PENDAHULUAN
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.
Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah
menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif
tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal
dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta
dari bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus
berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi
monopolar dan bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan
tonsilektomi dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal
menggunakan elektrocauter.
1
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi,
mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif
terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan
pentotal5.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus
(e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem
pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.
Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus
intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya9.
3
Gambar 2. Sistem Respirasi
( dikutip : www.pearsoned.co.uk )
3. Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang
menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun
melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.
4. Laring
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan
ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku
pada dinding laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak
mengalami kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ
pengeluaran suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring. Bagian
4
laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder9. Fungsi
laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur
suara. Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan
mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhea. Ketika terjadi pengaliran udara
pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan
keluar melalui laring namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di
atas glottis selain berfungsi sebagai penutup laring juga sangat berperan pada waktu
memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang
berwarna putih yang mengelilingi lubang9.
B. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses
pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ
lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit4,10.
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh
dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.
1. Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering
menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati
dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama
terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.
Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolyticus group A 11.
2. Faktor predisposisi
5
- Alergi (iritasi kronis dari alergen)
3. Patofisiologi
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh kita
baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh
makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena
infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-
faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh semua kuman
kumannya, akibatnya kuman yang yang bersarang di tonsil akan menimbulkan
peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil
berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi 5,11.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses
radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih
kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun12.
4. Manifestasi klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa
tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2) gejala sistemis,
berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot
dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan
kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional 5,11.
6
5. Terapi
a. Medikanmentosa
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,
obat kumur, dan obat.
b. Operatif
C. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot 2.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis1,2.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan5,6.
7
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan.
Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas
keamanan yang luas.5
1. Macam-macam Teknik Anestesi 6,7
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang
dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari
minimal volume udara semenit.
Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga
kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan
dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan
memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari
dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara
yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
8
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:1,7
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
I. Anamnesis
9
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
10
pharingeal
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
Lab rutin :
4. EKG
5. AGD, elektrolit.
11
b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :1,2
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu
yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam
operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
c. Obat-obatan Premedikasi
a. Fentanil
12
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya
kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka
dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun
intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif3.
d. Induksi
a. Propofol
13
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik2,3.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik1.
14
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
e. Pemeliharaan
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% 2.3.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali1,2
15
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain adalah :
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat
berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium
dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung
dan ginjal yang berat1,2.
g. Intubasi Endotrakeal
16
a. Mempermudah pemberian anestesi.
h. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
a. Pra operasi
b. Selama operasi
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
17
c. Setelah operasi
i. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.
Apneu/tidak bernafas 0
18
semula 0
Pucat 1
Sianosis 0
1 Kesadaran Bangun 2
Tidak bergerak 0
19
Tabel 3. Robertson Scoring System
Tidur ringan 3
Tidak bergerak 0
Tanda Kriteria
20
Tabel 5. Bromage Scoring System
Kriteria Skor
21
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. HW
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 14 tahun
Berat Badan : 41 kg
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Netar Sentani
No. RM : 459269
Diagnosis : Tonsilitis Kronik
B. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 3 hari. Nyeri
telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut
orangtuanya, keluhan nyeri telan dirasakan setelah beberapa hari sebelumnya
sempat mengalami demam dan pilek hilang timbul. Saat ini pasien tidak
mengeluhkan pilek, hidung tersumbat, nyeri di kedua telinga, kurang
pendengaran.
3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa di PKM dengan
keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang /amandel. Dalam 1 bulan
terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan, susah
menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah mengkonsumsi
minuman dingin, jajan sembrangan dan makan makanan berminyak. Saat ini
pasien tidak mengalami batuk dan pilek. Pasien juga tidak mengeluhkan demam.
22
d. Riwayat penyAkit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 05 Februari 2018
GCS : E4V5M6 = 15
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 18 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi
merata dan tidak mudah dicabutm
f. Pemeriksaan Leher
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
23
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
2) Paru
b) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta
tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
c) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
d) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
e) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak
terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak
teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah Lengkap
24
Eritrosit 4,27x106 4,0-4,2x106/
Gol. Darah A
Kimia Klinik
Seroimmunologi
E. Status Anastesi
PS.ASA :I
Hari/tanggal : 06/02/2018
Ahli Anastesiologi : dr. MS. Sp.An. KIC
Ahli Bedah : dr. J, Sp.THT -KL
Diagnosa Pra Bedah : Tonsilitis Kronik
Diagnosa pasca Bedah : Tonsilitis Kronik
Makan terakhir : 6 jam yang lalu
TB : 150
25
BB : 41 kg
TTV : TD : 120/80 mmHg
N : 82x/m
RR :18
Suhu : 36,8
SpO2 : 100% Airway bebas, thoraks simetris ikutgerak
napas, RR : 18x/menit
Pupil : isokhor
B4 : Urogenitalia
terpasang terpasang kateter, produksi
(+), warna kuning normal
Ureum : 16,6
Creatinin : 0,63
B5 : Gastro intestinal
26
Jenis Pembedahan : Tonsilectomy
Indikasi Operasi : Obstruksi jalan nafas, Disfagia
Lama Operasi : 12 :15 WIT – 13:25 WIT
Jenis Anastesi : General Anastesi
Teknik Anastesi : Inhalasi Semi Closed dengan intubasi
Endotraceal Tube ukuran 5,0 mm
Pernafasan : Kontrol respirasi
Posisi : Supine
Infus : RL
Penyulit selama pembedahan :-
Keadaan akhir pembedahan : Baik
Tanda vital pada akhir pembedahan : TD : 110/70 N : 84x/m R: 21x/m
Premedikasi : Midozolam 5mg, dosis
Sulfas Atropin 0,25 mg
Fentanyl 50 mg
Medikasi : Atracurium 10 mg
Pethidin 80 mg
Propofol 80 mg
Ketorolac 30 mg
120
100
80
60
40 Sistol
Diastol
20
Nadi
0
27
G. Terapi Cairan
Perdarahan : ± 50 cc
Total 1500 cc 50 cc
H. Post Operasi
a. Stabilisasi Pasien
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang An. berusia 14 tahun dengan diagnose Tonsilitis Kronis, dari anamnesis
pemeriksaan fisik didapatkan pada Mulut tonsil terlihat membesar, Hiperemis dan adanya
Detritus , pada pemeriksaan penunjang dalam batas normal, pasien ini tergolong dalam PS
ASA 1, yakni penderita sehat secara fisik maupun mental (dari hasil laboratorium didapatkan
Hb: 11,6 g/dL), Hal ini sesuai dengan Teori PS ASA 1 adalah Pasien normal sehat, kelainan
bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris.
Pada kasus ini dilakukan evaluasi, penilaian status dan status generalis dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk mengoreksi
kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta mempersiapkan darah
untuk transfusi demi mengantisipasi adanya perdarahan pada pasien. Selain itu, pasien
dipuasakan sejak pukul 24.00 WIT sebelum dilakukan operasi. Hal ini sesuai dengan teori
sebab Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan
aspirasi dapat dihindarkan.
Pada pre operasi, tidak didapati adanya tanda-tanda dehidrasi pada pasien, hal ini
dikarenakan pada saat puasa pasien terpasang infus RL. Pasien pada kasus ini pasien
diberikan obat-obat premedikasi di karenakan pasien tampak gelisah. Hal ini sesuai dengan
teori karena pasien dengan gelisah sebelum di lakukan pembedahan harus di berikan obat
premedikasi biar pasien bisa lebih tenang dalam pembedahan.
Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini diperlukan
hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan menggunakan
premedikasi Midozolam, sulfas atropin dan fentanyl. Teknik anestesinya semi closed inhalasi
dengan pemasangan endotrakheal tube ukuran 5,0 mm, Selama operasi dipasang ET teknik
cepat. Hal ini sesuai dengan teori.
29
menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek
kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Pemberian Atracurium 10 mg
I.V. sebagai pelemas otot untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Maintenance
Dipakai O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta Sevofluran 1 vol %.
Terapi Cairan Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 41 kg )
Perdarahan : ± 50 cc
Total 1500 cc 50 cc
Pre Operatif
Kebutuhan : BB 41 Kg
Maintenance dan replacement (puasa ± 6 jam)
1-2 cc/KgBB/jam = 41-82 cc/jam = 246 – 492 cc/6 jam
Aktual cairan yang diberikan : RL 500 cc
Durante Operatif (lama operasi = 1 jam 10 menit )
Kebutuhan :
Replacement :
- EBV = 41-70cc/KgBB = 2870 cc
- EBL = 50/2870 x 100% cc = 0,174 %
- Dapat diganti dengan cairan kristaloid 1 s/d 2 x EBL = 1 s/d 2 x 500 =
500 cc s/d 1000 cc atau
Aktual yang diberikan : RL = 1000cc
Pre operasi pada pasien ini diberikan cairan kristaloid berupa RL sebanyak 500cc
dengan tujuan sebagai pengganti cairan selama pasien puasa dan juga untuk mencegah pasien
Hipotensi dan bradikardi, pada pasien kebutuhan cairan maintenance antara 246cc-
492cc/6jam. Di mana pada pasien ini tidak terpasang kateter.
Sedangkan pada durante operasi pada pasien diberikan terapi cairan kristaloid sebanyak
1000cc dengan menggunakan cairan RL pada pasien kebutuhan cairan sebanyak 500 cc –
30
1000 cc, pada pasien ini diberikan sudah diberikan cairan RL sebanyak 1000cc sudah
terpenuhi dimana terjadi perdarahan sekitar ±50cc.
Berdasarkan teori perdarahan 10% dari perkiraan volume darah tidak perlu diberikan
transfusi darah, apalagi Hb yang masih dalam batas toleransi (Hb = 11,0 g/dL).
31
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan General Anastesi pada operasi
tonsilektomi pada penderita perempuan, usia 14 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis
tonsilitis kronik yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no.5,0 reapirasi
kontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik
32
DAFTAR PUSTAKA
3. Drake A. Tonsillectomy.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta: Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/
diakses tanggal 24 April 2013.
33