnya, tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi setelah 1
tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali perminggu tanpa menggunakan
alat atau metode kontrasepsi dalam bentuk apapun.
e. Diagnosis
Diagnosis infertilitas dilakukan dengan cara :
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan terhadap pasien dengan menanyakan identitas
pasangan suami istri meliputi umur, pekerjaan, lama menikah dan evaluasi
dari pasien wanita mengenai ketidakteraturan siklus haid, dismenorea, infeksi
organ reproduksi yang pernah dialami, riwayat adanya bedah pelvis, riwayat
sanggama, frekuensi sanggama, dispareunia, riwayat komplikasi pascapartum,
abortus, kehamilan ektopik, kehamilan terakhir, konstrasepsi yang pernah
digunakan, pemeriksaan infertilitas dan pengobatan sebelumnya, riwayat
penyakit sistematik (tuberkulosis, diabetes melitus, tiroid), pengobatan radiasi,
sitostatika, alkoholisme.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mendiagnosis infertil adalah :
1) Vital Sign
Pemeriksaan vital sign yang terdiri dari tekanan darah, nadi,
respiratory rate, suhu badan.
2) Penghitungan BMI :
Penghitungan indeks massa tubuh (body mass index (BMI)) dihitung
dari tinggi dan berat badan (kg/m2), kisaran normal BMI adalah 20-25
kg/m2. Wanita dengan tampilan overweight atau obesitas mengalami
kelainan berupa resistensi insulin atau bahkan sindroma metabolik.Wanita

14
dengan siklus menstruasi yang tidak teratur dan tampilan fisik obesitas
mungkin saja berhubungan dengan diagnosis sindrom ovarium polikistik.
3) Pemeriksaan gangguan endokrin
Penampilan atatu rupa pasien secara keseluruhan dapat memberikan
petunjuk mengenai penyakit sistemik ataupun masalah endokrin.
Keberadaan ciri-ciri seksual sekunder normal sebaiknya diamati.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mencari penyebab dari
gangguan endokrin seperti jerawat, hirsutisme, kebotakan, acanthosis
nigrican, virilisasi, gangguan lapang pandang, gondok, dan adanya ciri
penyakit tiroid.15
4) Pemeriksaan pelvis
Pemeriksaan pelvis sebaiknya dilakukan untuk mencari dugaan
endometriosis yang ditandai dengan adanya nodul pada vagina, penebalan
forniks posterior, nyeri tekan, nyeri pada organ-organ pelvis. Jika saat
pemeriksaan muncul rasa nyeri, sebaiknya diwaspadai adanya
kemungkinan patologi pelvis.8
c. Pemeriksaan Penunjang Infertilitas
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mendiagnosis infertilitas
pada wanita, yaitu biopsi endometrium pada hari pertama menstruasi,
histerosalfingorafi, histeroskopi, laparaskopi atau laparatomi. Tujuan
pemeriksaan penunjang infertilitas adalah mengetahui keadaan ovarium yaitu
folikel graaf atau korpus luteum, mengetahui faktor peritonium, melepaskan
perlekatan, dan tuboplasti-melepaskan fimosis fimbrie tuba.
f. Penatalaksanaan
Penanganan infertilitas pada prinsipnya didasarkan atas 2 hal yaitu Mengatasi
faktor penyebab / etiologi dan meningkatkan peluang untuk hamil.
1. Gangguan Ovulasi
Tindakan untuk mengatasi faktor penyebab infertilitas salah satunya
adalah dengan melakukan induksi ovulasi (pada kasus anovulasi),
reanastomosis tuba (oklusi tuba fallopii) dan pemberian obat-obatan secara
terbatas pada kasus faktor sperma. Apabila induksi ovulasi tidak berhasil,
metoda dikembangkan untuk meningkatkan peluang satu pasangan
mendapatkan kehamilan, seperti stimulasi ovarium, inseminasi dan

15
fertilisasi in vitro. Kasus terbanyak gangguan ovulasi pada perempuan usia
reproduksi adalah sindrom ovarium polikistik.
Kini pertama induksi ovulasi: klomifen sitrat (KS): pemberian KS
sebanyak 3 siklus (dosis maksimal 150 mg/hari) terjadi ovulasi selama 3-6
siklus, tetapi tidak terjadi kehamilan. Lini kedua: gonadotropin atau
laparoskopi ovarian drilling (LOD). Lini ketiga: fertilisasi in vitro.
2. Faktor sperma
Karakteristik sperma tidak terkait langsung dengan laju kehamilan,
tidak terdapat bukti cukup kuat bahwa pengobatan varikokel memberikan
hasil yang baik terhadap terjadinya kehamilan. Pemberian vitamin, anti
oksidan dan carnitine tidak memiliki bukti cukup kuat terhadap kualitas
sperma.
3. Endometriosis
Bila dijumpai endometriosis derajat minimal dan ringan pada
laparoskopi diagnostik, tindakan dilanjutkan dengan laparoskopi operatif.
Endometriosis derajat sedang-berat merupakan indikasi fertilisasi in vitro.
4. Faktor tuba, oklusi tuba
Tindakan laparoskopi dianjurkan bila dijumpai hasil pemeriksaan HSG
abnormal. Fertilisasi in vitro memberikan luaran yang lebih baik dalam hal
kehamilan dibandingkan bedah rekonstruksi tuba pada kasus oklusi tuba
bilateral. Faktor idiopatik infertilitas ditegakkan atas 3 pemeriksaan dasar
infertilitas yang memberikan hasil normal, yaitu deteksi ovulasi, patensi
tuba fallopii dan analisis sperma. Penanganan pasangan infertilitas
idiopatik dapat dilakukan inseminasi intra uterin (IIU) sebanyak 4-6 x.
Stimulasi ovarium dalam IIU terutama dilakukan pada kasus endometriosis
dan infertilitas idiopatik.
5. Fertilisasi in vitro (FIV)
Tindakan fertilisasi in vitro terutama dilakukan atas indikasi : Faktor
sperma yang berat dan tidak dapat dikoreksi, oklusi tuba bilateral,
endometriosis derajat sedang ‐ berat, infertilitas idiopatik yang telah
menjalani IIU 4-6 x dan belum berhasil hamil, gangguan ovulasi yang
tidak berhasil dengan induksi ovulasi lini pertama dan lini kedua.
g. Komplikasi
1. Infeksi Organ Reproduksi
16
2. Stress

17
3. Konsep Medis Ca Serviks
a. Definisi

Kanker leher rahim atau disebut juga kanker serviks adalah sejenis kanker
yang 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang
menyerang leher rahim. Kelompok berisiko untuk terjadinya kanker serviks
adalah wanita di atas usia 30 tahun yang memiliki banyak anak dan dengan
perilaku menjaga kesehatan reproduksi yang masih kurang. (Indri Seta Septadina,
2014)
Kanker serviks adalah kanker primer dari serviks yang berasal dari metaplasia
epitel di daerah sambungan skuamo kolumnar (SSK) yaitu daerah peralihan
mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis (Eva Sulistiowati, 2014).
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada
serviks (leher rahim) yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol
ke puncak liang senggama atau vagina.
b. Etiologi
Peristiwa kanker serviks diawali dari sel serviks normal yang terinfeksi oleh
HPV (Human papillomavirus). Infeksi HPV umumnya terjadi setelah wanita
melakukan hubungan seksual. Sebagian infeksi HPV bersifat hilang timbul,
sehingga tidak terdeteksi dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun pasca infeksi.
Hanya sebagian kecil saja dari infeksi tersebut yang menetap dalam jangka lama,
sehingga menimbulkan kerusakan lapisan lendir menjadi prakanker (Sinta, 2010).

18
Human papillomavirus, sampai saat ini telah diketahui memiliki lebih dari
100 tipe, dimana sebagian besar diantaranya tidak berbahaya dan akan lenyap
dengan sendirinya. Dari 100 tipe HPV tersebut, hanya 30 diantaranya yang
beresiko kanker serviks. Adapun tipe yang beresiko adalah HPV 16, 18, 31, dan
45 yang sering ditemukan pada kanker maupun lesi prakanker serviks, yaitu
menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju keganasan. Sementara, tipe yang
beresiko sedang yaitu HPV tipe 33, 35, 39, 51, 52, 56, 58, 59, dan 68, dan yang
beresiko rendah adalah HPV tipe 6, 11, 26, 42, 43, 44, 53, 54, 55, dan 56. Dari
tipe-tipe ini, HPV tipe 16 dan 18 merupakan penyebab tersering kanker serviks
yang terjadi di seluruh dunia. HPV tipe 16 mendominasikan infeksi (50-60%)
pada penderita kanker serviks disusul dengan tipe 18 (10-15%) (Sinta, 2010).
Faktor lain yang berhubungan dengan kanker serviks adalah aktivitas seksual
terlalu muda (<16 tahun), jumlah pasangan seksual lebih dari 1 orang, dan adanya
riwayat infeksi berpapil. Karena hubungannya erat dengan infeksi HPV, wanita
yang mendapat atau menggunakan penekan kekebalan (immunosuppressive) dan
penderita HIV berisiko menderita kanker serviks.
c. Gejala klinik
Tanda dan gejala dini pada kanker serviks tidak spesifik seperti adanya sekret
vagina yang agak lebih banyak dan kadang-kadang dengan bercak perdarahan.
Umumnya tanda ini sangat minimal dan sering diabaikan oleh penderita. Tanda
yang lebih klasik adalah sebagai berikut :
1. Perdarahan bercak yang berulang baik perdarahan setelah bersetubuh atau
membersihkan vagina. Perdarahan menjadi lebih sering, lebih banyak dan
berlangsung lebih lama.
2. Sekret vagina yang berbau terutama pada masa nekrosis lanjut. Nekrosis ini
terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi dengan
pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah yang
cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan
non spesifik.
3. Pada stadium lanjut ketika tumor sudah menyebar ke luar dari serviks dan
melibatkan jaringan di rongga pelvis.
d. Klasifikasi
Klasifikasi kanker dapat di bagi menjadi tiga, yaitu klasifikasi berdasarkan
histopatologi, klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks, dan

19
klasifikasi berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO (The International
Federation of Gynekology and Obstetrics) :
1. Klasifikasi berdasarkan histopatologi :
a. CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal
lebih kurang setengahnya.
b. CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya.
c. CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel.
2. Klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks :
a. ASCUS (Atypical Squamous Cell Changes of Undetermined Significance)
b. LSIL (Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion)
c. HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion)
3. Klasifikasi berdasarkan stadium klinis :
1) Stadium 0, karsinoma in situ atau infeksi awal HPV.
2) Stadium I, karsinoma terbatas di serviks
3) Stadium Ia, invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara
mikroskopik. Lesi yang dilihat secara langsung walau dengan invasi yang
baik sangat superfisial
4) Stadium Ia1, invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan
lebar tidak lebih dari 7 mm.
5) Stadium Ia2, invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tetapi
kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
6) Stadium Ib, lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari
stadium Ia.
7) Stadium Ib1, besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm.
8) Stadium Ib2, besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm.
9) Stadium II, telah melibatkan vagina namun belum sampai ke 1/3 bawah
atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul.
10) Stadium IIa, telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium.
11) Stadium IIb, infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding
panggul.
12) Stadium III, telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan
sampai ke dinding panggul.
13) Stadium IIIa, keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium
belum mencapai dinding panggul.

20
14) Stadium IIIb, perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidroneprosis
atau gangguan fungsi ginjal
15) Stadium IV, perluasan ke organ reproduktif.
16) Stadium IVa, keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum.
17) Stadiun IVb, metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul
e. Diagnosis
1. Sitologi Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes papanicolaous ( tes PAP )
sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya
melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitologi adalah cara Skrining sel -
sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi.
Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik.
2. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkopi, suatu alat
yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan
sumber cahaya didalamnya ( pembesaran 6 - 40 kali ). Kalau pemeriksaan
sitologi menilai perubahan morfologi sel - sel yang mengalami eksfoliasi,
maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vascular serviks yang
mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di
jaringan serviks.
3. Biopsi
Biopsi dilakukan didaerah abnormal jika SSP (sistem saraf pusat ) terlihat
seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSP tidak terlihat seluruhnya atau hanya
terlihat sebagian kelainan didalam kanalis serviskalis tidak dapat dinilai, maka
contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat
dan alat biopsy harus tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin
10%.
4. Konisasi
Konosasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa
sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut ( konus ), dengan kanalis
servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi
selalu dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan
ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika karena suatu hal pemeriksaan
kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes Schiller. Pada tes ini
digunakan pewarnaan dengan larutan lugol ( yodium 5g, kalium yodida 10g,

21
air 100ml ) dan eksisi dilakukan diluar daerah dengan tes positif ( daerah yang
tidak berwarna oleh larutan lugol ).
f. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis kanker serviks ditegakan harus ditentukan terapi apa yang
tepat untuk setiap kasus. Secara umum ada beberapa terapi yang dapat diberikan
bergantung pada usia dan keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan
komplikasi lain yang menyertai. Pada umumnya stadium lanjut (Stadium IIb, III
dan IV) dipilih pengobatan radiasi yang diberikan secara intrakaviter dan eksternal
sedangkan stadium awal dapat diobati melalui pembedahan dan radiasi.
1. Mikroinvasi, stadium 1a
Kasus-kasus stadium sangat dini ini biasanya dijumpai di negara maju
dimana program skrining sudah menjadi hal rutin. Diagnosis ditetapkan
dengan pemeriksaan histopatologi jaringan konisasi. Society of
Gynecologic Oncologist menggolongkan lesi d engan kedalaman invasi
stroma 3 mm atau kurang tanpa adanya invasi pembuluh darah atau limfe
sebagai stadium 1a1. Stadium 1a1 tanpa invasi pembuluh darah dan limfe
kemungkinan penyebaran ke kelenjar getah bening regionalnya tidak lebih
dari 1%. Hal ini dapat dilakukan tindakan konisasi serviks asalkan pada
pemeriksaan histopatologinya tidak dijumpai sel tumor pada tepi sayatan
konisasi. Tingkat kesembuhan pada stadium ini dapat diharapkan hingga
100%.
2. Stadium 1a2
Kasus dengan invasi stroma lebih dari 3 mm tetapi kurang dari 5 mm
kemungkinan invasi pembuluh darah atau limfe sekitar 7%. Kasus pada
stadium ini harus dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi
kelenjar getah bening pelvis atau radiasi bila ada kontra indikasi tindakan
operasi. Untuk mengurangi komplikasi operasi, tindakan pembedahan
cenderung kurang radikal karena kemungkinan penyebaran ke
parametrium sangat kecil. Bagi penderita yang masih menginginkan
kehamilan dapat dilakukan trakhelektomi.
3. Stadium Ib
Stadium Ib1 (Ukuran lesi < 4 cm) pengobatannya adalah histerektomi
radikal dengan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dengan atau
tanpa kelenjar getah bening paraaorta memberikan hasil yang efektif. Hasil

22
yang sama efektifnya didapatkan bila diberikan terapi radiasi. Walaupun
kedua modalitas terapi ini memberikan tingkat kelangsungan hidup yang
sama, pada penderita usia muda operasi radikal lebih disukai karena masih
dapat mempertahankan fungsi ovarium. Bagi penderita dengan ukuran lesi
<2 cm dapat dilakukan operasi trakhelektomi radikal sehingga masih dapat
mengalami kehamilan. Disamping dapat mempertahankan fungsi
hormonal, keunggulan lain terapi operatif tidak terjadi stenosis vagina
akibat radiasi.
Stadium Ib2 (Ukuran lesi > 4 cm) atau disebut juga kanker serviks
bentuk barel karena ukuran yang besar. Kemungkinan penyebaran ke
kelenjar getah bening regional sekitar 20-25%. Dengan bentuk yang besar
ini secara anatomis bila diberikan terapi radiasi akan memberikan bagian
tengah tumor yang lebih radioresisten karena bagian tengah ini lebih
hipoksik. Setelah radiasi selesai diberikan ada kecenderungan terjadi
kekambuhan sentral.
4. Stadium IIa
Jenis terapinya sangat individual bergantung dengan perluasan tumor
ke vagina. Keterlibatan vagina yang minimal dapat dilakukan histerektomi
radikal, limfadenektomi pelvis dan vaginektomi bagian atas. Terapi yang
optimal pada kebanyakan stadium IIa adalah kombinasi radiasi eksternal
dan radiasi intrakaviter. Operasi radikal dengan pengangkatan kelenjar
getah bening pelvis dan paraaorta serta pengangkatan vagina bagian atas
dapat memberikan hasil yang optimal asalkan tepi sayatan bebas dari
invasi sel tumor.
5. Stadium IIb, III dan IVa
Pada kasus stadium lanjut ini tidak mungkin lagi dilakukan tindakan
operatif karena tumor telah menyebar jauh ke luar dari serviks. Pengobatan
pada stadium ini lebih cenderung ke radiasi. Luas lapangan radiasi
bergantung pada besar tumor serta jauhnya keterlibatan vagina. Bila hasil
pemeriksaan dicurigai menyebar sampai ke kelenjar getah bening
paraaorta, radiasi harus diperluas sampai daerah ini. Khusus stadium IVa
dengan penyebaran sampai ke mukosa kandung kemih lebih disukai
operasi eksenterasi dari pada radiasi tetapi eksenterasi juga menjadi
pilihan terapi kuratif atau paliatif pada kasus persisten sentral setelah

23
mendapatkan kemoradiasi ataupun bila ada komplikasi fistula rekto vagina
atau vesiko-vaginal.
6. Stadium IVb Kasus stadium terminal ini prognosisnya sangat jelek, jarang
bertahan hidup sampai setahun semenjak didiagnosis. Penderita stadium
IVb bila keadaan umum memungkinkan dapat memberikan kemoradiasi
namun hanya bersifat paliatif .
g. Komplikasi
Inilah komplikasi yang mungkin terjadi karena efek dari penyakit kanker yang
sudah stadium lanjut.
1. Nyeri
Jika sel kanker sudah menyebar pada ujung saraf, tulang, atau otot,
biasanya menimbulkan nyeri yang berat. Dapat diatasi dengan obat
pengurang rasa sakit, tergantung dari berat ringan nyeri yang dirasakan.
Obat yang digunakan bisa dari parasetamol dan NSAID (obat anti
inflamasi non steroid) seperti ibuprofen, hingga pereda nyeri yang lebih
besar seperti golongan opiat contohnya kodein dan morfin.
2. Penggumpalan Darah
Sebagaimana halnya dengan kanker-kanker lainnya, kanker serviks
dapat menyebabkan darah menjadi lebih kental sehingga mudah terjadi
penggumpalan. Tirah baring (bed rest) setelah operasi dan kemoterapi juga
dapat meningkatkan risiko pembentukan gumpalan.
3. Perdarahan
Jika kanker menyebar ke vagina, usus besar, atau kandung kemih,
dapat menyebabkan kerusakan parah dan menghasilkan perdarahan.
Perdarahan bisa terjadi di vagina, rektum (usus besar sebelum anus), atau
bisa juga keluar bersama urin.
4. Fistula
Fistula adalah salurang yang tidak normal yang menghubungkan dua
bagian pada tubuh. Pada kebanyakan kasus kanker serviks, fistula
terbentuk di antara kandung kemih dan vagina. Kelainan ini menyebabkan
adanya cairan urin yang keluar terus menerus dari vagina (berasal dari
kandung kemih). Selain itu fistula juga dapat terbentuk antara vagina dan
rektum.

24
4. Konsep Medis Ca Mamae
a. Definisi

Kanker payudara adalah pertumbuhan sel yang abnormal pada sel-sel jaringan
payudara. Payudara wanita terdiri dari lobulus (kelenjar susu), duktus (saluran
susu), lemak dan jaringan ikat, pembuluh darah dan limfe. Sebagian besar kanker
payudara bermula pada sel-sel yang melapisi duktus (kanker duktal), beberapa
bermula di lobulus (kanker lobular), serta sebagian kecil bermula di jaringan lain
(Israel A. Rondonuwu, 2016).
Kanker payudara adalah karsinoma yang berasal dari epitel duktus atau
lobulus payudara.Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal
diubah oleh mutasi genetik dari DNA seluler.
Kanker payudara (Carcinoma mammaee) dalam bahasa inggrisnya disebut
breast cancermerupakan kanker pada jaringan payudara. Kanker ini paling umum
menyerang wanita, walaupun laki-laki juga punya potensi terkena akan tetapi
kemungkinan sangat kecil dengan perbandingan 1 diantara 1000. Kanker ini terjadi
karena pada kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak
terkendali, atau kanker payudara sering didefinisikan sebagai suatu penyakit
neoplasma yang ganas yang berasal dari parenchyma. Penyakit ini oleh World
Health Organization (WHO dimasukkan ke dalam International Classification of
Diseases (ICD) .
b. Etiologi

25
Menurut Moningkey dan Kodim, penyebab spesifik kanker payudara masih
belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor yang diperkirakan mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara diantaranya:
1. Faktor reproduksi: Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan
risiko terjadinya kanker payudara adalah nuliparitas, menarche pada umur
muda,menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan pertama pada umur
tua. Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya umur.
Diperkirakan, periode antara terjadinya haid pertama dengan umur saat
kehamilan pertama merupakan window of initiation perkembangan kanker
payudara. Secara anatomi dan fungsional, payudara akan mengalami atrofi
dengan bertambahnya umur. Kurang dari 25% kanker payudara terjadi
pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya
tumor terjadi jauh sebelum terjadinya perubahan klinis.
2. Penggunaan hormone : Hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya
kanker payudara. Laporan dari Harvard School of Public Health
menyatakan bahwa terdapat peningkatan kanker payudara yang signifikan
pada para pengguna terapi estrogen replacement. Suatu metaanalisis
menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko kanker payudara pada
pengguna kontrasepsi oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk
waktu yang lama mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker
payudara sebelum menopause. Sel-sel yang sensitive terhadap rangsangan
hormonal mungkin mengalami perubahan degenerasi jinak atau menjadi
ganas.
3. Penyakit fibrokistik : Pada wanita dengan adenosis, fibroadenoma, dan
fibrosis, tidak ada peningkatanrisiko terjadinya kanker payudara. Pada
hiperplasis dan papiloma, risiko sedikit meningkat 1,5 sampai 2 kali.
Sedangkan pada hiperplasia atipik, risiko meningkat hingga 5 kali.
4. Obesitas: Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dan bentuk
tubuh dengan kanker payudara pada wanita pasca menopause. Variasi
terhadap kekerapan kanker ini di negara-negara Barat dan bukan Barat
serta perubahan kekerapan sesudah migrasi menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh diet terhadap terjadinya keganasan ini.
5. Konsumsi lemak: Konsumsi lemak diperkirakan sebagai suatu faktor risiko
terjadinya kanker payudara. Konsumsi lemak dan serat dalam

26
hubungannya dengan risiko kanker payudara pada wanita umur 34-59
tahun
6. Radiasi : Eksposur dengan radiasi ionisasi selama atau sesudah pubertas
meningkatkan terjadinya risiko kanker payudara. Dari beberapa penelitian
yang dilakukan disimpulkan bahwa risiko kanker radiasi berhubungan
secara linier dengan dosis dan umur saat terjadinya eksposur.
7. Riwayat keluarga dan faktor genetik: Riwayat keluarga merupakan
komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan dilaksanakan
skrining untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan
pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Pada studi
genetik ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen
tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen kerentanan terhadap
kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60%
pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur 70 tahun.
8. Faktor Genetik : Kanker peyudara dapat terjadi karena adanya beberapa
faktor genetik yang diturunkan dari orangtua kepada anaknya. Faktor
genetik yang dimaksud adalah adanya mutasi pada beberapa gen yang
berperan penting dalam pembentukan kanker payudara gen yang dimaksud
adalah beberapa gen yang bersifat onkogen dan gen yang bersifat
mensupresi tumor.Gen pensupresi tumor yang berperan penting dalam
pembentukan kanker payudara diantaranya adalah gen BRCA1 dan gen
BRCA2.
9. Umur : Semakin bertambahnya umur meningkatkan risiko kanker
payudara. Wanita paling sering terserang kanker payudara adalah usia di
atas 40 tahun. Wanitaberumur di bawah 40 tahun juga dapat terserang
kanker payudara, namun risikonya lebih rendah dibandingkan wanita di
atas 40 tahun.
c. Gejala klinik
Gejala yang paling sering terjadi :
1) Masa (terutama jika keras, irregular, tidak nyeri tekan) atau penebalan
pada payudara atau daerah aksila
2) Rabas putting payudara unilateral, persisten, spontan yang mempunyai
3) karakter serosanguinosa, mengandung darah, atau encer.
4) Retraksi atau inversi puting susu

27
5) Perubahan ukuran, bentuk atau tekstur payudara (asimetris)
6) Pengerutan atau pelekukan kulit disekitarnya
7) Kulit yang bersisik di sekeliling putting
d. Klasifikasi
1. Paget’s disease
Paget’s disease merupakan bentuk kanker yang dalam taraf permulaan
manifestasinya sebagai eksema menahun putting susu, yang biasanya merah
dan menebal. Suatu tumor sub areoler bisa teraba. Sedang pada umumnya
kanker payudara yang berinfiltrasi ke kulit mempunyai prognosis yang buruk
namun pada paget’s disease prognosisnya lebih baik. Paget’s disease
merupakan suatu kanker intraduktal yang tumbuh dibagian terminal dari
duktus laktiferus. Secara patologik cirri-cirinya adalah: sel-sel paget(seperti
pasir), hipertrofi sel epidermoid, infiltrasi sel-sel bundar di bawah epidermis.
2. Kanker duktus laktiferus
Comedo carcinoma terdiri dari sel-sel kanker non papillary dan
intraductal, sering dengan nekrosis sentral sehingga pada permukaan potongan
terlihat seperti terisi kelenjar, jarang sekali comedo carcinoma hanya pada
saluran saja biasanya akan mengadakan infiltrasi kesekitarnya menjadi
infiltrating comedo carcinoma.
3. Adeno carcinoma dengan infiltrasi dan fibrosis, ini adalah kanker yang lazim
ditemukan 75 % kanker payudara adalah tipe ini. Karena banyak terdiri dari
fibrosis umumnya agak besar dan keras. Kanker ini disebut juga dengan tipe
scirrbus yaitu tumor yang mengadakan infiltrasi ke kulit dan kedasar.
4. Medullary carcinoma
Tumor ini biasanya sangat dalam di dalam kelenjar mammae, biasanya
tidak seberapa keras, dan kadang-kadang disertai kista dan mempunyai kapsul.
Tumor ini kurang infiltratif disbanding dengan tipe scirrbus dan mestatasis ke
ketiak sangat lama. Prognosis tumor ini lebih baik dari tipe-tipe tumor yang
lain.
5. Kanker dari Lobulus
Kanker lobulus sering timbul sebagai carcinoma in situ dengan lobulus
yang membesar. Secara mikroskopik, kelihatan lobulus atau kumpulan lobulus
yang berisi kelompok sel-sel asinus dengan bebrapa mitosis. Kalau
mengadakan infiltrasi hamper tidak dapat dibedakan dengan tipe scirrbus.

28
e. Diagnosis
Prosedur diagnosis pada kanker payudara terdiri dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang (Suyatno & Pasaribu, 2014).
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Anamnesis bertujuan untuk
mengidentifikasi identitas, penderita, faktor risiko, perjalanan penyakit, tanda
dan gejala kanker payudara, riwayat pengobatan dan riwayat penyakit yang
pernah diderita. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menentukan karakter
(nature) dan lokasi lesi. Inspeksi dilakukan pada kedua payudara, aksila dan
sekitar klavikula yang bertujuan untuk identifikasi tanda dan gejala tumor
primer dan kemungkinan metastasis ke kelenjar getah bening ataupun
metastasis jauh.
2. Ultrasonografi Payudara melihat lesi hipoekoik dengan tepi tidak teratur
(irregular) dan shadowing disertai orientasi vertikal kemungkinan merupakan
lesi maligna. USG secara umum diterima untuk membedakan masa kistik
dengan solid dan sebagai pengarah untuk biopsi serta pemeriksaan skrining
pasien usia muda. Peran USG lain adalah untuk evaluasi metastasis ke organ
visceral.
3. Mamografi memegang peranan mayor dalam deteksi dini kanker payudara,
sekitar 75% kanker terdeteksi paling tidak satu tahun sebelum ada gejala atau
tanda. Tipe pemeriksaan mamografi adalah skrining dan diagnostik. Skrining
mamografi dilakukan pada wanita yang asimptomatik. Skrining mamografi
direkomendasikan setiap 1-2 tahun untuk usia 50 tahun atau lebih. Pada
kondisi tertentu direkomendasikan sebelum usia 40 tahun (missal wanita yang
keluarga tingkat pertama menderita kanker payudara). Mamografi diagnostik
dilakukan pada wanita yang simptomatik, tipe ini lebih rumit dan digunakan
untuk menentukan ukuran yang tepat, lokasi abnormalitas payudara, untuk
evaluasi jaringan sekitar dan getah bening sekitar payudara.
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan instrumen yang sensitif untuk
deteksi kekambuhan lokal pasca BCT atau augmentasi payudara dengan
implant, deteksi multifocal cancer dan skrining pasien usia muda
dengandensitas payudara yang padat yang memiliki risiko tinggi.
f. Penatalaksanaan

29
1. Operasi (pembedahan) merupakan modalitas utama untuk penatalaksanaan
kanker payudara. Berbagai jenis operasi pada kanker payudara memiliki
kerugian dan keuntungan yang berbeda-beda.
1) Classic Radical Mastectomyadalaah operasi pengangkatan seluruh
jaringan payudara beserta tumor, nipple areola komplek, kulit diatas
tumor, otot pektoralis mayor dan minor serta diseksi aksila level I-III.
Operasi ini dilakukan bila ada metastasis jauh.
2) Modified Radical Mastectomy adalah operasi pengangkatan seluruh
jaringan payudara beserta tumor, nipple areola komplek, kulit diatas
tumor dan fasia pectoral serta diseksi aksila level I-II. Operasi ini
dilakukan pada stadium dini dan lokal lanjut.
3) Skin Sparing Mastectomy adalah operasi pengangkatan seluruh
jaringan payudara beserta tumor dan nipple areola komplek dengan
mempertahankan kulit sebanyak mungkin serta diseksi aksila level I-II.
Operasi ini harus disertai rekonstruksi payudara dan dilakukan pada
tumor stadium dini dengan jarak tumor ke kulit jauh (>2 cm) atau
stadium dini yang tidak memenuhi sarat untuk BCT.
4) Nipple Sparing Mastectomy adalah operasi pengangkatan seluruh
jarungan payudara beserta tumor dengan mempertahankan nipple
areola kompleks dan kulit serta diseksi aksila level I-II. Operasi ini
juga harus disertai rekonstruksi payudara dan dilakukan pada tumor
stadium dini dengan ukuran 2cm atau kurang, lokasi periferdan potong
beku sub areola: bebas tumor.
5) Breast Concerving Treatment adalah terapi yang komponennya terdiri
dari lumpektomi atau segmentektomi atau kuadrantektomi dan diseksi
aksila serta radioterapi.
2. Kemoterapi adalah penggunaan obat anti kanker (sitostatika) untuk
menghancurkan sel kanker. Regimen yang sering digunakan mengandung
kombinasi siklofosfamid (C), metotreksat (M), dan 5-FU (F). Oleh karena
doksorubisin merupakan salah satu zat tunggal yang paling aktif, zat ini sering
digunakan dalam kombinasi tersebut.
3. Radioterapi :Mekanisme utama kematian sel karena radiasi adalah kerusakan
DNA dengan gangguan proses replikasi dan menurunkan risiko rekurensi lokal

30
dan berpotensi untuk menurunkan mortalitas jangka panjang penderita kanker
payudara.
4. Terapi hormonal :Adjuvan hormonal terapi diindikasikan hanya pada payudara
yang menunjukkan ekspresi positif dari estrogen reseptor (ER) dana atau
progesterone reseptor (PR) tanpa memandang usia, status menopause, status
kgb aksila maupun ukuran tumor.
5. Terapi Target (Biologi) :Terapi ini ditujukan untuk menghambat proses yang
berperan dalam pertumbuhan sel-sel kanker. Terapi untuk kanker payudara
adalah tra stuzumab (Herceptin), Bevacizumab (Avastin) dan Lapatinib
ditosylate (Tykerb).
g. Komplikasi
Komplikasi utama dari cancer payudara adalah metastase jaringan sekitarnya
dan juga melalui saluran limfe dan pembuluh darah ke organ-organ lain. Tempat
yang sering untuk metastase jauh adalah paru-paru, pleura, tulang dan hati.
Metastase ke tulang kemungkinan mengakibatkan fraktur patologis, nyeri kronik
dan hipercalsemia. Metastase ke paru-paru akan mengalami gangguan ventilasi
pada paru-paru dan metastase ke otak mengalami gangguan persepsi sensori.

31
5. Konsep Medis Ca Ovarium
a. Definisi

Kanker ovarium merupakan kanker ginekologi paling mematikan dengan


tingkat kelangsungan hidup lima tahun paling rendah dibandingkan kanker
ginekologi lainnya di dunia karena diagnosis dini yang sulit dilakukan, sehingga
diagnosis dini bergantung pada pengetahuan tentang profil pasien kanker ovarium
di suatu daerah (Ida Ayu Dhitayoni, 2017).
Kanker ovarium adalah terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak lazim (kanker)
pada satu atau dua bagian indung telur. Indung telur sendiri merupakan salah satu
organ reproduksi yang sangat penting bagi perempuan. Dari organ reproduksi ini
dihasilkan telur atau ovum, yang kelak bila bertemu sperma akan terjadi
pembuahan (kehamilan). Indung telur juga merupakan sumber utama penghasil
hormon reproduksi perempuan, seperti hormon estrogen dan progesteron.Kanker
ovarium adalah kanker atau tumor ganas yang berasal dari ovarium dengan
berbagai tipe histologi, yang dapat mengenai semua umur (Desi Ari Madi Yanti,
2016)
b. Etiologi
Teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium, diantaranya:
1. Hipotesis incessant ovulation, Teori menyatakan bahwa terjadi kerusakan pada
sel-sel epitel ovarium untuk penyembuhan luka pada saat terjadi ovulasi.
Proses penyembuhan sel-sel epitel yang terganggu dapat menimbulkan proses
transformasi menjadi sel-sel tumor.
2. Hipotesis androgen, Androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya
kanker ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel
ovarium mengandung reseptor androgen. Dalam percobaan invitro, androgen

32
dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan sel-sel kanker
ovarium.
c. Gejala klinik
Gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik.
1. Stadium Awal
1) Gangguan haid
2) Konstipasi (pembesaran tumor ovarium menekan rectum)
3) Sering berkemih (tumor menekan vesika urinaria)
4) Nyeri spontan panggul (pembesaran ovarium)
5) Nyeri saat bersenggama (penekanan / peradangan daerah panggul)
6) Melepaskan hormon yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan pada
lapisan rahim, pembesaran payudara atau peningkatan pertumbuhan
rambut)
2. Stadium Lanjut
1) Asites
2) Penyebaran ke omentum (lemak perut)
3) Perut membuncit
4) Kembung dan mual
5) Gangguan nafsu makan
6) Gangguan BAB dan BAK
7) Sesak nafas
8) Dyspepsia
d. Klasifikasi
kanker ovarium dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. tipe epitelial adalah kanker ovarium yang berasal dari epitel permukaan
2. tipe nonepitelial adalah kanker ovarium yang berasal dari germ sel dan sex
cord stromal
e. Diagnosis
1. Operasi
Tindakan operasi dilakukan sangat tergantung dari kondisi kesehatan
pasien dan sejauh mana kanker itu telah menyebar dalam tubuh. Di bawah ini
ada contoh-contoh operasi yang kerap dilakukan untuk menghentikan
penyebaran kanker ovarium, yaitu :

33
a. Unilateral oophorectomy
b. Bilateral oophorectomy
c. Bilateral salpingectomy
d. Unilateral dan bilateral salpingo-oophorectomy
e. Radical hysterectomy
f. Cytoreduction
2. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan perawatan dengan obat-obatan untuk
membunuh sel kanker. Obat-obatan kemoterapi di masukkan langsung ke
jaringan pembuluh darah atau diminum. Kemoterapi ini juga penting untuk
mencegah kanker menyebar ke organ tubuh lainnya. Untuk penderita kanker
ovarium yang menyerang sel epitel, biasanya diperlukan 6 kali kemoterapi
dengan jarak satu kemoterapi dengan kemoterapi yang lainnya yaitu 3-4
minggu.
3. Terapi radiasi
Gunanya untuk membunuh sel penular dengan menggunakn sinar
radiasi tinggi. Walaupun pengobatan ini efektif untuk kebanyakan jenis kanker
tapi jarang digunakan pada pengobatan kanker indung telur.
4. Ultrasonografi (USG)
USG adalah cara pemeriksaan invasif yang lebih murah. Dengan USG
dapat secara tegas dibedakan tumor kistik dengan tumor yang padat. Pada
tumor dengan bagian padat (echogenik) persentase keganasan makin
meningkat. Sebaliknya, pada tumor kistik tanpa ekointernal (anechogenic)
kemungkinan keganasan menurun.
Pemakaian USG transvaginal (transvaginal color flow doppler) dapat
meningkatkan ketajaman diagnosis karena mampu menjabarkan morfologi
tumor ovarium dengan baik. Pemakaian USG transvaginal color Doppler dapat
membedakan tumor ovarium jinak dengan tumor ovarium ganas.
5. Computed Tomography Scanning(CT-Scan)
Pemakaian CT-Scanuntuk diagnosis tumor ovarium juga sangat
bermanfaat. DenganCT-Scandapat diketahui ukuran tumor primer, adanya
metastasis ke hepar dan kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke
dinding perut. CT-Scankurang disenangi karena (1) risiko radiasi, (2) risiko

34
reaksi alergi terhadap zat kontras, (3) kurang tegas dalam membedakan tumor
kistik dengan tumor padat, dan (4) biaya mahal.
6. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Jika dibandingkan dengan CT-Scan, MRI tidak lebih baik dalam hal
diagnostic, menggambarkan penjalaran penyakit, dan menentukan lokasi
tumor di abdomen atau pelvis.
f. Penatalaksanaan
1. Pembedahan Merupakan pilihan utama, luasnya prosedur pembedahan
ditentukan oleh insiden dan seringnya penyebaran ke sebelah yang lain
(bilateral) dan kecenderungan untuk menginvasi korpus uteri.
2. Biopsi Dilakukan di beberapa tempat yaitu omentum, kelenjar getah
lambung,untuk mendukung pembedahan.
3. Second look Laparotomi Untuk memastikan pemasantan secara radioterapi
atau kemoterapi lazim dilakukan laparotomi kedua bahkan sampai ketiga.
4. Kemoterapi Merupakan salah satu terapi yang sudah diakui untuk penanganan
tumor ganas ovarium. Sejumlah obat sitestatika telah digunakan termasuk
agens alkylating seperti itu (cyclophasphamide, chlorambucil) anti metabolic
seperti : Mtx / metrotrex xate dan 5 fluorouracit / antibiotikal (admisin).
5. Penanganan lanjut :
a. Sampai satu tahun setelah penanganan, setiap 2 bulan sekali
b. Sampai 3 bulan setelah penanganan, setiap 4 bulan
c. Sampai 5 tahun penanganan, setiap 6 bulan
d. Seterusnya tiap 1 tahun sekali
g. Komplikasi
a. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Asites
Kanker ovarium dapat bermetastasis dengan invasi langsung ke struktur-
struktur yang berdekatan pada abdomen dan panggul dan
melaluipenyebaran benih tumor melalui cairan peritoneal ke rongga
abdomen danrongga panggul.
2. Efusi Pleura
Dari abdomen, cairan yang mengandung sel-sel ganas melalui saluran
limfe menuju pleura.
b. Komplikasi lain yang dapat disebabkan pengobatan adalah :

35
1. Infertilitas adalah akibat dari pembedahan pada pasien menopause
2. Mual, muntah dan supresi sumsum tulang akibat kemoterapi. Dapat juga
muncul masalah potensial ototoksik, nefroktoksik, neurotoksis
3. Penyakit berulang yang tidak terkontrol dikaitkan dengan obstruksi usus,
asites fistula dan edema ekstremitas bawah.

36
6. Konsep Medis Mioma Uteri

a. Definisi
Mioma uteri merupakan suatu tumor uterus jinak yang tidak berkapsul dan
berbatas tegas,berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya,
pertumbuhan tumor jinak dari sel-sel polos imatur yang namanya diberikan sesuai
dengan lokasinya di uterus (Amrina Octaviana, 2014)
Mioma uteri merupakan suatu tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel
jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Tumor ini merupakan
tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita (Hadibroto, 2005).
b. Etiologi
Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum diketahui secara
pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma
merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari
sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot polos miometrium. Sel-
sel mioma mempunyai abnormalitas kromosom. Faktorfaktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi genetik, adalah beberapa
hormon seperti estrogen, progesteron dan human growth hormon.
Dengan adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi sel di
uterus, sehingga menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis
endometrium,sehingga terjadilah pertumbuhan mioma.Meskipun belum ada
penemuan yang mendasari bahwa estrogenmenyebabkan mioma, tetapi
pertumbuhan mioma berkaitan dengan estrogen.
Mioma terdiri dari reseptor estrogen dalam jumlah yang lebih banyak daripada
otot rahim normal. Mioma pada awalnya diperkirakan merupakan jaringan

37
uniseluler,dengan setiap selnya terdiri glukosa-6-phospate dehydrogenase, yang
bersifatelektrophoresis. Penelitian yang dilakukan oleh Nilbert dan Heim,
mendapatkan hasil bahwa terdapat translokasi ( mutasi genetik )
khususnyakromosom 12 yang berpengaruh pada pertumbuhan mioma. Pengaruh-
pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma:
1. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan
anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama fasesekretorik,
siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium
normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan
sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan
selama kehamilan.
2. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan miomasepanjang
siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakanantagonis natural
dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhanmioma dengan dua
cara yaitu: mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan
jumlah reseptor estrogen pada mioma.
c. Gejala klinik
Gejala dan tanda kasus mioma uteri secara kebetulan pada pemeriksaan pelvik
uteri, penderita tidak mempunyai keluhan dan tidak sadar bahwa mereka
mengandung satu tumor dalam uterus. Gejala-gejala tergantung dari lokasi mioma
uteri (cervikal, intramural, submucous) digolongkan sebagai berikut :
1. Perdarahan tidak normal
Perdarahan ini serng bersifat hipermenore; mekanisme perdarahan ini tidak
diketahui benar, akan tetapi faktor-faktor yang kiranya memegang peranan
dalam hal ini adalah telah meluasnya permukaan endometrium dan gangguan
dalam kontraktibilitas miometrium.
2. Rasa nyeri pada pinggang dan perut bagian bawah
Dapat terjadi jika :

38
a. Mioma menyempitkan kanalis servikalis
b. Mioma submukosum sedang dikeluarkan dari rongga rahim
c. Adanya penyakit adneks, seperti adneksitis, salpingitis, ooforitis
d. Terjadi degenerasi merah
3. Tanda-tanda penekanan
Terdapat tanda-tanda penekanan tergantung dari besar dan lokasi mioma uteri.
Tekanan bisa terjadi pada traktus urinarius, pada usus, dan pada pembuluh-
pembuluh darah. Akibat tekanan terhadap kandung kencing ialah distorsi
dengan gangguan miksi dan terhadap uretes bisa menyebabkan hidro uretre
4. Infertilitas dan abortus
Infertilitas bisa terajdi jika mioma intramural menutup atau menekan pors
interstisialis tubae; mioma submukosum memudahkan terjadinya abortus.
d. Klasifikasi
Berdasarkan letaknya mioma uteri diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Mioma Uteri Subserosum
Lokasi tumor di sub serosa korpus uteri. Dapat hanya sebagai tonjolan
saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus
melalui tangkai. Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam
ligamentum latum, dan disebut sebagai mioma intraligamen. Mioma yang
cukup besar akan mengisi rongga peritoneum sebagai suatu massa.
Perlekatan dengan ementum di sekitarnya menyebabkan sisten peredaran
darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin
mengecil dan terputus, sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa
tumor yang bebas dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal
sebagai mioma jenis parasitik.
2. Mioma Uteri Intramural
Disebut juga sebagai mioma intraepitalial, biasanya multiple. Apabila
masih kecil, tidak merubah bentuk uterus, tapi bila besar akan
menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan berubah
bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti
kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah
bawah.
3. Mioma Uteri Submukosum

39
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus/endometrium dan
tumbuh kearah kavun uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk dan besar kavum uteri. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka
tumor dapat keluar dan masuk ke dalam vagina yang disebut mioma
geburt. Mioma submukosum walaupun hanya kecil selalu memberikan
keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit dihentikan,
sehinggasebagai terapinya dilakukan histerektomi.
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,
faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat diduga
dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur,
gerakan bebas, tidak sakit.
3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat
perdarahan uterus yang berlebihan dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama
untuk mencari kadar Hemoglobin. Pemeriksaaan laboratorium lain
disesuaikan dengan keluhan pasien.
2) Imaging
a) Pemeriksaaan dengan USG ( Ultrasonografi ) transabdominal dan
transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.
Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang
kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui
ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan
gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur
maupun pembesaran uterus.
b) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri yang
tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil.

40
c) Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa,
jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat
diangkat.
d) MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) sangat akurat dalam
menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi jarang
diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas
tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat
mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,
termasuk mioma (Kostania, 2009)
f. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode:
1. Terapi medisinal (hormonal)
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormon (GnRH)agonis
memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang
ditimbulkan oleh mioma uteri. Pemberian GnRH agonis bertujuan untuk
mengurangi ukuran mioma dengan jalan mengurangi produksi estrogen
dari ovarium. Dari suatu penelitian multisenter didapati data pada
pemberian GnRH agonis selama 6 bulan pada pasien dengan mioma uteri
didapati adanya pengurangan volume mioma sebesar 44%.
Efek maksimal pemberian GnRH agonis baru terlihat setelah 3 bulan.
Pada 3 bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan volume mioma secara
bermakna.Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan
pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan
memudahkan tindakan pembedahan.
Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat
progesteron akan mengurangi gejala perdarahan uterus yang abnormal
namun tidak dapat mengurangi ukuran dari mioma.
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala. Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG)dan American Society for Reproductive Medicine
(ASRM)indikasi pembedahan pada pasien dengan mioma uteri adalah :

41
a. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi
konservatif.
b. Sangkaan adanya keganasan.
c. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
d. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena
oklusi tuba.
e. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu
f. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
g. Anemia akibat perdarahan (Hadibroto, 2005)
g. Komplikasi
Komplikasi merupakan suatu kondisi yang mempersulit atau reaksi negatif yang
terjadi pada penderita akibat mioma uteri.
1. Degenerasi Ganas
Mioma uteri yang menjadi Leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32 – 0,6
% dari seluruh mioma, serta merupakan 50 – 75 % dari seluruh sarkoma
uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology
uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma
uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam
menopause.
2. Torsi (Putaran Tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul
gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian
terjadilah syndrome abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan gangguan
akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan dimana
terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum. Sarang mioma dapat
mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi
darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang menyebabkan perdarahan
berupa metroragia disertai leukore dan gangguan-gangguan yang disebabkan
oleh infeksi dari uterus sendiri.

42
7. Konsep Medis Kondiloma Akuminata
a. Definisi
Kondiloma akuminata (KA) adalah vegetasi oleh Human Papilloma Virus
(HPV) tipe tertentu, bertangkai dengan permukaannya berjonjot. Penyakit ini
tergolong infeksi menular seksual, kebanyakan infeksi HPV di daerah anogenital
didapatkan melalui hubungan seksual (Stella R. Nelwan, 2012).
b. Etiologi
Penyebab kondiloma akuminata adalah HPV yang merupakan virus deoxy
nucleic acid(DNA) kecil dari famili pavoviridae. Infeksi HPV pada genital ini
terutama ditularkan melalui kontak seksual.
c. Gejala klinik
1. Bentuk akuminata
Bentuk ini memiliki tampilan seperti bunga kol dengan permukaan
yang berjonjot-jonjot seperti jari. Bentuk ini terutama dijumpai pada daerah
lipatan dan lembab.
2. Bentuk papul
Bentuk ini memiliki tampilan papul berbentuk kubah, berwarna seperti
daging, dan berukuran diameter 1-4 mm dengan permukaan yang halus dan
licin, multipel dan tersebar secara diskret. Lesi ini biasanya didapati didaerah
dengan keratinisasi sempurna, seperti batang penis, vulva bagian lateral,
daerah perianal, dan perineum.
3. Bentuk keratotik
Bentuk ini memiliki tampilan seperti krusta tebal, dapat tampak
seperti kutil biasa atau keratosis seboroik.
4. Bentuk datar
Bentuk ini memiliki tampilan makula atau sedikit meninggi atau dapat
tidak tampak dengan mata telanjang (infeksi subklinis). Infeksi subklinis ini
diduga terjadi oleh karena respon imun host yang baik.
d. Diagnosis
Dalam beberapa kasus diagnosis kondiloma akuminata sulit ditetapkan, karena
langka dan memiliki gambaran klinis yang berbeda-beda.
Adapun cara diagnosis yang menjadi poin kunci sebagai berikut:
1. Periksa dengan cahaya yang baik, sebuah lensa yang mungkin berguna
untuk lesi kecil.

43
2. selalu memeriksa daerah perianal dan melakukan pemeriksaan spekulum
untuk membedakan serviks atau lesi pada vagina.
3. Biopsi tidak diperlukan untuk kutil anogenital yang khas, biopsi harus
selalu dilakukan jika ada kecurigaan pra-kanker atau kanker, dan dapat
berguna untuk diferensial diagnosis.
4. Tidak semua lesi papular disebabkan oleh HPV. Selalu
mempertimbangkan varian yang normal.
e. Penatalaksanaan
Pemeriksaan untuk KA adalah dengan tes asam asetat / acetowhite, kolposkopi
dan pemeriksaan histopatologi. Langkah penatalaksanaan KA harus dilaksanakan
secara lengkap mulai dari anamnesis faktor risiko sampai dengan tindakan
pengobatan yang komprehensif.
f. Komplikasi
1. Kanker serviks
2. Kanker genital lain .Selain menyebabkan kanker serviks, KA juga dapat
menyebabkan kanker genital lainnya seperti kanker vulva, anus
3. nfeksi HIV, Seseorang dengan riwayat KA lebih berisiko terinfeksi HIV
4. selama kehamilan dan persalinan,KA selama masa kehamilan, dapat terus
berkembang membesar di daerah dinding vagina dan menyebabkan sulitnya
proses persalinan. Selain itu, kondisi KA dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh, sehingga terjadi transmisi penularan KA pada janin secara transvertikal,
dan janin dapat menderita KA pada tenggorokannya .

44
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Endometriosis yaitu suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih
berfungsi berada di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar dan stroma,
terdapat di dalam endometriumnataupun di luar uterus.
Infertilitas merupakan ketidakmampuan untuk mengandung sampai melahirkan bayi
hidup setelah satu tahun melakukan hubungan seksual yang teratur dan tidak
menggunakan alat kontrasepsi apapun/setelah memutuskan untuk mempunyai anak.
Kanker serviks adalah kanker primer dari serviks yang berasal dari metaplasia epitel
di daerah sambungan skuamo kolumnar (SSK) yaitu daerah peralihan mukosa vagina
dan mukosa kanalis servikalis.
Kanker payudara adalah pertumbuhan sel yang abnormal pada sel-sel jaringan
payudara. Payudara wanita terdiri dari lobulus (kelenjar susu), duktus (saluran susu),
lemak dan jaringan ikat, pembuluh darah dan limfe.
Kanker ovarium adalah terjadinya pertumbuhan sel-sel tidak lazim (kanker) pada satu
atau dua bagian indung telur. Indung telur sendiri merupakan salah satu organ reproduksi
yang sangat penting bagi perempuan.
Mioma uteri merupakan suatu tumor uterus jinak yang tidak berkapsul dan berbatas
tegas,berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, pertumbuhan tumor
jinak dari sel-sel polos imatur yang namanya diberikan sesuai dengan lokasinya di
uterus.
Kondiloma akuminata (KA) adalah vegetasi oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe
tertentu, bertangkai dengan permukaannya berjonjot. Penyakit ini tergolong infeksi
menular seksual, kebanyakan infeksi HPV di daerah anogenital didapatkan melalui
hubungan seksual.
B. Saran
Semoga materi ini dapat menjadi pembejaran bagi mahasiswa dan perawat untuk
menambah wawasan atau pengetahuan dalam mengenali penyakit pada sistem
reproduksi.

45
Daftar Pustaka

Amrina Octaviana, R. P. (2014). usia dan paritas dengan kejadian mioma uteri. kesehatan.

Anastasia Oktarina, A. A. (2014). Faktor-faktor yang Memengaruhi Infertilitas pada Wanita.


kesehatan .

Desi Ari Madi Yanti, A. S. (2016). faktor determinat terjadinya kanker ovarium di rumah
sakit#. kesehatan.

Eva Sulistiowati, A. M. (2014). Pengetahuan Tentang Faktor Resiko,Prilaku dan Dteksi Dini
Kanker Serviks dengan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Pada Wanita di
Kecamatan Bogor Tengah,Kota Bogor. kesehatan .

Hadibroto, B. R. (2005). Mioma Uteri. kesehatan.

Ida Ayu Dhitayoni, I. N. (2017). profil pasien kanker ovarium di rumah sakit umum pusat.
kesehatan .

Indri Seta Septadina, H. K. (2014). Palembang, Upaya Pencegahan Kanker Serviks Melalui
peningkatan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Wanita dan Pemeriksaan Metode
IVA (Inveksi Visual Asam Asetat)Di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten. kesehatan.

Israel A. Rondonuwu, H. H. (2016). profil kanker payudara. kesehatan.

Kostania, G. (2009). Hubungan Umur Penderita dengan Mioma Uteri. kesehatan.

Saraswati, A. (2015). Infertiliti. kesehatan .

Sinta, N. (2010). Kanker Serviks dan Infeksi Human Pappilomavirus (HPV). Jakarta.

Stella R. Nelwan, N. J. (2012). profil kondiloma akuminata di poliklinik kulit dan .


kesehatan.

Suparman, E. (2012). Penatalaksanaan Endometriosis. biomedik.

46

Anda mungkin juga menyukai