Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)

I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi/deskripsi penyakit

Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO) atau sumbatan vena retina


cabang adalah penyakit yang menyerang pembuluh darah retina. Retina
adalah selaput syaraf yang melapisi dinding dalam bola mata. Fungsi
retina dapat disamakan dengan film dalam kamera, yaitu untuk
menangkap gambaran bayangan yang di pancarkan melalui lensa mata.
Kelainan ini dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan akibat
perdarahan dan oedem (pembengkakkan) makula.

Oklusi vena retina merupakan salah satu penyebab penurunan


ketajaman penglihatan pada orang tua yang umum terjadi dan
merupakan penyebab tersering kedua dari penyakit vaskuler retina,
setelah retinopati diabetik. Oklusi vena retina telah diteliti secara luas
sejak tahun 1855, akan tetapi patogenesis dan manajemen dari
gangguan ini masih menjadi sebuah enigma.

Sebuah oklusi vena retina cabang, dasarnya adalah penyumbatan bagian


dari sirkulasi yang mengalirkan darah dari retina. Arteri memberikan
darah ke retina. Sel-sel darah merah dan plasma kembali melalui kapiler
dan akhirnya kedalam sistem vena, akhirnya mencapai vena retina
sentral dengan penyumbatan pembuluh darah apapun akan
menyebabkan back-up tekanan dikapiler, yang menyebabkan
perdarahan dan kebocoran cairan pada retina. Biasanya, oklusi terjadi
pada daerah lintas arteri dan vena. Daerah oklusi menentukan batas atau
distribusi perdarahan, mulai dari vena cabang kecil yang memunculkan
suatu oklusi yang melibatkan satu setengah dari retina ke oklusi vena
retina sentral, yang melibatkan seluruh retina.

Anatomi dari sistem vena retina berdasarkan deskripsi dari Duke-Elder.


(1) Terminal retinal venule; (2) retinal venule; (3) minor retinal vein; (4)
main retinal vein; (5) papillary vein; (6) central retinal vein
1.2 Etiologi

Faktor penyebab dari oklusi vena retina anatara lain


- Arteroclerosis
- Diabetes Melitus
- Hipertensi
- Penyakit Mata Lainnya, seperti glaukoma, edema makula, maupun
perdarahan vitreous.

Faktor terkuat dari oklusi vena retina cabang adalah hipertensi, namun
pada beberapa penelitian, oklusi vena retina dihubungkan juga dengan
diabetes melitus, dyslipdemia, merokok, dan penyakit ginjal. Sebuah
studi kasus kontrol mengidentifikasi kelainan berikut ini sebagai faktor
risiko terjadinya BRVO:

- Riwayat hipertensi arteri sistemik


- Penyakit kardiovaskular
- Peningkatan BMI pada usia 20 tahun
- Riwayat glaukoma

Sebagian besar kasus BRVO adalah karena faktor idiopatik. Biasanya,


pasien memiliki faktor predisposisi anatomi, seperti persimpangan
arteriovenosa yang mana arteri akan menekan vena. Hal ini
menyebabkan pembentukan gumpalan dan selanjutnya akan
menyebabakan BRVO. Kondisi peradangan yang mempengaruhi
pembuluh darah retina dapat menyebabkan kerusakan lokal yang juga
menjadi factor predisposisi untuk pembentukan bekuan intravaskular
yang selanjutny akan menjadi BRVO.

Beberapa kondisi inflamasi dilaporkan dalam literatur adalah sebagai


berikut:

- Sarkoidosis
- Penyakit Lyme
- Serpiginous Choroiditis
- Hipertensi arteri dan hiperkolesterolemia, yang keduanya
memberikan kontribusi terhadap atherogenesis, telah diidentifikasi
sebagai faktor risiko BRVO.
- Aterosklerosis sendiri baru-baru ini diakui sebagai penyakit
inflamasi kronis ringan dengan pola sitokin proinflamasi yang
berbeda. Selain peran mereka dalam atherogenesis, beberapa sitokin
telah terbukti memberi efek procoagulatory dan dengan demikian
dapat memberikan kontribusi pada pengembangan BRVO dengan
mekanisme kedua.
- Gen polimorfisme mempengaruhi ekspresi sitokin peradangan
terkait adalah kandidat faktor risiko potensial untuk
BRVO. Genotipe dari fungsional polimorfisme nukleotida tunggal
berikut ditentukan: interleukin 1 beta (IL-1B)-511C> T, interleukin
1 reseptor antagonis (IL-1RN) 1018T> C, interleukin 4 (IL-4)-
584C> T, interleukin 6 (IL-6)-174G> C, interleukin 8 (IL-8)-251A>
T, interleukin 10 (IL-10)-592C> A, interleukin 18 (IL-18) 183A> G,
tumor necrosis factor ( TNF)-308G> A, protein chemoattractant
monosit 1. Baik distribusi genotipe maupun frekuensi alel dari
setiap polimorfisme, telah diselidiki berbeda secara signifikan
antara pasien dengan BRVO dan kontrolnya.

Kondisi trombofilik seperti berikut ini, juga mungkin terlibat:

 Kekurangan protein S
 Defisiensi protein C
 Resistensi terhadap protein C diaktifkan (faktor V Leiden)
 Antithrombin III defisiensi
 Antifosfolipid antibodi sindrom
 Lupus eritematosus
 Gammopathies
 Gene polimorfisme terkait dengan hemostasis mungkin juga
berkontribusi terhadap pengembangan BRVO. Kebanyakan
penelitian, tapi tidak semua, gagal untuk mendeteksi hubungan
antara varian genetik dan BRVO.

Sarkoidosis dengan BRVO


Pada BRVO, terjadi sumbatan cabang vena (pembuluh darah balik) di
tempat dimana vena tersebut di silang oleh arteri (pembuluh darah
nadi). Sumbatan ini umumnya terjadi pada penderita hipertensi (tekanan
darah tinggi), mungkin karena arteri penderita hipertensi mengalami
arteriosklerosis, dengan akibat pembuluh darah tersebut menjadi lebih
kaku dan menekan vena dibawahnya sampai aliran vena tersebut
terganggu.

Akibat dari sumbatan vena ini, retina mengalami perdarahan dan oedem
(pembengkakkan). Apabila efek dari sumbatan ini mempengaruhi
makula, maka akan terjadi gangguan tajam penglihatan yang serius
dari penderita. Makula adalah bagian retina yang digunakan untuk
fungsi penglihatan yang halus, seperti membaca dan sebagainya.

1.3 Tanda dan gejala

Pasien datang dengan penurunan penglihatan mendadak tanpa nyeri.


Gambaran klinisnya bervariasi dari perdarahan retina kecil-kecil yang
tersebar dan bercak cotton-wool sampai gambaran perdarahan hebat
dengan perdarahan retina superfisial dan dalam, yang kadang-kadang
dapat pecah ke dalam rongga vitreous. Pasien biasanya berusia lebih
dari 50 tahun, dan lebih dari separuhnya mengidap penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan kardiovaskuler. Glaukoma sudut terbuka
kronik harus selalu disingkirkan. Dua komplikasi utama yang berkaitan
dengan oklusi vena retina adalah penurunan penglihatan akibat edema
makula dan glaukoma neovaskuler akibat neovaskularisasi iris.

1.4 Patofisiologi
Hipertensi, aterosklerosis, kondisi peradangan, atau trombofilik dapat
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah retina. Mata dengan
predisposisi anatomi, dapat terjadi pembentukan trombus intravaskular.
Dari kebanyakan kasus, dua pertiga dari BRVO terjadi di kuadran
supertemporal. Angka ini mungkin berhubungan dengan peningkatan
jumlah penyeberangan arteriovenosa di kuadran ini. Arteri pada mata,
lebih banyak terdapat di anterior vena. Arteri dan vena berbagi selubung
adventitial. Peningkatan kekakuan arteri dapat menjadi faktor mekanis
dalam patogenesis BRVO.
Kompresi arteri vena diyakini menjadi penyebab utama
BRVO. Kompresi vena dapat menyebabkan aliran turbulen dalam
vena. Kombinasi aliran turbulen dengan kerusakan endotel vaskular
yang sudah ada sebelumnya dari kondisi yang berbeda menciptakan
lingkungan setempat menguntungkan bagi pembentukan trombus
intravaskular. Setelah aliran vena terganggu atau terputus, iskemia
retina terjadi kemudian dari hilir tempat oklusi. Iskemia retina akan
merangsangang keluarnya faktor produksi pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF).

Kompresi arteri pada vena


BRVO menyebabkan peningkatan ekspresi VEGF dan menunda
peningkatan faktor pigmen yang berasal dari epitel (PEDF), inhibitor
endogen yang paling ampuh terhadap VEGF. VEGF telah terbukti
menjadi pemain molekul kunci dalam patogenesis komplikasi utama
dari BRVO, edema makula dan neovaskularisasi retina. sekresi VEGF
menyebabkan kerusakan pada sawar darah-retina, memberikan
kontribusi bagi pembentukan edema makula. Tingkat intraokular VEGF
yang meningkat pada mata dengan edema makula sekunder untuk
BRVO. Tingkat VEGF tinggi berkorelasi dengan tingkat dan keparahan
bidang nonperfusion kapiler dan edema makula. Rehak dkk juga
melaporkan bahwa ada down-regulasi saluran kalium dan air dalam sel
Müller, yang menyebabkan akumulasi cairan intraretinal yang
memberikan kontribusi bagi pembentukan edema makula.

1.5 Pemeriksaan Penunjanga


1) Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan darah lengkap
- Fungsi renal (kadar elektrolit, urea, dan kreatinin)
- Kadar gula darah puasa dan Hemoglobin
- Kadar kolesterol dalam kondisi puasa
2) Pemeriksaan tambahan (Pada kasus tertentu seperti pada pasien
dengan oklusi bilateral atau yang diduga memiliki ganguan
koagulasi dan trombosis)
- Kadar Homosistein (peningkatan homositein dalam serum
akan menaikkan resiko pembentukan trombus)
- Kadar protein C dan protein S (ko faktor dalam proses
pembekuan)
- Antitrombin III
- Antibodi antifosfolipid – antikoagulan lupus, antibodi
antikardiolipin
- PCR untuk faktor Leiden V
- Faktor XII
- Mutasi gen Protrombin

1.6 Komplikasi

Neovaskularisasi retina dapat berkembang ketika wilayah non-perfusi


kapiler adalah diameter disk lebih dari lima pada pemeriksaan dengan
Fluorescein angiografi. Oklusi vena cabang besar (melibatkan kuadran
atau lebih), sekitar 50% berhubungan dengan area besar perfusi non-
kapiler; dari 50% sekitar 40% akan terjadi neovaskularisasi.
Neovaskularisasi retina atau disk, atau keduanya, bisa terjadi setiap saat
dalam 3 tahun pertama setelah oklusi. Rata-rata muncul dalam 6 sampai
12 bulan pertama setelah oklusi.

Disk dan perifer neovaskularisasi


Pasien yang mengalami neovaskularisasi, sekitar 60% dari mereka
mengalami episode perdarahan vitreous. Jika neo-vaskularisasi tidak
diobati dapat menyebabkan kecacatan visual berkepanjangan di mata
yang terkena. Iris neovaskularisasi merupakan komplikasi yang jarang
dari BRVO; diabetes dapat meningkatkan risiko ini. Neovaskularisasi
retina sangat sulit ditentukan pada BRVO karena perjalannya mirip
pertumbuhan sebelumnya tetapi bisa di bedahkan dengan FFA. Dengan
perhatian yang tepat, komplikasi jarang terjadi. Efek samping dari
pengobatan, meliputi produksi scotoma.
Scotoma setelah menjalani operasi dengan laser fotokoagulasi
Rata-rata, visus akan meningkatkan dari 20 / 70-20 / 40. Sangat penting
untuk mengenali bahwa laser fotokoagulasi tidak boleh ditempatkan di
atas perdarahan intraretinal luas dalam fase akut BRVO karena dapat
menghasilkan fibrosis preretinal sehingga sebaiknya menunggu 3
sampai 6 bulan sebelum mempertimbangkan terapi laser.

1.7 Penatalaksanaan
Sebuah studi terbaru oleh Kumar dan rekan menduga bahwa
sheathotomy mungkin merupakan pengobatan yang efektif untuk
BRVO. Sheathotomy, teknik bedah untuk memisahkan pembuluh darah
yang berdekatan pada persimpangan arteri dan vena telah
dikembangkan untuk mengatasi edema makula dalam usaha untuk
meningkatkan tajam penglihatan. Diseksi dari tunika adventitia dengan
pemisahan arteri dari vena pada persimpangan tersebut di mana oklusi
vena retina cabang terjadi dapat mengembalikan aliran darah vena
disertai penurunan edema makula. Arteriovenous sheathotomy
menimbulkan adanya perbaikan sementara dari aliran darah retina dan
cukup efektif dalam menurunkan edema makula. Beberapa teknik
bedah dan laser sekarang telah dipakai untuk mengatasi kasus
perdarahan pada BRVO, diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Macular photocoagulation laser
 Dalam beberapa percobaan, macular photocoagulation laser
cukup efektif dalam pengobatan edema macula.
 Rekomendasi saat ini adalah menunggu 3 bulan untuk melihat
apakah visus pasien secara spontan membaik atau tidak.
 Jika tidak ada perbaikan visus dan jika perdarahan sebagian
besar telah dibersihkan dari daerah makula, angiogram
fluorescein diperoleh untuk dilakukan. Jika angiogram
menunjukkan kebocoran di daerah makula yang bertanggung
jawab untuk penurunan visus, pengobatan dengan macular
photocoagulation laser dianjurkan. Setelah 3 tahun masa
tindak lanjut perawatan, 63% dari pasien yang menjalani
macular photocoagulation laser visusnya meningkat 2 atau
lebih baris dari sebelumnya dibandingkan dengan 36% dari
mata kontrol.
 Meskipun macular photocoagulation laser, beberapa pasien
memiliki rata-rata visus naik 1,33 terhadap baseline. Pada 3
tahun follow up, 40% memiliki ketajaman visual kurang dari
20/40 dan 12% memiliki ketajaman visual kurang dari 20/200.
 Jika angiogram fluorescein mengungkapkan nonperfusion
makula, terapi laser tidak dibenarkan, pasien hanya
diobservasi. Finkelstein melaporkan bahwa mata dengan
nonperfusion makula memiliki prognosis visual yang
baik. Dalam seri-nya, ketajaman visual rata-rata adalah 20/30.
 Macular photocoagulation laser tetap menjadi pengobatan
standar pada mata dengan edema makula perfusi sekunder
untuk BRVO.

2) Disperse photocoagulation
 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa disperse
photocoagulation mengurangi prevalensi neovaskularisasi dari
40% menjadi 20% pada BRVO.
 Jika mata terjadi neovaskularisasi dirawat, peristiwa
perdarahan vitreous akan menurun dari 60% menjadi 30%.
 Oleh karena itu, rekomendasinya adalah untuk menunggu
sampai benar-benar neovaskularisasi berkembang sebelum
disperse photocoagulation dilakukan.

3) Laser-induced anastomosis chorioretinal


 Bypass saluran drainase vena retina yang normal dicoba
dengan menciptakan komunikasi antara area oklusi dan koroid.
 Masalah dengan teknik ini adalah kurangnya keandalan dalam
menciptakan anastomosis (kelompok yang paling melaporkan
tingkat keberhasilan 30-50%) dan memiliki komplikasi dari
prosedur termasuk ablasi retina traksional dan perdarahan
vitreous.

4) Vitrectomy dan dekompresi arteriovenosa


 Hampir semua kasus BRVO terjadi pada perlintasan
arteriovenosa.
 Karena kompresi arteri diyakini sebagai penyebab utama
kondisi ini, beberapa ahli telah merekomendasikan
mengangkat arteri dari vena yang menjadi tumbuannya untuk
mengurangi kompresi.
 Namun, yang lain telah melaporkan kurangnya kemanjuran
dari prosedur ini. Perencanaan dari percobaan multicenter
dikendalikan saat ini sedang berlangsung. Beberapa ahli bedah
telah melaporkan resolusi edema makula sekunder untuk
BRVO setelah vitrectomy dengan atau tanpa pengelupasan
membran pembatas internal. Vitrectomy dan pemisahan
hyaloid posterior meningkatkan ketajaman visual di mata
dengan edema makula sekunder untuk BRVO. Penambahan
intravitreal triamsinolon tidak memiliki manfaat tambahan.
Teknik pars plana vitrectomy dengan atau tanpa scleral
buckling mungkin diperlukan pada kasus dengan ablasio
retina tractional dan rhegmatogenous.

1.8 Pathway

Faktor risiko BRVO

Kerusakan endotel pembuluh darah retina

Trombus intravaskular

Kompresi vena

Aliran turbulen

Pembuluh darah bocor Iskemia

Merangsang VEGF

Rusaknya sawar darah retina Edema makula


Dx. Gangguan persepsi Gangguan penglihatan
sensorik

Dx. Risiko Cedera

1.9 Prognosis
Pada fase akut dari penyakit dengan perdarahan intraretinal yang luas,
mungkin mustahil untuk mengevaluasi potensial visus; pasien harus
diikuti setiap 2 sampai 3 bulan sampai memungkinkan dievaluasi
dengan fluorescein angiography. Meskipun mungkin sulit untuk
memberikan prognosis pada fase akut, akan sangat membantu untuk
mengenali bahwa sekitar sepertiga sampai setengah dari pasien dengan
BRVO memiliki visus 20/40 atau lebih baik tanpa terapi. Setelah fase
akut BRVO telah berlalu dan perdarahan intraretina telah sebagian besar
diserap, yang biasanya membutuhkan waktu 3 sampai 6 bulan, harus
segera dilakukan fluorescein angiografi.
Gambar 9. Edema makula pada tampilan fluorescent angiografi

Fluorescein angiography adalah teknik yang secara akurat akan


menentukan kelainan kapiler pada BRVO, sehingga hal ini menjadi
sangat penting untuk segera di lakukan. Ketika Fluorescein angiografi
menunjukkan edema makula dengan keterlibatan cystoid dari fovea,
tetapi tidak ada nonperfusion kapiler, diasumsikan bahwa edema
makula adalah penyebab kehilangan penglihatan dan sekitar sepertiga
dari pasien secara spontan akan mendapatkan kembali beberapa
penglihatan. Namun, pasien yang telah mengalami penurunan
penglihatan selama lebih dari 1 tahun sebagai akibat dari edema makula
sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali visusnya
secara spontan. Ketika edema makula ditemukan pada ophthalmoscopi
dalam 6 bulan pertama setelah BRVO dan ada kebocoran sedikit atau
tidak ada pada fluorescein angiografi, maka iskemia makula dapat
menjadi penyebab adanya edema macula itu sendiri. Dalam kasus ini,
edema hampir selalu diserap secara spontan pada tahun pertama setelah
oklusi, seiring dengan kembalinya penglihatan.

II. Rencana Asuhan Keperawatan


2.1 Pengkajian

2.1.1 Riwayat Kesehatan


1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan
pengkajian.
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita
pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan).
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini
terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi
serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang
tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita
cidera otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik).
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang
sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat
penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak.
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku,
emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat,
jantung berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik
sensori, auditorik, olfaktorik.

2.1.2 Pemeriksaan Fisik: Data Fokus


1) Inspeksi
- Kelopak mata: Apakah ada bengkak, benjolan, ekimosis,
ekstropion, entropion, pseudoptosis dan kelainan kelopak
mata lainnya.
- Konjungtiva: Apakah warnanya lebih pucat dari warna
normalnya merah muda pucat mengkilat. Apakah ada
kerehanan / pus mungkin karena alergi / konjungtivitis.
- Sclera: Apakahikterik atau unikterik, adanya bekas trauma.
- Iris: Apakah ada ke abnormalan seperti iridis, atropi (pada
DM, glaucoma, ishkemi,lansia) dll.
- Kornea: Apakah ada arkus senilis (cincin abu – abu
dipinggir luar kornea),edema/ keruh /menebalnya kornea
atau adanya ulkus kornea.
- Pupil: Apakah besarnya normal (3-5 mm/ isokor), atau
amat kecil (pin point), miosis (< 2 mm), midriasis
(>5mm).
- Lensa: Apakah warnanya jernih (normal), atau keruh
(katarak).

2) Palpasi
Setelah inspeksi, lakukan palpasi pada mata dan struktur yang
berhubungan. Digunakan untuk menentukan adanya tumor.
Nyeri tekan dan keadaan tekanan intraokular (TIO). Mulai
dengan palpasi ringan pada kelopak mata terhadap adanya
pembengkakan dan kelemahan. Untuk memeriksa TIO dengan
palpasi, setelah klien duduk dengan enak, klien diminta
melihat ke bawah tanpa menutup matanya. Secara hati – hati
pemeriksa menekankan kedua jari telunjuk dari kedua tangan
secara bergantian pada kelopak atas. Cara ini diulangi pada
mata yang sehat dan hasilnya dibandingkan. Kemudian palpasi
sakus lakrimalis dengan menekankan jari telunjuk pada kantus
medial. Sambil menekan, observasi pungtum terhadap adanya
regurgitasi material purulen yang abnormal atau airmata
berlebihan yang merupakan indikasi hambatan duktus
nasolakrimalis.

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang


1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe
kejang, waktu serangan.
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI).
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar
alkohol darah.

2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa 1 : Gangguan persepsi sensori penglihatan

I.1.1 Definisi
Perubahan pola stimulus yang dihubungkan dengan kerusakan
respon pada penglihatan.

I.1.2 Batasan karakteristik


Perubahan pola tingkah laku
Perubahan dalam kemampuan memecahkan masalah
Perubahan ketajaman sensorik
Perubahan dalam kebiasaan merespon stimulus
Disorientasi
Halusinasi
Kegagalan komunikasi
Mudah marah
Rendahnya konsentrasi
Gelisah
Penyimpangan sensorik

I.1.3 Faktor yang berhubungan

- Perubahan integrasi - Ketidakseimbangan elektrolit


sensorik - Kelebihan stimulus lingkungan
- Perubahan penerimaan - Tidak cukupnya stimulus
sensorik lingkungan
- Perubahan transmisi - Stress secara psikologi
sensorik
- Ketidakseimbangan
biokimia

Diagnosa 2 : Risiko cidera

I.1.4 Definisi
Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan
yang berinteraksi dengan sumber adaftif dan sumber defesif
individu.

I.1.5 Faktor resiko


Profil darah yang abnormal
Disfungsi biokimia
Usia perkembangan
Disfungsi efektor
Disfungsi imun-autoimun
Disfungsi integratif
Disfungsi sensorik
Malnutrisi
Fisik
Psikologis
Hipoksia jaringan

I.2 Perencanaan
Diagnosa 1 : Gangguan persepsi sensori penglihatan

I.2.1 Tujuan: Pasien mampu beradaptasi dengan perubahan


Kriteria hasil:

1) Pasien menerima dan mengatasi sesuai dengan keterbatasan


penglihatan
2) Menggunakan penglihatan yang ada atau indra lainnya secara
adekuat
I.2.2 Intervensi:
1) Perkenalkan pasien dengan lingkungannya
2) Beritahu pasien untuk mengoptimalkan alat indera lainnya
yang tidak mengalami gangguan
3) Kunjungi dengan sering untuk menentukan kebutuhan dan
menghilangkan ansietas
4) Libatkan orang terdekat dalam perawatan dan aktivitas
5) Kurangi bising dan berikan istirahat yang seimbang

Diagnosa 2 : Risiko cidera


I.2.3 Tujuan: Risk control
Kriteria hasil:

1) Pasien terbebas dari cedera


2) Pasien dapat menjelaskan cara untuk mencegah cedera
3) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
4) Pasien mampu mengenali perubahan status kesehatan
I.2.4 Intervensi:
1) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai kondisi fisik
dan fungsi kognitif
3) Menghindari lingkungan yang berbahaya
4) Membatasi pengunjung
5) Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. Retinal Vascular Disease. In: Retina and


Vitreous p.150-159. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 2011.
Covert, Douglas J, Han, Dennis P. Retinal vein occlusion: Epidemiology, clinical
manifestations, and diagnosis. [Online]. 2012 [cited 2014 May 19]; [17
screens]. Available from:URL: http://uptodate.com
David CD, Franklin WL. Retinal vein occlusion. [Online]. 2010 [cited 2014 May
19]; [18 screens]. Available from:URL: http://umm.edu
Dugdale, David C. 2010. Retinal vein occlusion. [Online]. 2013 [cited 2014 May
19]; [20 screens]. Available from:URL: http://www.nlm.nih.gov
Fonrose, Mark. Retinal Vein Occlusion. [Online]. 2013 [cited 2014 May 19]; [13
screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com
Hamid, Sadaf, Mirza, Sajid A, Shokh, Ishrat. Etiology and Management of Branch
Retinal Vein Occlusion. World Appl. Sci. J. 2009; 6(1): 4-99.
Hayreh SS. Prevalent misconceptions about acute retinal vascular occlusive
disorders. Prog Retin Eye Res. 2005; 24: 493-519.
Ilyas S. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi
2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006.
Ilyas S. Sari ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003.
Karia N. Retinal vein occlusion: pathophysiology and treatment options. Clinical
Ophthamology. 2010; 4: 809-816.
Klein R, Klein BE, Moss SE, Meuer SM. The epidemiology of retinal vein
occlusion: the Beaver Dam Eye Study. Trans Am Ophthalmol Soc. 2000;
98: 133-141.
McIntosh RL, Rogers SL, Lim L. Natural history of central retinal vein occlusion:
an evidence-based systematic review. Ophthalmology. 2010; 117(6):
1113.e15-1123.e15.
Mitchell P, Smith W, Chang A. Prevalence and associations of retinal vein
occlusion in Australia: the Blue Mountains Eye Study. Arch Ophthalmol.
1996; 114: 1243-1247.
Prisco D, Marcucci R. Retinal vein thrombosis: risk factors, pathogenesis and
therapeutic approach. Pathophysiol Haemost Thromb. 2002 Sep-Dec;
32(5-6):308-11.
Shiyoung R, John JW, Jay SD. Ocular Circulation. In: Duane's Foundations of
Clinical Ophthalmology Vol. 2 Ed. William Tasman, Edward A. Jaeger.
Publisher: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
Tien Y, Wong, Ingrid S. Retinal-Vein Occlusion. N Engl J Med. 2010; 363: 2135-
2144.
Vaughan GD, Asbury T, Riordan EP. Retina dan tumor intraocular - sumbatan
vena retina. Dalam: Oftalmologi Umum, Edisi 14. Jakarta: Widya Medika;
2000.
Wijana, N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Perpustakaan Nasional; 1993.

Banjarmasin, Agustus 2017


Preceptor Akademik Preseptor Klinik
( ) ( )
.

Anda mungkin juga menyukai