Anda di halaman 1dari 15

Membentuk Kepribadian Anak

OPINI | 20 May 2012 | 08:51 Dibaca: 328 Komentar: 2 Nihil

I. MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK

Dalam bahasa Jawa ada pepatah, kacang mangsa tinggala lanjaran. Identik dengan
pribahasa Indonesia, air cucuran atap jatuhnya kepelimbahan juga. Artinya, prilaku atau tindakan
anak tidak jauh menyimpang dari kebiasaan orang tuanya bertindak. Tidak salah, apabila orang
tua diperlakukan sebagai guru pertama sebelum mengenal guru disekolah. Oleh karenanya baik
dan buruknya perilaku anak diluar rumah, sering membawa-bawa nama dan citra orang tuanya.
Masyarakat telah mengambil asumsi bahwa anak merupakan cermin orang tua.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa setiap anak membawa karakter dan sifatnya
sendiri sejak didalam kandungan. Pendapat ini seolah-olah mengenyampingkan pengaruh dari
luar walaupun itu berasal dari orang tua. Anak sudah membawa kecerdasan sendiri. Anak tidak
perlu diajari. Orang tua tinggal menanti, sifat dan watak anak sudah terpatri. Benarkah pendapat
ini?.

John Lock berpendapat lain bahkan bersebrangan dengan pendapat diatas. Dalam teori
tabularasanya, John Lock mengatakan bahwa anak diibaratkan kertas putih tak berwarna, kitalah
(orang tua) yang memberi goresan dan lukisan sehingga tergambar sesutu seperti yang kita
harapkan. Walaupunpendapat John Lock itu tidak seluruhnya benar akan tetapi setidaknya kita
perlu mengantisipasi pengaruh luar pada anak agar tidak merubah goresan yang sudah kita
persiapkan itu. Pendapat John Lock agaknya banyak dianut masyarakat dengan alasan adanya
kecenderungan anak meniru sikap orang tuanya dalam beberapa hal. Anak harus diajari, anak
harus dikendalikan, anak harus diawasi dan anak harus diarahkan. Ringkasnya, anak tidak boleh
dibiarkan. Orang tua mempunyai tugas memberikan gorsan pada kertas putih tak berwarna
(anak) sebagaimana pendapat John Lock ai atas. Garesan-goresan itu hendaknya yang sesuai
dengan norma, agama, adat yang dinilai baik bagi masyarakat. Goresan-goresan itu diarahkan
untuk membentuk watak dan kepribadian yang baik untuk anak. Adapun termasuk didalamnya
membentuk kepribadian anak itu adalah mengajarkan atau membentuk anak agar bersifat baik
dimasyarakat maupun dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa.

Dengan kata lain membentuk kepribadian anak adalah membentuk anak berakhlak yang
baik. Nabi Muhammad saw juga menjadikan akhlak terpuji sebagai kesempurnaan iman,
sebagaimana sabdanya: “orang mukmin yang paling sempurna keimananya adalah yang paling
baik akhlaknya”.

1. MENGAJARKAN KEJUJURAN

Kejujuran merupakan sifat yang terpuji. Kejujuran adalah sifat yang tidak dapat
datang sendiri. Kejujuran, sufat yang harus dilatihkan setiap hari. Dan kejujuran hanya ada
didalam hati. Menanamkan kejujuran pada anak harus dilakukan sekalipun sering menemui
banyak rintangan. Penanaman sikap ini bukan hal yang mudah karena orang tua tidak cukup
hanya memberi seabrek teori untuk dihafalkan. Orang tua diharapkan dapat memberi contoh
perilaku jujur dalam setiap hal di hadapan anak. Sekilas tampak mudah namun sebenarnya
memerlukan pengorbanan yang besar untuk memberi contoh perilaku seperti ini.
Mengajarkan anak untuk tidak bohong berarti orang tua tudak boleh bohong. Mengajarkan
kejujuran pada hakekatnya harus melatih anak untuk bersukap jujur dalam setiap langkah.

Tidak salah apabila orangtua memformat sedemikian rupa sehingga anak mau
mengedepankan kejujuran. Agar menjadi anak yang jujur, orang tua tidak bisa tinggal diam,.
Anak perlu diberi cerita-cerita tentang mulianya sifat jujur baik didepan masyarakat maupun
dihadapan Allah SWT. Tanamkan pada anak bahwa bersikap jujur akhirnya menang dan
bohong akan ada pada pihak yang kalah. Siapa yang jujur akan disayang Tuhan. Pengertian
seperti inilah yang mestinya disampaikan kepada anak. Tanamkan pemahaman bahwa
tidakada ruang untuk berlaku bohong. Di tempat manapun dan kapanpun Tuhan melihat-Nya.
Berniat tidak jujur sedikit pun Tuhan mengerti. Oleh karenanya kita harus berlaku jujur
karena Tuhan selalu mengawasi. Siapa jujur akan makmur. Siapa jujur akan banyak saudara
(siapa jujur akeh sedulur: Jw). Tidak jujur, akan hancur. Untuk itu kalimat-kalimat seperti
diatas terus dikumandangkan agar anak benar-benar mau menerapkannya. Jangan bosan
menyampaikankebaikan sifat jujur pada anak.

Kejujuran harus diberikan kepada anak karena sifat jujur akan menutup sikap yang
tidak semaunya sendiri. Nabi Muhammad SAW menasihatkan: “Hendaknya kamu berlaku
benar (jujur) karena jujur itu menunjukkan (menuntun) kepada perbuatan baik, dan perbuatan
baik itu menuntunkearah surga”.

Dalam surat Yunus ayat 69 juga ditegaskan bahwa ketidak jujuran (kebohongan)
merupakan sifat dan sikap yang tidak disukai Tuhan. Oleh karenanya, bohong sangat tidak
menguntungkan. Firman Allah itu berbunyi: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung’.

Pembelajaran kejujuran ini dapat berlangsung dimana dan kapan saja. Sambil nonton
televisi pun bisa mengajarkan kejujuran. Misalnya, berita pada patroli, sergap dan derap
hukum pasti akan mengundang pasti akan mengundang iba si anak kepada pelaku pencurian,
pembunuhan dan kejahatan lain yang telah tampak babak belur setelah dilawan masa.
Wajahnya rusak, tangannya bengkak dan kakinya ditembak. Anak pun akan berkomentar,
“pak, kasihan dia. Hii!”.

Kita selaku orang tua harus bisa memasukkan pelajaran kejujuran pada anak. “Adi itu
hasilnya orang yang tidak jujur. Oleh karena itu, Adi harus jujur, tidak boleh mencuri seperti
dia!”.

Apabila setiap waktu dalam berbagai pristiwa dan suasana, pengertian, pemahaman
dan akibat ketidak jujuran itu kita sampaikan, insya Allah sifat jujur akan melekat dihati
anak. Kunci keberhasilan mengajarkan kejujuran sesungguhnya terletak pada ketelatenan dan
perhatian kita (orang tua) kepada anak.dan tidak kalah pentingnya adalah tercerminnya sikap
orang tua, dalam kehidupan keluarga yang seharusnya sebagai motor penggerak dan tauladan
nyata.

Kisah diatas memberikan gambaran bahwa jika hati ini benar-benar mau bersikap
jujur ternyata dapat mengendalikan tindakan yang lain.

2. MENGAJARKAN KEBERANIAN

“Ajarkan keberanian karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang


penakut”.

Mengajarkan keberanian kepada anak artinya menanamkan pengertian, pemahaman


dan sikap mental tentang sifat berani. Sifat berani yang diberikan pun adalah yang telah
terseleksi. Artinya, tidak asal berani tanpa perhitungan diberikan tetapi berani melakukan
sesuatu yang sesuai dengan tuntutan agama disertai berani bertanggung jawab.

Kehidupan merupakan kesempatan sekaligus tuntutan menampilkan keberanian.


Dalam segala hal, keberanian itu sangat dipelukan. Oleh karena itu sifat penakut yang
menelikung sebagian besar manusia ini perlu dijauhkan dari anak. Jangan dibiarkan anak
menjadi penakut dan pengecut. Jangan sapai sikap rendah diri berkembang tanpa tepi pada
anak. Sebab sikap ini hanya akan membuat anak tidak bisa bersikap apa-apa di depan orang
lain. Kembangkan sikap yang tegas dan berani menghadapi rintangan yang sedang ada
dihadapannya. Pupuklah sikap tegas dan berani yang telah termiliki oleh anak, jangan sampai
hilang termakan pergaulan sehari-hari. Adapu cara mengajarkan keberanian sebagai berikut:

A. Tunjukkan contoh-contoh perjuangan yang memerlukan keberanian, misalnya:

Bangsa Indonesia merdeka lantaran adanya keberanian tentara bersama rakyat bersatu
melawan serdadu Belanda maupun Jepang. Tanpa ada rasa berani mana mungkin
dengan senjata bambu runcing mempunyai peluang menang melawan senjata modern
milik musuh.

Bala tentara Nabi Muhammad SAW yang selalu lebih sedcikit dibandingkan dengan
jumlah leskar musrikin tidak pernah mundur bahkan acapkali menang. Hal ini juga
karena keberanian yang membara menelurkan tekad bulat meraih kesuksesan dalam
perjuangan.

Olehragawan-olahragawan yang keluar sebagai pemenang dalam pertandingan adalah


buah hasil perjuangan yang gigih dengan segenap keberaniannya.

Dan masih banyak lagi contoh yang lain.

B. Ajaklah anak untuk menyaksikan secara langsung pada even atau kejadian yang dapat menggugah
keberanian anak. Misalnya:
Anak diajak nonton pertunjukan pacuan kuda.

Anak diajak nonton olah raga panjat tebing.

Anak diajak menyaksikan perilaku petugas pemadam kebakaran disaat memadamkan


gedung yang terbakar.

Anak diajak nonton pertunjukan didalam rumah hantu, dll.

Semua itu bertujuan menumbuhkan munculnya pertanyaan didalam hati anak “Kok
berani, ya?” dan menumbuhkan mativasi anak ingin meniru keberaniannya.

C. Membelajarkan sifat keberanian kepada anak membelajarkan artinya memberikan kesempatan


anak untuk mengalami “berani” pada kondisi yang menuntut munculnya keberanian. Misalnya:

Mintailah tolong si anak untuk mengantarkan sesuatu ke tetangga yang dianggap


terhormat. Berilah kesempatan memberikan makanan kepada hewan di saat rekreasi
di kebun binatang.

Berikan kepercayaan untuk membayarkan uang ketika berbelanja di toko.

Sedikit demi sedikit sifat berani akan tertanam pada anak. Kita selaku orang tua terus
memantau perkembangan, penguasaan dan pemilihan menampilkan sifat berani. Kita
harus ingat bahwa tidak semua sifat berani itu baik dan terpuji bahkan ada yang
tercela. Keberanian untuk melakukan kenakalan tentu termasuk hal yang perlu
diantisipasi dan dicegah sedini mungkin. Sifat berani untuk melakukan kegiatan yang
tidak baik jangan dibiarkan. Persempit kesempatan dan ruang gerak untuk
melakukannya. Alihkan pada hal-hal yang memberdayakan sifat berani dalam
kegiatan yang bernilai positif.

3. MENGAJARKAN KESABARAN

“ajarkan kesabaran, sebagaimana tetesan air dapat memecahkan batu besar didasar
gua-gua dalam waktu yang lama”.

Pepatah Jawa mengatakan, “manungsa Mung bisa nata sedya nanging Gusti kang
gawe pesthi”. Artinya sesuatu yang terjadi pada tiap-tiap manusia memang ditentukan Tuhan.
Itu mutlak atas kekuasaan-Nya. Manusia bisa berdo’a minta macam-macam tetapi Tuhanlan
pengambil keputusan. Olehkarena itu timbul suatu kewajiban bagi manusia untuk berikhtiar.
Setelah berikhtiar disertai do’a memohon kepada Allah SWT selanjutnya menunggu
ketentuan dari-Nya. Manusia harus insyaf bahwa apa yang diminta mungkin dikabulkan
tetapi ditunda, dikablkan langsung bahkan mungkin tidak dikabulkan. Untuk menyingkapi
kemungkinan-kemungkinan itu harus memahami arti bersyukur dan sabar.
Apabial keinginan kita dikabulkan oleh Allah maka kewajiban kita adalah bersyukur.
Kita bisa merenungkan dengan membandingkan bagaimana rasanya apabila permohonan kita
tidak dikabulkan. Kita bisa melihat orang-orang disekitar kita banyak yang permohonannya
tidak dikabulkan. Nah, renungan ini tentunya mengantarkan kita untuk bersyukur kepada
Allah atas kabulnya permohonan kita.

Sabar artinya menerima takdir atau nasib yang diberikan oleh allah dengan senang
hati dan luas dada, tidak menyalahkan siapa pun terlebih Allah. Sifat sabar inilah yang harus
kita tanamkan pada anak sedini mungkin. Apabila anak terlanjur tidak mempunyai rasa sabar,
tidak mudah untuk mengubahnya menjadi penyabar. Sulit sekali adanya.

Langkah awal agar anak terbiasa sabar adalah tidak memanjakan anak. Selaku orang
tua harus tahu makna tidak memanjakan anak (ngungung: Jawa). Tidak setiap permintaan
anak dituruti. Langkah ini bukan menyiksa anak akan tetapi membelajarkan sifat kesabaran.
Tentu, permintaan sesuatu yang kurang bermanfaat tidak perlu dituruti. Orang tua harus
tegas, tidak perlu ragu-ragu. Yakinlah, anak tidak akan minta sesuatu dengan semena-mena
terhadap orang tua yang bersifat tegas. Alhasil, pada anak akan tertanam sifat sabar dan tahu
diri.

Langkah berikutnya, berikan pengertian dan contoh kisah teladan dan kebaikan sifat
sabar. Langkah ini memang menuntut orang tua untuk banyak pengetahuan tentang kisah-
kisah yang bisa digunakan untuk pendidikan kesabran pada anak. Kisah-kisah teladan bisa
diambil dari kisah hewan, raja-raja, kisah Nabi dan sahabatnya serta tetangga atau tokoh
yang dikenal anak.

Kembangkan pemahaman sifat sabar pada anak agar lebih mantap dalam jiwanya.
Katakan bahwa sifat sabar sangat disayang Allah. Kesabaran sangat dianjurkan oleh agama,
kesabaran akan memperbanyak teman dan kesabaran memdatangkan pahala.

Ajari dan ajaklah anak untuk mengucapkan, “Innalillahi waainna ilaihi rojiun,” ketika
mendengar atau melihat orang berduka. Firman Allah dalam (surat Al-Baqoroh, ayat 156)
disebutkan; Berikanlah kabar senang kepada orang yang sabar, ialah mereka kalau mendapat
cobaan dari Allah maka berkata, “kami ini milik Allah dan akan kembali kepada Allah pula.”

Dalam hal ini sebenarnya anak telah belajar menterjemahkan dalam sikaf hidup
tentang makna kesabaran. Tentu saja ini bagi anak yang telah terdidik dalam nuansa agama
yang kuat.

Lantaran sifat sabar inilah diperoleh keuntungan bagi anak itu sendiri dan
keluarganya, yaitu:

a. Tidak mudah putus asa. Anak tidak suka ngambek apabila permintaanya tidak dituruti
orang tuanya. Sebaliknya anak akan insaf bahwa putus asa merupakan sifat orang
kafir seperti dalam kisah yang telah disampaikan bapak/ibunya.
b. Tidak iri hati. Dengan melihat temannya yang permintaannya tidak juga dituruti orang
tuanya akan menyadarkan anak bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang keinginannya
tidak tercapai/dituruti.

c. Menerima (tidak mengeluh atau tidak menggerutu). Dalam pikirannya, anak pun akan
mencatat permintaan apa saja yang dikabulkan dan yang tak dikabulkan. Ia akan
menyadari bahwa tidak selamanya permintaanya ditolak dan tidak setiap
permintaannya dituruti. Inilah yang membuat tidak mengeluh dan tidak perlu
menggerutu.

d. Mendewasakan anak. Artinya anak tidak bermental cengeng dan akan berpikir luas
anak tidak menjadi manja. Anak akan menyadari bahwa pemberian orang tua
merupakan hasil pertimbangan yang matang. Anak akan mengerti bahwa keluarga
mempunyai banyak kebutuhan di samping kebutuhan dirinya. Ia pun memahami akan
kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi lebih dahulu.

4. MENGAJARKAN KESEDERHANAAN

“Ajarkanlah kesederhanaan, sebagaimana tanaman semangka yang kecil, pendek, dan


merambat diatas tanah namun buahnya besar dan menyenangkan”.

Hidup tidak bermewah-mewahan adalah anjuran agama Islam. Nabi Besar


Muhammad SAW tidak mencontohkan perilaku hidup mewah melainkan sebaliknya. Bahkan
dari ucapan beliau mengisyaratkan tidak ada kecintaan terhadap umatnya yang hidup
bermewah-mewahan. Sebaliknya Nabi sangat dekat dengan orang-orang yang miskin dan
berlaku sederhana.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Di akherat kelak aku bersama-sama orang miskin
ibarat jari-jari dan ibu jarinya, dekat sekali.”

Apa yang di ucapkan Nabi tak berbeda denan yang dilakukan. Begitulah teladan Nabi
dalam perilaku keseharian. Apabila beliau mengatakan dekat dengan orang-orang miskin
maka selama hidupnya tak pernah bermewah-mewahan seperti halnya perilaku pemimpin
dan orang kaya pada umumnya.

Kita selaku umatnya perlu mencontoh sepak terjang dari perilaku Nbi Muhammad
SAW, sang panutan itu. Sifat sederhana yang beliau contohkan perlu kita lestarikan. Sifat
sederhana sendiri berada ditengah-tengah antara boros dan kikir. Sederhana menjaadi
pokoknya perangai yang utama kerena orang yang berlaku sederhana itu akan suka
menjauhkan sifat-sifat yang tidak baik seperti riya (pamer), sombong, berlebih-lebihan
(berfoya-foya) walaupun sebenarnya berlimpah baginya.

Mengapa anak perlu diajari sifat dan sikap kesederhanaan? Mengajarkan anak
kesederhanaan merupakan sebagian dari usaha menanamkan budi pekerti menurut ajaran
Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda yang artinya, “sebaik-baik sesuatu ialah yang
sederhana atau tengah. “Allah pun mengancam dalam firman-Nya, yang artinya: “Bahwa
orang yang mubadzir (pemboros) adalah mereka itu adalah syetan”.

Memahami sabda Nabi dan firman Allah tersebut diatas, kiranya sifat sederhana
wajib dimiliki oleh anak-anak kita. Apabila sifat sederhana ini telah dimiliki anak maka akan
mendatangkan keuntungan bagi keluarga. Sepantasnya orang tua wajib membekali anak
sikap sederhana. Betapa tidak! Dari segi ekonomi ada keuntungan tersendiri. Anak tidak
senang berfoya-foya, anak mau mengatur pengeluaran (utamanya jajan), anak tidak semena-
mena apabila minta sesuatu kepada orang tua. Pendek kata anak tidak minta banyak tuntutan.

Dari segi postur tubuh, anak yang mengedepankan kesederhanaan biasanya ramping,
langsil dan ideal. Tidak gembrot atau bongsor. Ini pun suatu kebanggaan tersendiri bagi diri
anak dan keluarga tentunya.

Bagaimana cara mengajerkan kesederhanaan? Pertanyaan ini patut dikedepankan


untuk selanjutnya kita bahas. Biasakan anak untuk hidup sederhana dalam keluarga. Hal yang
paling utama adalah pemberian contoh tauladan kesederhanaan orang tua. Sedikit bicara
nanun banyak contoh, merupakan cara pembelajaran kesederhanaan yang dirasa paling
mengena dan efektif.

Jangan manjakan anak. Jangan dihiasi pakaian yang mewah. Demikian juga makanan
dan minuman. Atur sedemikian rupa sehigga anak terbiasa dalam lingkingan yang sederhana.
Makanan yang bergizi tidak selalu mewah. Intinya, orang tua tidak dibenarkan menanamkan
cara-cara hidup mewah. Sederhana adalah cara hidup terbaik.

Sering-seringlah anak diajak ketetangga atau pun saudara yang kurang mampu.
Biarkan anak bermain-main bersama anak tetangga yang biasa hidup sederhana. Cara seperti
inilah kiranya merupakan pembelajaran anak untuk memahamkan kesederhanaan. Bersikap
sederhana tidak hanya mengenai berpakaian dan makanan saja akan tetapi sikap-sikap
bergaul dengan orang lain juga termasuk didalamnya. Dalam surat Luqman ayat 19
ditegaskan agar kamu berjalan secara sederhana dan melunakkan suaranya. Arti surat
Luqman tersebut sebagai berikut: “dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya buruk-buruk suara adalah suara kedelai.”

Jangan biarkan anak bertingkah dan bersikap sombong. Tanamkan sikap berjalan tidak
dengan menggoyangkan kepala, bersiul apalagi berteriak-teriak seperti orang gila. Bersikaplah
yang wajar dan sederhana saja, orang lain akan menyukainya.

5. MENGAJARKAN BERPIKIR LURUS

“ajaklah berpikir lurus sebagai mana seorang ilmuan menentukan suatu konsep dan
mempertahankan kebenaran.”
Banyak diantara kita berpikir sekenanya. Artinya lupa bahwa diri ini mempunyai alat
ukur bernama alat pikiran, tidak digunakan maksimal. Dengan kata lain berpikir melalui jalan
pintas sering dilakukan. Misalnya saja, demo yang menuntut kenaikan gaji guru sekolah
swasta sementara pendemo juga minta iyuran biaya pendidikan disekolah tersebut
diturunkan. Alur pemikiran seperti ini jelas tidak dapat dikatakan lurus malahan tidak masuk
di akal. Bagaimana bisa menaikkan gaji guru sedangkan sumber dana untuk menggajinya
dikurangi. Kasus ini merupakan sebuah contoh dari banyak kasus cara berpikir tidak
lurusyang dilakukan oleh komunitas masyarakat kita, Indonesia.

Mengingat bahwa jalan pemikiran manusia itu menentukan jalan hidupnya maka anak
sebagai generasi penerus bangsa ini tidak pantas dibiarkan terseret arus lingkungan dalam
menggunakan alur pemikirannya. Ini permasalahan yang maha penting sehingga jangan
diremehkan. Anak perlu diformat sedemikian rupa berpikir lurus. Orang tua diharapkan tidak
terlena dengan kesibukan tugas sehingga kurang memperhatikan perkembangan jiwa,
karakter dan watak anaknya.

Cara yang praktis membelajarkan anak berpikir lurus adalah membiasakan anak
untuk menggunakan logika dalam berpikir. Hukum sebab akibat juga penting untuk
disampaikan kepada anak sebagai pendukung penjelasan berpikir lurus. Membiasakan
menggunakan logika praktis akan mengembangkan daya pikir anak lebih kritis, logis dan
terinci secara urut.

Misalnya, tanyakan kepada anak jumlah 2+4. Anak akan berhitung dan menjawabnya
6 apabila terhitung benar. Pertanyaan sepeti itu sebenarnya sudah melatih berpikir lurus.
Agar anak tidak hanya berpikir linier perlu pengembangan konsep berpikir. Umpamanya,
setelah anak ditanya jumlah 2+4 dan menjawab 6 kemudian ditanya balikan, 6 itu merupakan
jumlah berapa dengan berapa? Sepontan anak menjawab 2 dan 4. Kalau hanya berhenti disini
sebenarnya anak sedang berpikir secara linier.

Selaku orang tua sekaligus pendidik bagi anak, kita memang harus jeli. Pertanyaan
pun harus kita tambah, apakah 6 itu merupakan jumlah dari 1+5, 3+3, dan 6+0 selain 2+4.
Pertanyaan balik seperti itu mengandung maksud agar anak berpikir tidak sepotong-potong,
dan agar anak berpikir luas sesudah berpikir lurus. Anak akan memandang sesuatu itu tidak
hanya dari satu sisi tetapi dari banyak sisi. Dengan demikian apabila terbiasa anak akan
memahami sesuatu tidak hanya dengan sebagian tetapi secara keseluruhan dari berbagai
aspek.

Misalnya sedang rekreasi di kebun binatang, pembelajaran semacam itu pun dapat
diterapkan. Anak dipersilahkan mengamati hewan dengan seksama, misalnya gajah.
Sesudahnya tanyakan ciri-ciri luar yang tampak pada hewan gajah. Sesudahnya tanyakan
ciri-ciri luar yang tampak pada hewan gajah. Kemudian beralih pada hewan singa, tanyakan
pula ciri-cirinya. Dari hasil pengamatan yang dilakukan anak pun membentuk suatu
pengetahuan tentang ciri-ciri gajah dan singa. Lebih rinci anak dapat menyebutkan perbedaan
dan persamaan antara gajah dan singa. Pada perlakuan seperti ini sebenarnya sedang
membelajarkan cara berpikir lurus dan luas pada anak.

Saran terakhir untuk membiasakan anak berpikir lurus dan luas adalah membiasakan
mengajak diskusi anak. Pendek kata komunikasi orang tua kepada anak diharapkan tidak
putus oleh kesibukan tugas. Anak diformat agar terbuka dihadapan anggota keluarga
termasuk didalamnya ayah, ibu, saudara dan pembantunya.

Dengan seringnya berdiskusi dengan anggota keluarga maka anak akan terbiasa
memanfaatkan otaknya untuk berpikir lurus dan luas. Berpikir lurus karana anak terpancing,
termotivasi dan terangsang mengatakan hal-hal termasuk pengetahuan yang benar sesuai
dengan kenyataan maupu prinsip dan hukum yang ada. Berpikir luas karena anak terpancing,
termotivasi dan terangsang mengatakan hal-hal termasuk pengetahuan yang selalu
berkembang sesuai kemajuan jaman. Berpikir luas sering diartikan senada dengan berpikir
secara gelobal, tidak terputus-putus.

6. MENGAJARKAN TANGGUNG JAWAB

“ajarkan tanggung jawab sebagaiman burung penguin jantan menjaga telur diatas
telapak kakinya hingga menetas sekalipun cuaca dingin dan tidak makan selama empat
bulan”.

Dalam kebuadayaan kita tanggung jawab benar-benar diartikan sebagai keharusan


untuk “menanggung” dan “menjawab”. Artinya, keharusan unuk menanggung akibat yang
ditimbulkan oleh perilaku seseorangdalam rangka menjawab suatu persoalan. Demikian
menurut Dr. Sarlito Wirawan Sarwono dalam “Anak Masa Depan” (Alex Sabrur: 1991).

Menerjakan tugas dan kewajiban denga sebaik-baiknya dinamakan bertanggung


jawab. Sedangkan melalaikan tugas dan kewajiban dinamakan tidak bertanggung jawab.
Demikian pula orang yang tidak mengakui perbuatan jahat yang dilakukannya termasuk
orang yang tidak bertanggung jawab. Apalagi melempar kesalahan kepada orang lain.

Betapa bangganya orang tua apabila memiliki anak yang penuh tanggung jawab
dalam segala hal. Sebab, anak yang memiliki rasa tanggung jawab biasanya juga
memilkikepribadian yang kuat. Bahkan ada anggapan yang di yakini bahwa keberhasilan
seseorang dalam hidupnya tergantung atas bagaimana dia hidup dan bertanggung jawab sejak
masa kanak-kanaknya. Oleh karenanya rasa dan sikap bertanggung jawab perlu ditanamkan
pada nak sejak kecil. Tentang tanggung jawab, memang akan dituntut atau akan diminta
mengenai pertanggung jawabannya sebagai mana disabdakan oleh Rasululluh SAW yang
artinya: “masing-masing kamu adalah pengembala dan masing-masing kamu akan ditanya
tertang yang digembalakannya”.

Pendidikan tanggung jawab pada dasarnya bisa dimulai sejak kanak-kanak. Untuk
menanamkannya kita bisa memberi berbagai macan tugas atau pekerjaan kepada anak
misalnya, memberi makanan kucing, merapikan tempat tidur, menyapu halaman,
membersihkan lantai, membersihkan penempatan bahan bacaan (koran, majalah, buku) pada
tempatnya dan lain-lain. Tugas-tugas itu bisa merupakan tugas mandiri yang dikerjakan anak
sendiri atau pun dikerjakan bersama-sama orang tua. Tentu hal itu disesuaikan dengan usia
anak.

Hal yang perlu diingat orang tua adalah bahwa tugas yang dikerjakan anak ini bukan
mementingkan hasil semata-mata melainkan penanaman rasa tanggung jawab itulah yang
terpenting. Oleh karena itu perlu diciptakan suasana yang menyenangkan sehingga anak
merasa nyaman melakukan tugas yang diberikan. Hindarilah sikap-sikap yang menyebabkan
anak tidak senang. Walau pun kadang perlu juga marah akan tetapi jangan terlalu sering.

Apabila melihat anak melakukan kesalahan dalam melakukan tugas, jangan langsung
marah-marah. Tegur dengan kalimat yang akrab, lembut dan menyejukkan hati anak sembari
mengajari mengerjakan tugas yang benar. Dengan suasana demikian tidak terkesan dihati
anak bahwa orang tuanya pemarah. Sebab anak melihat orang tua marah cenderung takut,
bosan, muak dan benci terhadapnya. Alasan untuk menghindar dari tanggung jawab terhadap
tugas yang diberikan pun muncul dari ketakutan tersebut. Dan yang perlu diperhatikan bahwa
anak senang meniru orang tua. Orang tua pemarah, anak pun cenderung menirunya.
Demikian juga sikap lembt orang tua akan ditiru anak. Mengajarkan apapun pada anak paling
mudah dan efektif untuk berhasil adalah dengan contoh atau tauladan dari orang terdekat
yaitu orang tuanya. Tek terrkecuali mengajarkan rasa tanggung jawab ini.

Mengajarkan tanggung jawab pada anak diupayakan dengan cara yang efektif dan
menyenangkan. Cara yang efektif dimaksud adalah mengajarkan tanggung jawab tidak dengan
banyak teori tetapi anak lekas mengerti. Mengingat anak baru tahap pemahaman dominan hal-hal
yang kongkret dan suka meniru maka pembelajaran langsung lebih tepat dari pada memberi
aspek teori atau nasihat. Untuk itu yang terpenting melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan
keseharian yang bagi anak bisa mengerjakan. Anak perlu diberi kebebasan melakukan tugasna
walaupu masih dalam pengawasan tentunya. Hal ini bermaksud agar anak melatih dirinya untuk
bertanggung jawab.

7. MENGAJARKAN KEDISIPLINAN

“Ajarkan kedisiplinan sebagaimana matahari mengatur waktu menjadikan siang dan


malam”.

Dari bahasa aslinya (discipline: Inggris) berarti ketertiban. Ketertiban sangat terkait
antara perilaku seseorang dengan aturan/hukum/adat kebiasaan masyarakat dimana perilaku
seseorang itu berlangsung. Apabila perilaku itu bertentangan dengan adat/kebiasaan
masyarakat maka dapat dikatakan tidak disiplin. Sebaliknya apabila perilaku seseorany itu
sesuai atau disetujui masyarakat maka dianggapnya disiplin. Dengan demikian soal disiplin
tak bisa dipisahkan dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Jika kebudayaan
mengalami perubahan maka disiplin pun mengalami perubahan pula.
Berhubung disiplin tidak bisa terlepas dari kebudayaan masyarakat dan anak
merupakan bagian dari masyarakat maka sepantasnyalah disiplin diajarkan kepada anak. Ada
pun tujuan pendisiplinan anak agar anak bisa bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat lingkungannya.

Terkait dengan masalah disiplin dan tidak disiplin mestinya orang tua mengajarkan
nilai-nilai hidup (value) yang berhubungan dengan sikap terpuji dan tercela, berpahaladan
berdosa, dianjurkan dan dilarang, bisa dicontohkan dan tidak dan sebagainya.

Mengapa disiplin perlu diajarkan? Mengingat bahwa aturan disiplin tampak memaksa
dan menyiksa anak maka perlu diajarkan. Mengingat disiplin sangat bethubungan denan nilai
kualitas hidup dimasa dewasa kelak, disiplin perlu dilatihkan. Terpaksa dan tersiksa hanyalah
terasa ditahap awal pembelajaran disiplin. Akan tetapi apabila perilaku disiplin ini telah
terbiasa justru menjadi kebutuhan hidup.

Mulailah anak dibelajarkan bersikap dari hal-hal yang rutin dan mudah dipantau.
Misalnya sikap disiplin dalam hal makan (mengenal waktu, volume, cara), sikap disiplin
dalam shalat (waktu dan gerak), disiplin iatirahat, disiplin bangun tidur, disiplin menyebrang
jalan dan sebagainya. Tentu semua itu, orang itulah sebagai pemandu, pen didik dan
pemantau pelaksanaan disiplin anak. Anak diajak bersama-sama dalam melaksanakan
kedisiplinan ini. Ajaklah anak bersikap yang baik, sopan dan tertib dalam makan. Ajaklah
shalat bersama dan tepat waktunya. Ajaklah menyebrang jalan melalui zebra cross. Jangan
biarkan anak mendengkur ketika telah berkumandang suara adzan subuh, bangunkan! Ajak
anak berpamitan jika anak mau pergi kemana pun. Dan lain sebagainya.

Dalam menanamkan sikap disiplin ini orang tua dituntut konsisten memberika teladan
secara bijak. Orang tua diharapkan tidak pelit memberi hadiah atau pujian terhadap anak
yang melaksanakan kegiatan secara disiplin sebaliknya hukuman yang mendidik perlu juga
diberikan ketika anak tidak berperileku disiplin.

8. MENGAJRKAN NILAI SEMANGAT JUANG

“ajarkanlah semangat juang, sebagaimana semangat lebah pekerja mencari madu


sekalipun harus menempuh jarak yang cukup jauh”.

Berbicara tentang semangat juang seseorang sangat berkaitan dengan beberapa aspek
yang saling mempengaruhi. Aspek-aspek tersebut adalah kecerdasan, kebiasaan, pendidikan
dan budaya yang berkembang. Data yang ada dilapangan belum menggembirakan adalah
bahwa banyak diantara anak-anak kita mempunyai semangat juang rendah dalam menyiasati
masa depannya sendiri.

Berbicara mengenai semangat juang tentunya menyangkut tindakan apa saja dalam
hal-hal yang baik guna menghadapi tantangan. Urusan besar atau pun urusan kecil, semangat
juang diharapkan selalu tinggi agar bekerja terasa ada keuntungannya. Dalam membantu
pekerjaan orang tua sehari-hari perlu semangat tinggi. Dalam mengikuti berbagai lomba,
butuh semangat yang membara. Mengikuti berbagai kompetisi pun selalu dituntut semangat
yang pasti. Terlebih kegiatan belajar sangat diperlukan semangat yang gencar.

Kegiatan apa yang tidak membutuhkan semangat juang? Apabila menginginkan


sukses sesuai rencana, sesuatu kegiatan mutlak membutuhkan semangat juang yang tinggi.
Jadi sebenarnya semangat juang merupakan roh dalam menggerakkannya. Untuk itu
semangat juang seharusnya dihidupkan, dipupuk, dan dikembangkan sesuai dengan harapan,
tak ad perkecualian. Nah, masihkah ada keraguan dipikiranmu untuk menumbuh suburkan
semangat juang?

Oleh karena demikian besarnya kontri busi semangat juang dalm kaitannya dengan
kesuksesan suatu kegiatan, maka sangatlah penting untuk ditanamkan pada diri anak. Jangan
sebaliknya, anak menumbuh suburkan sikap putus asa, keluh kesah dan loyo semangat, orang
tua diam saja. Mengapa? Orang putus asa biasanya lemah kemauannya. Dan sikap inilah
bermuara pada sikap apatis/masa bodoh.

Jika sikap putus asa menguasai anak-anak kita maka sebenarnya kekuatan anak-anak
tersebut untuk meraih masa depannya, lebih dari 50% telah gagal. Putus asa akan
melemahkan semangat yang berujung pada melemahnya perjuangan untuk meraih cita-
citanya. Dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 87 telah ditegaskan betapa dianjurkan tumbuhnya
semangat juang dan dilarang-Nya berputus asa. Firman Allah SWT yang artinya: “Dan
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidak putus asa dari rahmat
Allah kecuali orang-orang kafir.”

Untuk menanamkan semangat juang pada anak, sering-seringlah anak disuruh


membaca surat Ar-Ra’du ayat 11 besetra artinya. Diharapkan padanya akan tumbuh
keyakinan bahwa semangat juang untuk meraih sesuatu perlu usaha yang gigih dan percaya
bahwa Tuhan akan memperhatikan-Nya. Ayat tersebut artinya: “sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri.”

Ayat tersebut mengandung maksud manusia wajib berusaha dalam kehidupan dengan
semangat yang tinggi, tidak boleh menyerah tanpa berusaha. Mengapa, pada kenyataannya
segala sesuatu yang kita peroleh tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui usaha
atau ikhtiar yang sungguh-sungguh. Bagaimana mengajarkan ketidak putus asaan itu kepada
anak? Inilah tugas berat orang tua yang tidak mudah namun harus dilakukan.

Setiap akan melakukan tugas, berilah semangat pada anak. Ketika anak mau belajar,
berilah semangat dengan membeberkan keuntungan belajar dan kerugian tidak belajar.
Katakan dengan mantap, mis: “Nisa tirulah paman mu yang sekarang menjadi insinyir
pertanian. Itu buah dari semangat belajar yang tinggi”.
Ketika anak akan pergi sekolah , tuangkan semangat kepadanya. Berpesanlah, “Apa
yang menjadi cita-citamu itu, raihlah melalui sekolah dengan semangat belajar yang rajin”.

Ketika anak mau membantu pekerjaan orang tua, berilah semangat sambil
menegaskan, “Nisa, tak ada orang malas menjadi sukses, maka bersemangatlah engkau
membantu orang tua. Sesungguhnya engkau sedang berlatih hidup yang selalu dihadapkan
dengan pekerjaan”. Dan setiap mau melakukan pekerjaan apa saja, semangat itu terus
dipompa agar anak tidak mengenal putus asa.

Ketika anak pulang sekolah dan menangis gara-gara mendapat nilai matematika
jeblog, jangan dihujani dengan kemarahan. Berilah nasihat agar anak tergugah semangat
belajarnya. “Nisa, masih banyak kesempatan, jangan putus asa. Tingkatkanlah lagi semangat
belajar matematikamu. Pamanmu pernah mendapat niali matematika 4”. Mendengar
siraman ucapan yang sejuk itu, anak tidak akan meresa kecil hati sehingga putus asa pun
disingkirkan setelah mendapat terpaan semangat dari orang tuanya.

Sikap orang tua yang demikian ini sebenarnya tengah membelajarkan menjaga,
mempertahankan dan meningkatkan nilai semangat juang kepada anak. Semangat yang terus
membara pada anak adalah modal besar dalam menempuh cita-cita hidupnya. Dan semangat
juang yang tinggi merupakan pertahanan hidup yang benar-benar kokoh. Membelajarkan dan
memacu semangat juang pada anak harus selalu kita berikan dengan tidak henti-hentinya.
Insya Allah, tak mudah goyah dalam menyiasati lika-liku hidup yang merupakan misteri ini.

II. METODE DAN ASPEK PENGEMBANGANNYA

1. Metode Diskusi menggunakan media:

Guru memperlihatkan suatu gambar kepada anak didiknya dan mendiskusikan gambar
tersebut.

Ketika berdiskusi, guru memberikan pertanyaan kepada anak didik sesuai gambar
yang sedang di diskusikan sehingga guru dapat mengetahui sejauh mana anak didik
tersebut dapat memahami bahan yang kita ajarkan.

Affirmasi (penegasan): guru menegaskan konsep yang disampaikan


dalam bentuk lagu, puisi dan lain sebagainya.

2. Metode Praktek langsung menggunakan media :

Guru meminta anak untuk melakukan kegiatan secara mandiri, seperti kegiatan
menyisir rambut, memakai baju sendiri, dll (kegiatan yang di pilih untuk praktik di
sesuaikan dengan tahap usia anak).

Guru menayakan bagaimana perasaan anak setelah berhasil melakukan kegiatan


tersebut.
Guru memberikan penghargaan pada anak yang telah berhasil melakukan kegiatan
tersebut.

Kegiatan berakhir dengan affirmasi atau penegasan dengan memberikan lagu, puisi
atau yel-yel.

3. Metode bercerita menggunakan media:

Guru menceritakan tentang cerita suri tauladan dengan menceritakan kebaikan dan
keburukannya dalam tokoh cerita.

Anak memahami mengapa kita harus menjadi anak yang berkarakter dan mengetahui
apa akibatnya jika tidak menjadi anak yang berkarakter.

Guru menggali perasaan anak beagaimana menjadi anak yang berkarakter (bagaimana
perasaan terhadap orang lain).

Guru memberikan pertanyaan saat bercerita kepada anak didik (tentang apa, siapa,
mengapa, kapan, dimana).

Dengan metode dan media yang digunakan guru dapat mengembangkan berbagai aspek
perkembangan pada anak yaitu:

1) Aspek bahasa: mampu menggunakan bahasa sebagai pemahaman bahasa pasif dan
dapat berkomunikasi secara efektif yang bermanfaat untuk berfikir dan belajar
dengan baik.

2) Aspek fisik motorik: perkembangan optimal aspek motorik halus dan dan kasar,
menjaga stamina dan kesehatan.

3) Aspek kognitif: berfikir logis, berbahasa dan menulis dengan baik. Selain itu dapat
mengemukakan pertanyaan kritis, dan menarik kesimpulan dari berbagai
informasi yang di ketahui.

4) Aspek sosial emosional: belajar menyenangi pekerjaannya, bekerja dalam tim,


berjiwa sosial, bertanggung jawab, menghormati orang lain,mematuhui segala
peraturan yang berlaku, emosi menyangkut aspek kesehatan jiwa, mampu
mengendalikan stress, mengontrol diri dari perbuatan negatif, percaya diri, berani
mengambil resiko, empati.

5) Aspek nilai agama/moral/spiritual: mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan
mampu berefleksi tentang dirinya.

Dari penjelasan diatas guru dapat menerapkan kepada anak didik di kelas yaitu dengan
cara:
Selama anak didik berada disekolah guru memberikan motivasi kepada anak didik
untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan nilai semangat juang.

Saat anak akan pulang sekolah guru memberitahu agar anak membawa tasnya
sendiri dan menggunakan sepatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

Setelah anak berhasil melakukannya guru memberikan apresiasi kepada anak,


Agar anak merasa di hargai dan anak dapat melakukannya berulang-ulang setiap
hari.

Pada saat makan guru mengingatkan anak untuk mencuci tangan sendiri dan
menyiapkan bekal makanannya sendiri tanpa di bantu oleh guru serta sebelum
makan membaca doa terlebih dahulu.

Pada saat BAB/BAK guru memberikan bimbingan atau arahan agar anak dapat
melakukan secara sendiri khususnya ketika bersuci serta saat melepas dan
menggunakan pakaian.

Kebiasan-kebiasan tersebut harus terus diterapkan disekolah secara berkelanjutan dan


konsisten agar tertanam hingga dewasa dan menjadi kebiasan yang bersahaja. Semua itu
diawali dengan peraturan yang jelas dan terperinci.

I. KESIMPULAN

Cara yang efektif dalam membentuk kepribadian anak adalah dengan tidak
banyak teori tetapi anak lekas mengerti, harus dengan praktek langsung Mengingat
anak baru tahap pemahaman dominan hal-hal yang kongkret dan suka meniru maka
pembelajaran langsung lebih tepat dari pada memberi aspek teori atau nasihat. Untuk
itu yang terpenting melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan keseharian yang bagi
anak bisa memahami pembelajarannya. Anak perlu diberi kebebasan melakukan
tugasnya walaupun masih dalam pengawasan tentunya. harus terus diterapkan
disekolah secara berkelanjutan dan konsisten agar tertanam hingga dewasa dan
menjadi kebiasan yang bersahaja. Sebagai orang tua dan guru kita seharusnya
menjadi contoh/suri teladan bagi yang baik bagi anak-anak didik kita.

Anda mungkin juga menyukai