Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan utama di
negara – negara maju. Pada saat ini penyakit jantung telah menjadi penyebab
kematian pertama di dunia. Pada tahun 1999 sedikitnya 55,9 juta atau setara
dengan 30,3% kematian diseluruh dunia disebabkan oleh penyakit jantung.
Menurut World Health Organization (WHO), 60% dari seluruh penyebab
kematian penyakit jantung adalah Penyakit Jantung Koroner. Penyakit ini juga
masih sering dijumpai di Indonesia dan menduduki peringkat ke 3 sebagai
penyebab kematian terbanyak. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini
akan menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang,
menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan diseluruh dunia, penyakit
jantung koroner pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yaitu
sebesar 36% dari seluruh kematian. Di Indonesia telah terjadi pergeseran
kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah dari urutan ke 10 pada tahun
1980 menjadi urutan ke 8 pada tahun 1986. Data Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1996 menunjukkan bahwa proporsi penyakit ini
meningkat dari tahun ketahun sebagai penyebab kematian. Tahun 1975
kematian akibat penyakit jantung hanya 5,9%, tahun 1981 meningkat sampai
dengan 9,1%, tahun 1986 meningkat menjadi 16% dan tahun 1995 meningkat
menjadi 19%. Sensus nasional yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan
bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler (PKV) termasuk penyakit
jantung koroner adalah 26,4% dan sampai saat ini penyakit jantung koroner
merupakan penyebab utama kematian dini pada sekitar 40% dari sebab
kematian laki-laki pada usia menengah.1,2,3
PJK merupakan penyebab kematian dan disabilitas pada beberapa abad
terakhir ini. Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan gaya hidup dan
kecederungan genetik. PJK, merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak
dapat bekerja dengan semestinya karena otot jantung mengalami kerusakan
berupa kekurangan oksigen. Penyebab utamanya karena pembuluh darah yang

1
menyempit atau yang disebut aterosklerosis. Diabetes melitus (DM) sering
disebut sebagai salah satu faktor resiko terjadinya PJK.4
Prevalensi DM di Indonesia berkisar antara 1,5% atau sejumlah 2,5 juta
penderita dan hampir semuanya adalah penderita DM tipe II dengan kelompok
umur terbanyak 45-65 tahun. Menurut laporan WHO pada tahun 1993,
prevalensi penderita DM di dunia pada orang dewasa sekitar 6% atau sejumlah
100 juta penderita. Persentasi terjadinya komplikasi kronis DM di berbagai
tempat di Indonesia sangat bervariasi. Data dari RS Dr. Soetomo Surabaya
(Taun 1964-1992) menunjukkan bahwa DM meningkatkan faktor resiko
penyakit jantung koroner sebanyak 10%.5

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui hubungan antara diabetes
melitus dengan penyakit jantung koroner.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah suatu ganguan metabolism yang secara genetis
dan klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, yang

2
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan post prandial karena tubuh tidak
dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. 6
Pada DM kadar glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat
melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Insulin adalah hormone
yang dilepaskan oleh pancreas, merupakan zat utama yang bertanggung jawab
dalam mempertahankan kadar gula dalam darah yang tepat. Insulin
menyebabkan gula berpindah kedalam sel sehingga menghasilkan energy atau
disimpan sebagai cadangan energi. Pada tubuh yang sehat peningkatan kadar
gula darah setelah makan atau minum merangsang pancreas untuk
menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang
lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula menurun secara perlahan. Pada saat
melakukan aktifitas kadar gula darah juga bias menurun karena otot
menggunakan glukosa untuk energi Beberapa bukti menunjukkan bahwa DM
terjadi karena adanya insufisiensi insulin, namun selain itu faktor genetik juga
sangat mempengaruhi. 8
Diabetes mellitus memiliki 2 tipe, yaitu Tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1
disebut insulin dependent diabetes mellitus (IDDM), atau diabetes melitus
remaja. DM tipe 1 merupakan suatu penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik, dimana sel-sel beta pankreas dirusak oleh system imun. Reaksi
autoimun ini dapat dipicu dengan adanya infeksi virus tertentu seperti gondok
dan virus Coxsackie atau racun lingkungan lainnya dapat memicu respons
antibodi abnormal yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel pankreas di
mana insulin dibuat. Kadar insulin yang menurun tersebut yang menyebabkan
hiperglikemi pada DM tipe 1. Pasien dengan diabetes tipe 1 harus bergantung
pada pengobatan insulin untuk bertahan hidup. 6,9
Diabetes tipe 2 juga disebut sebagai non-insulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM), atau diabetes melitus dewasa (AODM). DM tipe 2
ditandai dengan kelaianan sekresi serta kerja insulin. Pasien diabetes tipe 2,
pasien masih dapat memproduksi insulin, tetapi melakukannya relatif tidak
cukup untuk kebutuhan tubuh mereka karena terjadi resistensi dari sel target
terhadap insulin, sehingga terjadi gangguan pengikatan insulin dengan
reseptor insulin. Resistensi insulin disebabkan karena berkurangnya jumlah
reseptor insulin pada membrane sel, terutama sel-sel lemak dan otot atau

3
ketidaknormalan insulin interinsik. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal
antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Lama-
kelaman produksi insulin oleh sel beta pankreas juga akan rusak dan
suboptimal mengakibatkan perburukan kontrol glukosa hati dimana
merupakan faktor utama pasien dengan diabetes tipe 2 yang pada akhirnya
memerlukan terapi insulin. 6,9
Sekitar 80% pasien DM terkait dengan obesitas karena obesitas
berhubungan dengan terjadinya resistensi insulin, sehingga para pasien DM
dianjurkan utuk mengurangi berat badanya diharapkan agar memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin. 6
Gejala-gejala awal diabetes adalah kehilangan glukosa dalam urin.
Tingginya jumlah glukosa dalam urin dapat menyebabkan pengeluaran urin
meningkat dan menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi menyebabkan rasa haus
meningkat dan konsumsi air yang lebih banyak. Ketidakmampuan insulin juga
mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat dan lemak dimana insulin
merupakan hormon anabolik salah satu hormon yang yang mendorong
penyimpanan lemak dan protein, sehingga kekurangan insulin baik absolut
atau relatif menyebabkan penurunan berat badan disertai peningkatan nafsu
makan. Beberapa pasien diabetes yang tidak diobati juga mengeluh lelah,
mual dan muntah, mudah mengalami infeksi kandung kemih , kulit, dan
daerah vagina, penglihatan kabur dan bahkan koma. 9
Diagnosa diabetes dapat melalui tes glukosa darah puasa. Setelah orang
tersebut telah berpuasa semalam (minimal 8 jam), diambil sampel darah
diambil dan dikirim ke laboratorium dan diperiksa menggunakan meter
glukosa. Kadar glukosa plasma puasa yang normal adalah kurang dari 100
mg / dl. Kadar glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg / dl pada dua atau
lebih tes pada hari yang berbeda menunjukkan diabetes. Tes glukosa sewaktu
juga dapat digunakan untuk mendiagnosa diabetes. Sebuah kadar glukosa
darah 200 mg / dl atau lebih tinggi menunjukkan diabetes. Ketika glukosa
darah puasa dalam kisaran 100-126mg/dl, ini disebut sebagai glukosa puasa
terganggu (GDPT). Sementara pasien dengan GDPT tidak memiliki diagnosis
diabetes, namun memiliki resiko diabetes.9
Tes toleransi glukosa oral (TTGO) adalah standar emas untuk membuat
diagnosis diabetes tipe 2. Hal ini masih sering digunakan untuk mendiagnosis

4
diabetes kehamilan dan dalam kondisi pra-diabetes, seperti sindrom ovarium
polikistik. Dengan uji toleransi glukosa oral, orang puasa semalam
(setidaknya delapan tetapi tidak lebih dari 16 jam). Lalu pertama, glukosa
plasma puasa adalah diuji. Setelah tes ini, orang yang menerima 75 gram
glukosa (100 gram untuk wanita hamil). Agar mendapatkan hasil yang tepat
maka pasien harus memenuhi syarat sebagai berikut: 9
1. Pasien harus berada dalam kesehatan yang baik (tidak punya penyakit
lain
2. Pasien harus normal aktif menjalankan aktivitas sehari-hari seperti
biasanya.
3. Pasien tidak boleh memakan obat yang dapat mempengaruhi glukosa
darah.
4. Selama tiga hari sebelum tes, orang harus makan diet tinggi
karbohidrat (200-300 gram per hari).
5. Sebelum tes, pasien seharusnya tidak merokok atau minum kopi.
Glukosa oral toleransi glukosa darah klasik langkah uji tingkat lima
kali selama tiga jam. Beberapa dokter hanya mendapatkan sampel darah dasar
diikuti dengan sampel dua jam setelah minum larutan glukosa. Dalam orang
tanpa diabetes, tingkat glukosa meningkat kemudian turun dengan cepat. Pada
seseorang dengan diabetes, kadar glukosa meningkat lebih tinggi dari normal
dan gagal kembali turun cepat.
Orang dengan kadar glukosa antara normal dan diabetes memiliki
toleransi glukosa terganggu (TGT). Orang dengan toleransi glukosa terganggu
tidak didiagnosis diabetes, tetapi beresiko tinggi untuk menjadi diabetes.
Setiap tahun, 1% -5% dari orang-orang yang hasil tes menunjukkan toleransi
glukosa terganggu akhirnya benar-benar mengembangkan diabetes. Menjaga
berat badan dan olahraga dapat membantu orang dengan toleransi glukosa
terganggu membuat kadar glukosa mereka kembali normal. 9

B. Penyakit Jantung Koroner


Penyakit Jantung Koroner adalah penyakit jantung yang terutama
disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses atherosklerosis
atau spasme atau kombinasi keduanya. 7
Penyebab penyakit jantung koroner belum diketahui, tetapi secara
umum dikenal berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya
penyakit jantung koroner yang dikenal dengan faktor resiko penyakit jantung

5
koroner. Berdasarkan penelitian Framingham, Multiple Risk Factors
Interventions Trial dan Minister Heart Study, diketahui bahwa faktor risiko
seseorang untuk menderita penyakit jantung koroner ditentukan melalui
interaksi dua atau lebih faktor risiko, antara lain:
Faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin,
ras dan riwayat keluarga. Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner
meningkat dengan bertambahnya usia. Wanita agaknya relatif kebal terhadap
penyakit ini sampai setelah menopause, dan kemudian menjadi sama
rentannya seperti pria. Efek perlindungan estrogen merupakan penjelasan
adanya imunitas wanita pada usia sebelum menopause. Orang Amerika-Afrika
lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih. Riwayat
keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner meningkatkan
timbulnya aterosklerosis premature. Riwayat keluarga dapat pula
mencerminkan komponen lingkungan yang kuat seperi gaya hidup yang
menimbulkan stres atau obesitas.
Faktor risiko tambahan lain masih dapat diubah sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor risiko mayor yaitu peningkatan
kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet
tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori. Faktor risiko berkaitan dengan
gangguan toleransi glukosa pada pasien diabetes melitus inilah yang dibahas
secara terperinci dalam referat ini, terutama hubungannya dengan
kecenderungan pembentukan plaque aterosklerosis yang terjadi pada
pembuluh darah koroner, berakhir dengan munculnya PJK. 6
1. Aterosklerosis dan PJK
Patogenesis PJK berkaitan erat dengan aterosklerosis pada arteri
koronaria. Arteriosklerosis merupakan istilah umum untuk menyebutkan
proses penebalan dan pengerasan arteri. Hal ini merupakan proses normal
sesuai dengan bertambahnya usia. Atherosklerosis merupakan salah satu
jenis arteriosklerosis, yang dikarakteristikkan dengan adanya deposit
substansi lemak, kolesterol, produk buangan seluler, kalsium, dan fibrin
dalam lapisan dalam arteri. Bangunan tersebut dinamakan plaque. Plaque
dapat menyebabkan blokade aliran darah dalam pembuluh darah yang
bersangkutan baik secara parsial atau total. Pada saat sudah terbentuk

6
plaque, dua hal yang dapat terjadi adalah perdarahan di dalam plaque dan
atau pembentukan pembekuan atau thrombus dalam permukaan plaque.
Apabila hal ini terjadi dan menyumbat saluran arteri, maka dapat
menyebabkan serangan jantung atau stroke. 10
Atherosklerosis dapat berlangsung secara perlahan-lahan,
merupakan penyakit progressive, dan saat ini telah banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa hal tersebut telah dapat terjadi pada permulaan masa
anak-anak dan remaja. Proses ini dapat terjadi pada arteri ukuran sedang
dan besar, akan tetapi enis dan progresifitasnya bervariasi pada masing-
masing individu. 10
Perkembangan dari atherosklerosis bersifat kompleks dan
penyebab pastinya belum secara jelas dimengerti. Akan tetapi banyak ahli
yang mempercayai bahwa atherosclerosis melalui fase-fase sebagai beikut:
a. Dimulai dari lapisan paling dalam dari arteri, yaitu lapisan endothel
pada tunika intima, terjadi trauma dan berakibat pada gangguan
fungsinya.
b. Pada saat ini terjadi, maka lemak, cholesterol, dan berbagai substansi
lain yang melewatinya akan terdeposit dalam lapisan tersebut.
Berbagai substansi lain tersebut adalah bentuk teroksidasi dari
kolesterol pembawa lipid yang disebut lipoprotein teroksidasi yang
menyebabkan semakin meningkatnya pembentukan plak dalam lesi
atherosclerotic. Dalam lesi ini juga ditemukan leukosit, yang
normalnya ditemukan dalam darah, terjadi akumulasi di dalamnya
dan banyak diantaranya yang kemudian membelah. Dalam waktu
yang sama, maka sel-sel lemak akan semakin meningkatkan
penimbunan plak dengan mengelilingi sel tersebut.
c. Kumpulan lipoptotein, lemak dan leukosit tersebut kemudian
membentuk jaringan ikat dan akhirnya akan menyebabkan
endothelium menjadi lebih tebal dan tebal lagi.
d. Kondisi ini, maka akan terjadi penurunan aliran darah yang melalui
arteri dan suplai oksigen yang menuju ke jantung, otak, atau
ekstrimitas. 10

7
Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan
kemampuan vaskuler untuk memberikan respon juga kurang, manifestasi
klinis penyakit belum tampak sampai proses aterogenik sudah mencapai
tingkat lanjut. Fase preklinis ini dapat berlangsung sampai 20-40 tahun.
Lesi yang bermakna klinis biasanya penyumbatan terjadi lebih dari 75%
lumen pembuluh darah. Langkah akhir proses patologis terjadi sebagai
berikut: 6, 11
a. Penyempitan lumen progresif akibat pembesaran plak
b. Perdarahan pada plak ateroma
c. Pembentukan thrombus yang diawali agregasi trombosit
d. Embolisasi thrombus atau fragmen plak
e. Spasme arteria koronaria.
Meskipun ada banyak sebab yang dapat menimbulkan
penyumbatan pembuluh koroner akut, tetapi dalam pemeriksaan otopsi
terbukti bahwa thrombosis intralumen merupakan penyebab utama yaitu
menumpuk pada lesi aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Lesi-lesi
aterosklerotik biasanya berkembang pada segmen epikardial proksimal
dari arteria koronaria yaitu pada tempat lengkungan yang tajam,
percabangan, atau perlekatan. Lesi ini cenderung terlokalisir dan fokal
dalam penyebarannya, tetapi pada tahap lanjut, lesi tersebar difus menjadi
menonjol. 6, 11
2. Fisiologis Jantung Hubungannya dengan Aterosklerosis dan PJK
Dalam fisiologis jantung dan nutrisinya, terdapat suatu
keseimbangan kritis antara suplai oksigen miokardium dan kebutuhan.
Suplai oksigen harus sesuai dengan kebutuhan akan oksigen tersebut. Bila
suplai oksigen terganggu atau terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dapat
mengganggu keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium.
Ada empat faktor utama yang menentukan besarnya kebutuhan oksigen
miokardium yaitu frekuensi denyut jantung, daya kontraksi, massa otot,
dan tegangan dinding ventrikel. Tegangan dinding atau beban akhir
merupakan fungsi variable-variabel yang ditemukan pada persamaan
Laplace. Karena itu kerja jantung dan kebutuhan akan oksigen akan
meningkat pada takikardia dan peningkatan daya kontraksi, hipertensi,
hipertrofi, dan dilatasi ventrikel. 6

8
Bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat, maka suplai
oksigen juga harus meningkat. Untuk meningkatkan suplai oksigen, aliran
pembuluh koroner harus ditingkatkan. Rangsangan yang paling kuat untuk
mendilatasi arteria koronaria dan meningkatkan aliran pembuluh koroner
adalah hipoksia jaringan lokal. Pembuluh koroner normal dapat melebar
dan meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas
tingkat istirahat. Pembuluh darah yang mengalami stenosis atau gangguan
tidak dapat melebar sehingga terjadi kekurangan oksigen apabila
kebutuhan oksigen meningkat melebihi kapasitas pembuluh untuk
meningkatkan aliran. Iskemia adalah suatu keadaan kekurangan oksigen
yang bersifat sementara dan reversible. Iskemia yang lama akan
menyebabkan kematian otot atau nekrosis. Secara klinis maka nekrosis
miokardium dikenal dengan nama infark miokardium. 6
Ventrikel kiri adalah ruang jantung yang paling rentan terhadap
iskemia dan infark miokardium, karena sifat khas oksigenasi
miokardiumnya yang unik. Pertama kebutuhan ventrikel kiri akan oksigen
adalah besar karena besarnya resistensi sistemik terhadap ejeksi serta
massa otot yang besar. Di samping itu aliran pembuluh koroner secara
alamiah bersifat fasik. Cabang-cabang arteria koronaria tertanam jauh
dalam miokardium. Pada waktu sistol, cabang-cabang ini tertekan,
sehingga meningkatkan resistensi terhadap aliran. Karena itu aliran
pembuluh koroner terutama berlangsung selama diastol. Kontraksi dinding
ventrikel kiri yang tebal pada hakekatnya akan menghentikan aliran
sistolik. Pada dinding ventrikel kanan yang lebih tipis masih ada aliran
sistolik yang berlangsung kontinyu. 6
Aterosklerosis dimana terjadi penimbunan lipid dan jaringan
fibrosa dalam arteri koronaria, yang terjadi secara progresif mempersempit
lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap
aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium.
Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti
perubahan vaskuler yang akan mengurangi kemampuan pembuluh untuk

9
melebar. Dengan demikan, keseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen akan genting, membahayakan miokardium distal dari daerah lesi. 6
3. Patofisiologi Iskemia pada PJK dan Dasar Diagnosisnya
Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen
oleh pembuluh yang terserang penyakit menyebabkan iskemia
miokardium local. Iskemia yang sementara menyebabkan perubahan
reversible pada tingkat sel dan jaringan dan menekan fungsi miokardium.
Berkurangnya oksigen memaksa miokardium mengubah metabolism
aerobic menjadi anaerobic yang tidak efisien dan menghasilkan asam
laktat yang tertimbun di sel sehingga menurunkan pH sel. 6
Gabungan efek hipoksia, kurangnya energi, serta asidosis
mengganggu fungsi ventrikel kiri. Berkurangnya daya kontraksi dan
ganguan gerakan jantung mengubah hemodinamika. Menurunnya fungsi
ventrikel kiri dapat mengakibatkan menurunnya curah jantung dengan
berkurangnya curah sekuncup. Berkurangnya pengosongan ventrikel saat
sistol memperbesar volume ventrikel. Akibatnya, tekanan jantung kiri
meningkat, tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan tekanan baji dalam
kapiler paru-paru akan meningkat. Peningkatan tekanan diperbesar oleh
perubahan daya kembang dinding jantung akibat iskemia. Manifestasi
hemodinamika yang sering terjadi adalah peningkatan ringan tekanan
darah dan denyut jantung sebelum tinbul nyeri. Iskemia miokardium
secara khas disertai oleh dua perubahan elektrokardiogram (EKG) yaitu
gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. 6
Angina pektoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia
miokardium. Secara khas, nyeri digambarkan sebagai suatu tekanan
substernal, kadang menyebar turun ke sisi medial lengan kiri. Akan tetapi
banyak orang tidak mengalami angina yang khas, tetapi menyerupai nyeri
karena pencernaan yang tidak baik atau sakit gigi. Angina dipicu oleh
aktivitas yang meningkatkan kebutuhan miokardium akan oksigen seperti
latihan fisik. Angina Prinzmetal lebih sering terjadi pada waktu istirahat
daripada bekerja dan disebabkan oleh spasme setempat dari arteria
epikardium. 6
4. Patofisiologi Infark pada PJK dan Dasar Diagnosisnya

10
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan
menyebabkan kerusakan seluler yang ireversibel dan kematian otot atau
nekrosis. Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan
berhenti berkontraksi secara permanen. Jarinan infark dikelilingi suatu
daerah iskemik yang berpotensi dapat hidup. Bila pinggir daerah ini
mengalami nekrosis maka besar infark akan bertambah besar, sedangkan
perbaikan iskemia memperkecil nekrosis.6
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri. Infark
transmural mengenai seluruh tebal dinding yang bersangkutan, sedangkan
infark subendokardial terbatas pada separuh bagian dalam miokardium.
Otot yang mengalami infark akan mengalami serangkaian perubahan
selama berlangsungnya proses penyembuhan. Otot tampak memar dan
sianotik akibat terputusnya aliran darah regional. Dalam jangka waktu 24
jam timbul edema pada sel-sel, respon peradangan disertai infiltrasi
leukosit. Enzim-enzim jantung akan terlepas dari sel-sel ini. Menjelang
hari kedua atau ketiga mulai terjadi proses degradasi jaringan dan
pembuangan semua serabut nekrotik. Selama fase ini dinding nekrotik
relative tipis. Kira-kira pada minggu ketiga mulai terbentuk jaringan parut.
Jaringan penyambung fibrosa akan menggantikan otot yang nekrosis dan
mengalami penebalan yang progresif. Pada minggu keenam parut sudah
terbentuk dengan jelas. 6
Secara fungsional infak miokardium menyebabkan daya kontraksi
menurun, gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang dinding
ventrikel, pengurangan curah sekuncup, pengurangan fraksi ejeksi,
peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolic ventrikel, dan
peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri. Derajat gangguan ini
tergantung dari ukuran infark, lokasi infark, fungsi miokardium yang tak
terlibat, sirkulasi kolateral, dan mekanisme kompensasi dari
kardiovaskuler. 6
Terdapat serangkaian refleks yang dapat mencegah memburuknya
curah jantung dan tekanan perfusi yaitu peningkatan frekuensi jantung dan
daya kontraksi, vasokontriksi umum, retensi natrium dan air, dilatasi
ventrikel, dan hipertrofi ventrikel. Akan tetapi semua respon kompensasi

11
ini dapat memperburuk keadaan miokardium dengan meningkatkan
kebutuhan akan oksigen.6
Infark miokardiom klasik ditandai oleh trias diagnostik yaitu nyeri
dada yang lama dan hebat biasanya disertai mual, keringat dingin, muntah,
dan perasaan seakan-akan sedang menghadapi ajal. Kedua, meningkatnya
kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh sel-sel miokardium yang
nekrosis. Enzim-enzim yang dilepaskan yaitu keratin fosfokinase (CK),
glutamate oksaloasetat transaminase (SOT) dan laktat dehidrogenase
(LDH). Selama infark akut akan terlihat perubahan-perubahan pada EKG
yaitu gelombang Q yang nyata, elevasi segmen ST, dan gelombang T
terbalik. Komplikasi dari infark dan iskemia ini antara lain gagal jantung
kongestif, syok kardiogenik, disfungsi otot papilaris, defek septum
ventrikel, rupture jantung, aneurisma ventrikel, tromboembolisme,
perikarditis, dan aritmia. 6
5. Gejala dan Tanda Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Gejala
Palpitasi merupakan manifestasi penyakit ini meskipun tidak
spesifik. Keadaan ini bisa timbul spontan maupun atas dasar faktor
pencetus yang menambah iskemia seprti aktivitas fisik, stress. Sesak nafas
mulai dengan nafas yang terasa pendek sewaktu melakukan aktivitas yang
cukup berat, yang biasanya tidak menimbulkan keluhan. Makin lama sesak
makin berat sekalipun melakukan aktivitas ringan. Pada keadaan yang
lanjut dapat terjadi gagal jantung kiri. 6
Angina pektoris yang spesifik merupakan gejala utama yang khas
bagi penyakit jantung koroner. Memang angina pectoris merupakan gejala
yang paling belakangan timbul sehingga layak juga dipandang sebagai
pembeda antara penyakit jantung koroner simtomatik dan asimtomatik.
Berdasarkan ada tidaknya dan bentuk-bentuk serangan angina pectoris
dapat dibuat klasifikasi penyakit jantung koroner sebagai berikut: 6
1. Asimtomatik
2. Simtomatik
a. Angina pectoris stabil
b. Angina pectoris tak stabil
c. Prinzmetal angina pectoris
3. Infrak Miokard akut

12
Tanda
Pemeriksaan fisik akan mendapatkan data yang sesuai dengan
adnaya faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner seperti hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes militus, sampai dengan penemuan kelainan
jantung seperti kardionegali, gallop. 6

C. Hubungan Dibetes Melitus dan Penyakit Jantung Koroner


Penyebab kematian dan kesakitan utama pada penderita DM (baik
DM tipe 1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang
merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit
makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat
mengenai organ-organ vital seperti jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis
pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi
kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres
oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemi dan/atau hiperproinsulinemi serta
perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Pada penderita
DM, risiko payah jantung kongestif meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan
risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam
beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa DM dapat pula mempengaruhi
otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini
arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi
perubahan-perubahan berupa fibrosis interstisial, pembentukan kolagen dan
hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan
pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan
peningkatan aktivitas Pyruvate Kinase. Perubahan ini akan menyebabkan
gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-
diastolic sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif. 12
Patofisiologi :
Dasar terjadinya peningkatan risiko Penyakit Jantung Koroner pada
penderita DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan
kenyataan bahwa : 12
1. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita DM

13
dibanding populasi non DM.
2. Penderita DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
trombosis, penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons
inflamasi.
3. Pada penderita DM terjadi glikosilasi protein yang akan
mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah.
Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa aterosklerosis pada
penderita DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM. Studi
epidemiologik juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung
pada penderita DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata
disebabkan karena kontrol gula darah yang buruk dalam waktu yang lama.
Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko terjadinya payah
jantung dan stroke pada penderita DM, antara lain hipertensi, resistensi
insulin, hiperinsulinemi, hiperamilinemi, dislipidemi, dan gangguan sistem
koagulasi serta hiperhomosisteinemi. 12
Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu
dan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom
resistensi insulin atau sindrom metabolik.
Lesi aterosklerosis pada penderita DM dapat terjadi akibat : 12
1. Hiperglikemi
Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai
mekanisme antara lain :
i. Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari
protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan
perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan
menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan
keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin.
ii. Hiperglikemi meningkatkan aktivasi protein kinase C (PKC)
intraseluler sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool
yang akan menghambat produksi NO.
iii. Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel
dan otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi

14
neovaskularisasi.
iv. Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG)
melalui jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan
meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC). Baik DAG
maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya
vasokonstriksi.
v. Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan
hiperglikemi akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres
oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small
dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat
aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar asam lemak bebas
dan keadaan hiperglikemi dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid
dan protein.
Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik dan
aggregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor
antara lain penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik
akibat peningkatan kadar PAI-1. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi
peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor
seperti pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs) dan
penurunan sintesis heparan sulfat. 12
Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi
dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang
dapat menyebabkan overstimulasi dari sel-sel endotel sehingga akan
terjadi disfungsi endotel. 12
2. Resistensi insulin dan hiperinsulinemi
Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap
insulin yaitu IGF-I dan IGF-II pada sel-sel dari pembuluh darah besar dan
kecil dengan karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel
lain. Peneliti ini menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel
endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam proses terjadinya
komplikasi vaskular pada penderita DM. Defisiensi insulin dan
hiperglikemi kronik dapat meningkatkan kadar total protein kinase C

15
(PKC) dan diacylglycerol (DAG) yang berperan dalam memodulasi
terjadinya vasokonstriksi. Insulin juga mempunyai efek langsung terhadap
jaringan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap jaringan pembuluh
darah dari obese Zucker rat didapatkan adanya resistensi terhadap sinyal
PI3-kinase. Temuan ini membuktikan bahwa resistensi insulin akan
menimbulkan gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah. King dan
kawan-kawan dalam penelitiannya menggunakan kadar insulin fisiologis
mendapatkan bahwa hormon ini dapat meningkatkan kadar dan aktivitas
mRNA dari eNOS sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam inkubasi sel endotel.
Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin tidak hanya memiliki efek
vasodilatasi akut melainkan juga memodulasi tonus pembuluh darah.
Toksisitas insulin (hiperinsulinemi / hiperproinsulinemi) dapat menyertai
keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan stadium awal dari DM
tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah reseptor AT-1 dan mengaktifkan
Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS). Akhir-akhir ini telah
dapat diidentifikasi adanya reseptor AT-1 didalam sel-sel beta pankreas
dan didalam sel-sel endotel kapiler pulau Langerhans pankreas. Jadi,
hiperinsulinemi mempunyai hubungan dengan Ang-II dengan akibat akan
terjadi peningkatan stres oksidatif didalam pulau Langerhans pankreas
akibat peningkatan kadar insulin, proinsulin dan amilin.12
3. Hiperamilinemi
Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP)
merupakan polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam amino, disintesis
dan disekresi oleh sel-sel beta pankreas bersama-sama dengan insulin.
Jadi keadaan hiperinsulinemi akan disertai dengan hiperamilinemi dan
sebaliknya bila terjadi penurunan kadar insulin akan disertai pula dengan
hipoamilinemi. Hiperinsulinemi dan hiperamilinemi dapat menyertai
keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan DM tipe 2. Terjadinya
amiloidosis ( penumpukan endapan amilin) didalam islet diduga
berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2.
Sebaliknya , penumpukan endapan amilin didalam sel-sel beta pankreas
akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dan

16
kawan-kawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada penderita
DM tipe 2, peningkatan stres oksidatif berhubungan dengan peningkatan
pembentukan IAPP didalam sel-sel beta pankreas. Dalam keadaan ini
terjadi penurunan ekspresi enzim Super Oxide Dismutase (SOD) yang
menyertai pembentukan IAPP dan penurunan massa sel beta. Temuan ini
menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres oksidatif dan
pembentukan IAPP serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta
pankreas. Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah
satu mediator terjadinya resistensi insulin. Baru-baru ini ditemukan pula
amylin binding site didalam korteks ginjal, dimana amilin dapat
mengaktivasi RAAS dengan akibat terjadinya peningkatan kadar rennin
dan aldosteron. Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikel
amiloid (intermediate sized toxic amyloid particles = ISTAPs) yang
bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta pankreas, dapat mengakibatkan
apoptosis dengan cara merusak membran sel beta pankreas. 12
4. Inflamasi
Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya
menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut, tetapi juga merupakan
penyebab utama dalam proses terjadinya dan progresivitas aterosklerosis.
Berbagai pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis,
antara lain sitokin dan growth factors yang dilepaskan oleh makrofag dan
T cells. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor
(PAF), merangsang lipolisis, ekspresi molekul2 adhesi dan upregulasi
sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan didalam sel-sel endotel. Jadi
sitokin memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal
terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya.
Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi pada penderita DM, karena
peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag ( dan
pelepasan sitokin ) , antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan
lipid. Pelepasan sitokin yang dipicu oleh terbentuknya Advanced
Glycosylation Endproducts (AGEs) akan disertai dengan over produksi
berbagai growth factors seperti :12

17
- PDGF (Platelet Derived Growth Factor)
- IGF I (Insulin Like Growth Factor I)
- GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor)
- TGF- α (Transforming Growth Factor-α)
Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel
pembuluh darah. Disamping itu terjadi pula peningkatan pembentukan
kompleks imun yang mengandung modified lipoprotein. Tingginya kadar
kompleks imun yang mengandung modified LDL, akan meningkatkan
risiko komplikasi makrovaskular pada penderita DM baik DM tipe 1
maupun DM tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang pelepasan
sejumlah besar sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan
matrix metalloproteinase-1 (MMP-1) tanpa merangsang sintesis
inhibitornya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun tersebut akan
merangsang pelepasan Tumor Necrosis Factor α (TNF α) , yang
menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protein. Baru-baru ini telah
ditemukan C-reactive protein dengan kadar yang cukup tinggi pada
penderita dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun
pada penderita DM tidak hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis
dan progresivitasnya, melainkan juga berperan dalam proses rupturnya
plak aterosklerotik dan komplikasi Jantung Koroner selanjutnya.
Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada penderita DM
mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen
makrofag kedalam dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya
kadar sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada penderita DM akan
meningkatkan aktivasi sel T yang akan meningkatkan pelepasan interferon
γ. Pelepasan interferon γ akan menyebabkan gangguan homeostasis sel-sel
pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel
otot polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan
menimbulkan vulnerable plaque, sehingga menimbulkan komplikasi
Sindrom Koroner Akut. 12
Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada
pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous

18
dan calcified, sedangkan pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak
mengandung lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada
penderita DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan area nekrosis,
kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1
ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells
didalam plak yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih
stabil.12

5. Trombosis/Fibrinolisis
Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu
perubahan-perubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini
disebabkan karena adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada
penderita DM tipe 2. Walaupun demikian dapat pula ditemukan pada
penderita DM tipe 1. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas faktor VII dan
PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik akan
menyebabkan penurunan urokinase dan meningkatkan aggregasi platelet.
Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas
faktor VII yang berhubungan dengan terjadinya hiperlipidemi post
prandial. Over ekspresi PAI-1 diduga terjadi akibat pengaruh langsung
dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penurunan kadar PAI-1 setelah pengobatan DM tipe 2 dengan
thiazolidinediones menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin
dalam proses terjadinya over ekspresi PAI-1. Peningkatan PAI-1 baik
didalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik tidak hanya
menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah, melainkan juga
disertai penurunan ekspresi urokinase didalam dinding pembuluh darah
dan plak aterosklerotik. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari
plak yang menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan
memicu terjadinya ruptur plak dengan akibat terjadinya Sindrom Koroner
Akut.. Mekanisme yang mendasari terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada
penderita DM dan resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut.12

19
6. Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum terjadi
pada keadaan resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2.
Keadaan ini terjadi akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang sering
disebut sebagai "lipid triad", meliputi :12
a. Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida
b. Penurunan kadar HDL cholesterol
c. Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik.

Ketiganya disebabkan oleh trigliserid dalam jaringan lemak


(adipose) maupun dalam darah (yaitu VLDL dan IDL) akan mengalami
hidrolisis menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Proses hidrolisis ini
terjadi oleh karena adanya enzim trigliserid lipase. Terdapat dua jenis
enzim trigliserid lipase yaitu lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat pada
endothelium vaskular dan berfungsi memecah trigliserid dari lipoprotein
kaya trigliserid dalam plasma yaiu VLDL dan IDL. Enzim trigliserid
lipase kedua terdapat dalam jaringan lemak oleh karena itu disebut
trigliserid lipase intravaskuler adiposity (lipoprotein lipase intraseluler)
yang juga disebut hormone sensitive lipase dan berfungsi memecah
simpanan trigliserid dalam jaringan bila diperlukan sebagai sumber energi.
Kerja kedua enzim tersebut sangat tergantung dari kadar insulin plasma
dengan pengertian kadar insulin plasma yang normal akan memacu kerja
lipoprotein lipase dan menghambat kerja lipoprotein lipase intraseluler.13
Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan
adipose akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adipose
semakin meningkat, kerja enzim lipoprotein lipase intraseluler akan
menjadi aktif sehingga terjadi lipolisis trigliserid intraseluler. Keadaan ini
akan menghasilkan asam lemak bebas (=FFA=NEFA) yang berlebihan.
Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan
sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan
baku pembentukan trigliserid. Di hati asam lemak bebas akan menjadi
trigliserid kembali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu VLDL

20
yang dibentuk akan sangat kaya trigliserid disebut juga VLDL kaya
trigliserid atau VLDL besar (enriched trigliseride VLDL=large
VLDL).Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar
dengan kolesterol ester dari LDL kolestrol. Hal mana akan menghasilkan
LDL yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol
ester depleted LDL). Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan
dihidrolisis oleh enzim lipase hati yang biasanya meningkat pada resistensi
insulin sehingga menghasilkan LDL yang kecil padat (small dense LDL).
Partikel LDL kecil padat ini mudah teroksidasi dan sangat aterogenik.14
7. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/
sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada
penderita DM tipe 1, hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-
tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuri.
Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan
risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi disertai dengan peningkatan
stres oksidatif dan aktivitas Spesies Oksigen Radikal, yang selanjutnya
akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi Ang
II dan penurunan aktivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan
menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi. Penelitian terbaru mendapatkan adanya
peningkatan kadar amilin (hiperamilinemi) pada individu yang
mempunyai riwayat keluarga hipertensi dan dengan resistensi insulin.12
8. Hiperhomosisteinemi
Pada penderita DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 ditemukan
polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase yang
dapat menyebabkan hiperhomosisteinemi. Polimorfisme gen ini terutama
terjadi pada penderita yang kekurangan asam folat didalam dietnya.
Hiperhomosisteinemi dapat diperbaiki dengan suplementasi asam folat.
Homosistein terutama mengalami peningkatan bila terjadi gangguan
fungsi ginjal. Peningkatan kadar homosistein biasanya menyertai
penurunan laju filtrasi glomerulus. Hiperhomosisteinemi dapat

21
menyebabkan inaktivasi nitrat oksida melalui hambatannya terhadap
ekspresi glutathione peroxidase (GPx).12

D. Manifestasi klinis :12


Pada individu non DM, Penyakit Jantung Koroner dapat memberikan
manifestasi klinis berupa :
1. Angina pektoris :
Rasa nyeri dada dan sesak nafas yang disebabkan karena
gangguan suplai oksigen yang tidak mencukupi kebutuhan otot
jantung. Keadaan ini terutama terjadi pada saat latihan fisik atau
adanya stres.
2. Angina Pektroris tidak stabil :
Dikatakan Angina Pektoris tidak stabil bila nyeri timbul untuk
pertama kali, atau bila Angina Pektoris sudah ada sebelumnya namun
menjadi lebih berat. Dan biasanya dicetuskan oleh faktor yang lebih
ringan dibanding sebelumnya. Keadaan ini harus diwaspadai karena
kelainan bisa berlanjut menjadi berat, bahkan menjadi infark miokard.
3. Infark miokard :
Kerusakan otot jantung akibat blokade arteri koroner yang terjadi
secara total dan mendadak. Biasanya terjadi akibat ruptur plak
aterosklerosis didalam arteri koroner.
Secara klinis infark miokard ditandai dengan nyeri dada seperti
pada Angina Pektoris, namun lebih berat dan berlangsung lebih lama
sampai beberapa jam. Tidak seperti pada AP yang dicetuskan oleh
latihan dan dapat hilang dengan pemakaian obat nitrat dibawah lidah,
pada infark miokard biasanya terjadi tanpa dicetuskan oleh latihan dan
tidak hilang dengan pemakaian nitrat. Kadang-kadang gejala bisa
berupa sesak nafas, atau sinkope (kehilangan kesadaran).
Biasanya disertai komplikasi seperti ; gangguan irama jantung,
renjatan jantung (cardiogenic shock), gagal jantung kiri, bahkan
kematian mendadak (sudden death).
4. Sindrom koroner akut :

22
Spektrum klinis yang terjadi mulai dari Angina Pektoris tidak
stabil sampai terjadi Infark Miokard Akut.
Pada penderita DM, terjadinya iskemi atau infark miokard kadang-
kadang tidak disertai dengan nyeri dada yang khas (Angina Pektoris).
Keadaan ini dikenal dengan Silent Myocardial Ischaemia atau Silent
Myocardial Infarction (SMI). Terjadinya SMI pada penderita DM diduga
disebabkan karena :

a. Gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri


b. Penurunan kadar b endorphin
c. Neuropati perifer yang menyebabkan denervasi sensorik.

E. Diagnosis :12
Diagnosis Penyakit Jantung Koroner pada penderita Diabetes Melitus
ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada penderita DM tipe 1, yang umumnya datang tanpa disertai faktor2
risiko tradisional, lamanya menderita DM dapat dijadikan sebagai
prediktor penting terhadap timbulnya Penyakit Jantung Koroner. Karena
DM tipe 1 sering terjadi pada usia muda, Penyakit Jantung Koroner dapat
terjadi pada usia antara 30 sampai 40 tahun. Sebaliknya pada penderita
DM tipe 2, sering disertai dengan berbagai faktor risiko, dan PJK biasanya
terjadi pada usia 50 tahun keatas. Seringkali, DM baru terdiagnosis pada
saat pasien datang dengan keluhan angina, infark miokard atau payah
jantung. Sedangkan pada penderita DM dengan SMI, gejala yang timbul
biasanya tidak khas seperti mudah capek, dyspnoe d’effort atau dispepsia.

2. Pemeriksaan laboratorium meliputi :


Darah rutin
Kadar gula darah puasa
Profil lipid :

23
Kolesterol total
HDL kolesterol
LDL kolesterol
Trigliserida
Enzim2 jantung
C-reactive protein (CRP)
Mikroalbuminuri atau proteinuri
Elektrokardiografi
Uji latih (Treadmill test)
Pemeriksaan foto dada
Ekhokardiografi
Pemeriksaan baku emas adalah angiografi koroner (kateterisasi)

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan


pemeriksaan2 sebagai berikut :
Elektrokardiografi (EKG) sebagai pemeriksaan awal terhadap setiap
pasien DM
Uji latih (Treadmill test) dilakukan terhadap penderita DM dengan :
Gejala-gejala angina pektoris
Dyspnoe d’effort
Gejala2 gastrointestinal
EKG istirahat menunjukkan tanda2 iskemi atau infark miokard
Disertai penyakit arteri perifer atau oklusi arteri karotis
Disertai adanya 2 atau lebih faktor2 risiko kardiovaskular sebagai
berikut :
Kolesterol total ≥ 240 mg/dl
LDL kolesterol ≥ 160 mg/dl
HDL kolesterol ≤ 35 mg/dl
Tekanan darah > 140/90 mmHg
Merokok
Riwayat keluarga menderita PJK
Mikroalbuminuri atau proteinuri

24
F. Penatalaksanaan :12
Berdasarkan rekomendasi ADA, target yang harus dicapai dalam
penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam upaya menurunkan risiko
kardiovaskular :
No Parameter Target yang harus dicapai
1. Kontrol glikemik :
- A1C <7%
Kadar glukosa darah preprandial 90 – 130 mg/dl (5.0 – 7.2 mmol/l)
Kadar glukosa darah postprandial < 180 mg/dl (< 10.0 mmol/l)

2. Tekanan darah < 130/80 mmHg

3. Lipid :
LDL < 100 mg/dl (< 2.6 mmol/l)
Trigliserida < 150 mg/dl (< 1.7 mmol/l)
HDL > 40 mg/dl (>1.1 mmol/l)

1. Penurunan risiko kardiovaskular secara komprehensif , yaitu meliputi :


Pengobatan hiperglikemi dengan diet, obat-obat hipoglikemik oral atau
insulin, antara lain:15
a. Golongan Sulfonilurea
Mekanisme kerja obat sulfonilurea, adalah:
 Menstimulasi sel beta pancreas untuk menghasilkan insulin
yang tersimpan. Karena itu hanya dapat bermanfaat pada pasien
yang memiliki kemampuan untuk mensekresi insulin. Efek
ekstra pankreas yaitu memeperbaiki sensitifitas insulin yang
sudah ada.
 Menurunkan Konsentrasi glukagon dalam serum.
Mekanisme penghambatannya masih belum jelas namun dapat
terjadi karena penghambatan langsung yang disebabkan karena
peningkatan pelepasan inslin dan somatostatin yang mampu
menghambat sel alfa pankreas.
 Meningkatkan kerja insulin pada sel target.

25
Peningkatan jumlah reseptor dapat meningkatkan reaksi dalam
menurunkan kadar gula darah dan dapat meningkatkan
sensitivitas sel target dalam jaringan perifer.
Contoh : tolbutamid, klorpropamid, tolazamid, dan
asetoheksamid.

b. Golongan Biguanid
Mekanisme kerja obat biguanid belum dapat dipastikan yang jelas
kerja obat ini tidak bergantung pada fungsi pulau langerhans pada
pankreas, namun diperkirakan ada 4 mekanisme yang terjadi, yaitu:
 Menstimulasi penurunan glikoneogenesis pada hepar.
 mengurangi absorbsi glukosa pada saluran pencernaan.
 Menurunkan konsentrasi glukagon pada plasma.
 Meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor insulin pada sel
target.
 Contoh : Metformin, fentoformin dan buformin.

c. Golongan Tiazolidinedion
Mekanisme kerja utamanya meningkatkan sensitivitas jaringan target
terhadap insulin. Obat ini memperkuat kerja insulin untuk
meningkatkan ambilan glukosa dari darah dan juga oksidasi glukosa
pada otot dan jaringan lemak.

d. Alfa Glukosidase Inhibitor


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di dalam saluran cerna, enzim glukosidase adalah enzim
yang mengubah polisakarida menjadi monosakarida agar mudah
diserap oleh usus, sehingga pada penghambatan enzim alfa
glukosidase dapat menurunkan absorbsi gula pada usus, sehingga
menurunkan hiperglikemia post-prandial. Obat ini bekerja pada usus
dan tidak menyebabakan hipoglikemi dan juga tidak mempengaruhi
ataupun dipengaruhi oleh kadar insulin.

26
2. Pengobatan terhadap dislipidemi
Obat Penurun Lipid, Jenis, Cara Kerja, Dosis, dan Efek Samping

3. Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai tekanan darah < 130/80


mmHg dengan ACE inhibitor, Angiotensin Receptor Blockers (ARB) atau
b blocker dan diuretik.
4. Pengobatan iskemia dan infark
Tujuan pengobatan iskemia miokardium adalah memperbaiki
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan suplai oksigen.
Pemulihan keseimbangan dapat dicapai dengan pengurangan
kebutuhan oksigen dan peningkatan suplai oksigen. Nitrogliserin
adalah terapi utama untuk perbaikan iskemia, menghilangkan nyeri
angina terutama dengan dilatasi arteria dan vena perifer, dan secara

27
sekunder dengan memperlancar distribusi aliran darah koroner menuju
daerah yang mengalami iskemia. 14
Propanolol suatu penghambat beta adrenegik, menghambat
perkembangan iskemia dengan menghambat secara selektif pengaruh
susunan saraf simpatis terhadap jantung melalui resptor beta.
Rangsangan beta akan meningkatkan kecepatan denyut dan daya
kontraki jantung dengan demikian mampu mengurangi kebutuhan
miokardium terhadap oksigen. Digitalis dapat meredakan angina yang
menyertai gagal jantung dengan meningkatkan daya kontraksi dan juga
meningkatkan curah sekuncup. Dengan meningkatnya pengosongan
ventrikel, maka ukuran ventrikel berkurang. Diuretic mengurangi
volume darah dan alir balik vena ke jantung dan dengan demikian
mengurangi ukuran dan volume ventrikel. Obat vasodilator atau
antihipertensi dapat mengurangi tekanan dan resistensi arteria terhadap
ejeksi ventrikel. Akibatnya beban akhir berkurang. Sedative dan
antidepresan jug adapt mengurangi angina yang ditimbulkan oleh
stress atau depresi. 14
Pengobatan primer yang diberikan setelah infark miokardium
adalah tirah baring, agar jaringan yang mengalami infark menyembuh,
dengan demikian mengirani insidensi terjadinya komplikasi serta
menyelamatkan daerah iskemik di sekitar infark.14
Aliran darah ke miokardium setelah suatu lesi aterosklerotik
pada arteria koroner dapat diperbaiki dengan operasi untuk
mengalihkan aliran dari bagian yang tersumbat dengan suatu cangkok
pintas atau dengan meningkatkan aliran di dalam pembuluh sakit
melalui pemisahan mekanis serta kompresi atau pemakaian obat yang
dapat melisiskan lesi. 14
Angioplasty menjadi salah satu alternative terhadap operasi
pintas koroner untuk beberapa penderita dengan penyempitan
aterosklerosis bermakna yang resisten terhadap terapi medis.
Angioplasti dilakukan di laboratorium kateterisasi jantung dengan
bantuan fluoroskopi. Terapi ini sekarang dapat dilakukan untuk pasien

28
dengan penyakit yang melibatkan banyak pembuluh darah yang dapat
dicapai oleh kateter.14
Revaskularisasi bedah dilakukan pada vena safena magna
tungkai dan arteri mamaria interna kiri (LIMA) dari rongga dada. Pada
pencangkokan pintas dengan vena safena, satu ujung dari vene ini
disambung ke aorta asenden dan ujung lain pada bagian pembuluh
darah distal sumbatan.jika dengan memakai LIMA, ujung awal dari
arteria mamaria interna kiri biasanya tetap utuh dan ujung distalnya
dipotong dan dianastomosiskan ke arteria koronaria. 14
Pengobatan awal dalam waktu tiga sampai enam jam pertama
setelah awitan gejala, telah diterima luas sebagai batas waktu untuk
memberikan terapi trombolitik, karena miokardium akan nekrosis jika
reperfusi koroner tidak berjalan sebelum terjadi kerusakan ireversibel.
Terapi utama untuk reperfusi koroner akut adalah segolongan obat
yang dikenal sebagai fibrinolitik yaitu streptokinase, urokinase,
activator plasminogen jaringan dan kompleks activator plasmnogen
yang tidak terisolasi. 14
5. Rehabilitasi
Tujuan akhir pengobatan penyakit aterosklerosis adalah
mengembalikan penderita ke gaya hidup produktif dan menyenangkan.
Sedini mungkin pasien didaftarkan pada program rehabilitasi
kardiovaskuler dan kemudian terus dilanjutkan meskipun pasien sudah
pulang ke rumahnya. Rehabilitasi jantung adalah proses untuk
memulihkan dan memelihari potensi fisik, psikologis, social,
pendidikan dan pekerjaan dari pasien.12
Pasien harus dibantu untuk meneruskan kembali tingkat
kegiatan mereka sesuai dengan kemampuan mereka dan tidak
dihambat oleh psikologis. Petunjuk diet yang tegas dan sesuai dengan
kebutuhan pribadi, pengobatan, kelanjutan aktiitas dan pengawasan
factor risiko merupakan keharusan. Setiap pasien dan keluarga
membutuhkan bimbingan dan pendidikan selama masa peralihan yaitu

29
dari keadaan sakit dimana mereka tergantung pada orang lain ke
keadaan sehat dimana mereka dapat berdiri sendiri.12

BAB III
KESIMPULAN

1. Diabetes mellitus adalah suatu ganguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, yang
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan post prandial karena tubuh tidak
dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat.
2. Penyakit Jantung Koroner adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan
karena penyempitan arteri koronaria akibat proses atherosklerosis atau spasme
atau kombinasi keduanya.
3. Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2 antara lain disebabkan oleh
keadaan hiperglikemi, hiperinsulinemi, hiperaliminemi, inflamasi, trombosis/
fibrinolisis, dislipidemi, hipertensi dan hiperhomosisteinemi.
4. Penurunan risiko kardiovaskular secara komprehensif, yaitu pengobatan
hiperglikemi dengan diet, obat-obat hipoglikemik oral atau insulin,
pengobatan terhadap dislipidemi, pengobatan terhadap hipertensi, pengobatan
iskemia dan infark, dan rehabilitasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar Djohan, Bahri. Penyakit Jantung Koroner Dan Hipertensi. Medan.


USU e-Repository; 2004. 1.

2. Supriyono, M., H, Soeharyo., Sugiri, U, Ari., Sakundarno, M. Faktor –


Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) Pada Kelompok
Usia ≤ 45 Tahun. http://www.pdffactory.com. Diakses tanggal 31 Mei
2010.

3. Muchid, Abdul et all. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit


Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Departemen
Kesehatan; 2006. 1.

4. Syed MA, Mark EC, John FD. 2000. Management of Dyslipidemia in


Adults. The American Academy Family Physician, May 1, 2000. Available
from http://www.aafp.org/afp/980501ap/ahmed.html. Accessed August
3,2008.
5. Polineuropati undip
=http://eprints.undip.ac.id/12511/1/2002PPDS1902.pdf

6. Sylvia AP, Lorraine MW. Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit. Jakarta: EGC, 2005: 1261-70.

31
7. Majid, Abdul. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, Dan
Pengobatan Terkini. Medan: USU e-Repository; 2008. 1.

8. Handoko, Iwan. Glukosa. Jakarta 2 Januari 2007. Avaible from: URL:


http://www.klinikku.com
9. www.medicinenet.com/diabetes_mellitus/article.htm access at 16 Juli
2010
10. John MFA. Dislipidemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Jakarta: FKUI, 2006:1948-54
11. Paolo GC, Filipo C. 2007. Coronary Microvascular Dysfunction. The New
England Journal of Medicine Vol 356:830-40, No.8, February 22, 2007.
Available from http://content.nejm.org/cgi/content/full/354/4/417.
Accessed August 3,2008.
12. http://dokter-alwi.com/jantungkoroner1.html access at 16 Juli 2010 PJK
pada DM
13. Ginsberg HN. 2006. Diabetic dislipidemia: basic mechanism underlying
the common hypertriglyceridemia and low HDL cholesterol levels.
Diabetes. 45(Suppl 3): S27-S30.
14. Shepherd J, Cobbe SM, Ford I, et al, for the West of Scotland Coronary
Prevention Study Group. Pathogenesis of Atherogenic Dyslipidemia. Clin
Invest. 1999; 29(Suppl 2):12-16.
www.medscape.com/viewarticle/412684_2.

15. Betram G. Katzung. Hormon Pankreas dan Obat-Obat Antidiabetes.


Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC, 1998 : 674 – 78. A

32

Anda mungkin juga menyukai