Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Pneumotorak merupakan suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara
ekstrapulmoner dalam rongga pleura, antara plura visceral dan parinteral yang
dapat menyebabkan timbulnya kolaps paru. Pada keadaan normal rongga
pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap
rongga dada ( Rahajoe, 2012).

Pneumothoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga


pleura (DR. Dr. Aru W. Sudoyo,Sp.PD, KHOM, 2006).

Massiv adalah pejal, jagur, sangat besar, mengesankan (www.kamusKKBI.id)

1.2 Etiologi
1.2.1 Infeksi saluran nafas
1.2.2 Trauma dada
1.2.3 Acute lung injury yang disebabkan materi fisik yang terinhalasi dan
bahan kimia
1.2.4 Penyakit inflamasi paru akut dan kronis
1.2.5 Keganasan/metastasis paru

1.3 Tanda dan Gejala


1.3.1 Pasien mengeluh nyeri dada pluritik akut mendadak yang terlokalisasi
pada paru yang sakit
1.3.2 Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak nafas, peningkatan kerja
pernapasan dan dispnea
1.3.3 Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak
mengembang seperti sisi yang sehat
1.3.4 Suara nafas jauh atau tidak ada
1.3.5 Perkusi dada menghasilkan suara hipersonon
1.3.6 Takikardia sering terjadi menyertai tipe pneumotorak

1.4 Patofisiologi

Saat inspirasi, tekanan intrapleura lebih negative daripada tekanan


intrabronkhial, sehingga paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks dan
udara dari luar yang tekanannya nol akan masuk ke bronchus sehingga sampe
ke alveoli. Saat ekspirasi, dinding dada menekan rongga dada sehingga
tekanan intrapleura akan lebih tinggi dari tekanan dialveolus ataupun di
bronchus, sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus. Tekanan
intrabronkhial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan
intrabronkhial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk, bersin atau
mengejan, karena pada keadaan ini glotis tertutup. Apabila dibagian perifer
dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah, bronkhus atau alveolus itu
akan pecah atau robek. Secara singkat proses terjadinya pneumothoraks adalah
sebagai berikut:

1. Alveoli disangga oleh kapiler yang lemah dan mudah robek dan udara
masuk kearah jaringan peribronkhovaskuler. Apabila alveoli itu melebar,
tekanan dalam alveoli akan meningkat.

2. Apabila gerakan napas kuat, infeksi dan obstruksi endobronkhial adalah


faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.

3. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyahkan jaringan


fibrosis di peribronkovaskular kearah hilus, masuk mediastinum, dan
menyebabkan pneumothorak

1.5 Pemeriksaan Penunjang

1.5.1 Pemeriksaan Laboratorium

AGD Arteri amemberikand gambaran Hipoksemia meskipun


kebanyakan pasien sering tidak diperiksa keberadaannya.

1.5.2 Pemeriksaan EKG

Pneumothorax primer paru kiri sering menimbulkan perubahan sksis


QRS dan gelombang T Prekordial pada rekaman EKG ditafsirkan
sebagai IMA.

1.5.3 Pemeriksaan Radiologi

Tampak gambaran sulkus Kostrofenikus radidusen, sedang


Pneumothorax tersier pada gambaran foto dadanya tampak jumlah
udara termitoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum
kontralateral bergeser.

1.6 Komplikasi

1.6.1 Tension Penumototrax

Tension pneumothorax adalah kondisi collaps paru-paru yang komplit,


karena udara yang masuk selaput pleura, tidak bisa keluar lagi( trapped)
Komplikasi ini terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat
sehingga paru mengempis lebih hebat mediastium tergeser ke sisi lain dan
mempengaruhi aliran darah vena ke atrium kanan.
Tension pneumothoraks terjadi pada 3-5% penderita dengan
pneumothoraks.Tekanan udara yang terdapat pada tension pneumothoraks
adalah + 10-25 cm H2O.
Pengobatan adalah segera melakukan dekompresi dengan jarum, kateter
kecil atau pipa interkostal dan hubungan dengan water sealed drainage.
1.6.2 Penumotoraks simultan Bilateral
Pneumothoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak ini terdapat
pada 2% dari seluruh pneumuthoraks. Keadaan ini timbul sebagai
kelanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder berasal dari
emfisema jaringan interstitial paru. Sebab lain bisa juga dari emfisem
mediastinal yang berasal dari proferasi esophagus.
Pengobatan penyakit ini tergantung dari berat ringannya gejala. Bila
ringan, pengobatannya sama dengan pneumothoraks spontan primer
lainnya.
Bila berat (timbul sesak napas),perlu operasi torakotomi untuk mengobati
sumber penyebabnya atau melakukan obliterasi secepatnya pada salah
satu rongga pleura yang terkena.

1.6.3 Emfiema

Empiema merupakan keadaan terdapatnya nanah dalam rongga pleura


yang biasanya merupakan kelanjutan proses efuis parapneumonia.

1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pneumotoraks tergantung pada jenis pneumotoraks yang dialami,


derajat kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar dan penyulit yang terjadi saat
pelaksanaan pengobatan yang meliputi :

1.7.1 Tindakan dekompresi

Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar dengan cara:

1.7.1.1 Menusukkan jarum melalui dinding dada hingga masuk ke rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah
menjadi negatif. Hal ini disebabkan karena udara keluar melalui jarum
tersebut. Cara lainnya adalah melakukan penusukkan jarum ke rongga pleura
melaluitranfusion set.

1.7.1.1 Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil :

1) Menggunakan pipa Water Sealed Drainage (WSD). Pipa khusus


(kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantara
trokar atau dengan bantuan klem penjepit (pen) pemasukan pipa plastic
(kateter thoraks) dapat juga dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit dari sela iga ke-4 pada garis axial tengah
atau garis axial belakang. Selain itu, dapat pula melalui sela iga ke-2
dari garis klavikula tengah. Selanjutnya, ujung selang plastik di dada
dan pipa kaca WSD dihubungkan melelui pipa plastik lainnya. Posisi
ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah
permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar
melalui perbedaan tekanan tersebut.

2) Pengisapan kontinu (continous suction).

Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura tetap


positif. Pengisapan ini dilakukan dengan cara memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cm H2O. Tujuannya adalah agar paru cepat
mengembang dan segera terjadi perlekatan antara pleura viseralis dan
pleura parietalis.

3) Pencabutan drain

Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekana intrapleura


sudah negatif kembali, drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain
ditutup dengan cara dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila paru
tetap mengembang penuh, drain dapat dicabut.

4) Tindakan bedah

Pembukaan dinding thoraks dengan cara operasi, maka dapat dicari


lubang yang menyebabkan terjadinya pneumothoraks, lalu lubang
tersebut dijahit. Pada pembedahan, jika dijumpai adanya penebalan
pleura yang menyebabkan paru tidak dapat mengembang, maka dapat
dilakukan pengelupasan atau dekortikasi. Pembedahan paru kembali
bila ada bagian paru yang mengalami robekan atau bila ada fistel dari
paru yang rusak, sehingga paru tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat
dipertahankan kembali.

1.7.2 Penatalaksanaan Tambahan


1.7.2.1 Apabila terdapat proses lain di paru, pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya, yaitu:

1) Terhadap proses TB paru, diberi OAT

2) Untuk mencegah obstipasi dan memperlancar dekekasi, penderita


dibei obat laksatif ringan, dengan tujuan agar saat defekasi, penderita
tidak perlu mengejan terlalu keras.

1.7.2.2 Istirahat total

Klien dilarang melakukan kerja keras (mengangkat barang), batuk, bersin


terlalu keras dan mengejan
1.8 Pathway

PNEUMOTHORAX

Mengenai rongga torak Terjadi robekan pembuluh darah


sampai rongga pleura, udara intercostal, pembuluh darah jaringan
bisa masuk paru-paru

Terjadi perdarahan : perdarahan


Karna tekanan negatif intrapleura
jaringan intersititium,perdarahan
maka udara luar akan terhisap
intraalveolar diikuti kolap kapiler
masuk kerongga pleura (sucing
kecil-kecil dan atelektasi
wound)

Tahanan perifer pembuluh paru


Open pneumothorax
naik ( aliran darah turun)
Close pneumothorax
Tension pneumothorax

Ringan kurang 300 cc----- di


Tek pleura meningkat terus punksi
Sedang 300-800 cc-------- di
pasang drain
Berat lebih 800 cc-----torakotomi
Sesak nafas yang progresif ( sukar
bernafas/bernfas berat ), bising
nafas berkurang/hilang, bunyi
Sesak nafas yang progresif
nafas sonor/hipersinor, foto Nyeri bernafas/ pernafasan asimetris
thorax gambaran udara lebih ¼ / adanya jejas atau trauma neri
dari rongga torak bernafas
Pekak dengan batas jelas/tak jelas
Bisng nafas tak terdengar
Nadi cepat/lemah
WSD/bullow Dreainage Anemia/pucat
Poto torak 15-35% tertutup
bayangan

Terdapat luka pada WSD


Kerusakan integritas kulit
Nyeri pada luka bila untuk Resiko infeksi
bergerak Perubahan kenyamanan : nyeri
Perawatan WSD harus diperhatikan
Gangguan pertukaran gas Gangguan mobilitas fisik
Pontensial kolaboratif : atelektasis
dan pergeseran mediatum
Sumber : Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction Publishing.

II. Rencana Asuhan Keperawatan Dengan pneumothorak


2.1 Pengkajian

Primary Survey
Airway
Assessment :
 perhatikan patensi airway
 dengar suara napas
 perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
Management :
 inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan
jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
 re-posisi kepala, pasang collar-neck
 lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
Breathing
Assesment
 Periksa frekwensi napas
 Perhatikan gerakan respirasi
 Palpasi toraks
 Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
 Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
 Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks
Circulation
Assesment
 Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
 Periksa tekanan darah
 Pemeriksaan pulse oxymetri
 Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management
 Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
 Torakotomi emergency bila diperlukan
 Operasi Eksplorasi vaskular emergency

2.1.1 B1 (Breathing)

a. Inspeksi

Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot


bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris
(pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga
dada asimetris (lebih cembung disisi yang sakit). Pengkajian batuk yang
produktif dengan sputum yang purulen. Trakhea dan jantung terdorong
ke sisi yang sehat.
b. Palpasi

Taktil fremitus menurun disisi yang sakit. Disamping itu, pada palpasi
juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang
sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar –iga bisa saja normal atau
melebar.

c. Perkusi

Suara ketuk pada sisi yang sakit hipersonor sampai timpani. Batas
jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat apabila tekanan intrapleura
tinggi.

d. Auskultasi

Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit.

2.1.2 B2 (Blood)

Perawat perlu memonitor dampak pneumothoraks pada status


kardiovaskular yang meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi,
tekanan darah dan pengisian kapiler/CRT.

2.1.3 B3 (Brain)

Pada inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga
pemeriksaan GCS, apakah compos mentis, samnolen atau koma.

2.1.4 B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.


Perawat perlu memonitor adanya oliguri yang merupakan tanda awal
dari syok.

2.1.5. B5 (Bowel)

Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah,


penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.

2.1.6. B6 (Bone)

Pada trauma di rusuk dada, sering didapatkan adanya kerusakan otot dan
jaringan lunak dada sehingga meningkatkan risiko infeksi. Klien sering
dijumpai mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
disebabkan adanya sesak napas, kelemahan dan keletihan fisik secara
umum.
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

2.2.1 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang


tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan
2.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder
2.2.3 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan
kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat ekternal
2.2.4 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik
terpasang bullow drainge
2.2.5 Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
2.3 Perencanaan
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.

Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
b. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
c. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :

1. Identifikasi factor penyebab kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi


komplikasi mekanik pernapasan.

2. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap


perubahan yang terjadi

3. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, atau dalam posisi duduk.

4. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)

5.Lakukan auskultasi suara napas tiap 2-4 jam.

6.Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif.

7. Kolaborasi untuk tindakan dekompresi dengan pemasangan WSD.

2. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder

Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil :

a. Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.


b. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.

c. Pasien tidak gelisah

INTERVENSI

1. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi


dan non invasif.

2. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot


rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.

3. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

4. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

5. Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri, dan


menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

6. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.

7. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah


pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1
- 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan


dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat ekternal

Tujuan : tidak terjadi hambatan mobilitas fisik

Kriteria hasil :

a. Aktivitas fisik klien meningkat

b. Dapat memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan


kemampuan berpindah

c. ADLs mandiri

INTERVENSI

1. Kaji ROM pada ekstrimitas atas tempat insersi WSD

2. Kaji tingkat nyeri dan pemenuhan aktifitas sehari – hari


3. Dorong exercise ROM aktiif atau pasif ada lengan dan bahu dekat
tempat insersi.

4. Dorong klien untuk exercise ekstrimitas bawah dan bantu ambulansi

5. Berikan tindakan distraksi dan relaksasi

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang


bullow drainge

Tujuan : tidak terjadi kerusakan kulit

Kriteria hasil:

a. Tidak ada lesi/luka padakulit

b. Perfusi jaringan baik

c. Integritas kulit baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,


hidrasi, pigmentasi)

d. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan


perawatan alami

INTERVENSI

1. Kaji warna kulit/ suhu dan pengisisan kapiler pada area operasi dan tandur
kulit.

2. Pertahankan kepala tempat tidur tinggi 30-45 derajat. Awasi edema wajah
(biasanya meningkat pada hari ketiga -kelimapascaoperasi).

3. Lindungi lembaran kulit dan jahitan dari tegangan atau tekanan. Berikan
bantal/ gulungan dan anjurkan pasien untuk menyokong kepala/ leher
selama aktivitas.

4. Awasi drainase berdarah dari sisi operasi, jahitan dan drein. Ukur
drainase dari hemovak (bila digunakan).

5. Catat atau laporkan adanya drainase seperti susu.

6. Ganti balutan sesuai indikasi bila digunakan.

7. Bersihkan insisi dengan air garam faal steril dan peroksida setelah balutan
diangkat.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya organisme sekunder terhadap
trauma

Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil:

a. Klien terbebas dari tanda-tanda infeksi

b. Jumlah lekosit dalam batas normal

INTERVENSI

1. Berikan pengertian dan motivasi tentang perawatan WSD

2. Kaji tanda – tanda infeksi

3. Monitor reukosit dan LED

4. Dorongan untuk nutrisi yang optimal

5. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic dan anti septic

6. Bila perlu berikan antibiotik sesuai advis.

III. DAFTAR PUSTAKA

Nurarif Huda Amin dan Kusuma Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC jilid 2. Yogyakarta:
Mediaction

Kumala, Poppy et all. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. Jakarta :
EGC,1998.

Slamet Suyono, (2001). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, FKUL : Jakarta

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif.2008.AsuhanKeperawatan pada klien dangan gangguan system


pernapasan. Jakarta:Salemba Medika

Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Price, Sylvia A dan Lorraine McCarty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Palangkaraya, 2017

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS DENGAN
KLIEN PNEUMOTHORAK DI UNIT GAWAT DARURAT RS.DORIS
SYLVANUS PALANGKARAYA

Oleh :

NURUL MAWADDAH

1614901210785

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN

PALANGKARAYA, 2017

Anda mungkin juga menyukai