Anda di halaman 1dari 7

Learning Objective

1. Etiologi RA?
2. DD pada Skenario?
3. Klasifikasi RA?
4. Penatalaksanaan dan Prinsip diagnosis?
5. Penyebab RA?
6. Penanganan Asma-kontrol?
Answer :

1. Etiologi RA?

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang
dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf

2. DD pada Skenario?

Rinitis alergika harus dibedakan dengan :


Rinitis vasomotor
Gangguan mukosa hidung sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor. Aktivitas
saraf parasimpatis menyebabkan pelebaran jaringan vascular sehingga terjadi sumbatan dan
peningkatan produksi mukus, sementara aktivitas saraf simpatis menyebabkan vasokontriksi yang
mengakibatkan patensi hidung dan menurunnya produksi mukus. 3,6,10,12
Rinitis Virus

1
Penyebabnya beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah Rhinovirus.Penyakit ini sangat
menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya
tahan tubuh. 3,6,

Sumber: Soepardi EA, Iskandar N, Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung-Tenggorokan
Kepala, Edisi5, FKUI, Jakarta, 2001 : Hal 88-94,101-106.

3. Klasifikasi RA?
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan,
Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al,
2001).

Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf

4. Penatalaksanaan dan Prinsip diagnosis?


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih
gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif
(Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,
2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-
gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan
mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer

2
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral
atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi
juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
4. Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan
atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat
antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

3
Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf

5. Penyebab RA?
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang
dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf

6. Penanganan Asma-kontrol?
Konsep Baru Pengobatan Awal – Penilaian Derajat
Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan asma tidak
terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem perawatan
kesehatan. Pemantauan dan penilaian secara terus menerus penting untuk keberhasilan
penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3 golongan umur yaitu
0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2 domain dalam evaluasi derajat
berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila diagnosis asma sudah ditegakkan, setiap
penderita dilakukan penilaian derajat berat asma, Derajat berat adalah intensitas intrinsik proses
penyakit yang diukur praterapi, dan dapat memberikan informasi kepada dokter untuk
mengembangkan rencana pengobatan awal. Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen
(tahap) pengobatan.
Penilaian Kontrol Asma: Memantau dan Mempertahankan dengan Pendekatan Bertahap
Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau kontrol). PFM digunakan
pada penderita ³ 6 tahun. Bila hasil spirometri menunjukkan kontrol buruk dibanding tanda
kontrol lainnya, pertimbangkan obstruksi yang menetap dan nilai ukuran lainnya. Bila obstruksi
yang menetap tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan step up, karena FEV1 yang
buruk merupakan prediktor eksaserbasi. Bila riwayat eksaserbasi menunjukkan kontrol buruk,
nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan stepup, penanganan eksaserbasi dan
menggunakan kortikosteroid/ KS oral terutama untuk penderita dengan riwayat eksaserbasi berat.
Bila kontrol asma tidak didapat dengan cara tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap
penggunaan obat, teknik inhalasi, kontrol lingkungan (pajanan baru) dan penanganan komorbid.
Bila asma sudah terkontrol,
pemantauan seterusnya adalah penting agar kontrol asma dapat dipertahankan serta menentukan
tahap dan dosis obat terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan stepping down) dianjurkan
untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma. Pendekatan pengobatan bertahap
menggabungkan
kelima komponen yang diperlukan dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat
ditentukan oleh ambang berat asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up)
bila diperlukan, dan diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena asma adalah penyakit
kronis, asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan pemberian obat pengontrol jangka lama
untuk menekan
inflamasi setiap hari. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi yang efektif untuk
semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten. Seleksi terapi alternatif berdasarkan atas

4
pertimbangan pengobatan yang efektif untuk penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan
riwayat penderita mengenai respons sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat
asma dapat berbeda di antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita ataupun
keluarga untuk menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan adalah
esensial, oleh karena asma dapat berbeda dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau
bila mungkin stepping down,
identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan kontrol asma.
Pengobatan Bertahap pada Berbagai Usia1,
Penilaian derajat berat dan kontrol dilakukan menurut 2 domain yang sama yaitu gangguan
(gejala, tidur, dan aktivitas) dan risiko eksaserbasi yang memerlukan steroid oral. Derajat berat
asma ditentukan oleh domain gangguan dan risiko terberat. Pendekatan stepwise adalah untuk
menolong, bukan untuk menggantikan. Ambang derajat berat ditentukan oleh domain gangguan
terberat (nilai dari 2-4 minggu yang akhir, dapat menggunakan PFM) dan risiko. Keputusan
berdasarkan data klinis untuk memenuhi kebutuhan penderita. Dewasa ini tidak cukup bukti
hubungan antara frekuensi eksaserbasi dengan berbagai ambang derajat berat asma. Bila
perbaikan tidak dicapai dalam 4-6 minggu walaupun teknik pengobatan dan ketaatan cukup baik,
pertimbangkan terapi penyesuaian atau alternatif. Penderita dengan dua atau lebih eksaserbasi,
memerlukan steroid oral dalam 6 bulan akhir atau empat episode mengi dalam satu tahun
terakhir, dianggap sebagai penderita asma persisten, meskipun tidak disertai ambang gangguan
yang konsisten dengan asma persisten. Sebelum step up, perlu dievaluasi kepatuhan penderita
minum obat, teknik penggunaan inhaler, kontrol lingkungan dan komorbiditas. Bila diberikan
pengobatan alternatif, hentikan penggunaannya sebelum step up.
Eksaserbasi Asma1,
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara
progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejalagejala tersebut.
Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya harus napas yang dapat diukur secara obyektif
(spirometri
atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma
terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun,
penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus
saluran
napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen penanganan
asma jangka panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat.
Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga
keuntungan pemberian
intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang
memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak
perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit
lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat
kortikosteroid inhaler.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan
harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk
mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri
saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan
riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan
pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan
laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan.
2. Penatalaksanaan Asma Kronik
Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma secara mandiri,
sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan
pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal

5
sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.
Ciri-ciri asma terkontrol:
1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian
3. Tanpa gejala asma malam
4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu
5. Fungsi paru normal atau hampir normal
6. Tanpa eksaserbasi
Ciri-ciri asma tidak terkontrol
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.
Pengendalian asma bertujuan:
1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma
2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma
3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma
4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar/kriteria
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma
6. Menurunnya angka kematian akibat asma
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan Komunikasi,
Informasi dan Edukasi yang meliputi:1,2,15
1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan asma.
2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam pengendalian asma.
3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma.
4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam ketrampilan penggunaan obat/alat inhalasi
Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai media
penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media elektronik lainnya, poster,
leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media cetak lainnya.

Sumber: Iris Rengganis.2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial, Volum: 58, Nomor:
11 Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
:

6
7

Anda mungkin juga menyukai