Anda di halaman 1dari 19

Cara Membangun Sifat Qona’ah

More About : sifat konaah

Dibawah ini beberapa faktor yang mendukung kita untuk memperoleh akhlak yang sangat
berharga ini:
1. Ilmu agama
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain main-main dan sendau gurau. Dan sungguh
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu
memahaminya? (Al-An’am:32)
2. Keimanan yang mantap
Ilmu yang kita miliki (insya Allah) berbuah menjadi keimanan yang mantap. Kuat lemahnya
sifat qona’ah dalam menghadapi berbagai “fitnah” dunia ini, sesuai dengan tingkat kekuatan
iman yang ada pada setiap kita. Keimanan yang mantap salah satunya dapat dibangun melalui
keseriusan belajar agama (menuntut ilmu syar’i) disertai doa.
3. Pemahaman yang benar tentang qodho dan qodar
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.” (Az Zukhruf:32)
“Bersikaplah ridho terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia
yang paling kaya.” (HR.Ahmad)
4. Perjuangan Mental dan Bersabar
“Jauhilah sifat syuhh, karena sifat syuhh telah membinasakan orang-orang sebelummu,
mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka dan melanggar hal-hal yang
diharamkan bagi mereka.” (HR.Muslim)
5. Berdoa dan Memohon kepada Allah
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sikap menjaga martabat, dan
kekayaan.” (HR.Muslim)
6. Menjauhi Orang-Orang yang Suka Berkeluh Kesah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Seseorang mengikuti agama kawan dekatnya,
maka hendaklah setiap orang dari kalian memperhatikan siapa yang menjadi kawan
dekatnya.”
7. Melihat yang “di bawah”
“Andaikata anak Adam memiliki dua lembah emas, pasti ia ingin memiliki dua lembah, dan
mulutnya tidak kunjung bisa dipenuhi, kecuali dengan tanah. Dan Allah menerima taubat
siapa yang bertaubat.” (HR.Bukhari-Muslim)
Keutamaan Sifat Qona’ah
Kategori: Tazkiyatun Nufus

8 Komentar // 8 Mei 2011

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

َّ ُ‫قَدْ أ َ ْفلَ َح َم ْن أ َ ْسلَ َم َو ُر ِزقَ َكفَافًا َوقَنَّعَه‬


ُ‫َّللاُ بِ َما آت َاه‬

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang
secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas)
dengan rezki yang Allah berikan kepadanya”[1].

Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat
qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan
akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rizki yang Allah Ta’ala
berikan[4].

- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini
menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah,
termasuk dalam hal pembagian rizki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala
sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai rasulnya”[5].

Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-
Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak
diberikan-Nya[6].

- Yang dimaksud dengan rizki dalam hadits ini adalah rizki yang diperoleh dengan usaha
yang halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].

- Arti sabda beliau: “…yang secukupnya” adalah yang sekedar memenuhi kebutuhan, serta
tidak lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar rizki yang diminta oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau: “Ya
Allah, jadikanlah rizki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad
(shallallahu ‘alaihi wa sallam) Quutan“[9]. Artinya: yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan
hidup/seadanya[10].

- Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena


banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan
(kecukupan) dalam jiwa (hati)”[11].
- Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ridhahlah
(terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang
paling kaya (merasa kecukupan)”[12].

Dari artikel Keutamaan Sifat Qona’ah — Muslim.Or.Id by null

 Beranda
 About
 ARTIKEL
 HUBUNGI SAYA

Search...

7 Faedah Qona’ah

14 Apr 2012 Tinggalkan Sebuah Komentar

by chandra in ARTIKEL & GAMBAR, KESEHATAN, MASJID, VIDEO

Rate This

a. Hati akan dipenuhi dengan keimanan kepada Allah


Seorang yang qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga
diapun ridha terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat
kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang qana’ah beriman bahwa Allah
ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya, bahkan ketika sang
hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga, dia tidak akan berkeluh-kesah
mengadukan Rabb-nya kepada makhluk yang hina seperti dirinya.

Ibnu Mas’ud radhilallahu ‘anhu pernah mengatakan,

ِ ‫ق ِإذا قالُوا ليْس ِفي ا ْلب ْي‬


‫ت د ِقيق‬ ِ ‫لر ْز‬
ِّ ِ ‫ِإنَّ أ ْرجى ما أكُونُ ِل‬

“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka
mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”
[Jami’ul ‘Ulum wal Hikam].

‫يز ِم ْن قَ ْمحٍ َو ََل د ِْر َه ٌم‬ ِ ‫ْس فِي ْالبَ ْي‬


ٌ ‫ت قَ ِف‬ َ ‫ لَي‬:‫ظنًّا ِحينَ يَقُو ُل ْالخَا ِد ُم‬
َ ُ‫سنَ َما أ َ ُكون‬
َ ْ‫ِإ َّن أَح‬

“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di
rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad
Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].

Imam Ahmad mengatakan,

ْ ُ ‫امي إِل َّي ي ْوم أ‬


‫صبِ ُح وليْس ِع ْندِي ش ْيء‬ ِ َّ‫أس ُّر أي‬

“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya
tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].

b. Memperoleh kehidupan yang baik

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [An-Nahl: 97].

Kehidupan yang baik tidaklah identik dengan kekayaan yang melimpah ruah. Oleh
karenanya, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang
baik dalam ayat di atas adalah Allah memberikannya rezeki berupa rasa qana’ah di dunia ini,
sebagian ahli tafsir yang lain menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah Allah
menganugerahi rezeki yang halal dan baik kepada hamba [Tafsir ath-Thabari 17/290;
Maktabah asy-Syamilah].

Dapat kita lihat di dunia ini, tidak jarang, terkadang diri kita mengorbankan agama hanya
untuk memperoleh bagian yang teramat sedikit dari dunia. Tidak jarang bahkan kita
menerjang sesuatu yang diharamkan hanya untuk memperoleh dunia. Ini menunjukkan
betapa lemahnya rasa qana’ah yang ada pada diri kita dan betapa kuatnya rasa cinta kita
kepada dunia.

Tafsir kehidupan yang baik dengan anugerah berupa rezeki yang halal dan baik semasa di
dunia menunjukkan bahwa hal itu merupakan nikmat yang harus kita usahakan. Harta yang
melimpah ruah sebenarnya bukanlah suatu nikmat jika diperoleh dengan cara yang tidak
diridhai oleh Allah. Tapi sayangnya, sebagian besar manusia berkeyakinan harta yang
sampai ketangannya meski diperoleh dengan cara yang haram itulah rezeki yang halal.
Ingat, kekayaan yang dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban dari dua sisi, yaitu
bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana harta itu dihabiskan. Seorang yang
dianugerahi kekayaan melimpah ruah tentu pertanggungjawaban yang akan dituntut dari
dirinya di akhirat kelak lebih besar.

c. Mampu merealisasikan syukur kepada Allah

Seorang yang qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh.
Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan
sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti
kepada Abu Hurairah,

ِ َّ‫ تك ُْن أعْبد الن‬،‫اس َيا أبا هُريْرة ك ُْن و ِرعًا‬


‫ تك ُْن أشْكر‬،‫ وك ُْن قنِ ًعا‬،‫اس‬ ِ َّ‫الن‬

“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling
bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].

Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-
kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan
minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah
kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan
rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau
ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu”
[Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206].

d. Memperoleh keberuntungan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan
mendapatkan keberuntungan.

Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,

‫شهُ كفافًا وقنع‬


ُ ‫ وكان ع ْي‬،‫سَل ِم‬ ُ
ِ ‫طوبى ِلم ْن ُهدِي ِإلى‬
ْ ‫اإل‬

“Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya
cukup dan dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].

Abdullah bin Amr mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫ق ْد أ ْفلح م ْن أ‬
‫ وقنَّعهُ هللاُ بِما آتا ُه‬،‫ و ُر ِزق كفافًا‬،‫سلم‬

“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah
menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim: 1054;
Tirmidzi: 2348].
e. Terjaga dari berbagai dosa

Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis
pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor terbesar
yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa
cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika bagian dunia
yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada minimnya rasa qana’ah.

Jika seseorang memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di
atas? Bagaimana bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha terhadap apa
yang telah ditakdirkan Allah?

Abdullah bin Mas’ud radhiallalhu ‘anhu mengatakan,

‫الر ْزق َل‬ َّ ‫ وَل تلُ ْم أحدًا على ما ل ْم يُؤْ تِك‬،ِ‫َّللا‬


ِّ ِ َّ‫ ف ِإن‬،ُ‫َّللا‬ َّ ‫ق‬ِ ‫سد أحدًا على ِر ْز‬ُ ْ‫ وَل تح‬،ِ‫َّللا‬ ُ ِ‫ا ْلي ِقينُ أ ْن َل ت ُْر ِضي النَّاس ب‬
َّ ‫س ْخ ِط‬
‫الر ْوح وا ْلفرح فِي‬ َّ ‫س ِط ِه و ِع ْل ِم ِه و ُحك ِْم ِه – جعل‬ ْ ‫َّللا تبارك وتعالى – ِب ِق‬ َّ َّ‫ ف ِإن‬،ٍ‫ وَل ي ُر ُّد ُه كراهةُ ك ِاره‬،‫يص‬
ٍ ‫ص ح ِر‬ ُ ‫سوقُهُ ِح ْر‬ ُ ‫ي‬
ْ
‫سخ ِط‬ ْ ْ ْ
ُّ ‫ وجعل اله َّم وال ُحزن فِي الش َِِّّك وال‬،‫الرضا‬ ِّ ِ ‫ين و‬ ْ
ِ ‫الي ِق‬

“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau
tidak dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela
seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak
akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian
seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan
ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan
kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan
kebencian (atas apa yang telah ditakdirkan Allah)” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al
Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].

Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Saya menjumpai yang mengalami kesedihan


berkepanjangan adalah mereka yang hasad sedangkan yang memperoleh ketenangan hidup
adalah mereka yang qana’ah” [Al Qana’ah karya Ibnu as-Sunni hlm. 58].

f. Kekayaan sejati terletak pada sifat qana’ah

Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,

‫ووجدك عا ِئ ًَل فأغنى‬

“Dan Dia menjumpaimu dalam keadaan tidak memiliki sesuatu apapun, kemudian Dia
member kekayaan (kecukupan) kepadamu” [Adh-Dhuha: 8].

Ada ulama yang mengartikan bahwa kekayaan dalam ayat tersebut adalah kekayaan hati,
karena ayat ini termasuk ayat Makkiyah (diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah). Dan
pada saat itu, sudah dimaklumi bahwa nabi memiliki harta yang minim [Fath al-Baari
11/273].

Hal ini selaras dengan hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa kekayaan sejati itu
letaknya di hati, yaitu sikap qana’ah atas apa yang diberikan-Nya, bukan terletak pada
kuantitas harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ليْس ال ِغنى ع ْن كثْر ِة العر‬
‫ ول ِكنَّ ال ِغنى ِغنى النَّ ْف ِس‬،‫ض‬

“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia, akan tetapi kekayaan hakiki
adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)” [HR. Bukhari: 6446; Muslim: 1051].

Abu Dzar radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu adalah
kekakayaan sebenarnya?” Saya menjawab, “Iya, wahai rasulullah.” Beliau kembali bertanya,
“Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya harta?”
Diriku menjawab, “Benar, wahai rasulullah.” Beliau pun menyatakan, “Sesungguhnya
kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati”
[HR. An-Nasaai dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban: 685].

Apa yang dinyatakan di atas dapat kita temui dalam realita kehidupan sehari-hari. Betapa
banyak mereka yang diberi kenikmatan duniawi yang melimpah ruah, dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keturunannya selama berpuluh-puluh tahun, namun tetap tidak
merasa cukup sehingga ketamakan telah merasuk ke dalam urat nadi mereka. Dalam kondisi
demikian, bagaimana lagi dia bisa perhatian terhadap kualitas keagamaan yang dimiliki,
bukankah waktunya dicurahkan untuk memperoleh tambahan dunia?

Sebaliknya, betapa banyak mereka yang tidak memiliki apa-apa dianugerahi sifat qana’ah
sehingga merasa seolah-olah dirinyalah orang terkaya di dunia, tidak merendahkan diri di
hadapan sesama makhluk atau menempuh jalan-jalan yang haram demi memperbanyak
kuantitas harta yang ada.

Rahasianya terletak di hati sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena pentingnya
kekayaan hati ini, Umar radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu khutbahnya,

ِ ْ َّ‫ وأن‬،‫ست ْغنى ع ْن ُه ْمَِت ْعل ُمون أنَّ ال َّطمع ف ْقر‬


‫ و ِإنَّهُ م ْن أ ِيس ِم َّما ع‬،‫اإلياس ِغنًى‬ ِ َّ‫ْند الن‬
ْ ‫اس ا‬

“Tahukah kalian sesungguhnya ketamakan itulah kefakiran dan sesungguhnya tidak


berangan-angan panjang merupakan kekayaan. Barangsiapa yang tidak berangan-angan
memiliki apa yang ada di tangan manusia, niscaya dirinya tidak butuh kepada mereka” [HR.
Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd: 631].

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai
putraku, jika dirimu hendak mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena qana’ah
merupakan harta yang tidak akan lekang” [Uyun al-Akhbar : 3/207].

Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya,

‫ما مالُك؟‬

“Apa hartamu”,

beliau menjawab,

‫س ِم َّما فِي أ‬ َّ ‫ الثِ ِّقةُ ِب‬:‫اسَ ِلي ماَل ِن َل أ ْخشى مع ُهما ا ْلف ْقر‬
ُ ْ ‫ وا ْليأ‬،ِ‫اَّلل‬ ِ َّ‫ْيدِي الن‬
“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah
ats-tsiqqatu billah (yakin kepada Allah atas rezeki yang dibagikan) dan tidak mengharapkan
harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963);
Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].

Sebagian ahli hikmah pernah ditanya, “Apakah kekayaan itu?” Dia menjawab, “Minimnya
angan-anganmu dan engkau ridha terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum ad-Diin
3/212].

g. Memperoleh kemuliaan

Kemuliaan terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan terletak pada ketamakan.
Mengapa demikian, karena seorang yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan
hidupnya pada manusia, sehingga dirinya pun dipandang mulia. Adapun orang yang tamak
justru akan menghinakan dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak diperolehnya.
Jibril ‘alaihissalam pernah berkata,

ْ ‫ف ا ْل ُمؤْ ِم ِن قِيا ُم اللَّ ْي ِل و ِع ُّزهُ ا‬


‫ستِ ْغنا ُؤهُ ع ِن النَّا ِس‬ ُ ‫يا ُمح َّم ُد شر‬

“Wahai Muhammad, kehormatan seorang mukmin terletak pada shalat malam dan
kemuliaannya terletak pada ketidakbergantungannya pada manusia” [HR. Hakim: 7921].

Al Hasan berkata,

ْ ‫ ف ِإذا فع ْلت ذ ِلك ا‬،‫ِيه ْم‬


‫ وك ِرهُوا‬،‫ستخفُّوا ِبك‬ ِ ‫اط ما ِفي أ ْيد‬ ُ َّ‫اس – أ ْو َل يزا ُل الن‬
ِ ‫اس يُك ِْر ُمونك ما ل ْم ت ُع‬ ِ َّ‫َل تزا ُل ك ِري ًما على الن‬
‫حدِيثك وأبْغضُوك‬

“Engkau akan senantiasa mulia di hadapan manusia dan manusia akan senantiasa
memuliakanmu selama dirimu tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki. Jika engkau
melakukannya, niscaya mereka akan meremehkanmu, membenci perkataanmu dan
memusuhimu” [Al-Hilyah: 3/20].

Al Hafizh Ibnu Rajab mengatakan,

‫ فم ْن‬،‫اء ع ْن ُه ْم‬
ِ ‫ستِ ْغن‬ ِ ‫سأل ِة ال َّن‬
ْ ‫اس و ِاَل‬ ْ ‫اف ع ْن م‬ ْ ‫َّللاُ عل ْي ِه وسلَّم ِب ْاْل ْم ِر ِب ِاَل‬
ِ ‫ستِ ْعف‬ َّ ‫ِيث ع ِن النَّ ِب ِّي ِ صلَّى‬
ُ ‫ت ْاْلحاد‬ ِ ‫وق ْد تكاثر‬
ُ ْ ْ
ُ‫ ك ِرهُوه‬،‫ فمن طلب ِمن ُه ْم ما يُ ِحبُّونه‬،‫وس بنِي آدم‬ ُ ُ ْ َّ‫ن‬
ِ ‫ ك ِرهُوهُ وأبْغضُوهُ؛ ِْل المال محْ بُوب ِلنف‬،‫ِيه ْم‬ ِ ‫سأل النَّاس ما ِبأ ْيد‬
‫ِلذ ِلك‬

“Begitu banyak hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk bersikap
‘iifah (menjaga kehormatan) untuk tidak meminta-minta dan tidak bergantung kepada
manusia. Setiap orang yang meminta harta orang lain, niscaya mereka akan tidak suka dan
membencinya, karena harta merupakan suatu hal yang amat dicintai oleh jiwa anak Adam.
Oleh karenanya, seorang yang meminta orang lain untuk memberikan apa yang disukainya,
niscaya mereka akan membencinya” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].

Kepemimpinan dalam agama yang identik dengan kemuliaan pun dapat diperoleh jika
seorang ‘alim tidak menggantungkan diri kepada manusia, sehingga mereka tidak direpotkan
dengan berbagai kebutuhan hidup yang dituntutnya. Seyogyanya manusia membutuhkan sang
‘alim karena ilmu, fatwa dan nasehatnya. Mereka bukannya butuh ketamakan dari sang ‘alim.
Seorang Arab badui pernah bertanya kepada penduduk Bashrah,
‫ ِبما ساد ُه ْم؟ قالُوا‬:‫ قال‬، ُ‫ ا ْلحسن‬:‫م ْن س ِيِّ ُد أ ْه ِل ه ِذ ِه ا ْلق ْري ِة؟ قالُوا‬: ‫ست ْغنى هُو ع ْن دُن‬
ْ ‫ وا‬،‫اس ِإلى ِع ْل ِم ِه‬
ُ َّ‫يا ُه ْمَْاحْ تاج الن‬

“Siapa tokoh agama di kota ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al Hasan.” Arab badui
bertanya kembali, “Dengan apa dia memimpin mereka?” Mereka menjawab, “Manusia butuh
kepada ilmunya, sedangkan dia tidak butuh dunia yang mereka miliki” [Jami’ al-‘Ulum wa
al-Hikam 2/206].

Sumber: Al Qana’ah, Mafhumuha, Manafi’uha, ath-Thariqu ilaiha karya Ibrahim bin


Muhammad al-Haqil disertai beberapa penambahan.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Membangun sifat Qona’ah


Filed under: Tasawuf — 1 Komentar

Juli 1, 2010

Sifat Qona’ah (selalu merasa cukup dengan apa yang ada) merupakan harta kekayaan yang
tidak ada habisnya. Karena siapa saja yang telah memiliki sifat ini maka ia ibarat orang kaya
yang tidak lagi terpengaruh oleh godaan harta dan kedudukan yang dibentangkan dunia
untuknya. Ia hanya mengambil dunia seperlunya sesuai dengan kebutuhan minimalnya.
Orang yang memiliki sifat Qona’ah akan selalu bersyukur atas karunia yang diberikan Allah
subhanahu wata’ala padanya, tidak mengeluh dan tidak berharap lebih banyak dari rezeki
yang telah ditakdirkan Allah padanya. Sifat ini membuat pemiliknya tidak rakus akan dunia,
apalagi menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya.

Syarat-syarat Terbentuknya Sifat Qona’ah


Fondasi yang utama dan pertama untuk menumbuhkan sifat ini adalah keyakinan yang benar.
Keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal Allah dengan nama dan sifat-sifat-
Nya berikut keagungan dan keindahan yang dikandungnya; keimanan yang mantap kepada
hari akhir, keyakinan yang benar tentang takdir yang baik dan buruk; semua itu merupakan
landasan utama untuk menumbuhkan sifat dan karakter mental yang sangat mahal harganya
ini.
Keimanan dan pengetahuan seorang mukmin terhadap Allah beserta nama dan sifatnya; akan
menjadikan dirinya merenungkan firman, perintah dan penjelasan-Nya; yang hasilnya ia akan
memahami hakikat dunia, hakikat dirinya, dan hakikat qona’ah beserta manfaatnya di dunia
dan di akhirat.
Keimanan kepada hari akhir akan mendorong seorang mukmin untuk memiliki sikap zuhud
terhadap dunia. Pemikirannya selalu tertuju kepada hari akhir dan seluruh rangkaiannya,
terutama ketika amal-amal kita dihisab. Dengan bekal ini ia paham, bahwa hidup dunia
hanyalah sementara, sebagaimana yang ia pelajari dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, “Apa perluku dengan dunia? Perumpamaanku dengan dunia hanyalah ibarat
pengendara yang tidur siang sejenak di bawah naungan sebuah pohon, kemudian berangkat di
sore hari dan meninggalkannya.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi).
Hal ini akan menjadikannya bersikap menerima apapun yang terjadi dengan dirinya dengan
senang hati.
Keimanan terhadap takdir yang baik maupun buruk akan memberikan sikap tenang dan ridho
terhadap apa yang dialami, suka maupun duka. Hatinya senantiasa lapang, ia tidak mengenal
kata gundah dengan sedikitnya rizki, lemahnya daya, maupun kemiskinan yang menimpanya.
Cara Membangun Sifat Qona’ah
Dibawah ini beberapa faktor yang mendukung kita untuk memperoleh akhlak yang sangat
berharga ini:
1. Ilmu agama
Ilmu agama merupakan faktor utama untuk memperoleh harta yang tidak terkira ini. Dengan
ilmu, kita mengetahui hakikat, manfaat, dan bahaya jika melalaikan qona’ah. Ilmu agama
menjelaskan kepada kita hakikat dunia, menyingkap rahasia-rahasianya, dan bahaya-bahaya
terlalu berorientasi kepadanya. Ilmu agama akan mendorong kita untuk mencintai dan
mengerahkan seluruh perhatian kita kepada kampung akhirat, kehidupan yang kekal dan
abadi.
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain main-main dan sendau gurau. Dan sungguh
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu
memahaminya? (Al-An’am:32)
Dengan ilmu pula kita memperoleh pengetahuan tentang Allah Azza wa ‘Ala dengan seluruh
nama-Nya yang husna dan sifat-Nya yang tinggi. Kebenaran akidah: iman kepada hari akhir
dan iman kepada takdir yang baik maupun buruk, yang hal itu merupakan pondasi dasar yang
memiliki pengaruh sangat besar dalam mewujudkan sifat qona’ah, semuanya dapat diperoleh
dengan ilmu agama.
2. Keimanan yang mantap
Ilmu yang kita miliki (insya Allah) berbuah menjadi keimanan yang mantap. Kuat lemahnya
sifat qona’ah dalam menghadapi berbagai “fitnah” dunia ini, sesuai dengan tingkat kekuatan
iman yang ada pada setiap kita. Keimanan yang mantap salah satunya dapat dibangun melalui
keseriusan belajar agama (menuntut ilmu syar’i) disertai doa.
3. Pemahaman yang benar tentang qodho dan qodar
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi-bagi rizki dan keadaan hidup seluruh manusia
sejak zaman azali sesuai takdir yang telah ditetapkan-Nya. Pembagian yang dilakukan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan ketetapan berdasarkan kebijaksanaan dan ilmu-Nya.
Hendaknya kita memahami bahwa ambisi, keluh kesah, dan perhatian kita terhadap dunia dan
harta, tidak akan menambah rizki kita yang telah ditetapkan dalam taqdir (qodho dan qodar),
karena tidak mungkin kita bisa mengoreksi ketetapan taqdir dan qodar Allah. Pemahaman
terhadap takdir ini harus benar dan sesuai ilmu yang syar’i, karena hanya dengan pemahaman
yang mantap dan benar terhadap makna taqdir maka kita dapat menumbuhkan sifat qona’ah,
tenang, rileks, terlepas apakah kita kaya maupun miskin.
Sikap ridho seorang mukmin dalam menghadapi ketetapan qodha dan qodar Allah akan
memberikan kepadanya mata yang jeli dalam melihat kondisi kehidupan dan hakikat
pembagiannya. Yang menetapkan rizkinya adalah Allah, Allah juga yang telah membeda-
bedakan tingkat rizki, melebihkan yang satu terhadap yang lainnya. Perbedaan ini merupakan
ujian bagi kita; ujian bagi orang kaya engan kelebihannya, ujian bagi orang miskin dengan
kekurangannya. Perbedaan antara orang kaya dengan orang miskin dalam rizki bukan
merupakan bukti mengenai perbedaan kedudukan keduanya di dunia maupun di sisi Allah
Azza wa Jalla.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.” (Az Zukhruf:32)
“Bersikaplah ridho terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia
yang paling kaya.” (HR.Ahmad)
4. Perjuangan Mental dan Bersabar
Sesuai dengan kebijaksanan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kita nafsu yang
senantiasa menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat Tuhan.(Yusuf:53).
Salah satu bentuk keliaran nafsu adalah permusuhannya terhadap sikap qona’ah. Selama kita
tidak melawan nafsu beserta keliarannya, ketika itu kita telah membuka pintu-pintu ambisi,
ketamakan, kerakusan, kekikiran, dan keluh kesah.
“Jauhilah sifat syuhh, karena sifat syuhh telah membinasakan orang-orang sebelummu,
mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka dan melanggar hal-hal yang
diharamkan bagi mereka.” (HR.Muslim)
Imam Ibnu Rojab al Hanbali rahimahullah menjelaskan bahwa syuhh adalah ambisi besar
yang mendorong pemilikinya mengambil banyak hal yang tidak halal, tidak menunaikan
kewajiban terhadapnya. Substansi sifat ini adalah kerinduan diri kepada apa yang diharamkan
oelh Allah serta tidak puas dengan yang telah dihalalkan oelh Alloh, baik menyangkut harta,
kemaluan, atau lainnya.
Mengendalikan nafsu dan memaksanya memiliki sikap qona’ah membutuhkan kesabaran dan
ketabahan dari seorang mukmin. Kesabaran di sini berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan
dan hal-hal yang meragukan; karena sifat qona’ah menuntut sikap zuhud (merendahkan diri),
ridho (menerima), dan waro’ (hati-hati). Sabar dalam ketaatan dan tidak berbuat maksiat.
5. Berdoa dan Memohon kepada Allah
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sikap menjaga martabat, dan
kekayaan.” (HR.Muslim)
Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullah, berkata: ”Ini merupakan salah satu doa
yang paling luas cakupan maknanya dan paling bermanfaat. Doa ini mengandung
permohonan agar dikarunia kebaikan di dunia dan akhirat. ‘Afaf (sikap menjaga martabat)
dan ghina (kekayaan) mengandung arti menjaga kehormatan di hadapan sesama manusia,
tidak menggantungkan diri kepada mereka dan merasa kaya dengan Alloh, rizki-Nya, sikap
menerima dengan senang hati terhadap apa yang ada pada dirinya, serta diperolehnya
kecukupan yang bisa menenangkan hati. Dengan semua itu, sempurnalah kebahagiaan hidup
di dunia dan ketenangan batin, dan itulah hayah thoyyibah (kehidupan yang baik).
6. Menjauhi Orang-Orang yang Suka Berkeluh Kesah
Teman, kawan, orang-orang di sekitar kita, sangat besar pengaruhnya pada diri kita. Siapa
yang lama berkawan dengan orang-orang yang suka berkeluh kesah dan ambisius, maka akan
tertimpa penyakit mereka. Hawa nafsu dan akhlak mereka akan menular kepada dirinya.
Sebaliknya, berkawan dengan orang-orang sholih, senantiasa berdzikir, zuhud (sekalipun
mereka adalah orang-orang kaya dan lapang), akan mendorong kita mengikuti mereka:
memiliki sifat qona’ah, zuhud, menerima dengan senang hati semua rizki yang telah
dibagikan oleh Allah.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Seseorang mengikuti agama kawan dekatnya,
maka hendaklah setiap orang dari kalian memperhatikan siapa yang menjadi kawan
dekatnya.”
7. Melihat yang “di bawah”
“Andaikata anak Adam memiliki dua lembah emas, pasti ia ingin memiliki dua lembah, dan
mulutnya tidak kunjung bisa dipenuhi, kecuali dengan tanah. Dan Allah menerima taubat
siapa yang bertaubat.” (HR.Bukhari-Muslim)
Manusia, memiliki watak dasar yang mendorongnya utnuk mencintai harta dan dunia.
(terkadang) hal ini menjadikan kita melupakan nikmat-nikmat yang telah Allah berikan
kepada kita. Bagaimanapun keadaan yang ada pada diri kita, setiap kita pasti telah dikaruniai
nikmat dari Allah yang saking banyaknya tidak mampu kita inventarisir dan hitung. Bukan
hanya telah, tapi semua yang telah dan akan kita alami adalah nikmat dan karunia Allah yang
terkira.
Namun, nikmat dan karunia yang telah Allah berikan secara gratis kepada kita, terkadang
terabaikan. Kita merasa kurang dan kurang… kita tidak peduli dan tidak menyadari
nilainya… Hal ini bisa jadi karena kita selalu melihat orang-orang yang mendapat nikmat
lebih baik dari kita.
Seandainya kita melihat orang-orang yang tidak seberuntung kita, orang-orang yang ada
“dibawah” kita… atau satu atau beberapa nikmat dari Allah dicabut (misal: nikmat sehat)…
baru kita merasakan nikmat-nikmat itu… barulah kita merasa tenang; oleh karena itu; salah
satu faktor yang mendorong tumbuhnya sifat qona’ah adalah melihat orang yang keadaannya
“dibawah” kita.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Lihatlah kepada siapa yang lebih rendah
dari kalian, jangan melihat kepada siapa yang lebih tinggi dari kalian; karena itu akan
menjadikan kalian tidak menyepelekan nikmat Allah.” (HR.Bukhori)
Inilah beberapa cara untuk menumbuhkan sifat qona’ah dan menerima dengan senang hati
rizki dan penghidupan yang telah dibagikan Allah kepada setiap kita.
Semoga Allah senantiasa menghiasi diri, keluarga, dan keturunan kita; serta kaum muslimin
dengan sifat qona’ah. Aamiin.
Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupa
Kategori: Akhlaq dan Nasehat

6 Komentar // 7 Januari 2012

Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan
dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang
dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang
menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh
Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di
dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang
dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.

Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri

Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan
perkataan Abu az-Zinad,

‫كثيرا على خالف الرأي‬


ً ‫إن السنن ووجوه الحق لتأتي‬
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi”
[HR. Bukhari].

Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima
kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah
tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang
dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum
musyrikin?

Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan
pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu
berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at
menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang
dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan
ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa
banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat
bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.

Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak
datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-
Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk
berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di
hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan
kepada nabi,

‫علَى أَع‬
َ َ‫ َولَ ْم يَزَ الُوا يَ ْر ِجعُون‬، َ‫ سُحْ قًاْْإِنَّ ُه ْم قَ ْد بَدَّلُوا بَ ْعدَك‬،‫ أ َ ََل سُحْ قًا‬:ُ‫ فَأَقُول‬،‫قَابِ ِه ْم‬
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah
sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].

Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada
mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan
menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan
perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang
pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu
pendapat dan perbuatan.

Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri

Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai
berikut:

Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain

Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan
dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang
menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-
Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan
mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan
mengatakan,

َّ ‫اجعُنِي ِفي ِه َحتَّى ش ََر َح‬


َ َ‫َّللاُ ِلذَلِك‬
‫صد‬ ِ ‫ع َم ُر ي َُر‬ ُ ‫ َو َرأَيْتُ الَّذِي َرأَى‬،‫ِري‬
ُ ‫ع َم ُرْْفَلَ ْم يَزَ ْل‬
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu
hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar”
[HR. Bukhari].

Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan
kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari
pihak yang memiliki pendapat berbeda.

Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih

Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta
rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya
tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli
untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih
benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,

‫ فَإِذَا نَسِيتُ فَذَ ِ ِّك ُرو ِني‬، َ‫س ْون‬ َ ‫ أ َ ْن‬،‫ِإنَّ َما أَنَا بَش ٌَر ِمثْلُ ُك ْم‬
َ ‫سى َك َما ت َ ْن‬
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa.
Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].

Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum
mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong
kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat,
anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan
kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan
saudaranya.

َ َ ‫ َو ِإ ْن ذَ َك َر أ‬،ُ‫ِي ذَ َّك َره‬


ُ‫عانَه‬ َ ‫ ِإ ْن نَس‬،‫ق‬
ٍ ‫ص ْد‬
ِ ‫ير‬ ِ ‫َّللاُ ِب ْاْل َ ِم‬
َ ‫ير َخي ًْرا َجعَ َل لَهُ َو ِز‬ َّ َ‫ِإذَا أ َ َراد‬
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan
memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya
lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].

Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar
bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah
bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,

ِ ‫ { ُخ ِذ العَ ْف َو َوأْ ُم ْر ِبالعُ ْر‬:‫سلَّ َم‬


‫ف‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللاَ تَعَالَى قَا َل ِلنَ ِب ِيِّ ِه‬ َ ‫يَا أ َ ِم‬
َّ ‫ ِإ َّن‬، َ‫ير ال ُمؤْ ِمنِين‬
ُ ‫اوزَ هَا‬
‫ع َم ُر‬ َ ‫َّللاِ َما َج‬َّ ‫ « َو‬، َ‫ َو ِإ َّن َهذَا ِمنَ ال َجا ِهلِين‬، [199 :‫ع ِن ال َجا ِهلِينَ } ]اْلعراف‬ َ ‫ض‬ ْ ‫َوأَع ِْر‬
َّ ‫ب‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫ َو َكانَ َوقَّافًا ِع ْندَ ِكتَا‬،‫علَ ْي ِه‬َ ‫«حينَ تَالَهَا‬ ِ
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan
maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini
termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak
menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap
al-Quran.” [HR. Bukhari].

Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat
dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.

Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah

Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan
muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,

ِ ‫ َوت َزَ يَّنُوا ِل ْلعَ ْر‬،‫سبُوا‬


‫ض اْل َ ْكبَ ِر‬ َ ‫س ُك ْم قَ ْب َل أ َ ْن ت ُ َحا‬
َ ُ‫َحا ِسبُوا أ َ ْنف‬
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk
pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,

َ ‫ب نَ ْف‬
ُ ‫سهُ َك َما يُ َحا ِس‬
‫بش‬ َ ‫ون العَ ْبدُ ت َ ِقيًّا َحتَّى يُ َحا ِس‬
ُ ‫ََْل يَ ُك‬
َ ُ‫ِري َكه‬
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia
mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah
sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-
menerus melakukan kebatilan.

Faedah Mengintrospeksi Diri

Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:

Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan

Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan
diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar
radhiallahu anhu mengatakan,

‫ب نَ ْف َسهُ فِي الدُّ ْنيَا‬


َ ‫علَى َم ْن َحا َس‬
َ ‫اب يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬
ُ ‫س‬َ ‫الح‬
ِ ‫ف‬ ُّ ‫َوإِنَّ َما يَ ِخ‬
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu
menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].

Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal
tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan
nabi shallallahu alaihi wa sallam,

‫علَ ْي ُك ْم ذُ ًَّل ََل‬ َّ ‫ط‬


َ ُ‫َّللا‬ َ ،َ‫ َوت َ َر ْكت ُ ُم ْال ِج َهاد‬،ِ‫الز ْرع‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫ َو َر‬،‫َاب ْالبَقَ ِر‬
َّ ِ‫ضيت ُ ْم ب‬ َ ‫ َوأ َ َخ ْذت ُ ْم أ َ ْذن‬، ‫إِذَا تَبَايَ ْعت ُ ْم بِ ْال ِعينَ ِة‬
‫عهُ َحتَّى ت َ ْر ِجعُوا ِإلَى دِينِ ُك ْم‬ ُ ‫يَ ْن ِز‬
“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat
zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela
agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan
mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran agama”

Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,

‫حتى يراجعوا دينهم‬


“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].

Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal
terangkatnya musibah dan kehinaan.

Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia

Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati
untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada
kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud
disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di
kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya
adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya
dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi
menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di
negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun
pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan
anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja
turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga
mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].

Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk
memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan
mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.

Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia

Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang
terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‫ ِإ ََّل َر ُج ٌل‬،‫ش ْيئًا‬ ِ َّ ‫ع ْب ٍد ََل يُ ْش ِركُ ِب‬


َ ‫اَلل‬ ِ ‫اب ْال َجنَّ ِة ت ُ ْفت َ ُح يَ ْو َم ِاَلثْنَي ِْن َويَ ْو َم ْالخ َِم‬
َ ‫ فَيُ ْغفَ ُر ِل ُك ِِّل‬،‫يس‬ َ ‫ِإ َّن أَب َْو‬
‫ط ِل َحا ” َم َّرتَي ِْن‬ َ ‫ص‬ ْ َ‫ أ َ ْن ِظ ُرو ُه َما َحتَّى ي‬:ُ‫ فَيُقَال‬،‫بَ ْينَهُ َوبَيْنَ أ َ ِخي ِه شَحْ نَا ُء‬
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut
seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya.
Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai”
[Sanadnya shahih. HR. Ahmad].

Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain
disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk
berdamai?

Keempat, terbebas dari sifat nifak

Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan
merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy
mengatakan,

‫ع َم ِلي إِ ََّل َخ ِشيتُ أ َ ْن أ َ ُكونَ ُم َك ِذِّبًا‬


َ ‫علَى‬
َ ‫ضتُ قَ ْو ِلي‬
ْ ‫ع َر‬
َ ‫َما‬
“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir
jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”

Ibnu Abi Malikah juga berkata,

ُ ‫ ُكلُّ ُه ْم يَخ‬،‫سلَّ َم‬


‫ َما ِم ْن ُه ْم‬،‫َاف النِِّفَاقَ َعلَى نَ ْف ِس ِه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ِِّ ‫ب النَّ ِب‬ ْ َ ‫أ َ ْد َر ْكتُ ثَالَثِينَ ِم ْن أ‬
ِ ‫ص َحا‬
‫ان ِجب ِْري َل َو ِمي َكائِي َل‬ ِ ‫علَى إِي َم‬َ ُ‫ إِنَّه‬:ُ‫أ َ َحدٌ يَقُول‬
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua
mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang
mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu
Baththal yang menyatakan,

َ ‫ار ُه ْم َحتَّى َرأ َ ْوا ِمنَ التَّغَي ُِّر َما لَ ْم يَ ْع َهدُوهُ َولَ ْم يَ ْقد ُِروا‬
ِ ‫علَى ِإ ْن َك‬
‫ار ِه‬ ُ ‫ت أ َ ْع َم‬ َ ‫ِإنَّ َما خَافُوا ِْلَنَّ ُه ْم‬
ْ َ ‫ط ال‬
ِ ‫س ُكو‬
‫ت‬ ُّ ‫فَخَافُوا أ َ ْن يَ ُكونُوا دَا َهنُوا بِال‬
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai
kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka
khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].

Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah
dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti
ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya
sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,

‫إن هللا َل يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم‬


“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-
Ra`d 11).

Manusia merupakan makhluk yang lemah, betapa seringnya dia memiliki pendirian dan
sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama
dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan
sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku
orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Disadur dari artikel al-Muraja’ah wa at-Tashhih

Dari artikel Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupa — Muslim.Or.Id by null

Tips Bermuhasabah (Introspeksi diri)


Tips Add comments
Dec 302010

Tahun baru adalah saat-saat yang tepat bagi kita untuk melakukan muhasabah atau
introspeksi diri. Gunakanlah pergantian tahun sebagai momen yang tepat untuk melakukan
perubahan diri. Beberapa tips untuk melakukan muhasabah yang baik adalah sebagai berikut:

1. Carilah tempat yang tanpa gangguan untuk muhasabah, misalnya di kamar yang sepi,
atau di masjid, atau di tempat yang kita agak asing di situ.
2. Bawa alat tulis dan buku khusus muhasabah. Ini penting, agar kelak, beberapa bulan
ke depan atau beberapa tahun ke depan jika suatu saat kita ingin mengukur sejauh
mana perubahan telah terjadi dalam diri kita, kita dapat melihatnya dari buku itu.
3. Berdo’a kepada Allah SWT dan mohonkan ampunan-Nya, kemudian mohonlah agar
dapat memuhasabah diri sebagai ikhtiar memperbaiki diri.
4. Renungkan berbagai kekurangan kita dalam beribadah kepada Allah SWT, baik
dalam muamalah kepada sesama ataupun berbagai aspek lain dalam hidup kita.
Gunakan pertimbangan ukhrowi saat merenungkan, maksudnya renungkanlah akibat
perbuatan kita dari sisi Allah, bukan hanya dari sisi duniawi saja. Catatlah renungan
di buku kita itu. Jangan malu menuliskan kekurangan kita. Format bebas sesuai
kesukaan masing-masing. Sebagai contoh, bisa dibagi kertas itu dalam 2 bagian.
Bagian yang lebar untuk menuliskan hasil muhasabah kita. bagian yang kecil nanti
untuk menuliskan solusinya.
5. Setelah merasa cukup menuliskan semua hal yang kita rasa perlu diperbaiki dalam diri
kita, barulah tuliskan solusi-solusinya di kertas bagian kanan di buku khusus kita itu.
Buatlah solusi yang riil (terjangkau) yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat. Bisa
harian atau mingguan. Setiap kita pastilah memiliki solusi-solusi yang berbeda
bergantung dengan cara pandang, pola pikir, dan wawasan kita.
6. Setelah usai membuat solusi, bacalah ulang semua yang telah kita tulis tadi.
Azzamkan/ teguhkan dalam diri kita bahwa kita akan menjalankan solusi-solusi riil
itu.
7. Perbanyaklah ibadah dan ketaatan pada Allah SWT dengan terus berdo’a agar
memperbaiki diri kita dan meneguhkan semua ikhtiar kita dalam menuju ridho-Nya.
Mintalah bantuannya ketika kita butuh bantuan diikuti dengan ikhtiar sebagai salah
satu syarat terkabulnya do’a kita itu. Ikutilah setiap kesalahan atau perbuatan buruk
yang kita perbuat dengan perbuatan baik. Lakukan terus menerus perbuatan baik yang
dicintai Allah SWT sebanyak-banyaknya.
8. Evaluasilah hasil kita dalam jangka waktu tertentu. bisa per 3 hari, lalu per minggu,
dan per bulan. Lakukan dengan konsisten dengan terus meningkatkan kapasitas
“solusi” yang kita buat. Terus perbaiki yang kurang dalam diri, dengan terus
memohon kepada Allah SWT.
9. Jika gagal, bangkit lagi, gagal, bangkit lagi, dan terus bangkit. jangan sampai kita
menyerah karena menyerah berarti lari dari rahmat Allah SWT.

Semoga dengan muhasabah yang baik kita akan menjadi hamba-Nya yang makin mendekat
kepada-Nya, mendekat pada syafaat Rasulullah SAW dan pada akhirnya, mendekat pada
surga-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Amin.

Wallahu’alam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai