Anda di halaman 1dari 17

Pendahuluan

Dalam tinjauan pustaka ini akan membahas seorang remaja perempuan berusia 16 tahun datang
ke IGD RS dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Keluhan sesak didahului batuk,
mudah lelah, dan sering berdebar-debar sejak 1 bulan yang lalu. Sesak nafas meningkat setelah
aktivitas fisik dan membaik setelah pasien berisitirahat atau tidur dengan 2-3 bantal kepala.
Keluhan-keluhan tersebut tidak disertai demam. Pasien lahir spontan ditolong bidan, langsung
menangis dan tidak biru saat lahir. Tidak ada riwayat batuk-pilek, berat badan yang sulit naik,
ataupun menyusui yang hanya sebentar-sebentar. Namun, saat kecil pasien sering sakit
tenggorokan. Dari kasus tersebut akan dibahas secara mendetail sehingga diharapkan dapat
menambah pengetahuan penulis maupun pembaca tentang demam rematik jantung yang
menjadi salah satu topik perkuliahan di blok 19.

Penyakit jantung reumatik adalah sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik. Penyakit jantung reumatik
(PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik. Katup-katup jantung
tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan
yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus tipe A (contoh: Streptococcus
pyogenes), yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 % pasien dengan
demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal
jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada
pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium,
aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi penyebab stenosis
katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.

Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau dalam keadaan
tertentu dengan penolong pasien. Berbeda dengan wawancara biasa, anamnesis dilakukan
dengan cara yang khas, berdasarkan pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar
pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang
dikeluhkan oleh pasien.

1
Tujuan melakukan anamnesis adalah mengembangkan pemahaman mengenai masalah
medis pasien dan membuat diagnosis banding. Walaupun telah banyak kemajuan dalam
pemeriksaan diagnostik modern, namun anamnesis klinis masih sangat dipelukan untuk
mendapatkan diagnosis yang akurat. Akan tetapi, proses ini juga memungkinkan dokter untuk
mengenal pasiennya serta memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan latar
belakang sosial pasien.

Seorang dokter biasanya akan berusaha memperoleh informasi:


1. Nama, usia, tinggi, berat badan.
2. Masalah atau keluhan utama pasien dan riwayatnya.
3. Riwayat kesehatan pada masa lalu (seperti penyakit berat, operasi/pembedahan, atau
penyakit yang tengah diderita oleh pasien)
4. Kelainan pada organ.
5. Riwayat keluarga.
6. Riwayat penyakit pada masa kanak-kanak.
7. Status social-ekonomi, pekerjaan, penggunaan obat, tembakau, alokohol.
8. Penggunaan obat rutin.

Pada kasus yang kita peroleh, kita dapat menentukan anamnesis sebagai berikut :

 KU : Sesak napas sejak 2 hari yang lalu

 RPS : Batuk, mudah lelah, sering berdebar, sesak meningkat saat beraktivitas

 RPD : Sering sakit tenggorokan sejak kecil

Pemeriksaan fisik

 Inspeksi
1. Keadaan umum anak

2. Melihat ictus cordis pada dinding dada

3. Memperhatikan gerakan-gerakan lain pada dinding dada

2
4. Pada anak dengan penyakit DR ditemukan sesak napas, batuk-batuk, pembengkakan
pada ektremitas tersering bagian bawah.

 Perkusi
1. Mengetahui batas-batas jantung

2. Bila ada kardiomegali maka batas jantung akan semakin luas

 Auskultasi
1. Mendengarkan bunyi-bunyi jantung

2. Pada kasus ada gangguan pada katub mitral dan aorta sehingga bunyi jantung S1 dan
S2 terganggu

Pemeriksaan penunjang

1. Antistreptococcal antibodi
Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman
tersebut, dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA se B. Terbentuknya antibodi ini
sangat dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada
orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan titer ASTO memiliki sensitivitas
80-85%.
Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak dikatakan
positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%).
Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut demam
rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di tenggorokan.

2. Pemeriksaan Imaging
a. Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali dan edema paru
yang merupakan gejala gagal jantung.
b. Doppler-echocardiogram
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya disfungsi
ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat ditemukan saat fase
akut, yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa minggu sampai bulan.
Pasien dengan carditis sedang sampai berat mengalami mitral dan atau aorta
regurgitasi yang menetap.

3
Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk
melihat progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan
dilakukan intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi
dari commisurae dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup mitral
dapat menunjukkan adanya kalsifikasi.

3. EKG
Pada panyakit jantung rematik akut :
- sinus takikardia dapat diperoleh.
- AV block derajat I dapat diperoleh pada beberapa pasien
- didapatkan gambaran PR interval memanjang. AV block derajat I
tidak spesifik sehingga tidak digunakan untuk mendiagnosis
penyakit jantung rematik. Jika didapatkan AV block tidak
berhubungan dengan adanya penyakit jantung rematik yang kronis.
- AV block derajat II dan III juga dapat didapatkan pada penyakit jantung
rematik, block ini biasanya mengalami resolusi saat proses rematik berhenti.
- Pasien dengan penyakit jantung rematik juga dapat terjadi atrial flutter atau
atrial fibrilasi yang disebabkan kelainan katup mitral yang kronis dan
dilatasi atrium.1

Working diagnosa

Penyakit Jantung Rematik

Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease
(RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa
penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat
adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR).

Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut,
kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group
A pada saluran pernafasan bagian atas. Demam reumatik akut ditandai oleh demam
berkepanjangan, jantung berdebar keras, kadang cepat lelah. Puncak insiden demam rematik
terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia
4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun.

4
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat,
Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh
kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami
demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan
penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurah terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman
ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya
daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut
sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran.2

Differential diagnosa

DRA (Demam Reumatik akut) adalah penyakit usia muda, terutama anak anak
sebelum masa pubertas. Usia tersering DRAadalah 6-15 tahun dimana pada hampir 50% kasus
ditemukan antistreptolisin O lebih dari 200 U Todd, yang menunjukkan seringnya infeksi
berulang pada rentang umur ini. Insidensi jarang pada anak dibawah 5 tahun ataupun orang
dewasa diatas 35 tahun. Sering nya infeksi berulang pada masa remaja dan dewasa muda serta
efek kumulatif dari infeksi berulang ini diperkirakan menyebabkan penyakit jantung rematik.3
Pada banyak populasi kejadian DRA dan PJR sering pada wanita dengan alasan yang beraneka
ragam, antara lain peningkatan paparan terhadap streptokokus grup A melaui mengasuh anak,
ataupun kurang nya akses terhadap terapi pencegahan terhadap wanita pada kebudayaan
tertentu.3
DRA memiliki tampilan klinis yang sangat bervariasi dan tidak ada pemeriksaan
yang spesifik, sedangkan penegakkan diagnosa yang tepat sangat penting, bukan hanya untuk
terapi tetapi juga untuk pemberian profilaksis untuk pencegahan infeksi berikutnya.3 Onset dari
DRA biasanya disertai dengan demam akut 2-4 minggu setelah faringitis.Diagnosa utamanya
klinis dan berdasarkan temuan dari beberapa gejala yang mulanya ditetapkan didalam kriteria
Jones.3 Diagnosis Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria jones dan salah satu kriteria
mayor adalah karditis yang menunjukkan adanya keterlibatan katup jantung dan dapat
diperkirakan secara klinis dengan terdapatnya murmur pada pemeriksaan auskultasi, namun
seringkali klinisi yang berpengalamanpun tidak mendengar adanya murmur padahal sudah
terdapat keterlibatan katup pada pasien tersebut. Keterlibatan katup seperti ini dinamakan
karditis/ valvulitis subklinis.
Saat ini, diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones, namun dalam
praktek sehari-hari tidak mudah untuk menerapkankan hal tersebut. 8 Untuk Diagnosa

5
diperlukan : 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dan bukti infeksi oleh
sterptokokus grup A. Kecuali bila ada chorea atau karditis maka bukti infeksi sebelumnya tidak
diperlukan.4

Epidemiologi
Demam rematik dan penyakit jantung reumatik masih merupakan masalah kesehatan
yang penting di negara sedang berkembang. Di negara yang sudah maju penyakit ini sudah
bukan merupakan masalah kesehatan yang penting, sekalipun demikian, kadang timbul
epidemi lokal yang sulit dipastikan sebabnya. Puncak insiden demam rematik terdapat pada
kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan
penduduk di atas 50 tahun. Angka kejadian penyakit ini sangat sulit diketahui dengan pasti,
karena penyakit ini bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, di samping tidak adanya
keseragaman terminologi serta kriteria diagnostik.

Di negara yang sudah maju, angka kejadian demam rematik baik berupa serangan
pertama maupun serangan ulangan, telah menurun dengan tajam dalam 30-40 taun terakhir ini.
Beratnya penyakit serta angka kematian juga telah berubah. Perbaikan keadaan sosial ekonomi,
higiene, penggunaan obat anti streptokok, serta kemungkinan perubahan yang terjadi pada
kuman streptokoknya sendiri telah menurunkan insiedens demam rematik. Di negara yang
mencatat demam penyakit jantung reumatik, pada umumnya dilaporkan 10-30 kasus baru
setiap 10.000 penduduk setiap tahun.

Etiologi

Etiologi atau faktor predisposisi timbulnay demam rematik dan penyakit jantung
rematik dapat dibagi menjadi faktor penjamu dan faktor lingkungan.

Faktor penjamu mencakup :

1. Faktor genetik
Banyak demam reumatik terdapat apda satu keluarga atau pada sadura kembar.
Jenis HLA tertentu juga rentan terhadap demam reumatik.
2. Jenis kelamin

6
Dahulu disangka anak perempuan lebih sering terkena demam rematik daripada
anak laki-laki, namun hal tersebut tidak benar.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukan bahwa serangan pertama maupun serangan
ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam daripada
orang kulit putih. Tetapi data tersebut dikaji dan dinilai lebih hatiphati karena
mungkin banyak faktor dari lingkungan yg berbeda pada kedua golongan ikut
berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur merupakan faktor terpenting pada timbulnya demam reumatik. Penyakit ini
paling sering mengenai anak berumur 5-15 tahun, dengan puncak sekitar umur 8
tahun, tidak biasa ditemukan pada anak berumur antara 3-5 tahun, dan sangat jarang
sebelum 3 tahun atau setelah 20 tahun

Faktor lingkungan mencakup :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk.


Merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya
demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara yang sudah maju sudah jelas
menurun sebeum era antibiotik. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang
buruk adalah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang, pendapatan yang rendah, dll.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmpolit. Penyakit ini dahulu dianggap
terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi ternyata daerah tropis pun
mempunyai angka kejadian yang tinggi. Di dataran tinggi angka kejadiannya lebih
tinggi daripada di dataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan angka kejadian infeksi
saluran napas bagian atas meningkat sehingga angka kejadian demam rematik juga
meningkat.2

Patofisiologi

7
Demam reumatik disebabkan oleh infeksi kuman streptokokus β-hemolitikus
grup A. Penyakit ini biasanya dimulai dengann gejala-gejala infeksi tenggorokan lebih
dahulu, kemudian disusul dengan masa laten selama 1-3 minggu. Pada fase selanjutnya,
demam reumatik mulai menyerang organ-organ target sepeti jantung, sendi-sendi,
membran basal glomerulus, sistem saraf pusat, jaringan subkutan dan
sebagainya.Semula diduga bahwa salah satu mekanisme cedera jaringan pada proses
demam reumatik adalah invasi langsung kuman streptokokus. Hasil yang negatif pada
isolasi organisme dari jaringan membawa peneliti pada rumusan bahwa toksin
bakterilah yang bekerja pada jaringan.5

Apabila terjadi infeksi kuman streptokokus pada jaringan tubuh, maka sel-sel
kuman streptokokus akan mengeluarkan komponen-komponen yang bersifat antigenik
pula, sepeti hialuronidase, streptodornase, streptokinase, proteinase, sterptolisin O,
toksin eritrogenik, dan sebagainya. Dan karena komponen-komponen yang dikeluarkan
oleh sel streptokokus itu bersifat antigenik, maka tubuh pun akan membentuk banyak
antibodi untuk menetralisirnya. Disamping itu, khusus mengenai streptolisin titer O,
ternyata zat ini sewaktu-waktu dapat memecah sel darah merah dan menyebabkan
kemolisis. Itulah sebabnya, mengapa jenis streptokokus ini dimasukkan pula ke dalam
kelas β-hemolitik.

Infeksi demam reumatik sering terjadi secara berulang dan dikenal sebagai
reaktivasi rema. Walaupun penyakit ini merupakan suatu inflamasi sistemik, tetapi
penyakit jantung reumatik merupakan satu-satunya komplikasi demam reumatik yang
paling permanen sifatnya dan merugikan masa depan seseorang. Tampaknya
komplikasi ini ditentukan oleh beratnya infeksi demam reumatik yang pertama kali dan
seringnya terjadi reaktibasi rema di kemudian hari. Itu sebabnya, tidak semua demam
reumatik akan berkembang menjadi penyakit jantung. Sebaliknya, tidak semua
penyakit jantung reumatik mempunyai riwayat demam reumatik yang jelas
sebelumnya. Hal ini mungkin karena gejala-gejala demam reumatik pada fase dini
memang tak mudah dikenali, atau demam reumatik memang tak jarang hanya bersifat
silent attack, tanpa disertai gejala-gejala klinis yang nyata.6

Demam reumatik biasanya menyerang jaringan otot miokard, endokard dan


perikard, terutama pada katup mitral dan katup aorta.Meskipun karditis pada DR dapat
mengenai perikardium, miokardium dan endokardium, tetapi kelainan yang menetap

8
hanya ditemukan pada enokardium terutama katup. Katup yang paling sering terkena
adalah katup mitral dan aorta. Kelainan pada katup trikuspid santa jarang disebabkan
oleh infeksi rema, sedangkan kelainan pada tatup pulmonal biasanya bersifat kongenital
dan sangat jarang pula disebabkan oleh infeksi rema. Kelainan dapat berupa
insufusiensi, tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa stenosis.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa streptolisin bersifat toksik pada sel
miokard yang dibiakkan in vitro. Pemeriksaan imunologik menunjukkan antibodi yang
bereaksi dengan M protein dari mikroba penyebab. Antigen streptokokus tersebut
memiliki epitop yang sama dengan jaringan miokard jantung manusia, sehingga
antibodi terhadap streptokokus akhirnya akan akan menyerang jantung (jaringan,
katup).

Secara histopatologis, infeksi demam reumatik ditandai dengan adanya proses


Aschoff bodies yang khas, walaupun secara klinis tidak ada tanda-tanda reaktivasi rema
yang jelas. Daun katup dan korda tendinea akan mengalami edema, proses fibrosis,
penebalan, vegetasi-vegetasi dan mungkin kalsifikasi. Proses-proses ini menunjukkan
bahwa demam reumatik memang merupakan suatu penyakit autonium, dimana reaksi
silang yang terjadi antara streptokokus dengan jaringan tubuh tertentu dapat
menyebabkan kerusakan jaringan secara imunulogik.

Akan tetapi, peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya
diterima. Adanya antibodi bereaksi silang yng serupa pada serum pasien tanpa demam
reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data mutakhir menunjuk pada
sitotoksisitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatif untuk cedera
jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan korditis
reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan
bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut.7

Manistefasi klinis
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik atau penyakit jantung reumatik dapat dibagi
dalam 4 stadium.

1) Stadium I
Berupa ISPA oleh kuman beta- Streptococcus hemolyticus group A. Seperti infeksi
saluran napas pada umumnya, gejala yang terjadi termasuk demam, batuk, disfagia,

9
tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada
pemeriksaan fisik sering didiapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda
peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular sering kali membesar.
Infeksi ini biasanya berlangsung -4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Para peneliti mencatat 50-90% riwayat ISPA pada pasien demam
reumatik yang baisanya terjadi 1-14 hari sebelum manifestasi pertama demam
reumatik.
2) Stadium II
Disebut juga periode laten, adalah masa antara infeksi streptokok dengan permulaan
gejala demam reumatik. Biasana periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea
yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
3) Stadium III
Adalah fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinis
demam reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam kriteria
major dan minor.
4) Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup
tidak menunjukkan gejala apa-apa.

Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup
jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase
ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-
waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.2

Diagnosis kriteria Jones

Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama kali
diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones.

Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya
merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan
selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan
menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria
mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi

10
streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa
didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu
diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea
Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul
setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthokokus.

Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa over-diagnosis
maupun underdiagnosis.8

Kriteria Mayor

1) Karditis
- Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena
merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita
pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit
jantung rematik.
- Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah
satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)
kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif.
- Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul
pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif
biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada karditis rematik
dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal
diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising
Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri.
2) Poliartritis
- Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas,
dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik
paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya
berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian
berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada
beberapa sendi pada waktu yang sama, sementara tanda-tanda radang mereda pada
satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat.

11
- Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak
dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor.Selain itu, agar dapat digunakan
sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua
kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung
oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi.
3) Korea
- Secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya
mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan
otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah
usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea
Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting
sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak
ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang
muncul secara lambat, sehingga tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak
ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul.
4) Eritema marginatum
- Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak
sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal,
berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal.
Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama
timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah
ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap,
berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat
dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam
rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.
5) Nodulus subkutan
- Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah
ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa
massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya,
dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada
umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.

Kriteria Minor

12
1) Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor
apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif
yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif
yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit
dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.

2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau
jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada
anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila
poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.

3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C,


terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam
derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak
spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini
tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.

4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C
reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi.
Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali
jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat
bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif.
Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan
pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat
meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah,
maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan.

5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal


sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam
rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu,
interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya
karditis rematik.9

Tabel 1. Kriteria Jones9

13
Kriteria Mayor Kriteria Minor

Karditis Klinis :

Poliartritis migrans Riwayat demam rematik atau penyakit jantung


rematik sebelumnya
Korea sydenham
Artralgia
Eritema marginatum
Demam
Nodul subkutan
Laboratorium :

Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C


reaktif, laju endap darah, leukositosis)

Interval P-R yang memanjang

Ditambah

Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus

tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO

yang meningkat.

Penatalaksanaan

Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan pengeluaran air,
khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan
diuterik loop dan thiazide.
Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal
dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat
menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini menyebabkan
hiperurisemia.
Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon).
Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik
ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju filtrasi
glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude

14
bersifat sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat
menyebabkan intoleransi karbohidrat.
Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan penggunaan
ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin meningkatkan kontraksi
miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi jantung, hingga
volume pukulan, volume menit dan dieresis diperbesar serta jantung yang membesar menjadi
mengecil. Digoksin tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena
curah jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut
jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan menghilangkan
mekanisme kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan gejala.11

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya
adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung),
pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung,
dan infark (kematian sel jantung).

Progonosis

Demam reumatik terutama sekali bergantung kepada terjadinya dan menetapnya


kelainan pada jantung. Pada penderita demam reuamtik dengan carditis (65%), lima puluh
persen meninggal dalam jangka waktu 20 tahun, sebagian besar dalam 10 tahun pertama.
Terutama pada penderita dengan congestive heart failure atau cardiomegali prognosos
memburuk, 70-80% meninggal dalam jangka waktu 10 tahun

Pada penderita demam reumatik tanpa carditis (35%), dalam 20 tahun tdak ada yang
meninggal tetapi menderita penyakit jantung remaik 44%. Penyelidikan lain menemukan
hanya 6% penyakit jantung reumatik pada follow-up 10 tahun penderita demam reumatik tanpa
carditis.2

Kesimpulan

Hipotesis diterima, bahwa anak perempuan tersebut menderita Penyakit Jantung


Reumatik

15
DAFTAR PUSTAKA

1) Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I. Penyakit Katup Jantung dalam Lecture


Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga; 2005.
2) Imanuel S, Sastroasmoro S, Firmansyah A. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1991. h. 599-607.
3) Turi, B.S.R.Z.G., Rheumatic Fever, in Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular
Medicine, M.P.L. Eugene Braunwald, MD Robert O. Bonow, MD, Editor. 2007, Saunders
Elsevier: Philadelphia
4) WHO. Rhematic fever and rheumatic heart disease.-report of a WHO expert Consultation
[Online]. [Diunduh tanggal 14 Februari 2015]. Tersedia dari:
http://www.who.int/cardiovaskular_diseases/resources/trs 923/en/index.html.
5) Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Edisi ke-7. Jakarta:

16
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h. 464-6.
6) Wahab, Samik A. Demam Reumatik Akut. Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak IDAI
Jakarta. Jakarta: Binarupa Aksara;2004.h. 279-316
7) Baraas, Faisal. Demam Reumatik. Dalam : Kardiologi Klinis dalam Praktek Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Jantung pada Anak FKUI. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2005. h.215-22.
8) Baratawidjaja, Karnen G. Autoimunitas. Dalam: Imunologi Dasar. Edisi ke-6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;2004.h.218-48.
9) Halstead S, Arbovirus. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi ke-15. Jakarta :
EGC;2000.h.1132-5.
10) Waspadji, Sarwono, Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2003.
11) Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK universitas Semarang. Kumpulan kuliah
Farmakologi. Jakarta: EGC;2008.h.123-5.

17

Anda mungkin juga menyukai