Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap tindakan anestesi harus memperhatikan kondisi pasien karena tindakan anestesi
ini bisa menimbulkan efek pada semua sistem pada tubuh, antara lain terjadinya perubahan
hemodinamik pada tubuh pasien. Salah satu teknik anestesi regional yang sering digunakan
ialah anestesi spinal.
Sebuah anestesi umum dapat digunakan sebagai anestesi pilihan untuk semua prosedur
ortopedi. Namun, teknik anestesi regional dapat digunakan untuk menyediakan anestesi dan
analgesia pasca operasi untuk berbagai prosedur ortopedi, termasuk arthroscopic, fraktur, dan
operasi penggantian sendi. Untuk operasi ekstremitas bawah, teknik neuroaxial pusat dapat
digunakan selain untuk blok saraf perifer.
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi
epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di
bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi
abdomen bagian bawah.
Fraktur femur merupakan fraktur yang terjadi pada tulang femur.Mekanisme trauma
yang berkaitan dengan terjadinya fraktur pada femur antara lain : jenis Femoral Neck fraktur
karena kecelakaan lalu lintas, jatuh pada tempat yang tidak tinggi, terpeleset di kamar mandi
dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Femoral Trochanteric fraktur karena trauma
langsung atau trauma yang bersifat memuntir; Femoral Shaft fraktur terjadi apabila pasien
jatuh dalam posisi kaki melekat pada dasar disertai putaran yang diteruskan ke femur.Fraktur
bisa bersifat transversal atau oblik karena trauma langsung atau angulasi.Fraktur patologis
biasanya terjadi akibat metastasis tumor ganas.Bisa disertai perdarahan masif sehingga
berakibat syok.
Terapi operatif pada fraktur dapat dilakukan dengan reposisi anatomis diikuti dengan
fiksasi interna (open reduction and internal fixation), artoplasti eksisional, eksisi fragmen, dan
pemasangan endoprostesis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi

Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit.
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang
meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien dioperasi atau
tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian
terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum.Pada
anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, sedangkan pada anestesi
umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.

2.1.1 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Komponen trias anestesi
ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Cara pemberian anestesi umum:
1. Parenteral (intramuskular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral
dikombinasikan dengan cara lain.
2. Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara
pernapasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan
konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.Tekanan
parsial dalam jaringan otak akan menentukan kekuatan daya anestesi, zat
anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat
memberi anestesi yang adekuat. Teknik anestesi inhalasi terdiri atas inhalasi
sungkup muka yakni dengan pemakaian salah satu kombinasi obat anestesi (N 2O +
2
Halotan/isofluran/desfluran/enfluran/sevofluran) secara inhalasi melalui
sungkupmuka dengan pola napas spontan; inhalasi sungkup laring yakni dengan
pemakaian salah satu kombinasi obat anestesi secara inhalasi melalui sungkup
laring dengan pola napas spontan; inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan
yakni dengan pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan anestesi secara inhalasi
melalui PET dan dengan pola napas spontan; inhalasi pipa endotrakea (PET) napas
kendali yakni dengan pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan anestesi secara
inhalasi melalui PET dan pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi,
selanjutnya dilakukan napas kendali.

2.1.2 Anestesi/Analgesi Lokal


Anestesi/analgesi lokal adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat denganteknik:
1. Anestesi permukaan, yaitu pengolesan atau penyemprotan analgetik lokal di atas
selaput mukosa seperti mata, hidung, atau faring.
2. Anestesi infiltrasi, yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di
sekitar tempat lesi, luka, atau insisi. Cara infiltrasi yang sering digunakan adalah
blokade lingkar dan obat disuntikkan intradermal atau subkutan.
3. Anestesi blok, yaitu penyuntikan analgetika lokal langsung ke saraf utama atau
pleksus saraf. Hal ini berviriasi dari blokade pada saraf tunggal, misalnya saraf
oksipital dan pleksus brakialis, anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi
kaudal. Pada anestesispinal, analgetik lokal disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid
di antara konus medularis dan bagian akhir ruang subaraknoid. Anestesi epidural
diperoleh dengan menyuntikkan zat anestetik lokal ke dalam ruang epidural. Pada
anestesi kaudal, zat analgetik lokal disuntikkan di ruang kaudal melalui hiatus
sakralis.
4. Analgesi regional intravena, yaitu penyuntikan larutan anagetik lokal intravena.
Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik
dengan turniket pneumatik.

2.2 Anestesi Regional

3
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu,
yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.Fungsi motorik
dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, penderita tetap sadar.

Pembagian anestesi atau analgesia regional adalah

Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.

Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena, dan lain-lainnya.

1. Persiapan preoperatif

Kunjungan preoperatif dilakukan untuk menilai keadaan umum pasien dan


menjelaskan prosedur yang akan dilakukan.

Penderita untuk operasi elektif dipuasakan 6 jam.

Premedikasi:

Berguna untuk menenangkan pasien, misalnya pethidin 1 mg/kg BB, atau valium 0,1 -
0,2 mg/kg IM. Premedikasi dapat juga diberikan secara oral misalnya valium tablet 5-
10 mg.

2. Pengawasan selama analgesia regional

Pengawasan fungsi vital pasien (tensi, nadi diukur berkala).

Perhatikan tempat-tempat yang tertekan (pressure points), harus diberi alas yang
lunak.

Jarum sayap (wing needle) atau sebaikrtya infus harus selalu dipasang untuk memberi
obat darurat atau cairan secara cepat.

3. Teknik Anestesi Spinal/ Epidural


4
Persiapan
Sebelum anestesia spinal/epidural dimulai, pasien harus siapkan seperti persiapan bila
akan melakukan anestesi umum. Hal ini bertujuan sebagai antisipasi perubahan
mendadak tekanan darah, laju nadi, atau masalah oksigenasi. Harus ada akses
intravena yang adekuat dan perlengkapan monitor pasien. Monitoring suhu badan
sebaiknya disiapkan, karena pasien dapat terserang hipotermia selama spinal atau
epidural, terutama pada operasi yang lama. Mesin anestesi sungkup muka, sumber O 2,
dan suction harus tersedia dan siap pakai. Obat-obatan sedasi, induksi, emergensi, dan
pelumpuh otot harus tetap tersedia meskipun tidak langsung di dalam spuit. Alat-alat
manajemen jalan nafas seperti pipa endotrakea, laringoskop, dan pipa orofaringeal
harus juga tersedia.

Posisi Pasien
Ada tiga posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anestetik
lokal pada anestesia spinal/epidural ini yaitu : lateral decubitus, duduk dan tengkurap.
Pemilihan masing-masing posisi ini tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.
Pengaturan posisi pasien ini cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan
anestesai spinal ini.
- Posisi Lateral Dekubitus
Kebanyakan ahli anestesi sering memilih posisi ini. Penderita tidur miring di atas
meja operasi dengan membelakangi ahli anestesiologi. Pinggul dan lutut
difleksikan mendekat ke arah lutut. Posisi ini digunakan untuk kasus-kasus cedera
atau fraktur pada pinggul dan kaki dimana penderita tidak dapat bangun untuk
duduk.
- Posisi Duduk
Anatomi tulang belakang kadang-kadang lebih mudah dipalpasi bila dilakukan
dengan posisi ini dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus. Posisi ini baik
dilakukan pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk operasi lumbal
bawah dan sakral. Pada anestesia spinal, pasien-pasien tersebut sebaiknya
dibiarkan dalam posisi duduk dulu sesudah penyuntikan selama kurang lebih 5
menit. Namun bila posisi ini dipilih atas alasan obesitas atau skoliosis sementara
kita menginginkan level blok tinggi, maka setelah penyuntikan pasien harus
segera kita telentangkan (supine position). Hal ini tidak berlaku pada anestesika

5
epidural karena efek gravitasi akan dilawan oleh tekanan masuknya anestetika
lokal melalui kateter. Penderita dengan bantuan seorang asisten dan memeluk
bantal, diposisikan duduk dengan punggung belakang difleksikan maksimal dan
kedua kaki menggantung di atas lantai atau di atas bangku.
- Posisi Telungkup (prone position)
Pada teknik anestesia spinal, posisi ini dapat dilakukan untuk prosedur
pembedahan pada bagian anorektal. Pasien diposisikan dalam posisi jack-knife,
dan selanjutnya lumbal pungsi dapat dilakukan. Teknik ini menggunakan larutan
anestetika lokal yang bersifat hipobarik, dan keuntungannya penderita setelah
tindakan lumbal pungsi tidak perlu diubah lagi posisinya. Ini akan menghasilkan
anestesia daerah sakral.

2.2.1 Anestesi Spinal

Anestesi spinal (subarachnoid) adalah anestesi regional dengan


tindakanpenyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi
spinal/subarachnoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal.

Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis yang digunakan,
efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang
belakang, opcrasi tulang helakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.

Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan untuk pembedahan, daerah tubuh
yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papilla mammae kebawah).
Indikasi anestesi spinal antara lain:
Bedah ekstremitas bawah.
Bedah panggul
Tindakan sekitar rectum-perineum
Bedah obstetri-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan
anestesia umum ringan
6
Kontra Indikasi
Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni relative dan absolute.
Kontra indikasi absolute Kontra indikasi relative
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi pada tempat suntikan 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok 3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat 4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
terapiantikoagulan
6. Penyakit jantung
5. Tekanan intracranial meninggi
7. Hipovolemia ringan
6. Fasilitas resusitasi minim
8. Nyeri punggung kronis
7. Kurang pengalaman atau / tanpa
didampingi konsultan anesthesia
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi
pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.Perhatikan juga adanya skoliosis
atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian
hematokrit, masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien.Dapat dipertimbangkan pemberian
obat premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar.Namun.premedikasi
tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat.
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi
yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.Jarum spinal memiliki permukaan
yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sarnpai dengan 30-G. Obat
anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain.Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
daerah yang teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat
jenis cairan serebrospinal (hiperbarik),akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan
ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37C cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1.008.
7
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan duk.
Tabel 2.1. Dosis dan lama kerja obat anestetik spinal
Lama kerja/durasi
Dosis (mg)
(menit)
Perineum,
Obat Abdomen Blok
tungkai
bawah setinggi T4
bawah
Prokain 75 125 200 60-90
Tetrakain 6-8 8-14 14-20 180-600
Lidokain 25 50-75 75-100 90-200\
Bupivakain 4-6 8-12 12-20 180-600
Jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bambu runcing (jenis Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti
ujung pensil (Whiteacre).Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan
nyeri kepala pascapenyuntikan spinal.

Teknik
Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4 ata L4-L5
Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis
Pungsi lumbal hanya antara L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal
Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal nomor
22 (atau lebih halus nomor 23, 25, 26, 27, atau 29), pada bidang median dengan
arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar
vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-
turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater-subarachnoid.
8
Setelah stilet dicabut cairan likuor serebrospinalis akan menetes keluar,
selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid tersebut.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal


Ada banyak faktor yang memengaruhi distribusi anestesia lokal di dalam cairan
serebrospinal. Faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran obat anestesia lokal dalam
cairan serebrospinal:

1. Volume obat analgetik lokal : makin besar, makin tinggi daerah analgesi
2. Konsentrasi obat : makin pekat, makin tinggi batas daerah analgetik
3. Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan 3 detik untuk 1 ml larutan
4. Manuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinalis dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi
5. Tempat pungsi : pengaruhnya besar, pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat lebih mudah
menyebar ke kranial.
6. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik, atau hipobarik
7. Tekanan abdominal yang tinggi : dengan dosis yang sama didapatkan batas
analgesia yang lebih tinggi.
8. Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis, makin besar
dosis yang diperlukan
9. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan anestetik
sudah menetap (tidak berubah) sehingga batas anelgesia tidak dapat diubah lagi
dengan mengubah posisi pasien.

Komplikasi Anestesi Spinal


Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi yang
terjadi kemudian (delayed). Komplikasi dini berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi
dan gastrointestinal.
- Komplikasi sirkulasi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan
infus cairan kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat sebanyak 10-15
ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan analgesia spinal. Bila
dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
9
vasopresor seperti efedrin intravena sebanyak 10 mg diulang tiap 3-4 menit
sampai tekanan darah yang dikehendaki (sebaiknya tidak penurunannya tidak
lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal).
Bradikardi dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang, atau karena blok
simpatis T1-4; dapat diatasi dengan pemberian sulfat atropin 1/8-1/4 mg
intravena.
- Komplikasi respirasi
1. Apnea, dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla
2. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
oksigen dan nafas buatan.
- Komplikasi gastrointestinal

Mual dan muntah, karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,


pemakaian obat narkotik refleks karena traksi pada traktus gastrointestinal.

Komplikasi yang terjadi kemudian (delayed) pasca anestesi spinal yakni:

- Nyeri tempat suntikan

- Nyeri punggung

- Pusing kepala pasca pungsi lumbal ("Post lumbal puncture headache")


merupakan nyeri kepala dengan ciri khas : terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur keposisi tegak/duduk. Mulai terasa 24-48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi (kurang dari 10% dengan jarum no.
22).

- Retensio urin

- Meningitis

2.3 Perdarahan Pada Fraktur Femur

10
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah akibat rusaknya pembuluh
darah.Perdarahan dapat terjadi di dalam tubuh (perdarahan internal), seperti rupture organ
ataupun pembuluh darah besar, ataupun di luar tubuh (perdarahan eksternal), seperti
perdarahan melalui vagina, mulut, rectum, atau melalui luka dari kulit.

Kehilangan darah adalah penyebab utama terjadinya syok pada pasien trauma.Syok
adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital tubuh.Apabila perdarahan telah mencapai 15 % dari total estimasi jumlah
darah tubuh, maka diperlukan penggantian cairan untuk mengembalikan kehilangan darah
yang keluar akibat perdarahan. Kehilangan darah melebihi 15% dari total estimasi jumlah
darah tubuh akan menyebabkan terjadinya hipoperfusi jaringan dan mengarah kepada
keadaan syok hemoragik.

Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur.
Perdarahan dari fraktur femur berkisar 1,5-2 liter. Penderita yang mengalami perdarahan,
menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa volume darah yang beredar dan berapakah sisa
eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

Patofisiologi
Saat terjadi perdarahan dibawah 10% dalam jumlah estimasi darah dalam tubuh,
mekanisme kompensasi tubuh akan mengatasi kekurangan volume cairan yang hilang, namun
secara klinis tidak terlihat nyata dikarenakan volume darah yang hilang tidak banyak. Saat
tubuh kehilangan darah labih dari 15% dari volume darah yang beredar, tubuh akan segera
memindahkan volume sirkulasinya dari organ non vital (organ-organ pencernaan, kulit, otot)
ke organ-organ vital (otak dan jantung) untuk menjamin perfusi yang cukup ke organ-organ
vital. Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat penurunan
volume darah yang menyebabkan penurunan venous return dan volume preloud jantung. Hal
ini dapat menyebabkan hipoperfusi ke seluruh jaringan tubuh apabila tidak dikompensasi
dengan baik. Perubahan ini akan mengaktivasi baroreseptor di Arcus aorta dan atrium.
Selanjutnya akan terjadi peningkatan aktivitas simpatis pada jantung sebagai akibat
mekanisme kompensasi dari penurunan preload, yaitu peningkatan denyut jantung,

11
vasokonstriksi perifer dan redistribusi aliran darah dari organ-organ non vital seperti kulit,
organ-organ pencernaan, dan ginjal.
Dalam saat yang bersamaan, terjadi pula respon neurohormonal sebagai mekanisme
konpensasi. Pelepasan hormone kortikotropin akan merangsang pelepasan glukokortikoid dan
beta-endorphin. Hipofisis pars posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di
tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, sebagai respon dari
penurunan mean arterial pressure (MAP) akibat penurunan jumlah darah dalam tubuh dan
meningkatkan pelepasan aldosteron yang berperan dalam reabsorbsi natrium dan air, sehingga
volume urin menurun. Hiperglikemi sering terjadi saat perdarahan akut, karena proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat. Hal ini disebabkan karena penurunan
perfusi dan nutrisi ke jaringan, serta pelepasan katekolamin yang dapat menstimulasi
glikogenolisis dan lipolisis, dan diperkirakan memberikan efek terhadap resistensi insulin
yang menyebabkan keadaan hiperglikemia pada perdarahan. Secara keseluruhan bagian tubuh
yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik untuk mengikuti kondisi tersebut. Pada
otak, terjadi proses autoregulasi yang bermakna, yaitu aliran darah ke otak dijaga tetap
konstan melalui serangkaian aktivitas di atas dalam menjaga MAP tetap stabil. Ginjal dapat
mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu singkat, serta pasokan aliran
darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi yang dicetuskan nervus
splanchnicus. Namun, proses kompensasi akan berlanjut pada fase dekompensata, yaitu saat
organ-organ vital seperti jantung dan otak mengalami kelemahan akibat mekanisme
kompensasi yang panjang. Maka pemberian resusitasi awal dan tepat waktu dapat mencegah
kerusakan organ tubuh yang irreversible akibat kompensasinya dalam pertahan tubuh.

Klasifikasi Derajat Perdarahan


Berdasarkan tanda gejala dan jumlah kehilangan darah, perdarahan di bagi menjadi 4
kelas.

Variabel Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan darah <750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml

<15% 15-30% 30-40% >40%

Sistolik (mmHg) >110 >100 >90 <90

Nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140

Nafas 16 16-20 21-26 >26

12
Mental

Gelisah Cemas Bingung Letargi

Tata Laksana Resusitasi Cairan


Pasang kateter intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium (croosmatch,
hemoglobin, hematokrit, thrombosit, elektrolit, kreatinin, analisis gas darah dan
pH,laktat,parameter koagulasi, transamine, albumin).Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau
ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%). Resusitasi cairan dilakukan dengan
perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 2-4 :1.
Bila kehilangan darah > 60 % maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma(setelah 1
jam pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama
terapi syok hipolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah.
Terapi cairan pada kasus Emergency, terlebih dahulu diperhatikan jeniskasusnya.
a Trauma hypovolemia karena perdarahan
b Non trauma hypovolemia karena perdarahan seperti KET, Solusio plasenta, plasenta
previa, hemorragic post partum.
Pada syok hipovolemia akibat perdarahan, Terapi cairan yang diberikan sebagai berikut :
Kristaloid (RL, NaCl 0.9%, RA) diberikan 2-4 kali jumlah perdarahan.
Koloid:gelatine diberikan 2 kali jumlah perdarahan, dextran, HES diberikan sesuai
dengan jumlah perdarahan (1 : 1).

Darah (WB, PRC) diberikan sesuai dengan jumlah perdarahan (1 : 1).

Penggantian volume intravaskular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan
suplai oksigen ke jaringan.Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam
jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi darah.

13
2.4 Terapi Cairan Durante Operasi

Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan mengenai kekurangan


cairan pra bedah, kebutuhan untuk pemeliharaan, bertambahnya insensible loss karena suhu
kamar yang tinggi, terjadinya translokasi cairan pada daerah operasi, dan terjadinya
perdarahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum,
ke luar tubuh).
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum,
ke luar tubuh. Banyaknya air yang hilangkarena translokasi selama pembedahan, tergantung
dari jenis operasinya:
1) Operasi dengan bedah minimal, kebutuhan pemeliharaan 4cc/kgBB/jam
2) Operasi dengan bedah sedang, kebutuhan pemeliharaan 6cc/kgBB/jam
3) Operasi dengan bedah besar, kebutuhan pemeliharaan 8cc/kgBB/jam
Pada prinsipnya kecepatan pemberian cairan selama pembedahan adalah dapat
menjamin tekanan darah stabil tanpa menggunakan obat vasokontriktor, dengan produksi urin
mencapai 0,5-1cc/kgBB/jam. Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfuse, untuk
perdarahan < 20% dari volume darah total pada dewasa cukup diganti dengan cairan
kristaloid, cairan koloid atau campuran keduanya. Tapi, bila perdarahan >20% dari volume
darah total, diberikan transfusi darah.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. R. Y
Umur : 20 tahun
Alamat : Manokwari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan :-
Suku/bangsa : Papua/Indonesia
Ruangan : Orthopedi

14
Tanggal masuk rumah sakit : 03 Agustus 2015
Tanggal operasi : 07 September 2015

3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Nyeri pada paha kanan sampai tungkai bawah

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari RSUD Manokwari dengan keluhan nyeri pada paha kanan
sampai tungkai bawah akibat KLL sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Pasien ditabrak
dari arah berlawanan saat mengendarai motor. Terdapat luka robek di betis kanan dan
lutut kanan. Pingsan (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), penurunan kesadaran (-).

Riwayat penyakit dahulu :


Hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), riwayat operasi (-), alergi obat (-)

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya

Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan merokok (+), minum alkohol disangkal, penggunaan obat-obatan penenang
ataupun narkotika disangkal.

Riwayat Makan
Pasien sudah berpuasa sejak pukul 24.00 WIT.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/80mmHg
Nadi : 100 x/m
Respirasi : 24 x/m
Suhu badan : 35,60C
15
Status gizi
TB : 170 cm
BB : 72 Kg

Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek pupil (+/+) isokor
Hidung : Tidak ada deformitas, epitaksis (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Paru : suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, supel, bisung usus (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 edema (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 19 Mei 2015
Hemoglobin 11,6 g/dl
Leukosit 5.170/mm3
Trombosit 104.000/mm3
CT 1000
BT 300

Status Anestesi
PS ASA :I
Hari/Tanggal : 07/09/2015
Ahli Anestesiologi : dr. DW, Sp. An,KIC
Ahli Bedah : dr. J, Sp. OT
Diagnosa Pra Bedah : Open fraktur 1/3 midle femur dextra grade IIIA
Diagnosa Pasca Bedah : Open fraktur 1/3 midle femur dextra grade IIIA
TTV : TD : 110/70 mmHg; N: 80 x/m; T : 36,70C
B1 : Airway bebas

16
Breathing RR : 20 x/m,gerak dada simetris, ikut gerak
napas, suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-), malampati score I
B2 : Perfusi : hangat, kering. Capillary Refill Time < 2 detik, BJ
: I-II regular, konjungtiva anemis (-/-), nadi : 80 x/m , TD:
110/70 mmHg
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks cahaya (+/
+), refleks kornea (+/+), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin pre op 500 cc, warna kuning
jernih
B5 : Perut datar, supel, mual (-), muntah (-), bising usus (+)
normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
B6 : Akral hangat (+), edema (+), fraktur regio femur (+)
Medikasi pra bedah :-
Jenis Pembedahan : ORIF
Lama Operasi : 09.55 10.35 WIT
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi Block
Anestesi dengan : Decain 0,5% 20 mg
Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk,
dilakukan aseptic di sekitar daerah tusukan yaitu di regio
vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi
Decain 0,5 % 20 mg) dengan jarum spinal No.27 pada
regio vertebra antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal
keluar (+) jernih, darah (-), dilakukan blok Th. IV.
Pernafasan : Spontan, O2 nasal
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan kiri, IV line abocath 18, cairan RL
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : TD : 120/64 mmHg; N : 76x/m; SB : 35,40C; RR : 20x/m
Pembedahan
Medikasi : Durante Operasi:
- Decain 0,5% (Bupivacaine HCl) 20 mg
- Ranitidine 50 mg
- Ondansentron 4 mg
- Ketorolac 30 mg

17
3.5 Observasi Durante Operasi
Observasi Tekanan Darah dan Nadi
160
140
120
100
80
60
40 Sistol
20
0 Diastol
Nadi

Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi


Balance Cairan
Waktu Input Output

Pre operasi RL : 500 cc Urin : 500 cc

- RL: 2 x 500 cc = 1000 cc - Urin : 600 cc


Durante - Gelofusal: 500 cc - Perdarahan : 500 cc
- NaCl : 2x 100 cc = 200 cc - Total : 1100 cc
operasi - Transfusi :2 bag 200 cc = 400 cc
- Total : 2100 cc

3.6 Post Operasi


3.6.1 Stabilisasi Pasien
Pasien distabilkan di RR. Untuk menentukan kapan pasien dapat dipindahkan ke ruang
perawatan, digunakan Skor Aldrete. Pada pasien didapatkan:
Aktivitas : dapat mengangkat kedua ekstremitas (skor 1)
Respirasi : dapat bernapas dalam dan batuk (skor 2)
Sirkulasi : tekanan darah 10 mmHg dari tekanan darah pre-anestesi (skor 2)
Kesadaran : compos mentis (skor 2)
Saturasi oksigen : warna kulit pucat (1)
Skor Aldrete 8, pasien dipindahkan ke ruang perawatan ortopedi.

BAB IV

18
PEMBAHASAN

4.1. Pre Operasi


Pasien dianjurkan untuk operasi atas indikasi open fraktur 1/3 midle femur dextra grade
IIIA. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaam penunjang, pasien ini tergolong
dalam PS ASA 1, yakni penderita sehat secara fisik maupun mental (dari hasil laboratorium
didapatkan Hb: 11,6 g/dL).
Pada kasus dilakukan tindakan debridemen luka dan reposisi anatomis dengan fiksasi
interna (open reduction and internal fixation/ ORIF), yang sebelumnya dilakukan penilaian
status dan evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan
laboratorium) untuk mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang
mengancam serta mempersiapkan darah untuk transfusi demi mengantisipasi adanya
perdarahan pada pasien. Selain itu, pasien dipuasakan sejak pukul 24.00 WIT sebelum
dilakukan operasi.
Pasien pada kasus ini tidak diberikan obat-obat premedikasi dikarenakan pasien tidak
gelisah dan mampu bekerjasama dengan operator.

4.2. Durante Operasi


Anestesi spinal dipilih menjadi pilihan anestesi berdasarkan atas indikasi dari anestesi
spinal yakni untuk pembedahan daerah tubuh ekstremitas bawah. Anestesi spinal dilakukan
dengan blok saraf setinggi L3-L4 untuk menghindari cedera medula spinalis.
Bupivacaine HCl dipilih sebagai obat anastesi spinal dikarenakan lama kerjanya yang
panjang dengan teknik satu kali suntikan. Bupivacaine HCl merupakan anastesi local
golongan amida yang mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat sodium
channel, meningkatkan ambang eksitasi elektron, memperlambat rangsang saraf, dan
menurunkan kenaikan potensial aksi. Selain itu Bupivacaine HCl juga dapat ditoleransi pada
semua jaringan yang terkena dan dimetabolisme di hati serta di ekskresikan di urin. Pasien ini
aman menggunakan Bupivacaine HCl karena tidak ada ganguan pada fungsi hati dan
ginjalnya.
Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung.
Diberikan bersama dengan ondansentron. Ondansentron merupakan suatu antagonis reseptor
serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan

19
muntah pasca bedah. Ondansentron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan
muntah yang bisa menyebabkan aspirasi. Selain itu dapat mencegah mual muntah yang
merupakan salah satu komplikasi dari tindakan blok spinal.
Ketorolac tromethamine 30 mg digunakan sebagai analgetik yang digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan
kesadaran dan tidak menimbulkan ketagihan. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri. Ketorolac dapat mengatasi nyeri ringan sampai berat, memiliki efek analgetik yang
setara dengan 100 mg pethidin atau 12 mg morphin dan memiliki durasi kerja yang lebih lama
serta lebih aman dibandingkan analgetik opioid karena tidak ada efek samping berupa depresi
napas.
Pada fraktur femur, dikhawatirkan terjadi perdarahan hebat yang dapat menyebabkan
terjadinya syok hipovolemik.Diperlukan transfusi segera untuk mengganti jumlah darah yang
hilang. Pada pasien terjadi perdarahan 600 cc, dan dilakukan tranfusi darah golongan darah
AB dengan Packed Red Cell (PRC) sebanyak 2 bag (400cc).
Adapun kebutuhan cairan pada pasien dengan berat badan 72 kg, dapat dilakukan
terapi cairan dengan perhitungan sebagai berikut :
Pre Operasi Durante Operasi
- Maintenance - Maintenance
= Kebutuhan cairan perjam x BB Kebutuhan cairan durante operasi (operasi bedah sedang) selama 1 jam
= 2 cc/kgBB/jam x 72 kg = 6 cc/kgBB/jam x 72 kg x 1 jam
= 144 cc/jam = 432 cc
- Replacement:
- Replacement: Perdarahan : 600 cc
Urin: 500 cc EBV: 70 cc x 72 kg = 5040 cc (Hb: 11,6 g/dL)
EBL:
10% = 504 cc = Hb 10,6 g/dL
20% = 1008 cc = Hb 9,6 g/dL

Dapat diganti dengan cairan kristaloid 2 s/d 4 x EBL = 2 s/d 4 x 504


= 1008 cc s/d 2016 cc atau
Cairan koloid (gelatin) 2 x EBL = 2 x 504 = 1008 cc atau
transfusi darah sebanyak 6oo cc
Urin : 450 cc

- Cairan yang diberikan - Cairan yang diberikan


RL 500cc RL : 2 x 500 cc
Gelofusal : 500 cc
NaCl : 2 x 100 cc
Transfusi PRC : 400 cc
Total cairan
Kristaloid 1200 cc
Koloid 500 cc
Darah PRC 400 cc

20
Pre operasi pada pasien diberikan terapi cairan RL sebanyak 500 cc dengan tujuan
untuk mencegah hipotensi dan bradikardi.
Operasi berlangsung selama 1 jam dengan perdarahan sebanyak 600cc ( >10% EBV).
Durante operasi pada pasien diberikan terapi cairan kristaloid 1200 cc, koloid (gelofusal) 500
cc dan darah PRC 400 cc.
Pada pasien kebutuhan cairan maintenance sebanyak 1005 cc sudah terpenuhi dengan
pemberian kristaloid. Berdasarkan teori, perdarahan >20% dari perkiraan volume darah
diberikan transfusi darah.Sedangkan replacement pada pasien dengan perdarahan 1000
cc,diberikan gelofusal 500 cc dan darah WB 1000 cc. Sehingga terjadi kelebihan cairan koloid
(gelofusal)/hipervolemia sebanyak 500 cc.
Hipervolemia terjadi akibat overload cairan/adanya gangguan mekanisme homeostatis
pada proses regulasi keseimbangan cairan. Gejala dan tandanya antara lain: edema, distensi
vena jugularis, peningkatan tekanan darah, denyut nadi kuat, edema paru akut (jika berat)
ditunjukkan dengan adanya dispnea, takipnea, ronki basah di seluruh lapangan paru,
penambahan berat badan secara cepat (2% pada kelebihan ringan, 5% pada kelebihan sedang,
8% pada kelebihan berat). Selama fungsi ginjal masih normal, pemberian diuretic masih
bermanfaat untuk mengeluarkan kelebihan cairan di dalam tubuh.Namun, dalam hal ini tidak
dilakukan pada pasien.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan dan dipindahkan ke ruang
perawatan ortopedi.

21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pasien laki-laki usia32 tahun dilakukan tindakan debridement dan fiksasi/operasi
vulnus laceratum at anterior femur dextra + open fraktur 1/3 midle femur dextra grade
IIIA dengan teknik anestesi spinal.
Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 2berdasarkankondisi fisik,Hb: 8,2d/L.
Pada pasien terjadi hipervolemia/kelebihan terapi cairan koloid (gelofusal).

5.2 Saran
Anestesi spinal membutuhkan pemilihan kasus yang selektif, dengan memperhatikan
indikasi dan kontraindikasinya.Terdapat pula komplikasi yang bisa terjadi selama operasi
berlangsung. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring berkala dan penatalaksanaan yang
tepat untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
Pada manajemen terapi cairan seharusnya dilakukan observasi ketat untuk memantau
dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya overload cairan.
Jika terjadi kelebihan cairan/hipervolemi, perlu diberikan terapi lasix (diuretik) untuk
membantu meningkatkan pengeluaran cairan berlebih dalam tubuh.
Tampaknya laporan kasus ini masih terdapat kekurangan dari segi penanganan terapi
cairan, sehingga diharapkan pada laporan kasus berikutnya agar lebih diperhatikan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Longnecker, David, ... [et al.]. 2007. Anesthesiology. Mc Graw Hill Medical. Chapter 64
Latief, Said dkk. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
Mangku, Gde, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT Indeks
Muhiman, Muhardi. 2004. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Jakarta :
EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakrta : Media
Aesculapius
Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing
Sjamsuhidajat, R &Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC
Lammers, R. 2009.Principle of Wound Management.Dalam: J.Robert & J.Hedges. Clinical
Procedures in Emergency Medicine.5th ed. Philadelpia: Saunders Elsevier.
Leksana, E. 2007.Syok. Dalam: Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam Basa,
Shock, dan Terapi Cairan. Semarang: SMF Anestesi da Terapi Intensif RSUD Kariadi.
Pujo, J., Jatmiko, H. dan Arifin, J. 2013. Syok dan Pengelolaan Hemodinamik. Dalam:
Soenarjo dan Jatmiko. Anestesiologi.Edisi 2. Semarang: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UNDIP.
Udeani, J. 2013. Medscape Reference: Hemmorhagic Shock. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview#a0104
Anonim. 2009. Pengelolaan Sirkulasi (Circulation Management). Diakses dari http://dokter-
medis.blogspot.com

23

Anda mungkin juga menyukai