Anda di halaman 1dari 21

KELAINAN KONGENITAL DALAM ORTOPEDI

Deformitas/malformasi bawaan adalah kelainan atau defek yang bias terjadi,


ketika didalam kandungan dan terlihat pada waktu lahir dan dapat pula terjadi
dalam perkembangan anak dikemudian hari. Kadang-kadang kelainan tidak
terlihat dalam secara fisik, tetapi terdapat kelaianan biokimiawi atau histologik
yang dapat berkembang di kemudian hari.
Insiden kelainan sulit ditentukan karena kadangkala kelainan yang ada
sanagat minimal dan sulit dibedakan dengan keadaan normal sehingga tidak
terdeteksi pada waktu lahir.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadi hal ini yaitu genetic,lingkungan
dan kombinasi. Sehingga kita perlu menanyakan faktor yang mengakibatkan hal
ini terjadi.
Dalam praktek sehari-hari kita akan menemukan sejumlah anak dengan
variasi normal kelainan musculoskeletal dalam bentuk serta fungsinya terutama
pada anggota gerak bawah.
Kelainan dan variasi ini sering ditemukan pada anak- anak dan berkurang
pada saat mencapai dewasa yang menandakan adanya perbaikan secara spontan.
Meskipun kelainan ini merupakan suatu variasi normal pada seorang anak yang
sehat dan akan terjadi regresi spontan, tetapi tetap terdapat kegelisahan pada
orangtua penderita. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang
penyebab dan prognosis dari kelainan ini sehingga dapat dijelaskan dengan
seksama akan mengalami perbaikan seiring dengan pertumbuhan anak.
Secara umum kelainan kongenital ini dibagi atas dua bagian besar, yaitu
localized abnormalities dan general abnormalities.
A. Localized Abnormalities
2.1.1. Kelainan kongenital pada ekstremitas bawah
a. Valgus metatarsal
Valgus metatarsal atau hallux valgus adalah suatu kondisi di mana
terjadi deviasi medial dari metatarsal pertama dan deviasi lateral dengan
atau rotasi dari hallux, disertai atau tanpa pelebaran medial dari jaringan
lunak pada kepala metatarsa pertama.
Pasien dengan hallux valgus biasanya didapatkan adanya keterbatasan
rentang gerak sendi (ROM) disertai adanya nyeri atau krepitasi.
Pemeriksaan ROM pada permukaan kaki dengan pergerakan pasif
didapatkan adanya penurunan baik dorsofleksi dan plantarfleksi.
b. Metatarsus primus varus
Metatarsus primus varus adalah terpisahnya adduktus metatarsus
pertama. Berbeda dengan simpel metatarsus adduktus, pda metatarsus
primus varus sisi lateral dari kaki memiliki aligmen yang normal, sering
ditemukan lipatan kulit vertikal yang dalam pada bagian medial kaki di
sendi tarsometatarsal.
c. Congenital Talipes Equinovarus (Clubfoot)
Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau sering disebut congenital
club foot adalah deformitas yang meliputi flexi dari pergelangan kaki,
inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia
(Priciples of Surgery, Schwartz).
Taliper berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukan
suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan
pada angke-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata equino
(meng.kuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial
Gambaran klinik. Deformitas ini mudah dikenali dan terlihat nyata
pada waktu lahir. Kaki terputar dan terbelit sehingga telapak kaki
menghadap posteromedial. Gejala-gejala lokalnya adalah sebagai
berikut:1,10
Inspeksi
Betis terlihat kurus, deformitas berupa equinus pada pergelangan
kaki, varus pada hindfoot/tumit dan adduksi dan supinasi pada forefoot
Palpasi
Pemeriksaan palpasi tidak memiliki banyak arti
Saat digerakkan
Deformitas terfiksir dan tidak dapat dikoreksi secara pasif.
Meskipun kaki pada bayi normal dapat terlihat dalam posisi
equinovarus, tetapi dapat didorsofleksikan sampai jari - jari
menyentuh bagian depan tungkai bawahnya.
Röntgen
Hasil foto menunjukkan bentuk dan posisi talus yang berguna untuk
penilaian penanganan. Pusat osifikasi pada talus, calcaneus dan cuboid
terhambat dan mungkin naviculare tidak tampak sampai tahun ketiga.
Biasanya deformitas ini disertai adanya torsi tibia.
Tatalaksana. Penatalaksanaan ada 2 cara, yaitu:3,7
Terapi Konservatif
Tehnik reduksi dengan manipulasi tertutup ini terutama dilakukan untuk
tipe postural, dimana deformitas dapat dikoreksi dengan manipulasi
pasif. . Program rehabilitasi medik dibagi dalam beberapa fase, yaitu:
1. Fisioterapi
a. Mobilisasi/manipulasi pasif
Tehnik mobilisasi bertujuan untuk melakukan elongasi pada
jaringan lunak yang kontraktur.

b. Koreksi aktif
Koreksi ini adalah aspek terpenting dalam penatalaksanaan CTEV.
Mobilisasi kaki bayi diikuti dengan usaha menstimulasi eversi dan
dorsofleksi aktif dengan menepuk-nepuk sisi lateral kaki dengan ujung
jari mengarah ke tumit. Jika kaki dapat menapak, bayi mungkin dapat
diberdirikan sebentar dengan berat badan dtumpukan pada kaki yang
sakit dan tumit didorong kebawah, gerakkan dengan lembut dari sisi ke
sisi dan kedepan-belakang untuk menstimulasi kontrol muskular aktif
melalui eversi dan dorsofleksi.
2. Ortotik prostetik
a. Strapping dengan perban adhesive
Metode ini bertujuan untuk mempertahankan hasil reduksi yang
telah dicapai dan dikonfirmasi dengan radiografi.
- Imobilisasi dengan Plaster of Paris cast. Plaster of Paris cast
merupakan alat retensi statis. Cast diganti dengan interval 2-3
minggu pada bayi baru lahir, karena pertumbuhan kaki yang cepat.
Yang perlu diingat, plaster of Paris cast adalah alat retentif, bukan
korektif.
- Tehnik dari Sir Robert Jones (1900) berupa above-knee cast. Gips
atas lutut ini menggunakan perban ortopedik adhesif yang diganti
2-3 hari sekali. Pembalutan ini merupakan splint nonrigid dan
dinamis yang mencegah atrofi disuse dan mendukung berfungsinya
otot peroneus dan dorsofleksor pergelangan kaki pada minggu-
minggu pertama setelah lahir.
Terapi Operatif. Indikasi pemilihan pelaksanaan terapi operatif adalah
adanya komplikasi yang terjadi setelah terapi konservatif. Pada kasus
resisten, terapi operatif paling baik dilakukan pada usia 3-6 minggu,
ketika tidak tampak adanya perbaikan yang signifikan setelah menjalani
terapi konservatif yang teratur.
i. Pseudoatrosis Kongenital pada Tibia
Pseudoatrosis kongenital pada tibia adalah suatu kondisi fraktur
spontan yang menghasilkan manifestasi malunion pada tibia. Kondisi
ini terjadi sebagai cacat bawaan lahir dan pada umumnya terlihat pada
usia 18 bulan.
Pseudoatrosis merupakan kelainan kongenital yang jarang terjadi,
tetapi tibia merupakan tulang yang paling sering mengalami
pseudoatrosis.
j. Dislokasi lutut kongenital
Dislokasi lutut kongenital atau Hiperekstensi lutut (Genu
recurvatum) adalah suatu kondisi lepasnya sendi lutut dan memberikan
manifestasi kelainan adanya hiperekstensi yang berlebihan pada sendi
lutut.
Ligamentum yang longgar dapat mengakibatkan hiperekstensi.
Orang yang normal dengan sendi yang kendur secara merata
cenderung berdiri dengan lutut ke belakang. Ligamentum dapat juga
terlalu terentang setelah terjadinya sinovitis yang kronis atau berulang
(terutama pada artritis reumatoid), hipotonia rakitis, lemas otot pada
poliomielitis atau ketidakpekaan pada penyakit Charcot
k. Dislokasi hip kongenital
Dislokasi hip kongenital atau displasia hip kongenital atau
developmental dysplasia of the hip (DDH) adalah suatu kondisi
abnormalitas pertumbuhan hip, termasuk struktur oseus seperti
asetabulum dan proksimal femur, labrum, kapsula, dan jaringan lunak
lainnya.
2.1.2. Kelainan kongenital pada ekstremitas atas
a. Congenital Trigger Thumb.
Fleksi konstan sendi IP ibu jari tangan.50% bilateral.
Penyebab :
 Konstriksi kongenital (stenosis) dari selubung fibrosa tendon
Fleksor Pollicis Longus (FPL).
 Pembentukan nodul sekunder pada tendon di proksimal dari lokasi
konstriksi
Klinis :
 Tidak dapat ekstensi aktif sendi IP ibu jari.
 Fleksi berbunyi “klik”.
 Teraba nodul pada sisi palmar ibu jari pada level sendi MCP ibu
jari.
Tatalaksana.
 Peregangan pasif.
 Pembidaian.
 Operatif : incisi selubung fibrosa tendon pada usia
2 tahun.
b. Webbing of the Finger (Syndactyly)
 Merupakan kelainan kongenital yang paling sering pada tangan.
 Insiden 1 : 2000 kelahiran.
 50% bilateral.
Penanganan : Operatif . Tujuan :
 Jari dapat melebar normal
 Memperbaiki fungsi dan penampilan
c. Hipoplasia Radius (Radial Clubhand)
 Hilangnya sebahagian atau seluruh tulang radius.
 Insiden 1 : 100.000 kelahiran.
 50% bilateral
Klasifikasi :
Type A: hipoplasia radius
Type B : hilang sebahagian radius
Type C : hilang seluruh radius
Klinis :
 Lengan bawah pendek dan bengkok kearah radius.
 Penonjolan procc. styloid ulna
 Tangan deviasi kearah radius.
 Kecacatan fungsional bervariasi.
Penanganan. Tujuan :
 Memperbaiki fungsi maksimal.
 Peregangan pasif dan pembidaian
 Operatif
d. Dislokasi Kongenital dari Kaput Radius
 Kaput radius dislokasi ke anterior, posterior atau lateral.
 Mengakibatkan tulang radius tumbuh lebih panjang.
Klinis :
 Kelainan biasanya tidak terdeteksi sejak lahir.
 Sering tidak ada keluhan.
 Penonjolan kaput radius pada sisi lateral siku.
 Supinasi terbatas.
 Deformitas biasanya progresif.
Radiologis :
 Aksis longitudinal radius tidak memotong kapitellum.
 Kaput radius berbentuk “Doom shaped” .
 Kapitellum tumbuh tidak sempurna
Penanganan :
 Kasus dini :Reduksi tertutup + Gips
 Kasus lanjut : operatif
e. Radioulnar Synostosis
 Penyatuan tulang (synostosis) kongenital antara proksimal radius
dan ulna.
 60% bilateral
Klinis :
 Lengan dalam posisi sedikit pronasi dan sangat kaku.
 Supination di kompensasi dengan rotasi dari sendi glenohumeral.
 Lengan tampak atrofi.
Penanganan :
 Pemisahan secara operatif.
 Bila dalam posisi pronasi yang ekstrem : Osteotomi rekonstruktif.

f. High scapula (Sprengel’s deformity)


 Kegagalan “decenden” dari skapula.
Karakteristik :
o Scapula kecil dan letaknya tinggi.
o Rotasi kebawah (adduksi).
Klinis :
 Bahu asimetris
 Omovertebral web / bone
 Limitasi abduksi bahu
2.1.3. Kelainan kongenital pada tulang belakang
a. Spina Bifida
Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada
arkus posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf
dari kanalis spinalis pada perkembangan awal embrio (Chairuddin
Rasjad, 1998). Keadaan ini biasanya terjadi pada minggu ke empat masa
embrio. Derajat dan lokalisasi defek bervariasi, pada keadaan yang
ringan mungkin hanya ditemukan kegagalan fungsi satu atau lebih dari
satu arkus pascaerior vertebra pada daerah lumosakral. Belum ada
penyebab yang pasti tentang kasus spina bifida. Spina bifida juga bias
disebabkan oleh gagal menutupnya columna vertebralis pada masa
perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan
gangguan fusi tuba neural.Gangguan fusi tuba neural terjadi beberapa
minggu (21 minggu sampai dengan 28 minggu) setelah konsepsi,
sedangkan penyebabnya belum diketahui dengan jelas.
Klasifikasi
Kelainan pada spina bifida bervariasi, sehingga dikelompokkan menjadi
beberapa jenis yaitu :
Spina Bifida Okulta
Merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau beberapa vertebra
tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya
(meningens) tidak menonjol. Spina bifida okulta merupakan cacat arkus
vertebra dengan kegagalan fusi pascaerior lamina vertebralis dan seringkali
tanpa prosesus spinosus, anomali ini paling sering pada daerah antara L5-S1,
tetapi dapat melibatkan bagian kolumna vertebralis, dapat juga terjadi
anomali korpus vertebra misalnya hemi vertebra. Kulit dan jaringan subkutan
diatasnya bisa normal atau dengan seberkas rambut abnormal, telangietaksia
atau lipoma subkutan. Spina bifida olkuta merupakan temuan terpisah dan
tidak bermakna pada sekitar 20% pemerikasaan radiografis tulang belakang.
Sejumlah kecil penderita bayi mengalami cacat perkembangan medula dan
radiks spinalis fungsional yang bermakna. Secara patologis kelainan hanya
berupa defek yang kecil pada arkus pascaerior.
Meningokel
Meningokel melibatkan meningen, yaitu selaput yang bertanggung jawab
untuk menutup dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Jika
Meningen mendorong melalui lubang di tulang belakang (kecil, cincin-seperti
tulang yang membentuk tulang belakang), kantung disebut Meningokel.
Meningokel memiliki gejala lebih ringan daripada myelomeningokel karena
korda spinalis tidak keluar dari tulang pelindung, Meningocele adalah
meningens yang menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba
sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit dan ditandai dengan
menonjolnya meningen, sumsum tulang belakang dan cairan serebrospinal.
Meningokel seperti kantung di pinggang, tapi disini tidak terdaoat tonjolan
saraf corda spinal. Seseorang dengan meningocele biasanya mempunyai
kemampuan fisik lebih baik dan dapat mengontrol saluran kencing ataupun
kolon.
Myelomeningokel
Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang kompleks dan paling
berat, dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya
tampak kasar dan merah. Penaganan secepatnya sangat di perlukan untuk
mengurangi kerusakan syaraf dan infeksi pada tempat tonjolan tesebut. Jika
pada tonjolan terdapat syaraf yamg mempersyarafi otot atau extremitas, maka
fungsinya dapat terganggu, kolon dan ginjal bisa juga terpengaruh. Jenis
myelomeningocale ialah jenis yang paling sering dtemukan pada kasus spina
bifida. Kebanyakan bayi yang lahir dengan jenis spina bifida juga memiliki
hidrosefalus, akumulasi cairan di dalam dan di sekitar otak.
Etiologi
Etiologi dari penyakit spina bifida adalah:
1. Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan
kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.
2. Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan
pada korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau
gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut
atau di bagian bawahnya.
3. Gejalanya tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan
terjadi di punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral,
karena penutupan vertebra di bagian ini terjadi paling akhir.
4. Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya)
dapat menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida. Pada 95
% kasus spina bifida tidak ditemukan riwayat keluarga dengan defek
neural tube. Resiko akan melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali
lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina bifida.
Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida antara lain:
1. Hidrosefalus
2. Siringomielia
3. Dislokasi pinggul.
Manifestasi klinis
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda
spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan
atau tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada
daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.
Gejalanya berupa:
 Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah
pada bayi baru lahir jika disinari, kantung tersebut tidak tembus
cahaya.
 Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
 Penurunan sensasi.
 Inkontinensia urin (beser) maupun inkontinensia tinja
 Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
 Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
 Lekukan pada daerah sakrum.
 Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan dengan
abnormalitas upper spine (arnold chiari malformation) yang
menyebabkan masalah koordinasi
 Deformitas pada spine, hip, foot dan leg sering oleh karena
imbalans kekuatan otot dan fungsi
 Masalah bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk
merelakskan secara volunter otot (sphincter) sehingga menahan
urine pada bladder dan feses pada rectum.
 Hidrosefalus mengenai 90% penderita spina bifida. Inteligen dapat
normal bila hirosefalus di terapi dengan cepat.
 Anak-anak dengan meningomyelocele banyak yang mengalami
tethered spinal cord. Spinal cord melekat pada jaringan sekitarnya
dan tidak dapat bergerak naik atau turun secara normal. Keadaan
ini menyebabkan deformitas kaki, dislokasi hip atau skoliosis.
Masalah ini akan bertambah buruk seiring pertumbuhan anak dan
tethered cord akan terus teregang.
 Obesitas oleh karena inaktivitas
 Fraktur patologis pada 25% penderita spina bifida, disebabkan
karena kelemahan atau penyakit pada tulang.
 Defisiensi growth hormon menyebabkan short statue
 Learning disorder
 Masalah psikologis, sosial dan seksual
 Alergi karet alami (latex)
Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan dapat dilakukan pada ibu hamil dan bayi yang baru dilahirkan,
pada ibu hamil, dapat dilakukan pemeriksaan :
1. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang
disebut triple screen yang terdiri dari pemeriksaan AFP, ultrasound dan
cairan amnion.
2. Pada evaluasi anak dengan spina bifida, dilakukan analisis melalui
riwayat medik, riwayat medik keluarga dan riwayat kehamilan dan saat
melahirkan. Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida,
sindroma Down dan kelainan bawaan lainnya. Pemeriksaan fisik
dipusatkan pada defisit neurologi, deformitas muskuloskeletal dan
evaluasi psikologis. Pada anak yang lebih besar dilakukan asesmen
tumbuh kembang, sosial dan gangguan belajar.
3. Pemeriksaan x-ray digunakan untuk mendeteksi kelainan tulang
belakang, skoliosis, deformitas hip, fraktur pathologis dan abnormalitas
tulang lainnya.
4. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda
spinalis maupun vertebra dan lokasi fraktur patologis.
5. CT scan kepala untuk mengevaluasi hidrosepalus dan MRI tulang
belakang untuk memberikan informasi pada kelainan spinal cord dan
akar saraf.
6. 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida atau defek
neural tube, akan memiliki kadar serum alfa fetoprotein (MSAP atau
AFP) yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi,
karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat
menemukan adanya spina bifida. Kadang dilakukan amniosentesis
(analisa cairan ketuban).
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:
1. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
2. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda
spinalis maupun vertebra
3. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan
lokasi dan luasnya kelainan.
Tatalaksana
Tujuan terapi ortopedi adalah memelihara stabilitas spine dengan koreksi
yang terbaik dan mencapai anatomi alignment yang baik pada sendi
ekstremitas bawah. Dislokasi hip dan pelvic obliquity sering bersama-sama
dengan skoliosis paralitik. Terapi skoliosis dapat dengan pemberian ortesa
body jacket atau Milwaukee brace. Fusi spinal dan fiksasi internal juga dapat
dilakukan untuk memperbaiki deformitas tulang belakang. Imbalans gaya
mekanik antara hip fleksi dan adduksi dengan kelemahan abduktor dan fungsi
ekstensor menghasilkan fetal coxa valga dan acetabulum yang displastik,
dangkal dan parsial. Hip abduction splint atau Pavlik harness digunakan 2
tahun pertama untuk counter gaya mekaniknya.
Pemanjangan tendon Achilles untuk deformitas equinus, flexor tenodesis
atau transfer dan plantar fasciotomi untuk deformitas claw toe dan pes cavus
yang berat. Subtalar fusion, epiphysiodesis, triple arthrodesis atau talectomi
dilakukan bila operasi pada jaringan lunak tidak memberikan hasil yang
memuaskan.

b. Skoliosis
Skoliosis merupakan pembengkokan kearah samping dari tulang
belakang yang merupakan suatu deformitas (kelainan) daripada suatu
penyakit.
Penyebab
A. Nonstruktural : Skoliosis tipe ini bersifat reversibel (dapat
dikembalikan ke bentuk semula), dan tanpa perputaran (rotasi) dari
tulang punggung
a. Skoliosis postural : Disebabkan oleh kebiasaan postur tubuh yang
buruk.

b. Spasme otot dan rasa nyeri, yang dapat berupa :


(i) Nyeri pada spinal nerve roots : skoliosis skiatik
(ii) Nyeri pada tulang punggung : dapat disebabkan oleh inflamasi
atau keganasan
(iii) Nyeri pada abdomen : dapat disebabkan oleh apendisitis

c. Perbedaan panjang antara tungkai bawah


(i) Actual shortening
(ii) Apparent shortening :
1. Kontraktur adduksi pada sisi tungkai yang lebih pendek
2. Kontraktur abduksi pada sisi tungkai yang lebih panjang

B. Sruktural : Skoliosis tipe ini bersifat irreversibel dan dengan rotasi


dari tulang punggung.
a. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) : 80% dari seluruh skoliosis
(i) Bayi : dari lahir – 3 tahun
(ii) Anak-anak : 4 – 9 tahun
(iii) Remaja : 10 – 19 tahun (akhir masa pertumbuhan)
(iv) Dewasa : > 19 tahun

Gejala Klinis
Dari riwayat penyakitnya, pertama-tama tidak dikeluhkan adanya
nyeri. Biasanya skoliosis baru disadari oleh orangtua ketika anak beranjak
besar, yaitu terlihat keadaan bahu yang tidak sama tinggi, tonjolan skapula
yang tidak sama, atau pinggul yang tidak sama. Pada keadaan ini, biasanya
derajat pembengkokan kurva sudah lebih dari 30 derajat.
Tatalaksana
Adapun pilihan terapi yang dapat dipilih, dikenal sebagai “The three
O’s” adalah :
1. Observasi
Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat,
yaitu <25° pada tulang yang masih tumbuh atau <50° pada tulang yang
sudah berhenti pertumbuhannya. Rata-rata tulang berhenti tumbuh pada
saat usia 19 tahun.
Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada
waktu-waktu tertentu. Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah
kunjungan pertama ke dokter. Lalu sekitar 6-9 bulan berikutnya bagi yang
derajat <20 dan 4-6 bulan bagi yang derajatnya >20.

2. Orthosis
Orthosis dalam hal ini adalah pemakaian alat penyangga yang dikenal
dengan nama brace. Biasanya indikasi pemakaian alat ini adalah :

Pada kunjungan pertama, ditemukan derajat pembengkokan sekitar 30-
40O

Terdapat progresifitas peningkatan derajat sebanyak 25 derajat.
3.Operasi
Tidak semua skoliosis dilakukan operasi. Indikasi dilakukannya
operasi pada skoliosis adalah :
 Terdapat progresifitas peningkatan derajat pembengkokan >40-45
derajat pada anak yang sedang tumbuh
 Terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian alat orthosis
 Terdapat derajat pembengkokan >50 derajat pada orang dewasa
b. Osteopatik
(i) Kongenital (didapat sejak lahir)
1. Terlokalisasi :
a. Kegagalan pembentukan tulang punggung (hemivertebrae)
b. Kegagalan segmentasi tulang punggung (unilateral bony bar)
2. General :
a. Osteogenesis imperfecta
b. Arachnodactily
(ii) Didapat
1. Fraktur dislokasi dari tulang punggung, trauma
2. Rickets dan osteomalasia
3. Emfisema, thoracoplasty
c. Neuropatik
(i) Kongenital
1. Spina bifida
2. Neurofibromatosis
(ii) Didapat
1. Poliomielitis
2. Paraplegia
3. Cerebral palsy
4. Friedreich’s ataxia
5. Syringomielia
2.2. Kelainan kongenital yang menyeluruh
A. Osteogenesis Imperfecta
Osteogenesis imperfecta atau brittle bone disease adalah kelainan
kongenital umum pada jaringan ikat, yaitu kolagen tipe I, yang secara
klasik ditandai dengan kerapuhan tulang menyeluruh serta fraktur multipel
tulang kortikal, dan kompresi vertebra akibat trauma ringan.
Osteogenesis imperfecta secara umum terjadi karena mutasi gen
COL1α1 (collagen 1 alpha 1) dan COL1α2 (collagen 1 alpha 2) yang
mengkode sintesis kolagen tipe I.
Manifestasi Klinis
David Sillence pada tahun 1979 membagi osteogenesis imperfecta
menjadi empat tipe berdasarkan cara pewarisan gen, manifestasi klinis,
dan kesan radiografi. Beberapa tipe tambahan ditemukan berdasarkan
perbedaan histologi. Pembagian osteogenesis imperfecta adalah sebagai
berikut:
1. Osteogenesis Imperfecta Tipe I
Osteogenesis imperfecta tipe I merupakan tipe paling ringan
dan paling tinggi insidennya. Identifikasi seringkali pada waktu yang
lebih lambat. Pada tipe ini ditemukan fraktur ringan, sedikit deformitas
kaki, dan kompresi vertebra ringan. Dislokasi sendi bahu dan sendi
panggul bisa ditemukan. Fraktur terjadi karena trauma ringan sampai
sedang dan berkurang setelah pubertas. Sklera biasanya biru.
Kehilangan pendengaran dini terjadi pada 30-60% penderita. Tipe I
bersama tipe IV dibagi menjadi subtipe A dan B, berdasarkan disertai
(A) atau tidak (B) dentinogenesis imperfecta. Kelainan jaringan ikat
lain yang mungkin terjadi yaitu kulit tipis dan mudah memar,
kelenturan sendi, dan perawakan pendek yang berhubungan dengan
anggota keluarga lain.
2. Osteogenesis Imperfecta Tipe II
Tipe ini merupakan tipe dengan tikat keparahan tertinggi
sehingga disebut dengan tipe letal perinatal. Bayi sering mengalami
kematian selama persalinan akibat perdarahan intakranial yang
disebabkan trauma multipel. Bayi lahir dengan panjang dan berat
badan lahir sangat kecil untuk masa kehamilan. Terdapat kerapuhan
hebat tulang dan jaringan ikat lainnya. Ditemukan mikromelia dan
kedua kaki abduksi seperti frog-leg position. Terdapat multipel fraktur
kosta dan ronggga toraks yang sempit sehingga terjadi insufisiensi
pernafasan. Kepala besar untuk ukuran tubuh dengan pelebaran
fontanela anterior dan posterior. Sklera berwarna biru atau kelabu
gelap.
3. Osteogenesis Imperfecta Tipe III (Pembentukan Progresif)
Tipe ini merupakan tipe yang paling parah dari bentuk nonletal
dan menyebabkan disabilitas fisik yang berarti.Fraktur biasanya juga
terjadi intrauterin. Bentuk muka relatif makrosefalus dan berbentuk
segitiga. Fraktur dapat terjadi akibat trauma ringan dan sembuh dengan
meninggalkan deformitas. Costa bagian basal sering rapuh dan bentuk
dada mengalami deformitas. Ditemukan juga skoliosis dan kompresi
vertebra. Kurva pertumbuhan di bawah normal dari satu tahun pertama
kehidupan. Pasien memiliki perawakan pendek yang ekstrim. Sklera
berwarna putih sampai biru.
4. Osteogenesis Imperfecta Tipe IV (Cukup Berat)
Pasien lahir dengan fraktur intrauterin dan tulang panjang
bawah yang bengkok. Fraktur berkurang setelah pubertas. Pasien
memiliki perawakan cukup pendek. Sklera bisa biru atau putih.
5. Osteogenesis Imperfecta Tipe V (Hiperplasia Kallus), Tipe VI (Defek
Mineralisasi), dan Tipe VII (Autosomal Resesif)
Ketiga tipe ini didapatkan melalui biopsi tulang dari tipe IV. Ketiganya
tidak mengalami kelainan pada kolagen tipe I. Tipe V ditandai dengan
hiperplasia kalus, kalsifikasi membran interosesus humeri, dan radiodens
garis metafisis. Tipe VII mengarahkan ke kromosom 3p22-24 dan kelainan
hipomorfik CRTAP.
Berdasarkan manifestasi klinis yang tampak, riwayat keluarga, dan
pemeriksaan penunjang, minimal pemeriksaan foto Röntgen dan
pemeriksaan laboratorium.
Tatalaksana.
1. Modifikasi Perilaku dan Gaya Hidup
Penderita diajarkan teknik berdiri, duduk, dan berbaring untuk
memproteksi vertebra. Keadaan lingkungan harus dikondisikan
seaman mungkin seperti tidak membiarkan lantai yang licin sehingga
penderita akan mudah jatuh.
2. Manajemen Ortopedi
Untuk beberapa bentuk nonletal, rehabilitasi fisik aktif pada
tahun-tahun awal memungkinkan anak mencapai level fungsi
muskuloskeletal yang lebih tinggi. Anak dengan osteogenesis
imperfecta tipe I dan beberapa tipe IV secara spontan dapat berlatih
berjalan. Anak dengan osteogenesis imperfecta tipe III dan tipe IV
yang parah memakai penyangga kaki plastik atau alat bantu jalan.
Beberapa butuh kursi bantu tapi beberapa dapat berjalan sendiri.
Remaja dengan osteogenesis imperfecta membutuhkan dukungan
psikis dari keluarga.
Manajemen ortopedi osteogenesis imperfecta bertujuan untuk
mengendalikan fraktur dan mengkoreksi deformitas menuju fungsi
normal. Fraktur harus segera diimobilisasi dengan bidai. Fraktur
osteogenesis imperfecta dapat sembuh dengan baik. Mengkoreksi
deformitas tulang panjang membutuhkan prosedur osteotomi.
3. Medikamentosa
Pengobatan dengan suplemen kalsium, fluor, atau kalsitonin
tidak akan memperbaiki osteogenesis imperfecta. Hormon
pertumbuhan memperbaiki histologi tulang pada anak yang responsif,
biasanya tipe I dan IV. Pengobatan dengan bifosfonat (pamidronat
intravena atau olpadronat oral) memiliki beberapa keuntungan.
Bifosfonat menurunkan resorpsi oleh osteoklas. Bifosfonat lebih
menguntungkan bagi untuk vertebra (tulang trabekular) dibandingkan
tulang kortikal. Pengobatan selama 1-2 tahun menghasilkan
peningkatan L1-4 DEXA dan memperbaiki kompresi vertebra dengan
mencegah atau memperlambat skoliosis pada osteogenesis imperfecta.
Risiko fraktur pada tulang panjang menurun.
 Achondroplasia
Achondroplasia adalah dwarfisme atau kekerdilan yang disebabkan
oleh gangguan osifikasi endokondral akibat mutasi gen FGFR 3
(fibroblast growth factor receptor 3) pada lengan pendek kromosom
4p16.3. Displasia skeleton menunjukkan adanya keterlibatan epifisis,
metafisis, atau diafisis menyeluruh, yang biasanya disertai dengan
perawakan pendek yang tidak proporsional sebelum dan/atau sesudah
lahir.

Gejala Klinis
Perawakan pendek yang tidak proporsional (dwarfisme) dengan
panjang batang tubuh yang normal. Mikromelia rizomelia (segmen
proksimal anggota gerak yang relatif lebih pendek dibandingkan
dengan segmen tengah dan distal). Kranium biasanya lebih besar
daripada persentil ke 97 pada lingkarannya dengan penonjolan frontal,
dan jembatan hidung rata. Biasanya ada jari jemari yang pendek
(brakidaktili) dengan tridens hands (ketidakmampuan untuk
mendekatkan jari ketiga dan keempat saat ekstensi menghasilkan
konfigurasi “trident” pada tangan). Gambaran trident biasanya hilang
pada masa anak akhir atau remaja, dengan tangan tetap pendek dan
lebar. Siku mungkin terbatas dalam ekstensi dan pronasi. Ekstensi siku
dan panggul yang terbatas. Kaki yang membungkuk/menekuk (genu
varum) akibat ligamen lutut yang longgar. Hipermobilitas sendi
menyeluruh, terutama pada lutut. Lipatan kulit yang berlebihan di
sekitar paha.
Gibus lumbal lazim terdapat pada masa bayi, tetapi sesudah tahun
pertama gibus ini hampir selalu hilang dan sering diganti dengan
punggung lurus, selalu dengan lordosis lumbal yang jelas.
Kifosis torakolumbal atau gibus biasanya nampak pada saat lahir
atau masa awal bayi. Lordosis lumbal yang berlebihan ketika anak
mulai berjalan. Bokong yang prominen dan abdomen yang menonjol
yang terjadi akibat meningkatnya kemiringan panggul pada anak dan
dewasa.
Bayi akondroplasia seringkali hipotoni disertai perkembangan
motorik yang terhambat selama masa bayi dan diawal masa kanak-
kanak Tonus neuromuskuler normal biasanya diperbesar pada umur 2-
3 tahun. Kelemahan sendi, terutama pada sendi interfalangs, dapat
menetap selama masa anak. Gangguan tidur akibat komplikasi
neurologis dan respiratorik.
Gangguan bernafas dengan prevalensi yang tinggi (75 %) dari
gangguan bernafas selama tidur. Apnea obstruktif yang disebabkan
oleh obstruksi saluran nafas atas. Kebanyakan dari keluhan respiratorik
berhubungan dengan penyakit paru rekstriktif akibat dari berkurangnya
ukuran dada atau obstruksi saluran nafas atas dan lebih jarang
berhubungan dengan kompresi korda spinalis.
Diagnosis
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai pemendekan dari
ekstremitas dapat melibatkan seluruh ekstremitas (mikromelia, seperti
pada akondrogenesis, sindroma short rib, polydactili, displasia
osteogenesis imperfekta diastrofik tipe II), segmen proksimal
(rhizomelia seperti akondroplasia) segmen intermedia (mesomelia,
seperti mesomelia displasia) atau segmen distal (acromelia, seperti
sindroma ellis van creveld). Diagnosa rhizomelia atau mesomelia
membutuhkan perbandingan dimensi dari tulang kaki dan lengan
dengan paha dan tangan. Femur terlihat pendek secara abnormal
sekalipun pada dwafirme. Sehingga pada penapisan abnormal fetal
rutin kami cendrung melakukan pengukuran dari femur. Sementara
jika berhubungan dengan kehamilan dengan resiko untuk displasia
rangka semua segmen pada ekstremitas diukur.
Tatalaksana
Akondroplasia dapat dikomplikasi oleh hidrosefalus, yang
biasanya diakibatkan dari obstruksi foramen magnum, dan karena
sindrom kompresi medula lumbalis dan akar syaraf, maloklusi gigi,
gangguan pendengaran karena otitis media berulang, dan strabismus
(akibat dari dismorfisme kraniofasial). Pembengkakan kaki dan kifosis
menetap dapat juga memerlukan perhatian. Di samping pengenalan
segera dan pengobatan yang tepat untuk masalah ini, manajemen
selama masa kanak-kanak harus diperhatikan terutama mengenai
pengaruh sosial dan psikologis dari perawakan yang sangat pendek dan
penampakan yang tidak biasa, dan dengan konseling genetik. Terapi
segera dan tepat terutama diperlukan pada setiap episode otitis media
akut. Hidrosefalus tidak lazim tetapi harus dikenali seawal mungkin.
Ada beberapa bukti bahwa fisioterapi dan penahan selama masa
kanak-kanak dapat memperbaiki komplikasi kifosis infantil yang lama
atau lordosis berat yang dapat memperjelek stenosis lumbalis pada
umur dewasa. Osteotomi dapat terindikasi tepat sebelum atau selama
remaja untuk mengkoreksi pembengkokan kaki progresif berat.
 Arachnodactily
Kondisi ini diwariskan sebagai dominan autosomal. Secara klinis,
ditemukan tulang panjang yang diperpanjang dan kelemahan otot,
hypermobiliry dan dislokasi lensa. Langit-langit melengkung tinggi,
sternum tertekan dan scoliosis juga terjadi. Lesi kardiovaskular
termasuk diseksi aorta, cacat septum atrium dan lesi katup mitral.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley A. G., Solomon: Apley’s System of Orthopaedic and Fractures, 17 th ed,


Butterworth Heinemann, 1993.

2. Clubfoot. 2012
Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1237077-overviewonjanuary 1,2012.

3. Harry B. Skinner: Current Diagnosis & Treatment in Orthopaedic, 4 th ed,


Lange Medical Book/McGraw Hill, 2006.

4. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th Edition. Bintang


Lamupatue, Makasar. 2003.

5. Salter, R.B. Text Book of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal


System, 3rd ed.,Williams and Wilkins, 1999.

6. Wim de Jong, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta.

7. Helmi, Noor Zairin. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta :


Salemba Medika. 2012.

Anda mungkin juga menyukai