Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara berkembang dan menuju industrilisasi tentunya


akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat yang dapat meningkat penggunaan
alat transportasi / kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan
sehingga menambah arus lalulintas. Arus lalulintas yang tidak teratur dapat meningkatkan
kecendrungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan juga banyak terjadi
pada arus mudik dan arus balik hari raya idul fitri, kecelakaan tersebut sering kali
menyebabkan cidera tulang atau fraktur (Kompas, 2008).
Kecelakaan lalu lintas menurut WHO (Word Health Organitation) menyebabkan
kematian ±1,25 juta orang setiap tahunnya, salah satu dari penyebab kematian adalah fraktur,
dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda. Saat ini penyakit
muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan
kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan decade ini (2000-2010) menjadi
dekade tulang dan persendian. Badan kesehatan dunia (WHO) memprediksikan bahwa di
tahun 2020 cedera akibat kecelakaan lalulintas akan menduduki tempat ketiga dalam hal
penyebab kematian dan kecacatan. Tercatat tahun 2007 terdapat lebih dari delapan juta orang
meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan
fisik.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh
cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/ tumpul.
Jumlah total peristiwa terjatuh adalah 45.987 yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang
(3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770
orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/ tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236
orang (1,7%).
Terapi operatif pada fraktur dapat dilakukan dengan reposisi anatomis diikuti dengan
fiksasi interna (open reduction and internal fixation), artoplasti eksisional, eksisi fragmen,
dan pemasangan endoprostesis, dan dalam setiap teknik pembedahan dibutuhkan teknik
anestesi yang tepat.
Setiap tindakan anestesi harus memperhatikan kondisi pasien karena tindakan anestesi
ini bisa menimbulkan efek pada semua sistem pada tubuh, antara lain terjadinya perubahan

1
hemodinamik pada tubuh pasien. Sebuah anestesi umum dapat digunakan sebagai anestesi
pilihan untuk semua prosedur ortopedi. Namun, teknik anestesi regional dapat digunakan
untuk menyediakan anestesi dan analgesia pasca operasi untuk berbagai prosedur ortopedi,
termasuk arthroscopic, fraktur, dan operasi penggantian sendi. Untuk operasi ekstremitas
bawah, teknik neuroaxial pusat dapat digunakan selain untuk blok saraf perifer.
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi
epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di
bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi
abdomen bagian bawah.
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagian
atau beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat
sementara. Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah
disuntikkan, alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit. Tahun-tahun terakhir
ini analgesia regional berkembang dengan pesat di Indonesia, dari sekian banyak teknik
analgesia regional, blok subarakhnoid (SAB) termasuk di antaranya. Blok subarakhnoid atau
lebih populer disebut anestesi spinal adalah suatu tindakan atau usaha menghentikan transmisi
impuls syaraf yang melintas medulla spinalis anterior dan dengan jalan menyuntikkan obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid melalui interspace L2-3, L3-4, L4-5.

Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi
yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi
sehari-hari. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa
gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan
penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.

Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan anestesi spinal dapat
menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan pada operasi dengan indikasi
anestesi spinal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Femur


2.1.1. Definisi
Tulang femur adalah tulang terpanjang dan terkuat dalam tubuh manusia, sehingga dibutuhkan
energi yang cukup besar untuk dapat mematahkan tulang femur. Bagian yang lurus dan panjang dari
femur disebut femoral shaft, sehingga fraktur yang terdapat di daerah ini dinamakan femoral shaft
fracture. Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma
langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-
laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.
Femoral shaft dikellingi oleh otot-otot besar. Hal ini memberikan keuntungan namun
juga kerugian seperti : sulitnya melakukan reduksi dikarenakan kontraksi otot-otot paha yang
membuat fraktur sering bergeser tidak pada tempatnya (displaced); namun potensi
penyembuhan yang cepat dikarenakan adanya vaskularisasi yang baik serta adanya sumber
stem cell mesenkimal, dan pada open fraktur hanya membutuhkan teknik skin graft dengan
bahan kulit yang sedikit untuk memberi penutupan yang baik.
Fraktur femur memiliki banyak jenis tergantung dari besarnya energi yang
menyebabkan frakturnya. Patahan dapat sejajar atau dapat juga keluar dari alignment tulang
(displaced), fraktur juga dapat berupa fraktur tertutup (apabila kulit intak) atau terbuka (bila
ada lesi di daerah fraktur).

2.1.2. Klasifikasi
Secara umum fraktur diklasifikasikan menjadi : Transversal, Segmental, Butterfly,
Oblik, Spiral, Communitive. Klasifikasi Winquist & Hansen membagi fraktur femoral shaft
berdasarkan diameter tulang yang pecah / communisi :
 Type I : fraktur dengan area communisi yang relatif kecil, dengan
diameter tulang yang intak > 75 %.
 Type II fraktur dengan communisi yang lebih besar, namun 50 % dari
diameter tulang masih intak.
 Type III fraktur dengan diameter tulang yang intak < 50%.

3
 Type IV fraktur yang didefinisikan dengan tidak adanya hubungan antar
cortex tulang pada daerah fraktur yang mencegah terjadinya
pemendekan.

2.1.3. Penatalaksanaan Bedah


a. Eksternal Fiksasi
Pada operasi ini, suatu pin atau sekrup metal ditanam dalam tulang pada
daerah atas dan bawah dari lokasi fraktur. Pin dan sekrup tersebut kemudian
disatukan dengan suatu batangan (biasanya akrilik) di luar kulit. Alat ini
merupakan alat untuk menstabilkan posisi tulang sehingga ketika
menyembuh, tulang tetap berada pada posisi yang benar.
Eksternal fiksasi merupakan penatalaksanaan fraktur femur yang bersifat
sementara. Karena mudah unutk dibuat, eksternal fiksasi juga dapat dipasang pada
pasien dengan cidera multipel dan tidak siap untuk tindakan perbaikan fraktur yang
lama.
Eksternal fiksasi menghasilkan stabilisasi sementara pada tulang hingga
pasien cukup sehat untuk dilakukan tindakan bedah selanjutnya. Pada beberapa
kasus, eksternal fiksasi tetap terpasang hingga tulang femur benar-benar sembuh.

b. Intramedullary Nailing
Merupakan tindakan yang paling umum dilakukan untuk menangani fraktur
femur shaft. Dalam prosedur, sebuah batangan khusus dari metal dimasukkan ke
dalam kanal sumsum tulang femur.
Batangan metal tersebut juga melewati fraktur untuk mempertahankan posisi,
kemudian sekrup dipasang pada daerah proksimal dan distal untuk menjaga
batangan metal dan tulang berada pada posisi yang tepat saat penyembuhan.
4
c. Plates and Screw
Pada prosedur ini, fragment tulang pertama-tama harus direposisi
(reduksi) pada garis normal, kemudian dipertahankan dengan memasang
sekrup dan plat metal khusus yang dipasang pada permukaan tulang. Plat
dan skrup biasa digunakan apabila pemasangan intramedullary nailing tidak
memungkinkan, contohnya pada fraktur yang meluas sampai pada hip atau
knee joint.

2.2 Perdarahan Pada Fraktur Femur


Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah akibat rusaknya pembuluh
darah.Perdarahan dapat terjadi di dalam tubuh (perdarahan internal), seperti rupture organ
ataupun pembuluh darah besar, ataupun di luar tubuh (perdarahan eksternal), seperti
perdarahan melalui vagina, mulut, rectum, atau melalui luka dari kulit.

5
Kehilangan darah adalah penyebab utama terjadinya syok pada pasien trauma.Syok
adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital tubuh.Apabila perdarahan telah mencapai 15 % dari total estimasi jumlah
darah tubuh, maka diperlukan penggantian cairan untuk mengembalikan kehilangan darah
yang keluar akibat perdarahan. Kehilangan darah melebihi 15% dari total estimasi jumlah
darah tubuh akan menyebabkan terjadinya hipoperfusi jaringan dan mengarah kepada
keadaan syok hemoragik.
Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur.
Perdarahan dari fraktur femur berkisar 1,5-2 liter. Penderita yang mengalami perdarahan,
menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa volume darah yang beredar dan berapakah sisa
eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

 Patofisiologi
Saat terjadi perdarahan dibawah 10% dalam jumlah estimasi darah dalam tubuh,
mekanisme kompensasi tubuh akan mengatasi kekurangan volume cairan yang hilang, namun
secara klinis tidak terlihat nyata dikarenakan volume darah yang hilang tidak banyak. Saat
tubuh kehilangan darah labih dari 15% dari volume darah yang beredar, tubuh akan segera
memindahkan volume sirkulasinya dari organ non vital (organ-organ pencernaan, kulit, otot)
ke organ-organ vital (otak dan jantung) untuk menjamin perfusi yang cukup ke organ-organ
vital. Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat penurunan
volume darah yang menyebabkan penurunan venous return dan volume preloud jantung. Hal
ini dapat menyebabkan hipoperfusi ke seluruh jaringan tubuh apabila tidak dikompensasi
dengan baik. Perubahan ini akan mengaktivasi baroreseptor di Arcus aorta dan atrium.
Selanjutnya akan terjadi peningkatan aktivitas simpatis pada jantung sebagai akibat
mekanisme kompensasi dari penurunan preload, yaitu peningkatan denyut jantung,
vasokonstriksi perifer dan redistribusi aliran darah dari organ-organ non vital seperti kulit,
organ-organ pencernaan, dan ginjal.
Dalam saat yang bersamaan, terjadi pula respon neurohormonal sebagai mekanisme
konpensasi. Pelepasan hormone kortikotropin akan merangsang pelepasan glukokortikoid dan
beta-endorphin. Hipofisis pars posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di
tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, sebagai respon dari
penurunan mean arterial pressure (MAP) akibat penurunan jumlah darah dalam tubuh dan

6
meningkatkan pelepasan aldosteron yang berperan dalam reabsorbsi natrium dan air, sehingga
volume urin menurun. Hiperglikemi sering terjadi saat perdarahan akut, karena proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat. Hal ini disebabkan karena penurunan
perfusi dan nutrisi ke jaringan, serta pelepasan katekolamin yang dapat menstimulasi
glikogenolisis dan lipolisis, dan diperkirakan memberikan efek terhadap resistensi insulin
yang menyebabkan keadaan hiperglikemia pada perdarahan. Secara keseluruhan bagian tubuh
yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik untuk mengikuti kondisi tersebut. Pada
otak, terjadi proses autoregulasi yang bermakna, yaitu aliran darah ke otak dijaga tetap
konstan melalui serangkaian aktivitas di atas dalam menjaga MAP tetap stabil. Ginjal dapat
mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu singkat, serta pasokan aliran
darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi yang dicetuskan nervus
splanchnicus. Namun, proses kompensasi akan berlanjut pada fase dekompensata, yaitu saat
organ-organ vital seperti jantung dan otak mengalami kelemahan akibat mekanisme
kompensasi yang panjang. Maka pemberian resusitasi awal dan tepat waktu dapat mencegah
kerusakan organ tubuh yang irreversible akibat kompensasinya dalam pertahan tubuh.

 Klasifikasi Derajat Perdarahan


Berdasarkan tanda gejala dan jumlah kehilangan darah, perdarahan di bagi menjadi 4
kelas.

Variabel Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan darah <750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml

<15% 15-30% 30-40% >40%

Sistolik (mmHg) >110 >100 >90 <90

Nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140

Nafas 16 16-20 21-26 >26

Mental Gelisah Cemas Bingung Letargi

 Tata Laksana Resusitasi Cairan


Pasang kateter intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium (croosmatch,
hemoglobin, hematokrit, thrombosit, elektrolit, kreatinin, analisis gas darah dan
pH,laktat,parameter koagulasi, transamine, albumin).Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau

7
ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%). Resusitasi cairan dilakukan dengan
perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 2-4 :1.
Bila kehilangan darah > 60 % maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma(setelah 1
jam pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama
terapi syok hipolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah.
Terapi cairan pada kasus Emergency, terlebih dahulu diperhatikan jenis kasusnya.
a. Trauma  hypovolemia karena perdarahan
b. Non trauma  hypovolemia karena perdarahan seperti KET, Solusio plasenta,
plasenta previa, hemorragic post partum.
Pada syok hipovolemia akibat perdarahan, Terapi cairan yang diberikan sebagai berikut :
 Kristaloid (RL, NaCl 0.9%, RA) diberikan 2-4 kali jumlah perdarahan.
 Koloid:gelatine diberikan 2 kali jumlah perdarahan, dextran, HES diberikan sesuai
dengan jumlah perdarahan (1 : 1).

 Darah (WB, PRC) diberikan sesuai dengan jumlah perdarahan (1 : 1).

Penggantian volume intravaskular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan
suplai oksigen ke jaringan.Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam
jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi darah.

2.3 Anestesi
Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit.
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang
meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien dioperasi atau
tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian
terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.Pada
anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, sedangkan pada anestesi
umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.

2.1.1 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Komponen trias anestesi
ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Cara pemberian anestesi umum:

8
1. Parenteral (intramuskular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral
dikombinasikan dengan cara lain.
2. Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara
pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan
konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.Tekanan
parsial dalam jaringan otak akan menentukan kekuatan daya anestesi, zat
anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat
memberi anestesi yang adekuat. Teknik anestesi inhalasi terdiri atas inhalasi
sungkup muka yakni dengan pemakaian salah satu kombinasi obat anestesi (N2O +
Halotan/isofluran/desfluran/enfluran/sevofluran) secara inhalasi melalui
sungkupmuka dengan pola napas spontan; inhalasi sungkup laring yakni dengan
pemakaian salah satu kombinasi obat anestesi secara inhalasi melalui sungkup
laring dengan pola napas spontan; inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan
yakni dengan pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan anestesi secara inhalasi
melalui PET dan dengan pola napas spontan; inhalasi pipa endotrakea (PET) napas
kendali yakni dengan pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan anestesi secara
inhalasi melalui PET dan pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi,
selanjutnya dilakukan napas kendali.

2.1.2 Anestesi/Analgesi Lokal


Anestesi/analgesi lokal adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat denganteknik:
1. Anestesi permukaan, yaitu pengolesan atau penyemprotan analgetik lokal di atas
selaput mukosa seperti mata, hidung, atau faring.
2. Anestesi infiltrasi, yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di
sekitar tempat lesi, luka, atau insisi. Cara infiltrasi yang sering digunakan adalah
blokade lingkar dan obat disuntikkan intradermal atau subkutan.
3. Anestesi blok, yaitu penyuntikan analgetika lokal langsung ke saraf utama atau
pleksus saraf. Hal ini berviriasi dari blokade pada saraf tunggal, misalnya saraf

9
oksipital dan pleksus brakialis, anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi
kaudal. Pada anestesispinal, analgetik lokal disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid
di antara konus medularis dan bagian akhir ruang subaraknoid. Anestesi epidural
diperoleh dengan menyuntikkan zat anestetik lokal ke dalam ruang epidural. Pada
anestesi kaudal, zat analgetik lokal disuntikkan di ruang kaudal melalui hiatus
sakralis.
4. Analgesi regional intravena, yaitu penyuntikan larutan anagetik lokal intravena.
Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik
dengan turniket pneumatik.

2.4 Anestesi Regional


Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu,
yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.Fungsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, penderita tetap sadar.
Pembagian anestesi atau analgesia regional adalah
 Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.
 Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena, dan lain-lainnya.
1. Persiapan preoperatif
 Kunjungan preoperatif dilakukan untuk menilai keadaan umum pasien dan
menjelaskan prosedur yang akan dilakukan.
 Penderita untuk operasi elektif dipuasakan 6 jam.
 Premedikasi:
Berguna untuk menenangkan pasien, misalnya pethidin 1 mg/kg BB, atau valium 0,1 -
0,2 mg/kg IM. Premedikasi dapat juga diberikan secara oral misalnya valium tablet 5-
10 mg.
2. Pengawasan selama analgesia regional
 Pengawasan fungsi vital pasien (tensi, nadi diukur berkala).
 Perhatikan tempat-tempat yang tertekan (pressure points), harus diberi alas yang
lunak.

10
 Jarum sayap (wing needle) atau sebaikrtya infus harus selalu dipasang untuk memberi
obat darurat atau cairan secara cepat.
3. Teknik Anestesi Spinal/ Epidural
 Persiapan
Sebelum anestesia spinal/epidural dimulai, pasien harus siapkan seperti persiapan bila
akan melakukan anestesi umum. Hal ini bertujuan sebagai antisipasi perubahan
mendadak tekanan darah, laju nadi, atau masalah oksigenasi. Harus ada akses
intravena yang adekuat dan perlengkapan monitor pasien. Monitoring suhu badan
sebaiknya disiapkan, karena pasien dapat terserang hipotermia selama spinal atau
epidural, terutama pada operasi yang lama. Mesin anestesi sungkup muka, sumber O2,
dan suction harus tersedia dan siap pakai. Obat-obatan sedasi, induksi, emergensi, dan
pelumpuh otot harus tetap tersedia meskipun tidak langsung di dalam spuit. Alat-alat
manajemen jalan nafas seperti pipa endotrakea, laringoskop, dan pipa orofaringeal
harus juga tersedia.

 Posisi Pasien
Ada tiga posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anestetik
lokal pada anestesia spinal/epidural ini yaitu : lateral decubitus, duduk dan tengkurap.
Pemilihan masing-masing posisi ini tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.
Pengaturan posisi pasien ini cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan
anestesai spinal ini.
- Posisi Lateral Dekubitus
Kebanyakan ahli anestesi sering memilih posisi ini. Penderita tidur miring di atas
meja operasi dengan membelakangi ahli anestesiologi. Pinggul dan lutut
difleksikan mendekat ke arah lutut. Posisi ini digunakan untuk kasus-kasus cedera
atau fraktur pada pinggul dan kaki dimana penderita tidak dapat bangun untuk
duduk.

- Posisi Duduk
Anatomi tulang belakang kadang-kadang lebih mudah dipalpasi bila dilakukan
dengan posisi ini dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus. Posisi ini baik
dilakukan pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk operasi lumbal
bawah dan sakral. Pada anestesia spinal, pasien-pasien tersebut sebaiknya

11
dibiarkan dalam posisi duduk dulu sesudah penyuntikan selama kurang lebih 5
menit. Namun bila posisi ini dipilih atas alasan obesitas atau skoliosis sementara
kita menginginkan level blok tinggi, maka setelah penyuntikan pasien harus
segera kita telentangkan (supine position). Hal ini tidak berlaku pada anestesika
epidural karena efek gravitasi akan dilawan oleh tekanan masuknya anestetika
lokal melalui kateter. Penderita dengan bantuan seorang asisten dan memeluk
bantal, diposisikan duduk dengan punggung belakang difleksikan maksimal dan
kedua kaki menggantung di atas lantai atau di atas bangku.
- Posisi Telungkup (prone position)
Pada teknik anestesia spinal, posisi ini dapat dilakukan untuk prosedur
pembedahan pada bagian anorektal. Pasien diposisikan dalam posisi “jack-knife”,
dan selanjutnya lumbal pungsi dapat dilakukan. Teknik ini menggunakan larutan
anestetika lokal yang bersifat hipobarik, dan keuntungannya penderita setelah
tindakan lumbal pungsi tidak perlu diubah lagi posisinya. Ini akan menghasilkan
anestesia daerah sakral.

2.2.1 Anestesi Spinal


Anestesi spinal (subarachnoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal/subarachnoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal.
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasien diperlukan
dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila
pasien tidak sadar misalnya pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada
lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama
pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang.
Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat
dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati
rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, dapat memberikan mati rasa dari perut ke bawah. Namun, karena
tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di

12
anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan
nyeri di daerah yang sedang dioperasi.4,5

Gambar 1. Gambar lokasi daerah anestesi spinal.

Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis yang digunakan,
efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang
belakang, opcrasi tulang helakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
 Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan untuk pembedahan, daerah tubuh
yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papilla mammae kebawah).
Indikasi anestesi spinal antara lain:
 Bedah ekstremitas bawah.
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rectum-perineum
 Bedah obstetri-ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
 Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan
anestesia umum ringan

13
 Kontra Indikasi
Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni relative dan absolute.
Kontra indikasi absolute Kontra indikasi relative
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi pada tempat suntikan 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok 3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat 4. Kelainan psikis
terapiantikoagulan 5. Bedah lama
5. Tekanan intracranial meninggi 6. Penyakit jantung
6. Fasilitas resusitasi minim 7. Hipovolemia ringan
7. Kurang pengalaman atau / tanpa 8. Nyeri punggung kronis
didampingi konsultan anesthesia

 Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi
pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.Perhatikan juga adanya skoliosis
atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian
hematokrit, masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan
pemberian obat premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih
lancar.Namun.premedikasi tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat.

 Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi
yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.Jarum spinal memiliki permukaan
yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sarnpai dengan 30-G. Obat
anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain.Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah yang teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat

14
jenis cairan serebrospinal (hiperbarik),akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan
ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1.008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan duk.
Tabel 2.1. Dosis dan lama kerja obat anestetik spinal
Dosis (mg)
Perineum, Lama kerja/durasi
Obat Abdomen Blok
tungkai (menit)
bawah setinggi T4
bawah
Prokain 75 125 200 60-90
Tetrakain 6-8 8-14 14-20 180-600
Lidokain 25 50-75 75-100 90-200\
Bupivakain 4-6 8-12 12-20 180-600

 Jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bambu runcing (jenis Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti
ujung pensil (Whiteacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan
nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.

 Teknik
 Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4 ata L4-L5
 Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis
 Pungsi lumbal hanya antara L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
 Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal
15
 Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal nomor
22 (atau lebih halus nomor 23, 25, 26, 27, atau 29), pada bidang median dengan
arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar
vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-
turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater-subarachnoid.
Setelah stilet dicabut cairan likuor serebrospinalis akan menetes keluar,
selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid tersebut.

 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal


Ada banyak faktor yang memengaruhi distribusi anestesia lokal di dalam cairan
serebrospinal. Faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran obat anestesia lokal dalam
cairan serebrospinal:
1. Volume obat analgetik lokal : makin besar, makin tinggi daerah analgesi
2. Konsentrasi obat : makin pekat, makin tinggi batas daerah analgetik
3. Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan 3 detik untuk 1 ml larutan
4. Manuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinalis dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi
5. Tempat pungsi : pengaruhnya besar, pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat lebih mudah
menyebar ke kranial.
6. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik, atau hipobarik
7. Tekanan abdominal yang tinggi : dengan dosis yang sama didapatkan batas
analgesia yang lebih tinggi.
8. Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis, makin besar
dosis yang diperlukan
9. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan anestetik
sudah menetap (tidak berubah) sehingga batas anelgesia tidak dapat diubah lagi
dengan mengubah posisi pasien.

16
 Komplikasi Anestesi Spinal
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi yang
terjadi kemudian (“delayed”). Komplikasi dini berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi
dan gastrointestinal.
- Komplikasi sirkulasi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan
infus cairan kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat sebanyak 10-15
ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan analgesia spinal. Bila
dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopresor seperti efedrin intravena sebanyak 10 mg diulang tiap 3-4 menit
sampai tekanan darah yang dikehendaki (sebaiknya tidak penurunannya tidak
lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal).
Bradikardi dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang, atau karena blok
simpatis T1-4; dapat diatasi dengan pemberian sulfat atropin 1/8-1/4 mg
intravena.
- Komplikasi respirasi
1. Apnea, dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla
2. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
oksigen dan nafas buatan.
- Komplikasi gastrointestinal
Mual dan muntah, karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik refleks karena traksi pada traktus gastrointestinal.
Komplikasi yang terjadi kemudian (“delayed”) pasca anestesi spinal yakni:
- Nyeri tempat suntikan
- Nyeri punggung
- Pusing kepala pasca pungsi lumbal ("Post lumbal puncture headache")
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas : terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur keposisi tegak/duduk. Mulai terasa 24-48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi (kurang dari 10% dengan jarum no.
22).

17
- Retensio urin
- Meningitis

2.5 Terapi Cairan Durante Operasi


Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan mengenai kekurangan
cairan pra bedah, kebutuhan untuk pemeliharaan, bertambahnya insensible loss karena suhu
kamar yang tinggi, terjadinya translokasi cairan pada daerah operasi, dan terjadinya
perdarahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum,
ke luar tubuh).
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum,
ke luar tubuh. Banyaknya air yang hilang karena translokasi selama pembedahan, tergantung
dari jenis operasinya :
1) Operasi dengan bedah minimal, kebutuhan pemeliharaan ± 4cc/kgBB/jam
2) Operasi dengan bedah sedang, kebutuhan pemeliharaan ± 6cc/kgBB/jam
3) Operasi dengan bedah besar, kebutuhan pemeliharaan ± 8cc/kgBB/jam
Pada prinsipnya kecepatan pemberian cairan selama pembedahan adalah dapat
menjamin tekanan darah stabil tanpa menggunakan obat vasokontriktor, dengan produksi urin
mencapai 0,5-1cc/kgBB/jam. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfuse, untuk
perdarahan < 20% dari volume darah total pada dewasa cukup diganti dengan cairan
kristaloid, cairan koloid atau campuran keduanya. Tapi, bila perdarahan >20% dari volume
darah total, diberikan transfusi darah.

18
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. R. Y
Umur : 20 tahun
Alamat : Manokwari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan :-
Suku/bangsa : Papua/Indonesia
Ruangan : Orthopedi
Tanggal masuk rumah sakit : 03 Agustus 2015
Tanggal operasi : 07 September 2015

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Nyeri pada paha kanan sampai tungkai bawah

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari RSUD Manokwari dengan keluhan nyeri pada paha kanan
sampai tungkai bawah akibat KLL sejak ± 1 minggu sebelum masuk RS. Pasien ditabrak
dari arah berlawanan saat mengendarai motor. Terdapat luka robek di betis kanan dan
lutut kanan. Pingsan (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), penurunan kesadaran (-).

Riwayat penyakit dahulu :


Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), riwayat operasi (-), alergi obat (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan serupa

19
Riwayat Obat yang Diminum
Pasien selama di ruangan Orthopedi diberikan meloxicam 3 x 1 (po) untuk mengurangi
nyeri.

Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak ada riwayat alergi sebelumnya.

Riwayat Anestesi & Pembedahan Sebelumnya


Pasien mengaku belum pernah mengalami pembedahan dan anestesi sebelumnya.

Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan merokok (+), minum alkohol disangkal, penggunaan obat-obatan penenang
ataupun narkotika disangkal.

Riwayat Makan
Pasien sudah berpuasa sejak pukul 24.00 WIT.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 110/80mmHg
 Nadi : 100 x/m
 Respirasi : 24 x/m
 Suhu badan : 35,60C
Status gizi
 TB : 170 cm
 BB : 72 Kg

Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek pupil (+/+) isokor
Hidung : Tidak ada deformitas, epitaksis (-/-)

20
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Paru : suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, supel, bisung usus (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2” edema (-)

3.4 Jawaban Konsultasi Penyakit Dalam (06/09/2015)


 Diabetes Melitus (-)
 Hipertensi (-)
 EKG normal
 Toleransi kardiologi baik.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

Darah Lengkap 19 Mei 2015


Hemoglobin 11,6 g/dl
Leukosit 5.170/mm3
Trombosit 104.000/mm3
CT 10’00”
BT 3’00”

3.6 Status Anestesi


PS ASA : I  pasien sehat secara fisik dan mental, tidak ditemukan
kelainan sistemik, tidak ditemukan penyulit dalam hal ini
perdarahan hebat, demam (-), penurunan kesadaran (-), Hb
= 11,6 g/dL
Hari/Tanggal : 07/09/2015
Ahli Anestesiologi : dr. DW, Sp. An,KIC
Ahli Bedah : dr. J, Sp. OT
Diagnosa Pra Bedah : Open fraktur 1/3 midle femur dextra grade IIIA
Diagnosa Pasca Bedah : Open fraktur 1/3 midle femur dextra grade IIIA
TTV : TD : 110/70 mmHg; N: 80 x/m; T : 36,70C

21
B1 : Airway bebas
Breathing – RR : 20 x/m,gerak dada simetris, ikut gerak
napas, suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-), malampati score I
B2 : Perfusi : hangat, kering. Capillary Refill Time < 2 detik,
BJ : I-II regular, konjungtiva anemis (-/-), nadi : 80 x/m ,
TD: 110/70 mmHg
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks cahaya
(+/+), refleks kornea (+/+), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin pre op 500 cc, warna kuning
jernih
B5 : Perut datar, supel, mual (-), muntah (-), bising usus (+)
normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
B6 : Akral hangat (+), edema (+), fraktur regio femur (+)
Medikasi pra bedah :-
Jenis Pembedahan : ORIF
Lama Operasi : 2 jam (10.00 – 12.00 WIT)
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi Block
Anestesi dengan : Decain 0,5% 20 mg
Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk,
dilakukan aseptic di sekitar daerah tusukan yaitu di regio
vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi
Decain 0,5 % 20 mg) dengan jarum spinal No.27 pada
regio vertebra antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal
keluar (+) jernih, darah (-), dilakukan blok Th. IV.
Pernafasan : Spontan, O2 nasal
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan kiri, IV line abocath 18, cairan RL
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : TD : 120/64 mmHg; N : 76x/m; SB : 35,40C; RR : 20x/m
Pembedahan

22
Medikasi : Post Operasi :
- Ceftriaxone 1 gr (iv)
Induksi :
- Decain 0,5% (Bupivacaine HCl) 20 mg
Maintenance :
- Ranitidine 50 mg
- Ondansentron 4 mg
Post Operasi dini :
- Ketorolac 30 mg
Post Operasi Lanjutan : -

3.7 Laporan Pembedahan


Ahli Bedah : dr. JA, Sp.OT
Ahli Anestesi : dr. DS, Sp.An KIC
Dianosa Pra Bedah : Open fraktur 1/3 midle femur dextra grade IIIA
Dianosa Pasca Bedah : Open fraktur 1/3 midle femur dextra grade IIIA
Tanggal Operasi : 07 September 2015
Laporan Operasi :
- Posisi terlentang supine dalam SAB
- Asepsis + draping prosedure s/d reg. Femur dextra
- Insisi lateral approval.
- Identifikasi fraktur 1/3 medial femur dextra
- Dilakukan gerakan reduksi + internal fixasi dengan
Evard Plete no. 10
- Cuci luka dengan NaCl 0,9 %, kontrol perdarahan
- Jahit luka operasi lapis demi lapis
- Tutup luka dengan daryantule + kasa steril
- Operasi selesai

23
3.8 Observasi Durante Operasi
Observasi Tekanan Darah dan Nadi
160
140
120
100
Sistol
80
Diastol
60
Nadi
40
20
0
9.35 9.4 9.5 10 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 11 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 12

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi

Balance Cairan
Waktu Input Output

Pre operasi RL : 1000 cc Urin : 500 cc

- RL: 2 x 500 cc = 1000 cc - Urin : 600 cc


Durante - Gelofusal: 500 cc - Perdarahan : 500 cc
operasi - NaCl : 2x 100 cc = 200 cc
- Transfusi: 2 bag 200 cc = 400 cc

Total : 2100 cc Total : 1100 cc

24
3.9 Post Operasi
3.9.1 Stabilisasi Pasien
Pasien distabilkan di RR. Untuk menentukan kapan pasien dapat dipindahkan ke ruang
perawatan, digunakan Skor Aldrete. Pada pasien didapatkan:
 Aktivitas : dapat mengangkat kedua ekstremitas (skor 1)
 Respirasi : dapat bernapas dalam dan batuk (skor 2)
 Sirkulasi : tekanan darah ± 10 mmHg dari tekanan darah pre-anestesi (skor 2)
 Kesadaran : compos mentis (skor 2)
 Saturasi oksigen : warna kulit pucat (1)
Skor Aldrete 8, pasien dipindahkan ke ruang perawatan ortopedi.

3.9.2 Pesanan Post Operasi


 IFVD RL 20 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam (iv)
 Inj. Hipobac 200 mg / 12 jam (iv)
 Inj. Ketorolac / 8 jam (iv)
 Inj. Ranitidin / 12 jam (iv)

3.10 Terapi Peri-Operatif


A. Pre Operatif
 Kebutuhan : BB 72 Kg
Maintenance dan replacement (puasa ± 9 jam)
1-2 cc/KgBB/jam = 72-144 cc/jam = 648 – 1296 cc/9 jam
 Aktual cairan yang diberikan : RL 1000 cc
B. Durante Operatif (lama operasi = 2 jam)
 Kebutuhan :
Replacement :
- EBV = 65-70cc/KgBB = 5040 cc (Hb = 11,6 g/dL)
- EBL = 500 cc ≈ 10% EBV (Hb = 10,6 g/dL)
- Dapat diganti dengan cairan kristaloid 2 s/d 4 x EBL = 2 s/d 4 x 500 =
1000 cc s/d 2000 cc atau
- Cairan koloid (gelatin) 2 x EBL = 2 x 500 = 1000 cc atau
- Transfusi darah PRC sebanyak : ∆Hb x BB x 4 = 1 x 72 x 4 = 288 cc
25
 Aktual yang diberikan :
- RL = 1000cc, NaCl = 200cc, Gelofusal = 500cc
- Transfusi PRC = 400cc
C. Post Operatif
 Maintenance :
- Cairan : 40-50cc/KgBB/24 jam = 2880-3600cc/24 jam
- Natrium : 2-4 meq/24 jam = 144-288 meq/24 jam
- Kalium : 1-3 meq/24 jam = 72-216 meq/24 jam
- Kalori : 25 kkal/24 jam = 1800 kkal/24 jam
 Aktual yang digunakan
- RL 20 tpm

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 20 tahun dengan diagnosa open fraktur 1/3 midle femur dextra
grade IIIA dianjurkan untuk operasi ORIF. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaam penunjang, pasien ini tergolong dalam PS ASA 1, yakni penderita sehat secara
fisik maupun mental (dari hasil laboratorium didapatkan Hb: 11,6 g/dL). Selain itu, pasien
tidak mengalami komplikasi perdarahan hebat karena fraktur tidak merusak pembuluh darah
(arteri-vena femoralis) yang dibuktikan dengan pemeriksaan Hb yang masih normal.
Pada kasus dilakukan tindakan debridemen luka dan reposisi anatomis dengan fiksasi
interna (open reduction and internal fixation/ ORIF), yang sebelumnya dilakukan penilaian
status dan evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan
laboratorium) untuk mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang
mengancam serta mempersiapkan darah untuk transfusi demi mengantisipasi adanya
perdarahan pada pasien. Selain itu, pasien dipuasakan sejak pukul 24.00 WIT sebelum
dilakukan operasi.
Pada pre operasi, tidak didapati adanya tanda-tanda dehidrasi pada pasien, hal ini
dikarenakan pada saat puasa pasien terpasang infus RL. Pasien pada kasus ini tidak diberikan
obat-obat premedikasi dikarenakan pasien tidak gelisah dan mampu bekerjasama dengan
operator.
Anestesi spinal dipilih menjadi pilihan anestesi berdasarkan atas indikasi dari anestesi
spinal yakni untuk pembedahan daerah tubuh ekstremitas bawah. Anestesi spinal dilakukan
dengan blok saraf setinggi L3-L4 untuk menghindari cedera medula spinalis.
Bupivacaine HCl dipilih sebagai obat anastesi spinal dikarenakan lama kerjanya yang
panjang dengan teknik satu kali suntikan. Bupivacaine HCl merupakan anastesi local
golongan amida yang mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat sodium
channel, meningkatkan ambang eksitasi elektron, memperlambat rangsang saraf, dan
menurunkan kenaikan potensial aksi. Selain itu Bupivacaine HCl juga dapat ditoleransi pada
semua jaringan yang terkena dan dimetabolisme di hati serta di ekskresikan di urin. Pasien ini
aman menggunakan Bupivacaine HCl karena tidak ada ganguan pada fungsi hati dan
ginjalnya.
Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.

27
Diberikan bersama dengan ondansentron. Ondansentron merupakan suatu antagonis reseptor
serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah pasca bedah. Ondansentron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan
muntah yang bisa menyebabkan aspirasi. Selain itu dapat mencegah mual muntah yang
merupakan salah satu komplikasi dari tindakan blok spinal.
Ketorolac tromethamine 30 mg digunakan sebagai analgetik yang digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan
kesadaran dan tidak menimbulkan ketagihan. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri. Ketorolac dapat mengatasi nyeri ringan sampai berat, memiliki efek analgetik yang
setara dengan 100 mg pethidin atau 12 mg morphin dan memiliki durasi kerja yang lebih lama
serta lebih aman dibandingkan analgetik opioid karena tidak ada efek samping berupa depresi
napas.
Pada fraktur femur, dikhawatirkan terjadi perdarahan hebat yang dapat menyebabkan
terjadinya syok hipovolemik.hal ini disebabkan karna pada fraktur femur dapat terjadi
kerusakan (sobek) pembuluh darah di femur sehingga diperlukan transfusi segera untuk
mengganti jumlah darah yang hilang. Pada pasien terjadi perdarahan ± 500 cc, dan dilakukan
tranfusi darah golongan darah AB dengan Packed Red Cell (PRC) sebanyak 2 bag (400cc).
Adapun kebutuhan cairan pada pasien dengan berat badan 72 kg, dapat dilakukan
terapi cairan dengan perhitungan sebagai berikut :
Pre Operasi Durante Operasi
- Maintenance - Maintenance
= Kebutuhan cairan perjam x BB Kebutuhan cairan durante operasi (operasi bedah sedang) selama ± 2 jam
= 1 - 2 cc/kgBB/jam x 72 kg = 6 cc/kgBB/jam x 72 kg x 2 jam
= 72 - 144 cc/jam = 864 cc
- Replacement:
- Replacement: Perdarahan : ± 500 cc
Urin: 500 cc EBV: 70 cc x 72 kg = 5040 cc (Hb: 11,6 g/dL)
EBL:
Jadi perdarahan sebanyak:

500/5040 x 100% = 9,92%  10% (Hb: 10,6 g/dL)

Dapat diganti dengan cairan kristaloid 2 s/d 4 x EBL = 2 s/d 4 x 500


= 1000 cc s/d 2000 cc atau
Cairan koloid (gelatin) 2 x EBL = 2 x 500 = 1000 cc atau

28
Transfusi darah PRC sebanyak
∆Hb x BB x 4
1 x 72 x 4 = 288 cc

Urin : 600 cc
- Cairan yang diberikan - Cairan yang diberikan
RL 500cc RL : 1000 cc
Gelofusal : 500 cc
NaCl : 200 cc
Transfusi PRC : 400cc
Total cairan
Kristaloid 1200 cc
Koloid 500 cc
Darah PRC 400 cc

Pre operasi pada pasien diberikan terapi cairan RL sebanyak 500 cc dengan tujuan
untuk mencegah hipotensi dan bradikardi, meskipun masih belum didapati .
Operasi berlangsung selama 1 jam dengan perdarahan sebanyak 500 cc ( 10% EBV).
Durante operasi pada pasien diberikan terapi cairan kristaloid 1200 cc, koloid (gelofusal) 500
cc dan darah PRC 400 cc.
Pada pasien kebutuhan cairan maintenance sebanyak 432 cc sudah terpenuhi dengan
pemberian kristaloid. Berdasarkan teori, perdarahan 10% dari perkiraan volume darah tidak
perlu diberikan transfusi darah, apalagi Hb pasien yang masih dalam batas toleransi (10,6
g/dL). Sedangkan replacement pada pasien dengan perdarahan 500 cc, diberikan gelofusal
500 cc dan darah PRC 400 cc. Sehingga terjadi kelebihan cairan koloid
(gelofusal)/hipervolemia sebanyak 400 cc.
Hipervolemia terjadi akibat overload cairan/adanya gangguan mekanisme homeostatis
pada proses regulasi keseimbangan cairan. Gejala dan tandanya antara lain: edema, distensi
vena jugularis, peningkatan tekanan darah, denyut nadi kuat, edema paru akut (jika berat)
ditunjukkan dengan adanya dispnea, takipnea, ronki basah di seluruh lapangan paru,
penambahan berat badan secara cepat (2% pada kelebihan ringan, 5% pada kelebihan sedang,
8% pada kelebihan berat). Selama fungsi ginjal masih normal, pemberian diuretic masih
bermanfaat untuk mengeluarkan kelebihan cairan di dalam tubuh. Namun, dalam hal ini tidak
dilakukan pada pasien.

29
Pemberian transfusi PRC diberikan dengan alasan adanya kecurigaan pembedahan
bisa saja memotong pembuluh darah besar (arteri-vena) femoralis sehingga dilakukan
tindakan transfusi untuk mempertahankan volume darah dan Hb, namun sampai pembedahan
selesai tidak ditemukan adanya kerusakan di pembuluh darah besar femur. Setelah operasi
selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan dan dipindahkan ke ruang perawatan ortopedi.
Kebutuhan cairan dan nutrisi post operasi tidak dihitung karena kebutuhan dapat terpenuhi
dari makanan dan minuman segera setelah pasien dirawat di ruang orthopedi atau setelah
pengaruh anestesi menghilang.

30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
 Pasien laki-laki usia 20 tahun dilakukan tindakan fiksasi internal pada open fraktur 1/3
midle femur dextra grade IIIA dengan teknik anestesi blok spinal (SAB).
 Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 1 berdasarkan kondisi fisik,Hb : 11,6 d/L
dan tidak adanya komplikasi dan penyulit.
 Selama durante operasi, tidak terjadi perdarahan hebat sehingga diberikan cairan RL
gelofusal, namun diberiikan juga PRC sebanyak 400cc karena curiga ada kerusakan
pada pembuluh darah femur.
 Pada pasien terjadi hipervolemia/kelebihan terapi cairan koloid (gelofusal) namun
tidak berat.

5.2 Saran
Anestesi spinal membutuhkan pemilihan kasus yang selektif, dengan memperhatikan
indikasi dan kontraindikasinya.Terdapat pula komplikasi yang bisa terjadi selama operasi
berlangsung. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring berkala dan penatalaksanaan yang
tepat untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
Pada manajemen terapi cairan seharusnya dilakukan observasi ketat untuk memantau
dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya overload cairan.
Jika terjadi kelebihan cairan/hipervolemi, perlu diberikan terapi lasix (diuretik) untuk
membantu meningkatkan pengeluaran cairan berlebih dalam tubuh.
Tampaknya laporan kasus ini masih terdapat kekurangan dari segi penanganan terapi
cairan, sehingga diharapkan pada laporan kasus berikutnya agar lebih diperhatikan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Longnecker, David, ... [et al.]. 2007. Anesthesiology. Mc Graw Hill Medical. Chapter
64
2. Latief, Said dkk. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
3. Mangku, Gde, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT
Indeks
4. Muhiman, Muhardi. 2004. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
5. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit .
Jakarta : EGC
6. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakrta : Media
Aesculapius
7. Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing
8. Sjamsuhidajat, R &Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC
9. Lammers, R. 2009.Principle of Wound Management.Dalam: J.Robert & J.Hedges.
Clinical Procedures in Emergency Medicine.5th ed. Philadelpia: Saunders Elsevier.
10. Leksana, E. 2007.Syok. Dalam: Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam
Basa, Shock, dan Terapi Cairan. Semarang: SMF Anestesi da Terapi Intensif RSUD
Kariadi.
11. Pujo, J., Jatmiko, H. dan Arifin, J. 2013. Syok dan Pengelolaan Hemodinamik. Dalam:
Soenarjo dan Jatmiko. Anestesiologi.Edisi 2. Semarang: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UNDIP.
12. Udeani, J. 2013. Medscape Reference: Hemmorhagic Shock. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview#a0104
13. Anonim. 2009. Pengelolaan Sirkulasi (Circulation Management). Diakses dari
http://dokter-medis.blogspot.com

32

Anda mungkin juga menyukai