Dibawah ini beberapa faktor yang mendukung kita untuk memperoleh akhlak yang sangat
berharga ini:
1. Ilmu agama
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain main-main dan sendau gurau. Dan sungguh
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu
memahaminya? (Al-An’am:32)
2. Keimanan yang mantap
Ilmu yang kita miliki (insya Allah) berbuah menjadi keimanan yang mantap. Kuat lemahnya
sifat qona’ah dalam menghadapi berbagai “fitnah” dunia ini, sesuai dengan tingkat kekuatan
iman yang ada pada setiap kita. Keimanan yang mantap salah satunya dapat dibangun melalui
keseriusan belajar agama (menuntut ilmu syar’i) disertai doa.
3. Pemahaman yang benar tentang qodho dan qodar
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.” (Az Zukhruf:32)
“Bersikaplah ridho terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia
yang paling kaya.” (HR.Ahmad)
4. Perjuangan Mental dan Bersabar
“Jauhilah sifat syuhh, karena sifat syuhh telah membinasakan orang-orang sebelummu,
mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka dan melanggar hal-hal yang
diharamkan bagi mereka.” (HR.Muslim)
5. Berdoa dan Memohon kepada Allah
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sikap menjaga martabat, dan
kekayaan.” (HR.Muslim)
6. Menjauhi Orang-Orang yang Suka Berkeluh Kesah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Seseorang mengikuti agama kawan dekatnya,
maka hendaklah setiap orang dari kalian memperhatikan siapa yang menjadi kawan
dekatnya.”
7. Melihat yang “di bawah”
“Andaikata anak Adam memiliki dua lembah emas, pasti ia ingin memiliki dua lembah, dan
mulutnya tidak kunjung bisa dipenuhi, kecuali dengan tanah. Dan Allah menerima taubat
siapa yang bertaubat.” (HR.Bukhari-Muslim)
Keutamaan Sifat Qona’ah
Kategori: Tazkiyatun Nufus
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang
secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas)
dengan rezki yang Allah berikan kepadanya”[1].
Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat
qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan
akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].
- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rizki yang Allah Ta’ala
berikan[4].
- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini
menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah,
termasuk dalam hal pembagian rizki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala
sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai rasulnya”[5].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-
Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak
diberikan-Nya[6].
- Yang dimaksud dengan rizki dalam hadits ini adalah rizki yang diperoleh dengan usaha
yang halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].
- Arti sabda beliau: “…yang secukupnya” adalah yang sekedar memenuhi kebutuhan, serta
tidak lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar rizki yang diminta oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau: “Ya
Allah, jadikanlah rizki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad
(shallallahu ‘alaihi wa sallam) Quutan“[9]. Artinya: yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan
hidup/seadanya[10].
Beranda
About
ARTIKEL
HUBUNGI SAYA
Search...
7 Faedah Qona’ah
Rate This
“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka
mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”
[Jami’ul ‘Ulum wal Hikam].
“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di
rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad
Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].
“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya
tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [An-Nahl: 97].
Kehidupan yang baik tidaklah identik dengan kekayaan yang melimpah ruah. Oleh
karenanya, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang
baik dalam ayat di atas adalah Allah memberikannya rezeki berupa rasa qana’ah di dunia ini,
sebagian ahli tafsir yang lain menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah Allah
menganugerahi rezeki yang halal dan baik kepada hamba [Tafsir ath-Thabari 17/290;
Maktabah asy-Syamilah].
Dapat kita lihat di dunia ini, tidak jarang, terkadang diri kita mengorbankan agama hanya
untuk memperoleh bagian yang teramat sedikit dari dunia. Tidak jarang bahkan kita
menerjang sesuatu yang diharamkan hanya untuk memperoleh dunia. Ini menunjukkan
betapa lemahnya rasa qana’ah yang ada pada diri kita dan betapa kuatnya rasa cinta kita
kepada dunia.
Tafsir kehidupan yang baik dengan anugerah berupa rezeki yang halal dan baik semasa di
dunia menunjukkan bahwa hal itu merupakan nikmat yang harus kita usahakan. Harta yang
melimpah ruah sebenarnya bukanlah suatu nikmat jika diperoleh dengan cara yang tidak
diridhai oleh Allah. Tapi sayangnya, sebagian besar manusia berkeyakinan harta yang
sampai ketangannya meski diperoleh dengan cara yang haram itulah rezeki yang halal.
Ingat, kekayaan yang dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban dari dua sisi, yaitu
bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana harta itu dihabiskan. Seorang yang
dianugerahi kekayaan melimpah ruah tentu pertanggungjawaban yang akan dituntut dari
dirinya di akhirat kelak lebih besar.
Seorang yang qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh.
Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan
sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti
kepada Abu Hurairah,
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling
bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].
Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-
kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan
minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah
kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan
rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau
ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu”
[Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206].
d. Memperoleh keberuntungan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan
mendapatkan keberuntungan.
Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,
“Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya
cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].
Abdullah bin Amr mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ق ْد أ ْفلح م ْن أ
وقنَّعهُ هللاُ بِما آتا ُه، و ُر ِزق كفافًا،سلم
“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah
menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim: 1054;
Tirmidzi: 2348].
e. Terjaga dari berbagai dosa
Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis
pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor terbesar
yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa
cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika bagian dunia
yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada minimnya rasa qana’ah.
Jika seseorang memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di
atas? Bagaimana bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha terhadap apa
yang telah ditakdirkan Allah?
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau
tidak dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela
seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak
akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian
seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan
ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan
kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan
kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al
Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].
Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,
“Dan Dia menjumpaimu dalam keadaan tidak memiliki sesuatu apapun, kemudian Dia
member kekayaan (kecukupan) kepadamu” [Adh-Dhuha: 8].
Ada ulama yang mengartikan bahwa kekayaan dalam ayat tersebut adalah kekayaan hati,
karena ayat ini termasuk ayat Makkiyah (diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah). Dan
pada saat itu, sudah dimaklumi bahwa nabi memiliki harta yang minim [Fath al-Baari
11/273].
Hal ini selaras dengan hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa kekayaan sejati itu
letaknya di hati, yaitu sikap qana’ah atas apa yang diberikan-Nya, bukan terletak pada
kuantitas harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ليْس ال ِغنى ع ْن كثْر ِة العر
ول ِكنَّ ال ِغنى ِغنى النَّ ْف ِس،ض
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia, akan tetapi kekayaan hakiki
adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)” [HR. Bukhari: 6446; Muslim: 1051].
Abu Dzar radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu adalah
kekakayaan sebenarnya?” Saya menjawab, “Iya, wahai rasulullah.” Beliau kembali bertanya,
“Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya harta?”
Diriku menjawab, “Benar, wahai rasulullah.” Beliau pun menyatakan, “Sesungguhnya
kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati”
[HR. An-Nasaai dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban: 685].
Apa yang dinyatakan di atas dapat kita temui dalam realita kehidupan sehari-hari. Betapa
banyak mereka yang diberi kenikmatan duniawi yang melimpah ruah, dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keturunannya selama berpuluh-puluh tahun, namun tetap tidak
merasa cukup sehingga ketamakan telah merasuk ke dalam urat nadi mereka. Dalam kondisi
demikian, bagaimana lagi dia bisa perhatian terhadap kualitas keagamaan yang dimiliki,
bukankah waktunya dicurahkan untuk memperoleh tambahan dunia?
Sebaliknya, betapa banyak mereka yang tidak memiliki apa-apa dianugerahi sifat qana’ah
sehingga merasa seolah-olah dirinyalah orang terkaya di dunia, tidak merendahkan diri di
hadapan sesama makhluk atau menempuh jalan-jalan yang haram demi memperbanyak
kuantitas harta yang ada.
Rahasianya terletak di hati sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena pentingnya
kekayaan hati ini, Umar radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu khutbahnya,
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai
putraku, jika dirimu hendak mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena qana’ah
merupakan harta yang tidak akan lekang” [Uyun al-Akhbar : 3/207].
ما مالُك؟
“Apa hartamu”,
beliau menjawab,
س ِم َّما فِي أ َّ الثِ ِّقةُ ِب:اسَ ِلي ماَل ِن َل أ ْخشى مع ُهما ا ْلف ْقر
ُ ْ وا ْليأ،ِاَّلل ِ َّْيدِي الن
“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah
ats-tsiqqatu billah (yakin kepada Allah atas rezeki yang dibagikan) dan tidak mengharapkan
harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963);
Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].
Sebagian ahli hikmah pernah ditanya, “Apakah kekayaan itu?” Dia menjawab, “Minimnya
angan-anganmu dan engkau ridha terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum ad-Diin
3/212].
g. Memperoleh kemuliaan
Kemuliaan terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan terletak pada ketamakan.
Mengapa demikian, karena seorang yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan
hidupnya pada manusia, sehingga dirinya pun dipandang mulia. Adapun orang yang tamak
justru akan menghinakan dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak diperolehnya.
Jibril ‘alaihissalam pernah berkata,
“Wahai Muhammad, kehormatan seorang mukmin terletak pada shalat malam dan
kemuliaannya terletak pada ketidakbergantungannya pada manusia” [HR. Hakim: 7921].
Al Hasan berkata,
“Engkau akan senantiasa mulia di hadapan manusia dan manusia akan senantiasa
memuliakanmu selama dirimu tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki. Jika engkau
melakukannya, niscaya mereka akan meremehkanmu, membenci perkataanmu dan
memusuhimu” [Al-Hilyah: 3/20].
فم ْن،اء ع ْن ُه ْم
ِ ستِ ْغن ِ سأل ِة ال َّن
ْ اس و ِاَل ْ اف ع ْن م ْ َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم ِب ْاْل ْم ِر ِب ِاَل
ِ ستِ ْعف َّ ِيث ع ِن النَّ ِب ِّي ِ صلَّى
ُ ت ْاْلحاد ِ وق ْد تكاثر
ُ ْ ْ
ُ ك ِرهُوه، فمن طلب ِمن ُه ْم ما يُ ِحبُّونه،وس بنِي آدم ُ ُ ْ َّن
ِ ك ِرهُوهُ وأبْغضُوهُ؛ ِْل المال محْ بُوب ِلنف،ِيه ْم ِ سأل النَّاس ما ِبأ ْيد
ِلذ ِلك
“Begitu banyak hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk bersikap
‘iifah (menjaga kehormatan) untuk tidak meminta-minta dan tidak bergantung kepada
manusia. Setiap orang yang meminta harta orang lain, niscaya mereka akan tidak suka dan
membencinya, karena harta merupakan suatu hal yang amat dicintai oleh jiwa anak Adam.
Oleh karenanya, seorang yang meminta orang lain untuk memberikan apa yang disukainya,
niscaya mereka akan membencinya” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].
Kepemimpinan dalam agama yang identik dengan kemuliaan pun dapat diperoleh jika
seorang ‘alim tidak menggantungkan diri kepada manusia, sehingga mereka tidak direpotkan
dengan berbagai kebutuhan hidup yang dituntutnya. Seyogyanya manusia membutuhkan sang
‘alim karena ilmu, fatwa dan nasehatnya. Mereka bukannya butuh ketamakan dari sang ‘alim.
Seorang Arab badui pernah bertanya kepada penduduk Bashrah,
ِبما ساد ُه ْم؟ قالُوا: قال، ُ ا ْلحسن:م ْن س ِيِّ ُد أ ْه ِل ه ِذ ِه ا ْلق ْري ِة؟ قالُوا: ست ْغنى هُو ع ْن دُن
ْ وا،اس ِإلى ِع ْل ِم ِه
ُ َّيا ُه ْمَْاحْ تاج الن
“Siapa tokoh agama di kota ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al Hasan.” Arab badui
bertanya kembali, “Dengan apa dia memimpin mereka?” Mereka menjawab, “Manusia butuh
kepada ilmunya, sedangkan dia tidak butuh dunia yang mereka miliki” [Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam 2/206].
Juli 1, 2010
Sifat Qona’ah (selalu merasa cukup dengan apa yang ada) merupakan harta kekayaan yang
tidak ada habisnya. Karena siapa saja yang telah memiliki sifat ini maka ia ibarat orang kaya
yang tidak lagi terpengaruh oleh godaan harta dan kedudukan yang dibentangkan dunia
untuknya. Ia hanya mengambil dunia seperlunya sesuai dengan kebutuhan minimalnya.
Orang yang memiliki sifat Qona’ah akan selalu bersyukur atas karunia yang diberikan Allah
subhanahu wata’ala padanya, tidak mengeluh dan tidak berharap lebih banyak dari rezeki
yang telah ditakdirkan Allah padanya. Sifat ini membuat pemiliknya tidak rakus akan dunia,
apalagi menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya.
Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan
dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang
dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang
menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh
Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di
dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang
dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.
Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan
perkataan Abu az-Zinad,
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima
kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah
tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang
dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum
musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan
pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu
berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at
menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang
dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan
ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa
banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat
bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak
datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-
Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk
berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di
hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan
kepada nabi,
علَى أَع
َ َ َولَ ْم يَزَ الُوا يَ ْر ِجعُون، َ سُحْ قًاْْإِنَّ ُه ْم قَ ْد بَدَّلُوا بَ ْعدَك، أ َ ََل سُحْ قًا:ُ فَأَقُول،قَابِ ِه ْم
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah
sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada
mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan
menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan
perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang
pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu
pendapat dan perbuatan.
Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai
berikut:
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan
dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang
menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-
Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan
mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan
mengatakan,
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan
kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari
pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta
rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya
tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli
untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih
benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
فَإِذَا نَسِيتُ فَذَ ِ ِّك ُرو ِني، َس ْون َ أ َ ْن،ِإنَّ َما أَنَا بَش ٌَر ِمثْلُ ُك ْم
َ سى َك َما ت َ ْن
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa.
Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum
mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong
kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat,
anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan
kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan
saudaranya.
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar
bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah
bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat
dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan
muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.
َ ب نَ ْف
ُ سهُ َك َما يُ َحا ِس
بش َ ون العَ ْبدُ ت َ ِقيًّا َحتَّى يُ َحا ِس
ُ ََْل يَ ُك
َ ُِري َكه
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia
mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah
sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-
menerus melakukan kebatilan.
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan
diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar
radhiallahu anhu mengatakan,
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal
tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan
nabi shallallahu alaihi wa sallam,
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal
terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati
untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada
kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud
disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di
kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya
adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya
dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi
menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di
negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun
pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan
anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja
turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga
mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk
memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan
mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang
terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain
disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk
berdamai?
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan
merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy
mengatakan,
َ ار ُه ْم َحتَّى َرأ َ ْوا ِمنَ التَّغَي ُِّر َما لَ ْم يَ ْع َهدُوهُ َولَ ْم يَ ْقد ُِروا
ِ علَى ِإ ْن َك
ار ِه ُ ت أ َ ْع َم َ ِإنَّ َما خَافُوا ِْلَنَّ ُه ْم
ْ َ ط ال
ِ س ُكو
ت ُّ فَخَافُوا أ َ ْن يَ ُكونُوا دَا َهنُوا بِال
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai
kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka
khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah
dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti
ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya
sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
Manusia merupakan makhluk yang lemah, betapa seringnya dia memiliki pendirian dan
sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama
dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan
sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku
orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Tahun baru adalah saat-saat yang tepat bagi kita untuk melakukan muhasabah atau
introspeksi diri. Gunakanlah pergantian tahun sebagai momen yang tepat untuk melakukan
perubahan diri. Beberapa tips untuk melakukan muhasabah yang baik adalah sebagai berikut:
1. Carilah tempat yang tanpa gangguan untuk muhasabah, misalnya di kamar yang sepi,
atau di masjid, atau di tempat yang kita agak asing di situ.
2. Bawa alat tulis dan buku khusus muhasabah. Ini penting, agar kelak, beberapa bulan
ke depan atau beberapa tahun ke depan jika suatu saat kita ingin mengukur sejauh
mana perubahan telah terjadi dalam diri kita, kita dapat melihatnya dari buku itu.
3. Berdo’a kepada Allah SWT dan mohonkan ampunan-Nya, kemudian mohonlah agar
dapat memuhasabah diri sebagai ikhtiar memperbaiki diri.
4. Renungkan berbagai kekurangan kita dalam beribadah kepada Allah SWT, baik
dalam muamalah kepada sesama ataupun berbagai aspek lain dalam hidup kita.
Gunakan pertimbangan ukhrowi saat merenungkan, maksudnya renungkanlah akibat
perbuatan kita dari sisi Allah, bukan hanya dari sisi duniawi saja. Catatlah renungan
di buku kita itu. Jangan malu menuliskan kekurangan kita. Format bebas sesuai
kesukaan masing-masing. Sebagai contoh, bisa dibagi kertas itu dalam 2 bagian.
Bagian yang lebar untuk menuliskan hasil muhasabah kita. bagian yang kecil nanti
untuk menuliskan solusinya.
5. Setelah merasa cukup menuliskan semua hal yang kita rasa perlu diperbaiki dalam diri
kita, barulah tuliskan solusi-solusinya di kertas bagian kanan di buku khusus kita itu.
Buatlah solusi yang riil (terjangkau) yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat. Bisa
harian atau mingguan. Setiap kita pastilah memiliki solusi-solusi yang berbeda
bergantung dengan cara pandang, pola pikir, dan wawasan kita.
6. Setelah usai membuat solusi, bacalah ulang semua yang telah kita tulis tadi.
Azzamkan/ teguhkan dalam diri kita bahwa kita akan menjalankan solusi-solusi riil
itu.
7. Perbanyaklah ibadah dan ketaatan pada Allah SWT dengan terus berdo’a agar
memperbaiki diri kita dan meneguhkan semua ikhtiar kita dalam menuju ridho-Nya.
Mintalah bantuannya ketika kita butuh bantuan diikuti dengan ikhtiar sebagai salah
satu syarat terkabulnya do’a kita itu. Ikutilah setiap kesalahan atau perbuatan buruk
yang kita perbuat dengan perbuatan baik. Lakukan terus menerus perbuatan baik yang
dicintai Allah SWT sebanyak-banyaknya.
8. Evaluasilah hasil kita dalam jangka waktu tertentu. bisa per 3 hari, lalu per minggu,
dan per bulan. Lakukan dengan konsisten dengan terus meningkatkan kapasitas
“solusi” yang kita buat. Terus perbaiki yang kurang dalam diri, dengan terus
memohon kepada Allah SWT.
9. Jika gagal, bangkit lagi, gagal, bangkit lagi, dan terus bangkit. jangan sampai kita
menyerah karena menyerah berarti lari dari rahmat Allah SWT.
Semoga dengan muhasabah yang baik kita akan menjadi hamba-Nya yang makin mendekat
kepada-Nya, mendekat pada syafaat Rasulullah SAW dan pada akhirnya, mendekat pada
surga-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Amin.
Wallahu’alam bisshawab.