Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

Seorang Pria Usia 70 Tahun dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis Eksaserbasi
Akut

Oleh :
Helmi Fakhruddin G9916115
Nurul Azmi G99162114
Salsha Amalina G99161090
Dita Mayasari G99161035
Reza Satria Nugraha G99162104
Rizka Rahma Diani G99172012
Azmi Farah Fairuzya G99161025
Amelia Imas Voleta G99162115
Utari Nur Alifah G99161100
Syarif Hidayatullah G99161095
Edwina Ayu Dwita G99162111

Pembimbing
Dr. Reviono, dr., Sp.P (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Hambatan ini bersifat
progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
beracun dan berbahaya.1 Tahun 2020 World Health Organization (WHO) memperkirakan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian terbanyak nomor tiga ialah PPOK setelah
penyakit jantung koroner dan stroke.2

Data penderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
pada laki-laki sebesar 11,8% dan perempuan 8,5% mengidap PPOK. Sedangkan
prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara prevalensi tertinggi terdapat di
Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) dari total penduduknya.3

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit
propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera
Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya
(2%). Hal tersebut menunjukkan bahwa PPOK cukup banyak kasus yang kita jumpai
dibandingkan penyakit saluran nafas non-infeksi lainnya.4

Adapun faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut ialah


kebiasaan merokok yang masih tinggi baik perokok aktif, pasif ataupun bekas perokok;
polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan; terjadi pada
lansia; riwayat infeksi saluran napas bawah berulang (seperti bronkitis, TB); defisiensi
antitripsin alfa – 1 (genetik).1 Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada pasien PPOK
berupa sesak nafas, batuk disertai dengan sputum, aktifitas yang terbatas, penurunan berat
badan.2 PPOK merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang
diakibatkan oleh proses inflamasi sistemik dan jantung merupakan salah satu organ yang
sangat dipengaruhi oleh progresitas PPOK. PPOK merupakan penyebab utama hipertensi
pulmoner dan korpulmonal yang memberikan kontribusi 80-90% dari seluruh kasus
penyakit paru. Hipertensi pulmoner pada PPOK terjadi akibat efek langsung asap rokok
terhadap pembuluh darah intrapulmoner. Hipertensi pulmoner pada PPOK biasanya
disertai curah jantung normal dan insidens hipertensi pulmoner diperkirakan 2-6 per
1.000 kasus. Selain itu, PPOK juga dapat menyebabkan osteoporosis yang disebabkan
oleh faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, penggunaan steroid dan inflamasi
sistemik.5

Terapi PPOK bersifat medikamentosa dan non-medikamentosa. Dimana pada


medikamentosa berupa pemberian bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik, dan lain-lain.
Sedangkan terapi pada non- medikamentosa yaitu berupa edukasi tentang penyakit
tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti merokok, serta menghindari faktor yang
dapat memperberat terjadinya PPOK seperti debu, asap rokok, dan polusi udara lainnya.
Pada prinsipnya, terapi pada pasien PPOK ialah menangani keadaan eksaserbasi akut dan
mencegah perburukan dari PPOK itu sendiri.1
BAB II
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. MS
Tanggal lahir : 11 Maret 1948 (70 tahun)
Jenis kelamin : Laki – laki
Alamat : Pasar Kliwon, Surakarta
Status : Menikah
Pekerjaan : Penjahit
Tanggal masuk : 16 Maret 2018
Tanggal pemeriksaan : 16 Maret 2018
Nomor rekam medis : 0133xxxx

2. Keluhan Utama
Sesak nafas

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan sesak nafas
yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Sesak nafas dirasakan terus menerus, dan
tidak berkurang dengan istirahat. Sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca,
dan debu. Keluhan terbangun saat malam hari disangkal. Sejak 3 hari SMRS,
pasien dapat tidur dengan 2-3 bantal dan terdapat suara mengi. Pasien sudah
rutin penggunaan obat semprot.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 hari SMRS. Batuk disertai dahak
berwarna putih. Batuk darah disangkal, nyeri dada disangkal. Pasien
mengeluhkan nafsu makannya berkurang. Mual, muntah, demam, keringat
malam tanpa aktivitas, serta penurunan berat badan disangkal. Buang Air Besar
dan BAK tidak didapatkan keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : (+) kontrol poli dengan pemberian obat
semprot Spiriva 1 x 1
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat minum OAT : (+) pada tahun 2005 selama 6 bulan dan
dinyatakan sembuh
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga dengan MTB (+) : disangkal
Riwayat sesak napas : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat tuberkulosis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit keganasan : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
Merokok : (+) 1 bungkus setiap hari, selama 40 tahun
(IB sedang = 480 batang)
Minum alkohol : disangkal
Memasak dengan kayu bakar : disangkal
Mempunyai binatang peliharaan : disangkal
Kontak dengan binatang : disangkal
Lingkungan asap dan debu : disangkal

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai penjahit dan berobat menggunakan fasilitas layanan
BPJS.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Pasien sadar compos mentis tampak sakit sedang dengan GCS E4V5M6

2. Status gizi
a. Berat badan : 54 kg
b. Tinggi badan : 166 cm
c. IMT : 19.59 kg/m2
d. Kesan : gizi kesan cukup

3. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 110/60 mmHg
b. Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
c. Frekuensi nadi : 89 x/menit, regular, isi kesan cukup
d. Suhu : 37,8°C per aksiler
e. SpO2 : 91% (O2 2 lpm)
f. Quick Sofa Score :1

4. Head to toe examination


a. Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider nevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
b. Kepala : bentuk mesocephal
c. Mata : visus N/N, konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
d. Telinga : deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
e. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
f. Mulut : malokasi (-), maksila goyang (-), bibir kering (-), lidah kotor (-),
sianosis (-), lidah simetris, tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-),
mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
g. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), Jugular Venous Pressure
dalam batas normal, nyeri tekan (-), benjolan (-), leher kaku (-)
h. Thoraks : dinding dada mengembang secara simetris, tidak didapatkan
retraksi dinding dada, venektasi (-)
i. Pulmo :
 Paru (anterior)
Inspeksi statis : permukaan dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
Perkusi : sonor/ sonor
Batas jantung paru kanan : SIC II-III linea parasternalis
Batas jantung paru kiri : SIC II-V linea mid clavicula
Batas paru-hepar : SIC VI linea mid clavicularis
Auskultasi
Suara dasar :
Trakheal : leher kanan/leher kiri
Bronkovesikuler : SIC II-III/ SIC II-III
Vesikuler : SIC VI linea mid clavicularis
Suara tambahan :
Wheezing : (+/+)
Ronki basah kasar : (+/+)
Egofoni : (-/-)
Whispered pectorologue : (-/-)
 Paru (posterior)
Inspeksi statis : permukaan dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
Perkusi : sonor/ sonor
Batas paru-diafragma : SIC VII-VIII linea midscapula penanjakan
diafragma 5cm
Auskultasi
Suara dasar :
Bronkovesikuler : SIC II-III/ SIC II-III
Vesikuler : (+/+)
Suara tambahan :
Wheezing : (+/+)
Ronki basah kasar : (+/+)
Egofoni : (-/-)
Whispered pectorologue : (-/-)
j. Cor :
 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra, tidak kuat angkat
 Perkusi : batas jantung tidak melebar
 Auskultasi : terdengar bunyi jantung I dan II, regular, intensitas
normal dan tidak didapatkan bising ataupun bunyi jantung tambahan
k. Abdomen :
 Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, spider nevi (-)
 Auskultasi : bising usus (+), dalam batas normal
 Perkusi : timpani
 Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
l. Ekstremitas :
Clubbing finger (+/+)
Akral dingin - - edema - -
- - - -

m. Capillary Refill Time : < 2 detik


C. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil pemeriksaan laboratorium 16 Maret 2018

HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13.7 g/dL 13.5-17.5
Hematokrit 42 % 33-45
Leukosit 15.7 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 247 ribu/uL 150-450
Eritrosit 4.54 juta/uL 4.10-5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 92.7 /um 80.0-96.0
MCH 30.2 Pg 28.0-33.0
MCHC 32.5 g/dL 33.0-36.0
RDW 13.0 % 11.6-14.6
MPV 8.3 Fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.20 % 0.00-4.00
Basofil 0.20 % 0.00-2.00
Netrofil 79.70 % 55.00-80.00
Limfosit 12.90 % 22.00-44.00
Monosit 7.00 % 0.00 – 12.00
HEMOSTASIS
PT 13.5 Detik 10.0-15.0
APTT 32.2 Detik 20.0-40.0
INR 1.100 -
KIMIA KLINIK
GDS 155 mg/dL 60-140
SGOT 48 u/L < 35
SGPT 50 u/L < 45
Bilirubin total 1.76 mg/dL 0.00-1.00
Albumin 3.6 g/dL 3.5-5.2
Kreatinin 2.1 u/L 0.8-1.3
Ureum 79 mg/dL <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 137 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.8 mmol/L 3.3-5.1
Chlorida darah 96 mmol/L 98-106
HbsAg
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif
ANALISA GAS DARAH (AGD)
pH 7.498 7.350-7.450
BE 1.4 mmol//L -2 - +3
PCO2 31.7 mmHg 27.0-41.0
PO2 77.2 mmHg 83.0-108.0
Hematokrit 43 % 37-50
HCO3 24.8 mmol/L 21.0-28.0
Total CO2 25.8 mmol/L 19.0-24.0
O2 Saturasi 95.3 % 94.0-98.0
Laktat arteri 1.90 mmol/L 0.36-0.75

Kesan : leukositosis (15.7), peningkatan enzim transaminase (OT/PT: 48/50),


azotemia (Ur/Cr: 79/2.1), limfositopeni (12.9%), alkalosis respiratorik tidak
terkompensasi.
2. EKG (16 Maret 2018)

EKG: AF normo, HR 78 bpm, RAD, CRBBB, RVH


3. Foto thoraks PA/Lateral (16 Maret 2018)
Hasil:
a. TB paru aktif lesi luas disertai schwarte kanan
b. Efusi pleura kanan
c. Cardiomegaly, CTR 64%

4. Foto Thoraks PA/Lat (19 Oktober 2017)

Hasil: Perselubungan inhomogen terutama di apeks pulmo dekstra sangat


mungkin oleh karena TB

5. Kultur BTA (22 November 2017)


Hasil Kultur Sementara: Negatif
Hasil Kultur akhir: negatif
6. GeneXpert (22 November 2017)
Hasil : MTB Not detected
D. Daftar Masalah
1. Anamnesis
a. Sesak nafas sejak 3 hari SMRS
b. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kental sejak 3 hari SMRS
c. Penurunan nafsu makan
2. Pemeriksaan Fisik
a. Frekuensi napas : 24 x/menit
b. Auskultasi Pulmo: Wheezing (+/+), RBK (+/+)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboraturium darah: leukositosis (15.7), peningkatan enzim transaminase
(OT/PT: 48/50), azotemia (Ur/Cr: 79/2.1), limfositopeni (12.9%)
b. AGD: alkalosis respiratorik tidak terkompensasi.
c. Foto thoraks PA/Lateral (16 Maret 2018) hasil: TB paru aktif lesi luas
disertai schwarte kanan, efusi pleura kanan, cardiomegaly, CTR 64%
d. EKG: AF normo, HR 78 bpm, RAD, CRBBB, RVH
E. Diagnosis Banding
1. PPOK eksaserbasi akut
2. ACOS
3. Asma akut sedang
4. Pneumonia Komunitas
5. TB paru
F. Asessment
1. PPOK eksaserbasi akut dd ACOS dd asma
2. Pneumonia Komunitas
3. Masalah : leukositosis, peningkatan enzim transaminase, azotemia
G. Tatalaksana
1. Oksigenasi O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1700 kkal
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. Nebulizer Fenoterol : Ipatropium 1:0.25/ 8 jam
5. Injeksi Ranitidine 1 amp/12 jam
6. Inj Methylprednisolon 30 mg/8 jam
7. Inj Ampicilin Sulbactam 1.5 gr/8 jam
H. Planning
1. Uji Spirometri
2. Sputum tampung
3. Sputum Gen Xpert
4. Kultur sputum MTB (setelah ada hasil gene Xpert)
5. Konsul interna
6. Konsul jantung
I. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
FOLLOW UP PASIEN

DPH 1 (Sabtu, 17 Maret 2018)


S Sesak nafas, batuk berdahak
O KU: Sakit sedang, GCS E4V5M6
VS: TD: 110/70 mmHg, N: 88 x/menit, RR: 22x/menit, SpO2 96% O2 3 lpm
Pulmo:
Inspeksi: Pengembangan dinding dada kanan=kiri
Palpasi: Fremitus kanan=fremitus kiri
Perkusi: Sonor/Sonor
Auskultasi: SDV (+/+), RBK (+/+), Wheezing (+/+)
A PPOK eksaserbasi akut dd asma akut sedang dd ACO
Pneumonia komunitas
Bekas TB
Dengan masalah: peningkatan enzim transaminase, azotemia
P 1. Oksigenasi O2 2 lpm
2. Diet TKTP 1700 kkal
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. Nebulizer Fenoterol : Ipatropium 1:0.25/ 8 jam
5. Inj Methylprednisolon 30 mg/8 jam
6. Inj Ampicilin Sulbactam 1.5 gr/8 jam
7. N acetylsistein 3 x 200 mg
8. Curcuma tab 3 x 1

DPH 2 (Minggu, 18 Maret 2018)


S Sesak nafas, batuk mulai berkurang
O KU: Sakit sedang, GCS E4V5M6
VS: TD: 100/70 mmHg, N: 103 x/menit, RR: 22x/menit, SpO2 97% O2 3 lpm
Pulmo:
Inspeksi: Pengembangan dinding dada kanan=kiri
Palpasi: Fremitus kanan=fremitus kiri
Perkusi: Sonor/Sonor
Auskultasi: SDV (+/+), RBK (+/+), Wheezing (+/+)
A PPOK eksaserbasi akut dd asma akut sedang dd ACO
Pneumonia komunitas
Bekas TB
Dengan masalah: peningkatan enzim transaminase dan azotemia
P 1. Oksigenasi O2 3 lpm
2. Diet TKTP 1700 kkal
3. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
4. Nebulizer Fenoterol : Ipatropium 1:0.25/ 8 jam
5. Inj Methylprednisolon 30 mg/8 jam
6. Inj Ampicilin Sulbactam 1.5 gr/8 jam
7. N acetylsistein 3 x 200 mg
8. Curcuma tab 3 x 1
Plan:
1. Uji Spirometri
2. Sputum tampung
3. Sputum Gen Xpert
4. Kultur sputum MTB (setelah ada hasil gene Xpert)
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang laki-laki 70 tahun datang ke IGD RS Dr. Moewardi dengan
keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Sesak nafas dirasakan
terus menerus, dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak nafas tidak
dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan debu. Keluhan terbangun saat malam hari
disangkal. Sejak 3 hari SMRS, pasien dapat tidur dengan 2-3 bantal dan
terdapat suara mengi. Pasien sudah rutin penggunaan obat semprot (Spiriva
1x1).
Gejala respiratorik lain yang ditemukan pada pasien adalah batuk yang
dirasakan sejak 3 hari SMRS. Batuk P. Namun tidak ada riwayat batuk darah
dan nyeri dada. Selain gejala respiratorik, didapatkan gejala sistemik berupa
penurunan nafsu makan, namun gejala sistemik lain seperti demam sumer-
sumer, keringat tanpa aktivitas, penurunan berat badan, mual muntah dan
keluhan BAK maupun BAB disangkal.
Pasien memiliki riwayat minum OAT pada tahun 2005 dan kontrol rutin di
RSDM selama 6 bulan kemudian dinyatakan sembuh.
Dari riwayat sosial ekonomi pasien didapatkan pasien merupakan penjahit.
Pasien juga aktif merokok sejak muda dengan IB sedang, namun sudah berhenti
sekitar 15 tahun yang lalu. Pasien bekerja sebagai penjahit dan berobat
menggunakan BPJS.
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien, pasien tampak
sakit sedang dengan kesadaran komposmentis. Tekanan darah 110/60 mmHg.
Nadi : 89 x/menit, ;laju napas : 24x/menit, dan suhu 37.8 oC. Dari data ini kami
dapatkan SOFA score dengan quick sofa score 1 (dari RR > 22 kali/menit).
Pemeriksaan pada thorak didapatkan dada simetris. Pemeriksaan pada dinding
dada anterior dan posterior terlihat sejajar, palpasi fremitus kanan sama dengan
fremitus kiri, perkusi terdengar suara sonor pada kedua lapang paru, pada
auskultasi didapatkan suara dasar vesikuler normal di hemithoraks kanan dan
kiri. Terdapat wheezing dan ronkhi basah kasar di hemithoraks kanan dan kiri.
Dari pemeriksaan fisik di atas didapatkan keabnormalitasan yaitu berupa
suara wheezing pada pasien karena adanya penyempitan saluran napas.
Penyempitan saluran napas dapat disebabkan karena berbagai hal antara lain
adanya sumbatan endobronkial, pendesakan massa di luar lumen, dan
bronkokonstriksi. Selain itu juga didapatkan suara ronkhi basah kasar yang
dapat disebabkan oleh adanya penumpukan sekret di kedua lapang paru.
Dari pemeriksaan laboratorium pada tanggal 16 Maret 2018, didapatkan
leukosit 15.7 ribu/ul, GDS 155 mg/dl, SGOT 48 u/L, SGPT 50 u/l, bilirubin
total 1.76 mg/dl, Ureum 79 mg/dl, Creatinine 2.1 u/l, Natrium darah 37
mmol/L, limfosit 12.9%. Dari analisa gas darah tanggal 16 Maret 2018
didapatkan hasil PH 7.498, BE 1.4 mmol/L, Total CO2 25.8 mmol/L yang
diinterpretasikan sebagai alkalosis respiratorik tidak terkompensasi.
Leukositosis menunjukkan bahwa ada proses infeksi pada tubuh pasien,
dan menurunnya kadar limfosit dalam darah menunjukkan kondisi kronik,
sehingga imunitas pasien menjadi lebih rendah.
Dilakukan pemeriksaan foto thoraks proyeksi posteroanterior dan lateral
pada tanggal 16 Maret 2018. Hasil foto thoraks terdapat adanya TB paru aktif
lesi luas disertai schwarte kanan, efusi pleura kanan, dan kardiomegali.
Pasien membawa hasil pemeriksaan geneXpert yang dilakukan 22
November 2018 dengan hasil MTB not detected.
Kesimpulan yang dianalisis dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang ialah pasien kemungkinan mengalami PPOK
eksaserbasi akut dan efusi pleura. Adanya PPOK eksaserbasi akut pada pasien
dapat dilihat dari anamnesis yaitu sesak napas yang kronik progresif, batuk, dan
purulensi sputum. Riwayat penggunaan obat semprot sebelumnya dan riwayat
merokok. Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan ronki basah kasar dan
wheezing pada kedua lapang paru.
Pasien diberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan dengan nasal kanul O2 2
lpm dan nebulisasi Fenoterol:Ipatropium 1:1.25/ 8 jam yang memberikan efek
bronkodilatasi. Pasien diberi Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein. Sebagai terapi
cairan pasien diberi NaCl 0,9% intra vena dengan kecepatan 20 tpm. Pasien
diberi antibiotik Ampicillin Sulbactam 1.5 gr/ 8 jam. Diberikan juga Inj
Metilprednisolon 30 mg/8 jam yang merupakan kortikosteroid sebagai anti
inflamasi yang poten mengurangi inflamasi pada saluran napas. Pasien diberi
N-Asetil Sistein 200 mg / 8 jam yang merupakan mukolitik untuk
mengencerkan dahak dan antioksidan. Pasien diberi curcuma sebagai
hepatoprotektor.
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi PPOK
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Hambatan ini
bersifat progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas beracun dan berbahaya.1
2. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
tahun 2017, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, yaitu6:
a. Derajat 0 (berisiko) 

Gejala klinis: memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea, terdapat paparan terhadap faktor resiko, spirometri :
normal. 

b. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum,
sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 
1, spirometri :
FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum,
sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri:
FEV1 < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis: sesak napas derajat sesak 3 dan 4, eksaserbasi lebih sering
terjadi, spirometri: FEV1 < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)

Gejala klinis: pasien derajat III dengan gagal napas kronik, disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan, spirometri:
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30%.
Skala sesak berdasarkan GOLD tahun 20176:


0 = Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat.


1 = Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat.

2 = Berjalan lebih lambat karena merasa sesak.

3 = Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit.

4 = Sesak bila mandi atau berpakaian.

3. Epidemiologi
Data penderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
pada laki-laki sebesar 11,8% dan perempuan 8,5% mengidap PPOK. Sedangkan
prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara prevalensi tertinggi terdapat di
Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) dari total penduduknya.3

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit
propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan
pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker
paru (30%) dan lainnya (2%). Hal tersebut menunjukkan bahwa PPOK cukup
banyak kasus yang kita jumpai dibandingkan penyakit saluran nafas non-infeksi
lainnya.4

4. Faktor Resiko1
a. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
i. Riwayat merokok:
 Perokok aktif 

 Perokok pasif 

 Bekas perokok
Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun : 

o Ringan : 0-200 

o Sedang : 200-600 

o Berat : >600 

b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja 

c. Hipereaktiviti bronkus 

d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang 

e. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia 


5. Patogenesis1
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:

a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan


meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering
akibat kebiasaan merokok lama 


b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli


secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah 


c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran


napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa
atau dekat pleura 


Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. 


Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK1

6. Diagnosis
a. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
i. Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO
yang terjadi pada gagal napas kronik.
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
o Pink puffer merupakan gambaran yang khas pada
emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing.
o Blue bloater yaitu gambaran khas pada bronkitis
kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer.
ii. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
iii. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
iv. Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh
c. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan rutin
 Faal paru
o Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (
% ) dan atau VEP/KVP ( % ). Obstruksi : %
VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP11/KVP)
< 75 % merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK danmemantau
perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
o Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter. Setelah pemberian
bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP< 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan
pada PPOK stabil.
 Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
 Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
o Gagal napas kronik stabil
o Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Diafragma mendatar
5) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop /
eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


1) Normal
2) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

ii. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


 Faal paru
o Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional
(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT
meningkat
o DLCO menurun pada emfisema
o Raw meningkat pada bronkitis kronik
o Sgaw meningkat
o Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
 Uji latih kardiopulmoner
o Sepeda statis (ergocycle)
o Jentera (treadmill)
o Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
 Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian
kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
 Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per
hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
 Radiologi
o CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh
foto toraks polos
o Scan ventilasi perfusi

Mengetahui fungsi respirasi paru

 Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
 Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
 Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
 Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.

7. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat – obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada
keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan
progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang
masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri
maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang
rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.
Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien
PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat
berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan
kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

a. Pengetahuan dasar tentang PPOK


b. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e. Penyesuaian aktiviti

Edukasi yang diberikan disesuaikan dengan derajat PPOK

a. Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara
lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
b. Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
c. Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakanuntuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
b. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru.
Perawatan di Rumah Sakit :
1) Amoksilin dan klavulanat
2) Sefalosporin generasi II & III injeksi
3) Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
1) Aminoglikose per injeksi
2) Kuinolon per injeksi
3) Sefalosporin generasi IV per injeksi
c. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e. Antitusif

Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis


Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
( pada waktu aktiviti )
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 2 - 4 semprot →
20 µgr 3 - 4 x/hari
Inhalasi Agonis ß2 Fenoterol 2 - 4 semprot
kerja cepat 100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
salbutamol 2 - 4 semprot
100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
Terbutalin 2 - 4 semprot
0,5µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
Prokaterol 2 - 4 semprot
10µgr/semprot → 3 x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot
20µgr+salbutamol → 3 - 4 x/hari
100µgr → persemprot
Pasien memakai Inhalasi Inhalasi Agonis ß2 kerja Formoterol 6µgr, 1 - 2 semprot →
agonis
Atau ß2 kerja lambat ( tidak dipakai 12µgr/semprot 2 x/hari tidak
timbul gejala pada waktu untuk eksaserbasi ) salmeterol 1melebihi 2 x/hari
- 2 semprot →
malam atau pagi hari Teofilin 25µgr/semprot
Teofilin 2 -x/hari
lepas lambat 400 tidak
800mg/hari
Anti oksidan Teofilin/ aminofilin 150 melebihi
N asetil sistein 3600mg/hr 2 x/hari
- 4 x/hari
Pasien tetap mempunyai Kortikosteroid oral mg x 3 - 4x/hari
Prednison 30 - 40mg/hr
gejala dan kortikosteroid
Uji atau terbatas Inhalasi
(uji kortikosteroid ) Metil prednisolon
Beklometason 50µgr, selama 2mg
1 - 2 semprot
dalam
memberikanaktiviti respons
harian
Kortikosteroid 250µgr/semprot
Budesonid 100µgr, → 2--400µgr
200 4 x/hari→
meskipun
positif mendapat
Sebaiknya pemberian 250µgr,
Flutikason 125 - 250µgr
2x/hari maks →
pengobatan bronkodilator
kortikosteroid inhalasi 400µgr/semprot
125µgr/semprot 2400µgr/hari
2x/hari maks
maksimal
dicoba bila mungkin
1000µgr/hari
untuk 2.memperkecil efek
Terapi Oksigen
samping Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya.
Manfaat oksigen
a. Mengurangi sesak
b. Memperbaiki aktiviti
c. Mengurangi hipertensi pulmonal
d. Mengurangi vasokonstriksi
e. Mengurangi hematokrit
f. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
g. Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi
a. PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
b. PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
a. Pemberian oksigen jangka panjang
b. Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
c. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
d. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Alat bantu
pemberian oksigen
a. Nasal kanul
b. Sungkup venturi
c. Sungkup rebreathing
d. Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan
kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

3. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
a. Penurunan berat badan
b. Kadar albumin darah
c. Antropometri
d. Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)
e. Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak


akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)
dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya
fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi.
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
a. Hipofosfatemi
b. Hiperkalemi
c. Hipokalsemi
d. Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian
nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu
pemberian yang lebih sering.

4. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :
a. Simptom pernapasan berat
b. Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
c. Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobic
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik dengan hasil analisis gas darah Po2 <
60 mmHg dan Pco2>60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
 Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan/tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun
2. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai
gagal jantung kanan
3. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang.
Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limposit darah.
BAB VI
PENUTUP

A. SIMPULAN
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel dan umumnya bersifat progresif.
2. Berdasarkan dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan spirometri PPOK dibagi
dalam 5 derajat.
3. Diagnosis ditegakkan atas anamnesis mengenai faktor risiko yang ada pada
pasien, pemeriksaan fisik paru didapatkannya gambaran khas pada PPOK,
pemeriksaan rutin seperti spirometri, uji bronkodilator, darah rutin dan
pemerikasaan radiologi.
4. Tatalaksana pada PPOK meliputi edukasi, pemberian obat obatan
(bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik, dan
antitusif), terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
5. Komplikasi yang dapat terjadi pada paisen PPOK antara lain gagal napas
kronik ataupun gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi
berulang,dan kor pulmonal
6. Komplikasi gagal napas dapat dinilai dari hasil pemeriksaan AGD, serta
adanya sesak napas dengan ataupun tanpa sianosis, sputum bertambah dan
purulen, demam, dan penurunan kesadaran.

B. SARAN

1. Pasien diberi edukasi mengenai asal mula penyakit yang dialami, rencana
pengobatan yang perlu dijalani, dan cara untuk mencegah hal-hal yang dapat
menyebabkan terjadi kekambuhan penyakit pasien.
2. Sebaiknya keluarga pasien diberikan edukasi mengenai penyakit, risiko
tindakan yang dilakukan dan penanganan terkait dengan penyakit pasien serta
sebaiknya keluarga memberikan dukungan, perhatian, memantau kondisi
penderita.
3. Pasien dianjurkan untuk segera periksa kembali apabila tidak ada tanda-tanda
perbaikan kondisi untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia


Revisi Juni. Jakarta: PDPI; 2003. 

2. World Health Organization. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet
[internet]. Jeneva: WHO; 2015 [diakses tanggal 12 Maret 2017]. Tersedia
dari: http://www.who.int/respiratory/copd/en/ 

3. Oemiati R. Kajian epidemiologis penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
Media Litbangkes. 2013; 23(2):82-8. 

4. Naser FE, Medison I, Erly.Gambaran derajat merokok pada penderita ppok di
bagian paru RSUP dr. M. Djamil. J Kesehatan Andalas. 2016; 5(2):306-311.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu


penyakit dalam jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 


6. Saftarina F, Anggraini DI, Ridho M. Penatalaksanaan Penyakit Paru


Obstruktif Kronis pada Pasien Laki-Laki Usia 66 Tahun Riwayat Perokok
Aktif dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Tanjung Sari. J
AgromedUnila. 4(1): 143-51. 2017

Anda mungkin juga menyukai