Anda di halaman 1dari 34

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Kongestif

2.1.1 Definisi

Gagal jantung kongestif merupakan gangguan multisitem yang

terjadi apabila jantung tidak lagi mampu menyemprotkan darah yang

mengalir ke dalamnya melalui sistem vena. Tidak termasuk dalam definisi

ini adalah kondisi yang gangguan curah jantungnya terjadi akibat

kekurangan darah atau proses lain yang mengganggu aliran balik darah ke

jantung (Robbins, 2013).Gagal jantung kongestif keadaan patofisiologis

berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa

darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Price, 2012).

Ciri penting dari definisi ini adalah:

1. Gagal didefinisikan relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh.

2. Penekanan arti gagal ditunjukkan pada fungsi pompa jantung secara

keseluruhan.

2.1.2 Epidemiologi

Gagal jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas di seluruh dunia. Menurut data World Health Organization

(WHO) 2013 ada 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan

kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan

meninggal setiap tahun dengan gangguan kadiovaskular. Lebih dari 80%

7
8

kematian akibat gangguan kardiovaskular terjadi di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah.Pada penelitian di Amerika, risiko

berkembangnya gagal jantung adalah 20% untuk usia ≥40 tahun, dengan

kejadian >650.000 kasus baru yang didiagnosis gagal jantung selama

beberapa dekade terakhir (WHO, 2013).

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama

pada beberapa negara industri dan negara berkembang seperti Indonesia.

Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13%

atau diperkirakan sekitar 229.696 orang. Sementara jumlah penderita gagal

jantung yang terdapat di Provinsi Lampung sebanyak 4.448 orang (0,08%)

(Kemenkes RI, 2013).Sedangkan jumlah penderita gagal jantung kongestif

di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Lampung dari Januari sampai Oktober

2016 yaitu sebanyak 2.720 orang.

2.1.3 Etiologi

Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis

penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang

menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang (1)

meningkatkan beban awal, (2) meningkatkan beban akhir, (3) menurunkan

kontraktilitas miokardium. Keadaan- keadaan yang meningkatkan beban

awal meliputi regurgitasi aorta, cacat septum ventrikel. Beban akhir

meningkat pada keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik.

Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan

kardiomiopati. Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan

gagal jantung, terdapat faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan


9

jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor yang mengganggu pengisian

ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis). Keadaan seperti

perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal

jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian

ventrikel dan ejeksi ventrikel (Price, 2012).

Tabel 2.1 Etiologi Gagal Jantung (ESC Guidelines, 2014).

KELAINAN MIOKARDIUM
Penyakit jantung
iskemik
Penyalahgunaan Alkohol, kokain,
amfetamin
Toksisitas Logam berat Besi, kobalt, timah
Obat-obatan Obat imunomudulasi,
obat anti depresi, anti
aritmia, NSAID
Radiasi
Terkait infeksi Bakteri, fungi, protozoa,
parasit, virus (HIV/AIDS)
Kerusakan akibat reaksi
Non infeksi Miokarditis giant
imun dan inflamasi
cell/limfositik, Penyakit
Jantung Rematik, SLE
Hormonal Diabetes melitus,
defisiensi growth
Kelainan metabolik hormone, corn’a disease,
akromegali, addison
disease
Nutrisi Malnutrisi, Obesitas
Genetik Kardiomiopati, distrofik muskular
GANGGUAN MEKANIK
Hipertensi
Gangguan struktural Didapat Kelainan katup aorta,
katup dan miokardium mitral, trkuspid, dan
pulmonal
Kongenital Atrial Ventricular Septum
Defect
Kelainan perikardium Perikardium Perikarditis, efusi
dan endomiokardium perikaridum
Endomiokardium Fibrosis endomiokardium,
fibroelastosis endokardial
↓ Resistensi vaskular Anemia berat, sepsis
Volume overload Gagal ginjal, kelebihan cairan (iatrogenik)
10

KELAINAN IRAMA JANTUNG


Aritmia Takiaritmia Aritmia Atrial,ventrikular,
Bradiaritmia Disfungsi sinus node,
gangguan konduksi

Pada penelitian Zahidullah khan, tahun (2010) didapatkan

penyebab penyakit gagal jantung terbanyak yaitu Ischemic heart disease

(IHD) 35%, hipertensi 27%, penyakit jantung rematik 13%, kardiomiopati

11%, dan penyakit jantung bawaan 6% (Zahidullah K, 2010).Sedikit

berbeda dengan penelitian M.Abdur, tahun 2015 penyebab penyakit gagal

jantung terbanyak yaitu Ischemic heart disease (IHD) 28%, Hipertensi

20%, Penyakit Jantung 16%, Corpulmonal 12%, Anemia 8%,

cardiomiopati 3% (M Rahim, 2015).

1. Ischemic Heart Disease (IHD) dan Gagal Jantung

Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik kronik tetapi

terkompensasi, selain tidak ada gejala klinis, kadang – kadang infark

yang terjadi dapat lebih mengganggu fungsi ventrikel dan memicu

gagal jantung (Isselbacher, dkk, 2014).

2. Hipertensi dan Gagal Jantung

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah, ditandai dengan tekanan

darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90

mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik

merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis

hipertensi (PERKI, 2015).

Hipertensi yang berlangsung lama akan meningkatkan beban kerja

jantung karena terjadi peningkatan resistensi terhadap ejeksi ventrikel


11

kiri. Untuk meningkatkan kekuatan kontraksinya, ventrikel kiri

mengalami hipertrofi sehingga kebutuhan jantung akan oksigen dan

beban kerja jantung meningkat. Dilatasi dan kegagalan jantung dapat

terjadi ketika keadaan hipertrofi tidak lagi mampu mempertahankan

curah jantung yang memadai. Selain itu peningkatan arteri yang cepat,

seperti yang terjadi pada beberapa hipertensi yang berasal dari ginjal

atau karena penghentian obat antihipertensi dapat menyebabkan

dekompensasi (Isselbacher, dkk, 2014).

3. Kardiomiopati dan Gagal Jantung

Penyakit mengenai serabut otot jantung dan gangguan ini terjadi dalam

tiga bentuk yaitu dilatasi, hipertrofik, dan restriktif (Kowalak, dkk,

2014). Kardiomiopati dilatasi terjadi karena kerusakan serabut otot

miokardium yang sangat luas. Akibatnya terjadi penurunan

kontraktilitas ventrikel kiri. Karena fungsi sistolik menurun maka

volume sekuncup, fraksi ejeksi, dan curah jantung juga menurun.

Karena volume diastolik akhir meninggi maka dapat terjadi kongesti

paru. Kenaikan volume diastolik akhir merupakan kompensasi untuk

mempertahankan volume sekuncup meskipun terjadi penurunan fraksi

ejeksi. Sistem saraf simpatik juga terstimulasi untuk meningkatkan

kontraktilitas dan frekuensi jantung. Jika mekanisme kompensasi tidak

lagi mampu untuk mempertahankan curah jantung, maka jantung mulai

mengalami kegagalan (Buss, dkk, 2014).


12

4. Penyakit Jantung Rematik dan Gagal Jantung

Demam reumatik akut dan sejumlah proses infeksi atau peradangan

lain yang mengenai miokard dapat mengganggu fungsi miokard pada

pasien dengan atau tanpa penyakit jantung sebelumnya (Isselbacher,

dkk, 2014). Demam rematik diakibatkan karena infeksi Streptococcus

Beta Haeomolyticus Group A pada saluran nafas atas. Demam

rematik dapat menyerang jantung. Penyakit jantung rematik dapat

meliputi pankarditis (miokarditis, perikarditis, dan endokarditis)

selama fase akut yang dini dan mengenai katup pada jantung pada fase

kronis. Pankarditis yang berat kadang-kadang menimbulkan gagal

jantung yang fatal selama fase akut restriktif (Kowalak, dkk, 2014).

4. Katup jantung

Pada penyakit jantung valvuler (penyakit katup jantung) dapat terjadi

tiga tipe gangguan yaitu stenosis atau penyempitan pada lubang katup,

penutupan katup yang tidak lengkap atau prolapsus katup restriktif

(Kowalak,2014). Penyakit katup jantung bisa menyumbat aliran darah

diantara ruang-ruang jantung atau diantara jantung dan arteri pertama.

Selain itu kebocoran katup jantung bisa menyebabkan darah mengalir

balik ke tempat asalnya. Keadaan ini akan melemahkan kontraksi otot

jantung (Joewono, 2012).

a. Insufisiensi katup mitral

Kelainan pada daun katup mitral, anulus mitralis, kora tendinae,

muskulus papilaris, atrium kiri atau ventrikel kiri dapat

menyebabkan insufisiensi mitral. Darah dari ventrikel kiri mengalir


13

balik ke dalam atrium kiri pada saat sistol sehingga rongga atrium

tersebut akan membesar untuk menampung aliran balik ini. Sebagai

akibatnya ventrikel kiri juga berdilatasi untuk menampung

peningkatan volume darah dari atrium dan mengimbangi curah

jantung yang berkurang. Hipertrofi ventrikel dan peningkatan

tekanan diastolik akhir akan mengakibatkan peningkatan tekanan

arteri pulmonalis yang pada akhirnya menimbulkan gagal jantung

kanan dan kiri (Kowalak, dkk, 2014).

b. Stenosis mitral

Penyempitan katup karena kelainan valvuler, fibrosis, atau

kalsifikasi akan menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke

ventrikel kiri. Sebagai akibatnya, tekanan serta volume atrium kiri

meningkat dan rongga jantung membesar. Resistensi yang lebih

besar terhadap aliran darah menyebabkan hipertensi pulmoner,

hipertrofi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan. Demikian pula

pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat akan menghasilkan curah

jantung yang rendah (Kowalak, dkk, 2014).

c. Insufisiensi aorta

Darah mengalir balik dari ventrikel kiri pada saat diastolik sehingga

terjadi kelebihan muatan cairan dalam rongga ventrikel tersebut,

yang akan berdilatasi dan mengalami hipertrofi volume yang

berlebihan akan menyebabkan kelebihan muatan cairan dalam atrium

kiri dan kemudian dalam sistem pulmoner, akhirnya akan terjadi

gagal jantung kiri dan edema paru (Kowalak, dkk, 2014).


14

d. Stenosis aorta

Peningkatan tekanan ventrikel kiri mencoba mengatasi tahanan pada

lubang katup yang menyempit, penambahan beban kerja akan

meningkatkan kebutuhan oksigen dan penurunan curah jantung

menyebabkan gangguan perfusi arteri koronaria, iskemia ventrikel

kiri serta gagal jantung kiri (Kowalak, dkk, 2014).

e. Stenosis pulmoner

Aliran keluar ventrikel kanan yang terhalang menyebabkan hipertrofi

ventrikel kanan yang akhirnya menimbulkan gagal jantung kanan

(Kowalak, dkk, 2014).

2.1.4. Faktor Risiko

2.1.4.1. Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi:

1. Usia.

Gagal Jantung prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia

100 per 1000 orang pada usia ≥ 65. Dengan semakin meningkatnya

angka harapan hidup, akan didapati prevalensi dari gagal jantung

kongestif yang meningkat. Penyebab utama peningkatan prevalensi

penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung pada usia lanjut

adalah perubahan struktur anatomik, fungsional, dan histopatologik

sistem kardiovaskuler dan terjadinya peningkatan prevalensi

hipertensi dan penyakit jantung koroner pada usia lanjut sebagai

penyebab gagal jantung (Maulana, 2008).

Perubahan tersebut meliputi:

a. Penurunan elastisitas dinding aorta.


15

b. Perubahan pada katup jantung dari berkurangnya jumlah inti sel,

penumpukan lipid, degenerasi kolagen, dan kalsifikasi jaringan

fibrosa, serta lemak pada katup yang menyebabkan katup menjadi

kaku dan terjadi penebalan pada katup.

c. Penurunan kemampuan mengembang dan relaksasi ventrikel kiri.

d. Penurunan aktivitas reseptor beta.

e. Penurunan kemampuan mitokondria untuk sintesis ATP sebagai

respon terhadap stres.

f. Penurunan pengaturan irama inheren jantung oleh nodus SA.

g. Disfungsi endotel.

h. Menurunnya respon baroreseptor.

2. Jenis kelamin

Dari survey registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di

RS, perempuan 4,7% dan laki-laki 5,1 % adalah berhubungan dengan

gagal jantung. Pria lebih sering terkena serangan jantung dibanding

wanita. Sebab wanita mempunyai hormon estrogen yang berperan

dalam menjaga tingkat kolesterol darah yaitu menjaga HDL tetap tinggi

dan LDL tetap rendah dan dapat mengurangi risiko bekuan darah.

Tetapi saat wanita menginjak menoupause risiko untuk terkena

serangan jantung sama dengan risiko pria (Maulana, 2008).

Selain itu pengaruh hormon pada pria dapat berkontribusi terhadap

serangan jantung dengan lima cara yaitu meningkatkan LDL dan

menurunkan HDL, meningkatkan timbunan lemak perut, meningkatkan

jumlah eritrosit dan mengaktifkan sistem penggumpalan darah, memicu


16

kejang otot yang dapat mempersempit arteri, dapat memperbesar sel

otot jantung (Mason, 2008).

Selain itu kebiasaan mengonsumsi alkohol dapat mengubah

keseimbangan cairan, inotropik negatif, dan dapat mempresipitasi

aritmia. Sedangkan merokok pada sebagian laki-laki dapat

meningkatkan risiko terkena penyakit jantung. Zat pada rokok dapat

menyebabkan kontriksi pada pembuluh darah (Maulana, 2008).

Zat nikotin dalam rokok dapat mengurangi oksigen didalam darah,

dan merokok dapat merusak saluran arteri koroner, memungkinkan

terjadinya penumpukan lemak kolesterol, dan dapat mengganggu

sirkulasi darah koroner dan menyebabkan sel hipoksia, asidosis, dan

berkurangnya energi akan mengganggu fungsi ventrikel kiri. Fungsi

ventrikel kiri menurun menyebabkan berkurangnya cardiac output,

sehingga mengurangi curah jantung. /Berkurangnya pengosongan

ventrikel saat sistol akan memperbesar volume ventrikel, hal ini

mengakibatkan peningkatan tekanan jantung kiri dan tekanan dalam

kapiler paru yang apabila berlanjut dapat menyebabkan gagal jantung

(Price, 2012).

3. Genetik

Varian dari gen peroxisome prolifeator alpha membuat seseorang

cenderung mengalami pembengkakan jantung. Pada penelitian

Framingham Heart Study memperkirakan bahwa keluarga yang

memilki riwayat jantung akan meningkatkan risiko sebanyak 25%

(Mason, 2008).
17

2.1.4.2. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi:

1. Kolesterol

Hiperkolesterolemia merupakan faktor terpenting dalam

patogenesis aterosklerois. Peningkatan kadar kolesterol menyebabkan

peningkatan shear stress pada endotel pembuluh darah

mengakibatkan pembuluh darah mudah terluka. Luka pada endotel

mempermudah masuknya ox-LDL yang lama kelamaan akan

membentuk foam cell akan membentuk fatty streak. Pada akhirnya

terbentuk plak aterosklerotik yang dapat menyebabkan penyempitan

lumen pembuluh darah. Penyempitan lumen pembuluh darah akan

mengakibatkan kadar oksigen yang berkurang. Terjadi metabolisme

anaerob, hal ini mengakibatkan penurunan fosfat berenergi.

Mengakibatkan sel hipoksia, asidosis, berkurangnya energi akan

mengganggu fungsi ventrikel kiri.

Kekuatan kontraksi miokardium yang terserang menurun,

serabutnya memendek, dan daya kecepatannya berkurang. Fungsi

ventrikel kiri yang menurun menyebabkan berkurangnya cardiac

output, sehingga mengurangi curah jantung, berkurangnya

pengosongan ventrikel saat sistol akan memperbesar volume

ventrikel, hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan jantung kiri

dan tekanan dalam kapiler paru yang apabila berlanjut dapat

menyebabkan gagal jantung (Price, 2012).


18

2. Anemia

Pada keadaan anemia, kebutuhan oksigen jaringan yang melakukan

metabolisme hanya dapat dipenuhi dengan meningkatkan curah

jantung. Meskipun peningkatan curah jantung seperti ini dapat

dipertahankan oleh jantung normal, tetapi jantung yang sakit,

kelebihan beban kecuali masih terkompensasi, tidak dapat

meningkatkan volume darah yang cukup untuk dialirkan ke perifer.

Pada keadaan ini kombinasi anemia dan penyakit jantung

terkompensasi sebelumnya dapat menyebabkan penghantaran oksigen

yang tidak memadai keperifer dan memicu gagal jantung (Isselbacher,

dkk, 2014).

3. Diabetes melitus

Pada penderita DM risiko gagal jantung kongestif meningkat 4 sampai

8 kali. Dalam beberapa tahun terkahir ini diketahui bahwa diabetes

dapat mempengarui otot jantung secara independen selain melalui

keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebakan

penyakit jantung iskemik (Isselbacher, dkk, 2014).

4. Beban fisis, makanan, cairan, emosional yang berlebihan

Penambahan asupan sodium, penghentian obat gagal jantung yang

tidak tepat, transfusi darah yang berlebihan dan kegiatan fisik yang

terlalu berat, krisis emosional dapat memicu gagal jantung pada pasien

dengan penyakit jantung yang sebelumnya masih dapat terkompensasi

(Isselbacher, dkk, 2014).


19

5. Disfungsi tiroid

Hormon tiroid dapat menyebabkan meningkatnya inotrofik positif

yang mengakibatkan meningkatnya curah jantung dan takikardi

(Sudoyo, 2012).

2.1.5. Klasifikasi

Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa

faktor. Berdasarkan tipe gangguannya gagal jantung diklasifikasikan

menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Gagal jantung sistolik

merupakan ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah

jantung menurun dan dapat menyebabkan kelemahan, kemampuan

aktivitas menurun, dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik

merupakan gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel (Price,

2012).

Berdasarkan letak jantung yang mengalami gagal, gagal jantung

kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung kanan dan kiri. Gagal

jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena

pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea. Gagal

jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti

hipertensi pulmonal/sekunder (Price, 2012).

Gagal jantung kongestif biasanya dimulai lebih dulu oleh gagal

jantung kiri dan secara lambat diikut gagal jantung kanan (Rilantono,

2012). Gagal jantung diklasifikasikan menurut kelainan struktural oleh

American Heart Asscociation (AHA) dan fungsional oleh New York

Association (NYHA) berdasarkan Tabel 2.2.


20

Tabel 2.2 Klasfikasi Gagal Jantung (Grey, 2013).

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan


struktural jantung kapasitasfungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
menjadi gagal jantung. Tidak melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
terdapat gangguan struktural atau fisik sehari-hari tidak menimbulkan
fungsional jantung, tidak terdapat kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas
tanda atau gejala
Kelas II
Stadium B Terdapat batasan aktivitas ringan.
Telah terbentuk penyakit struktur Tidak terdaat keluhan saat istirahat,
jantung yang berhubungan dengan namun aktivitas fisik sehari-hari
perkembangan gagal jantung, tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
terdapat tanda atau gejala sesak nafas

Stadium C Kelas III


Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktivitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
struktural jantung yang mendasari tetapi aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
Stadium D sesak
Penyakit jantung struktural lanjut
serta gejala gagal jantung yang Kelas IV
sangat bermakna saat istirahat Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
walaupun sudah mendapat terapi tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
medis maksimal istirahat. Keluhan meningkat saat
melakukan aktivitas

2.1.6. Patofisiologi

Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh maka jantung akan memakai

mekanisme kompensasi. Mekanisme kompensasi ini terdiri dari berbagai

macam dan terjadi secara bersamaan serta saling mempengaruhi, sehingga

secara klinis tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas. (Rilantono, 2012).

1. Mekanisme Frank Starling

Terjadi penambahan panjang serat atau serabut miokard yang

menyebabkan kontraksi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.


21

2. Hipertrofi Ventrikel

Dengan bertambahnya beban kerja jantung untuk memenuhi

kebutuhan akan merangsang terjadinya hipertrofi dan dilatasi.

Hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter serat otot jantung.

3. Aktifasi Neurohormonal

Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi

yang mencakup sistem saraf adrenergik, sistem renin angotensin,

peningkatan produksi hormon antidiuretik semua sebagai kompensasi

terhadap penurunan curah jantung. Semua mekanisme tersebut

berguna untuk meningkatkan tahanan/resistensi pembuluh darah,

sehingga dapat mengurangi setiap penurunan tekanan darah.

Selanjutnya hal ini dapat menyebabkan retensi garam dan air, yang

pada awalnya bermanfaat untuk meningkatkan volume intravaskuler,

dan beban awal venrikel kiri, sehingga memaksimalkan isi sekuncup

melalui mekanisme frank starling (Rilantono, 2012).

a. Sistem syaraf adrenergik

Penurunan curah jantung dapat terdeteksi oleh baroreseptor di

sinus karotis dan arcus aorta sebagai suatu penurunan perfusi.

Terjadi peningkatan kontraktilitas miokard, denyut jantung, dan

vasokontriksi pada vena dan arteri sistemik yang menyebabkan

terjadinya peningkatan curah jantung (Rilantono, 2012).

b. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Penurunan perfusi ke ginjal mengakibatkan stimulasi reseptor sel

jukstaglomerular ginjal, yang akan mensekresikan renin. Renin


22

bekerja mengubah angiotensinogen, menjadi angiotensin I. Lalu

diubah oleh Angiotensin Converting Enzim (ACE) menjadi

angiotensin II. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) yang

menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II plasma, dan

aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokontriktor kuat pada

arteriol eferen (dan sistemik) ginjal yang menstimulasi pelepasan

norepinefrin dari ujung saraf simpatik, peningkatan tahanan

perifer, memelihara tekanan darah, menghambat tonus vagal.

Meningkatkan volume intravaskuler dengan cara stimulus

hipothalamus untuk menimbulkan rasa haus, dan bekerja pada

korteks adrenal untuk merangsang pelepasan aldosteron yang

menyebabkan retensi natrium dan air serta ekskresi kalium dan

ginjal (Grey, 2013).

c. Hormon antidiuretik

Pada gagal jantung, sekresi hormon oleh kelenjar hipofisis

posterior meningkat mungkin diperantarai oleh stimulus

baroreseptor diarteri dan atrium kiri, serta oleh kadar angiotensin

II yang meningkat dalam sirkulasi. Hormon antidiuretik berperan

untuk meningkatkan volume intravaskuler, dengan cara

meningkatkan retensi cairan melalui nefron distal (Rilantono,

2012).

d. Peptida Natriuretik Atrium

Hormon yang disekresi oleh atrium sebagai respon terhadap peni

ngkatan tekana intrakardiak. Menyebabkan natriuresis dan


23

dilatasi. Peptida natriuretik bekerja sebagai antagonis fisiologis

terhadap efek angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi

aldosteron, dan reabsorbsi natrium ginjal. Mekanisme kompensasi

ini sebenarnya sudah selalu dipakai untuk mengatasi beban kerja

ataupun pada saat menderita sakit. Bila mekanisme ini telah

secara sempurna digunakan dan curah jantung tetap tidak cukup

maka timbulah gagal jantung. Jika jantung sudah mengalami

kerusakan yang berat, tidak ada kompensasi yang dapat membuat

pompa jantung menghasilkan curah jantung normal. Akibatnya

curah jantung tidak dapat naik cukup tinggi untuk membuat ginjal

menyekresikan cairan dalam jumlah yang normal (Rilantono,

2012). Oleh karena itu cairan akan terus retensi, sehingga pasien

semakin edema, dan keadaan ini akhirnya dapat menimbulkan

kematian. Keadaan tersebut dikenal dengan gagal jantung

dekompensasasi (Guyton,2013).

2.1.7. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis relatif dipengaruhi oleh tiga faktor:

1. Kerusakan jantung.

2. Kelebihan beban hemodinami.

3. Mekanisme kompensasi sekunder yang timbul saat gagal jantung

terjadi.

Pada awalnya mekanisme kompensasi bekerja efektif dalam

mempertahankan curah jantung dan gejala gagal jantung hanya timbul

saat aktivitas. Kemudian gejala timbul saat istirahat seiring dengan


24

perburukan kondisi. Manifestasi klinis juga dipengaruhi oleh tingkat

progresivitas penyakit dan apakah terdapat waktu untuk berkembangnya

mekanisme kompensasi. Sebagai contoh perkembangan regurgitasi mitral

yang mendadak ditoleransi dengan buruk dan menyebabkan gagal

jantung akut, sementara perkembangan regurgitasi mitral dengan derajat

yang sama secara perlahan-lahan dapat ditoleransi dengan beberapa

gejala (Grey, 2013).

Pada tahap awal gejala gagal jantung mungkin tidak spesifik

seperti: malaise, letargi, lelah, dispnu, intoleransi aktivitas. Namun begitu

keadaan memburuk, gambaran klinis dapat sangat jelas menandakan

penyakit jantung. Gagal jantung dapat mempengaruhi jantung kiri,

jantung kanan atau keduanya, namun pada praktik jantung kiri lebih

sering terkena (Grey, 2013).

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatnya

tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien menjadi sesak

nafas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi jika kelainannya

menyebabkan kelemahan ventrikel kanan, seperti pada hipertensi

pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi

kongesti vena sistemik yang menyebabkan peningkatan edema perifer,

hepatomegali, dan distensi vena jugularis (Grey 2013).

Pada gagal jantung tahap akhir dapat ditemukan pola pernafasan

hiperpnea dan apnea yang disebut sebagai pernafasan Cheyne-Stokes.

Beberapa faktor yang menyebabkan pernafasan ini adalah hiperventilasi

akibat kongesti paru dan hipoksia. Hiperventilasi menyebabkan kadar


25

CO2 arteri menjadi rendah dan memicu apnea sentral (Isselbacher, 2014).

Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur

pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang

jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta

derajat gangguan penampilan jantung (Isselbacher, 2014).

Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

1. Gejala paru berupa dyspnea merupakan gejala utama pada gagal

jantung. Jika gejala bertambah berat, akan timbul orthopnea yang

merupakan manifestasi terakhir dari gagal jantung, paroxysmal

nocturnal dyspnea, dan terdapat pernafasan Cheyne-Stokes yaitu

pernafasan yang periodik dengan nafas yang dalam dan panjang.

Selain itu batuk-batuk nonproduktif yang timbul pada waktu berbaring

(Isselbacher, 2014).

2. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah merupakan gejala yang tidak

spesifik tapi umum dari gejala jantung, berkaitan dengan

berkurangnya perfusi ke otot rangka. Mual muntah berkaitan dengan

kongesti hepar dan sistem vena porta. Dan sering sekali terjadi

distensi vena jugularis akibat meningkatnya tekanan vena sistemik.

Semakin berat gagal jantung semakin tinggi tekanan vena. Selain itu

pada pasien gagal jantung dapat ditemukan peningkatan tekanan

kapiler serta vena pulmonalis umumnya didapat ronki basah

merupakan gambaran khas pada gagal jantung. Dan didapatkan

oliguri, nokturi, mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema

perifer (Isselbacher, 2014).


26

3. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk

sampai delirium (Isselbacher, 2014).Gagal jantung dapat mempengaruhi

jantung kiri, jantung kanan atau keduanya, namun pada praktik jantung

kiri lebih sering terkena (Sudoyo, dkk, 2012).

2.1.8.Diagnosis

2.1.8.1 Kriteria Diagnosis

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria

Framingham.

Tabel 2.3. Kriteria Framingham diagnosis gagal jantung kongestif

(Sudoyo, dkk, 2012).

Kriteria Mayor Kriteria Minor


Dispnea nokturnal Edema ekstremitas
paroksismal atau ortopneu Dyspnea d effort
Distensi vena jugularis Batuk malam hari
Ronki basah tidak nyaring Hepatomegali
Kardiomegali Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
Irama derap S3 normal
Peningkatan tekanan vena Takikardia (≥ 120 kali/menit)
jugularis
Refluks hepatojugular

Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika terdapat dua kriteria minor dan

satu kriteria mayor (Sudoyo, dkk, 2012).


27

Tabel 2.4 Gambaran Klinis Gagal Jantung Kiri (Grey, 2013).

Gejala Tanda

1. Penurunan kapasitas aktivitas 1. Kulit lembab


2. Dispnea (mengi, ortophnea, 2. Tekanan darah (tinggi, rendah, atau
PND) normal)
3. Batuk (hemoptisis) 3. Denyut nadi (volume normal atau
4. Letargi dan kelelahan rendah)
5. Penurunan nafsu makan dan (alternans/takikardi/aritmia)
berat badan 4. Pergeseran apeks
5. Regurgitasi mitral fungsional
6. Krepitasi paru
7. (±efusi pleura)

Tabel 2.5 Gambaran Klinis Gagal Jantung Kanan (Grey, 2013).

Gejala Tanda

1. Pembengkakan pergelangan 1. Denyut nadi (aritmia takikardi)


kaki 2. Peningkatan JVP
2. Dispnea (namun bukan 3. Edema
ortophnea atau PND) 4. Hepatomegali dan asites
3. Penurunan kapasitas aktivitas 5. Gerakan bergelombang parasternal
4. Nyeri dada 6. S3 atau S4 RV
7. Efusi pleura

Penurunan curah jantung dan penurunan perfusi organ seperti otak, ginjal,

dan otot skelet, baik disebabkan oleh gagal jantung kiri atau gagal jantung

kanan berat, menyebabkan gejala umum seperti kebingungan mental, rasa

lelah, dan cepat capek, serta penurunan toleransi aktivitas (Grey, 2013).
28

2.1.8.2 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah

darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit,

kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan

urinalisis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang

dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum

diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan

penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan

terapi menggunakan diuretik dan atau ACEI (Angiotensin Converting

Enzym Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis

aldosterone (Grey, 2013).

a. Pemeriksaan kadar BNP

Terdapat bukti-bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma

peptida natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau

memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien-pasien yang

berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik

yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif

negatifyang tinggi. Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi

walaupun terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk.Kadar

peptida natriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan

dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang

panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung

menurunkan kadar peptida natriuretik. BNP termasuk golongan


29

natriuretic peptide bersamaan dengan Atriale Natriuretic Peptide

(ANP). BNP akan diproduksi jika terjadi regangan pada ventrikel kiri,

dan ANP dilepaskan dari atrium jantung sebagai respon terhadap

peregangan. Sehingga pada pasien gagal jantung biasanya kadar BNP

dan ANP biasanya akan meningkat (Grey, 2013).

b. Kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)

Dapat meningkat menunjukan adanya azotemia prerenal dan

perubahan laju filtrasi glomerulus (Price, 2012).

c. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)

Gagal jantung dengan bendungan pada hati atau hipoksia otot skelet

sering juga disertai dengan peningkatan SGOT terutama pada gagal

jantung akut (Price, 2012).

d. T3 dan T4

Dilakukan untuk pemeriksaan fungsi tiroid. Disfungsi tiroid baik

hipertiroidisme dapat menyebabkan gagal jantung. Hormon tiroid

dapat meningkatkan inotropik positif yang mengakibatkan

meningkatnya curah jantung dan takikardi (Sudoyo, dkk, 2012).

e. Elektrolit

Kebanyakan pasien dengan gagal jantung memiliki kadar serum

elektrolit yang normal (Price, 2012).

f. Pemeriksaan Kolesterol

Meningkatnya kadar kolesterol dalam darah meningkatkan risiko

serangan jantung 2,4 kali (Mason, 2008).


30

2. Rontgen Thorak

Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen

toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan

dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau

memperberat sesak nafas. Seringkali menunjukan kardiomegali, ditandai

dengan meningkatnya cardiothoracic ratio (diatas 0,5) pada posisi

posteroanterior, terutama bila gagal jantung sudah kronis. Ukuran

jantung normal tidak menyingkirkan diagnosis dan bisa didapatkan pada

gagal jantung kiri, seperti pada infark miokard, regurgitasi katup akut.

Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan

(Grey, 2013).

3. Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien

diduga gagal jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal

jantung.Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam

mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung

khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%). Tetapi

biasanya ditemukan beberapa abnormalitas pada sebagian pasien (80-

90%) menderita LVH, perubahan ST-T, hipertrofi ventrikel kanan dan

gangguan konduksi, aritmia (Grey, 2013).

4. Ekokardiografi

Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan

ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler,

colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Pemeriksaan ini


31

dilakukan untuk menilai ukuran ventrikel kiri, masa dan fungsinya, serta

untuk melihat pergerakan dinding jantung, Konfirmasi diagnosis gagal

jantung dan atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi

adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan

gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara

pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal

adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 -50%). Pada gagal jantung

akan terlihat dilatasi ventrikel kiri, atrium kiri, dan mungkin juga dilatasi

ventrikel kanan, kontraktilitas miokard tampak menurun dan fraksi ejeksi

pun berkurang. Ekokardiografi transesofagus direkomendasikan pada

pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat (obesitas, pasien

dengan ventilator), pasien dengan kelainan katup, pasien endokardits,

penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial

appendagepada pasien fibrilasi atrial atau digunakan untuk mendeteksi

disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas

miokard pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.

2.1.9. Penatalaksanaan

2.1.9.1.Tatalaksana Non Farmakologi

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam

keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak

bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas

hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat

didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga


32

stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi

dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.

a. Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas,mortalitas dan

kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 -60% pasien

yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.

b. Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat

kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan

dosis diuretik atas pertimbangan dokter.

c. Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 -2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada

pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi

cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang

tidak memberikan keuntungan klinis.

d. Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan

gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal

jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.

c. Kehilangan berat badan tanpa rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung

berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor

penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir

berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpadisertai


33

retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi

pasien harus dihitung dengan hati-hati.

d. Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung

kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik

dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (PERKI, 2015).

2.1.9.2.Tatalaksana Farmakologi

Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi

morbiditasdan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan

perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata

laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk mendeteksi dan

mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan

non kardiovaskular yang sering dijumpa (PERKI, 2015).

a. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)

ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik

dan fraksiejeksi ventrikel kiri ≤ 40%. ACEI memperbaiki fungsi

ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit

karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka

kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan

perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk

dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada

pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.

Indikasi pemberian yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan

atau tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI:Riwayat


34

angioedema, stenosis renal bilateral, Kadar kalium serum >5,0

mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL, stenosis aorta berat (PERKI,

2015).

b. Penyekat β

Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua

pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40

%. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,

mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,

dan meningkatkan kelangsungan hidup. Indikasi pemberian penyekat

β yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala ringan sampai berat

(kelas fungsional II -IV NYHA), ACEI/ARB (dan antagonis

aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis

(tidak ada perubahan dosis diuretik, tidakada kebutuhan inotropik

i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat. Kontraindikasi

pemberian penyekat β yaitu asma, blok AV (atrioventrikular) derajat

2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus

bradikardia (nadi < 50 x/menit). Efek tidak menguntungkan yang

dapat timbul akibat pemberian penyekat β yaitu hipotensi

simtomatik, perburukan gagal jantung, bradikardi (PERKI, 2015).

c. Antagonis Aldosteron

Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis

kecil harus di pertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi

≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III -IV

NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.


35

Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena

perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan

hidup.Indikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu fraksi ejeksi

ventrikel kiri ≤ 40 % , gejala sedang sampai berat (kelas fungsional

III-IV NYHA), dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi

tidak ACEI dan ARB). Kontraindikasi pemberian antagonis

aldosteron yaitu konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L, serum

kreatinin> 2,5 mg/dL, bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau

suplemen kalium, kombinasi ACEI dan ARB. Efek tidak

mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton

yaitu hiperkalemi, perburukan fungsi ginjal, nyeri dan atau

pembesaran payudara (PERKI, 2015).

d. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal

jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap

simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis

optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan

ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi

angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB

direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada

pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab

kardiovaskular.Indikasi pemberian ARB yaitu fraksi ejeksi ventrikel

kiri ≤ 40 %, sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala

ringan sampai berat (kelas fungsional II -IV NYHA) yang intoleran


36

ACE. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,

hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, tetapi

ARB tidak menyebabkan batuk. Kontraindikasi pemberian ARB

yaitu sama seperti ACEI, kecuali angioedema, pasien yang diterapi

ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan. Monitor fungsi ginjal

dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI

(PERKI, 2015).

e. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,

kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran

terhadap ACEI dan ARB.Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN

yaitu pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat

ditoleransi sebagai terapi tambahan, jika gejala pasien menetap

walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau

antagonis aldosteron. Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN

yaitu hipotensi simtomatik , sindroma lupus, gagal ginjal berat

(PERKI, 2015).

Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN

1. Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10mg, 2-3x/hari.

2. Naikan dosis secara titrasi.

3. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 -4 minggu.

4. Jangan naikandosis jika terjadi hipotensi simtomatik. Jika

toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine

50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4x/hari). Efek tidak mengutungkan


37

yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN yaitu

hipotensi simtomatik, nyeri sendi atau nyeri otot (PERKI, 2015).

f. Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat

digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,

walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada

pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40

% dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,

menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan

gagal jantung, tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka

kelangsungan hidup. Indikasi pemberian digoksin yaitu fibrilasi

atrial dengan irama ventrikular saat istirahat > 80 x/menit atau

saat aktifitas> 110 -120x/menit irama sinus, fraksi ejeksi ventrikel

kiri ≤ 40 %, gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV

NYHA). Kontraindikasi pemberian digoksin yaitu blok AV

derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap), sindroma pre-eksitasi,

riwayat intoleransi digoksin (PERKI, 2015).

Cara pemberian digoksin pada gagal jantung:

1. Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal

normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal

dosis diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari.

2. Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.

Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 -1,2 ng/mL.


38

3. Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah

(amiodaron, diltiazem, verapamil, kuinidin). Efek tidak

mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:

4. Blok sinoatrial dan blok AV.

5. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien

hipokalemia.

6. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan

gangguan melihat warna.

g. Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).

Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status

euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah

mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk

menghindari dehidrasi atau resistensi (PERKI, 2015).

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:

1. Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan

serum elektrolit.

2. Dianjurkan untuk memberikan diuretikpada saat perut kosong.

3. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop

dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis

lebih tinggi pada diuretik loop kombinasi keduanya dapat

diberikanuntuk mengatasi keadaan edema yang resisten.


39

2.2. Kerangka Teori

Penyakit Jantung kongestif

Etiologi

Kelainan/ Gangguan mekanik Kelainan irama


penyakit pada pada miokard jantung
miokardium

Penyakit Jantung Iskemik


Penyakit Jantung Rematik Hipertensi Takiaritmia
DM Kelainan valvular Bradiaritmia
Obesitas/Malnutrisi Perikarditis
Kardiomiopati

Faktor risiko
Usia Gagal Jantung Kongestif
Jenis kelamin

Keterangan:

Diteliti :

Gambar 2.1Kerangka Teori


(Price, 2012; ESC guidelines, 2014; Isselbacher, 2014; Kowalak., 2014;
Rahim MA, 2015; Buss JS, 2014)
40

2.3. Kerangka Konsep

Usia

Jenis kelamin Penyakit jantung kongestif

Etiologi

Gambar 2.3Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai