Anda di halaman 1dari 65

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka Kematian Ibu bersama dengan Angka Kematian Bayi

menjadi indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan.

Angka Kematian Ibu (AKI) pada periode 2014 sampai dengan 2015

mengalami penurunan. Penurunan AKI ini masih terlalu lambat untuk

mencapai Tujuan Target Millenium 5 (Millenium Development Goals

5/MDG 5) dalam rangka mengurangi tiga per empat jumlah perempuan

yang meninggal akibat hamil serta bersalin hingga nifas di dapat kan ibu

nifas yang mengalami ruptur perineum sebanyak 987.346 orang ibu nifas

atau (78, 34 %) (WHO, 2015).

Menurut data ASEAN pada tahun 2013 bahwa presentasi cakupan ibu

nifas tercatat 107.675 atau ( 92, 73 %) ibu nifas, Pada tahun 2014 terdapat

ibu nifas yang mengalami ruptur perineum sebanyak 95.985 atau ( 35, 67%

) ibu nifas, serta pada tahun 2015 ibu nifas yang mengalami ruptur perineum

sebanyak 77.231 atau (27, 12 %) ibu nifas (DepKes RI, 2015).

Menurut Data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun

2015 menyebutkan bahwa terdapat ibu nifas yang mengalami ruptur

perineum sebanyak 35.985 atau (15,60 %) ibu nifas, serta pada tahun 2016

ibu nifas yang mengalami ruptur perineum sebanyak 87.231 atau (37, 12 %)

ibu nifas ( SDKI, 2015). Menurut data Provinsi Kalimatan Selatan, Tahun

2015 di dapat kan ibu yang mengalami ruptur perineum sebanyak 11.321 atau

(4, 67 %) orang ibu nifas (Dinkes kalsel, 2015).


2

Menurut data Dinas Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2015, Dinas

Kesehatan daerah setempat berhasil mengumpulkan data ibu nifas diantara

nya adalah ibu nifas diantaranya ibu nifas fisiologis sebanyak 3000 orang,

serta ibu nifas dengan masalah antara lain yaitu ibu nifas yang mengalami

Atonia Uteri sebanyak 60 orang, 445 orang mengalami ruptur perineum, 455

orang mengalami Bendungan ASI, 412 orang ibu nifas mengalami

perdarahan, 150 orang mengalami sub involusi uteri, 100 orang ibu nifas

yang mengalami pusing, 25 ibu nifas yang mengalami peningkatan suhu

tubuh dan 26 ibu nifas yang mengalami mastitis. (Dinkes Tanah Bumbu,

2015).

Dari data Studi Pendahuluan yang dilakukan di BPM Malaika, J.,

Amd.keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe kabupaten Tanah Bumbu

dalam Periode Januari – Desember 2014 terdapat 103 ibu nifas dan yang

mengalami berpantang makanan sebanyak 89 orang, Periode Januari -

Desember 2015 terdapat 100 orang ibu nifas orang dan yang mengalami

makan berpantang sebanyak 92 orang. Pada Periode Januari – Mei 2016

didapatkan 60 orang ibu nifas dan 47 orang yang masih melakukan pantang

makanan di BPM Malaika, J., Amd.keb Desa Rejosari diketahui bahwa ada

peningkatan ibu nifas yang menerapkan pantang makanan pada tahun 2016

dengan ini peneliti menyimpulkan adanya masalah pantang makanan yang

terjadi di desa rejosari sehingga berdampak pada lama luka penyembuhan

perineum.

Pantang makanan dapat menjadi salah satu faktor nutrisi akan

mempengaruhi proses penyembuhan luka jalan lahir Serta status gizi akan
3

mempengaruhi penyembuhan luka. Upaya yang dapat dilakukan oleh peneliti

adalah memberikan penyuluhan terhadap ibu masa nifas bahwa sangat

diperlukan nutrisi yang bermutu tinggi dengan cukup kalori, protein,

cairan serta vitamin untuk mencegah anemia dan mempercepat

penyembuhan luka perineum, Pada sebagian pasien, penurunan kadar

protein akan mempengaruhi penyembuhan luka. Berdasarkan hasil

wawancara dengan bidan di BPM Malaika, J., Amd.keb fenomena

berpantang makanan masih banyak dilakukan oleh masyarakat pada masa

nifas.

Masyarakat masih percaya adanya hubungan antara makanan tertentu

dengan kesehataan ibu nifas serta bayi upaya yang dapat kita lakukan

adalah dngan cara memberikan penyuluhan terhadap ibu nifas agar mereka

mengerti dan tau pentingnya nutrisi bagi ibu nifas dan bayi serta untuk

pertumbuhan bayi melalui ASI yang di berikan ibu nifas, Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan

Perilaku Pantang Makanan dengan Lama Penyembuhan Luka Perineum pada

Ibu Nifas di BPM Malaika, J., Amd.keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe

kabupaten Tanah Bumbu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat di rumuskan masalah yaitu

“Adakah hubungan perilaku pantang makanan dengan lama

penyembuhan luka perineum pada ibu nifas Di BPM Malaika, J., Amd.keb
4

Desa Rejosari Kecamatan Mantewe kabupaten Tanah Bumbu Tahun

2017?”.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan perilaku pantang makanan dengan

lama penyembuhan luka perineum pada ibu nifas di BPM Malaika, J.,

Amd.keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe kabupaten Tanah Bumbu

Tahun 2017?”.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi Perilaku Pantang makanan yang dipantangkan pada

ibu nifas di BPM BPM Malaika, J., Amd.keb Desa Rejosari Kecamatan

Mantewe kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2017.

2. Mengidentifikasi lama penyembuhan luka perineum pada ibu nifas

yang melakukan pantang makanan di BPM Malaika, J., Amd.keb Desa

Rejosari Kecamatan Mantewe kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2017.

3. Menganalisis hubungan antara prilaku pantangan makanan dengan lama

penyembuhan luka perinenum di BPM Malaika, J., Amd.keb Desa

Rejosari Kecamatan Mantewe kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Institusi STIKES Darul Azhar Batulicin

Penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk memperluas wawasan

mahasiswa tentang kejadian penyembuhan luka perineum pada masa

nifas dan bahan referensi untuk melaksanakan penelitian selanjutanya.


5

2. Bagi Tenaga Kebidanan di Kabupaten Tanah Bumbu

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam perbaikan

mutu pelayanan kebidanan dalam memberikan pelayanan postnatal.

3. Bagi Peneliti

Diharapkan menambah pengetahuan dan mendapatkan pengalaman

nyata tentang makan berpantang yang berhubungan dengan penyembuhan

luka perineum

4. Bagi Pembaca

Diharapkan dapat dijadikan referensi dan literatur dalam pengerjaan

tugas yang berkaitan dengan makan berpantang yang berhubungan

dengan Penyembuhan Luka Perineum pada ibu nifas.

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan referensi yang peneliti lakukan sebelum menyusun

proposal ini, peneliti tidak menemukan pokok bahasan yang sama tentang

materi yang diteliti saat ini hanya menyajikan penelitian terkait yang

hampir mirip dengan penelitian ini sebagai bukti keaslian penelitian

nasional.
6

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Jurnal Nasional

Nama/ Tahun Judul Peneliti Jenis Perbedaan Persamaan Hasil

Penelitian

Yuliana, I (2008) Hubungan antara jenis penelitian Waktu dan Uji statistik Adanya Hubungan
makan adalah Survey tempat Menggunakan Antara makan
berpantang Analitik, penelitian dan chi square. Berpantang dengan
dengan rancangan populasi penyembuhan Luka
penyembuhan Penelitian Case Perineum
luka perineum Control
di Rumah
Bersalin Ratih
kabupaten
Kudus, Jawa
Tengah.

Deviana, I Hubungan antara sampel dalam Waktu , Sampel dalam Adanya Hubungan
(2010) makan penelitian ini Tempat, dan penelitian ini Antara makan
berpantang adalah ibu jumlah adalah semua Berpantang dengan
dengan nifas, dengan populasi, ibu nifas , Penyembuhan
penyembuhan teknik Penelitian metode Luka Perineum
luka perineum pengambilan menggunakan pengumpulan
pada ibu nifas di sampel adalah deskriptif data yaitu data
klinik Bersalin total sampling. kuantitatif, primer dan
Nadiah, Tehnik Sekunder
Bandung, Jawa pengambilan yang didapat
Barat. sampel dari hasil
Acedental kuesioner.
Sampling. Uji statistik
menggunakan
Chi Square
Dalam
penelitian ini
adalah semua
ibu nifas.

Santika, (2012) Hubungan antara Rancangan Waktu, Uji statistik Adanya Hubungan
makan Penelitian Tempat, menggunakan Antara makan
berpantang menggunakan jumlah Chi Square Berpantang dengan
dengan lama Case Control Populasi Variabel Penyembuhan
penyembuhan dengan Metode independen Luka Perineum
7

luka perineum pengumpulan makan


pada ibu nifas di data yaitu data berpantang
klinik Bersalin primer yang
Sally Kecamatan didapat dari
Medan hasil kuisioner.
Tembung.

Anisa, D Hubungan antara Desain Waktu dan Uji statistik Adanya Hubungan
(2015) makan penelitian Tempat menggunakan Antara makan
berpantang menggunakan Chi Square Berpantang dengan
dengan kejadian deskriptif Variabel Penyembuhan
anemia pada ibu Kualititatif independen Luka Perineum
nifas sampel adalah makan
Accedental berpantang
sampling
8

Tabel 1.2 Keaslian Penelitian Internasional

Name / Title Desain Difference Equation Result


year
Chania, S The refusal of Type of Time and The Study design Relationship
(2008) abstinence from analitical Place, using the and variable between food
food suggests research chi square independen suggest
healing changed. study statistical test abstinence from healing
design food. changed.
cross

Clara, S The relationship Type of Time and Place, The Study design
Relationship
(2013) between abstinence analitical using the chi and variable
between
from food with research square statistical independen
abstinence
wound healing study test abstinence from
from food
design food and
with wound
cross variable
healing
dependen wound
healing

Justin, H The refusal of Type of Time and Place. The Study design
refusal of
( 2014) abstinence food analitical and variable
abstinence
with wound healing research independen
food with
study abstinence from
wound healing
design food
cross
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Perilaku


2.2.1 Definisi Perilaku
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu

tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi

dan tujuan dan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan

berbagai faktor yang saling berinteraksi. Seiring dengan tidak disadari

bahwa interaksi itu sangat kompleks sehingga kadang- kadang kita tidak

sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu.

Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku

individu, selama ia mampu mengubah perilaku tersebut ( Admanegara,

2011 ).

a. Dilihat dari Segi Biologis:

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk

hidup) yang bersangkutan. Dari sudut pandang biologis, semua

makhluk hidup mulai dari tumbuhan, hewan, dan manusia berperilaku,

karena mempunyai aktivitas masing – masing. Perilaku manusia adalah

semua tindakan atau aktivitas manusia, baik yang diamati lansung

maupun yang tidak dapat diamati pihak luar.

b. Dilihat dari Segi Psikologis

Menurut Skiner (2011), perilaku adalah suatu respon atau

reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), pengertian

itu dikenal dengan teori S-O-R (stimulus-organisme-respons).skiner


10

membedakan respons tersebut menjadi 2 jenis, yaitu respondent

response (reflexive) dan operant response (instrumental response).

Secara lebih proposional perilaku dapat diartikan suatu respons

organisme atau seseoang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar

subjek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam, yakni:

a. Bentuk pasif

Bentuk Pasif adalah respon internal yaitu terjadi didalam diri

manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain.

Misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan.

b. Bentuk aktif

Bentuk Aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara

langsung. Perilaku sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata

makan disebut overt behavior.

Seorang ahli psikologis, merumuskan bahwa perilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari

luar). (Notoatmodjo, 2013). Dilihat dari bentuk respons terhadap

stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua:

a. Perilaku Tertutup (Covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup (covert), Misalnya: Seorang ibu hamil tahu

pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa

HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan

sebagainya.
11

b. Perilaku Terbuka (Overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan

nyata atau terbuka, misalnya seorang ibu memeriksakan

kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk di

periksa.

2.1.2 Perilaku Sehat

Menurut Becker (2011), Konsep perilaku sehat ini merupakan

pengembangan dari konsep perilaku yang dikembangkan. Becker

menguraikan perilaku kesehatan menjadi tiga domain, yakni

pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap

kesehatan (health attitude) dan praktek kesehatan (health practice).

Hal ini berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku

kesehatan individu yang menjadi unit analisis penelitian. Becker

mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga dimensi :

1. Pengetahuan Kesehatan Pengetahuan tentang kesehatan

mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara

memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit

menular, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait. dan

atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang fasilitas

pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk menghindari

kecelakaan.

2. Sikap terhadap kesehatan Sikap terhadap kesehatan adalah

pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap terhadap


12

penyakit menular dan tidak menular, sikap terhadap faktor-faktor

yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, sikap tentang

fasilitas pelayanan kesehatan, dan sikap untuk menghindari

kecelakaan.

3. Praktek kesehatan Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah

semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara

kesehatan, seperti tindakan terhadap penyakit menular dan tidak

menular, tindakan terhadap faktor-faktor yang terkait dan atau

mempengaruhi kesehatan, tindakan tentang fasilitas pelayanan

kesehatan, dan tindakan untuk menghindari kecelakaan ( Becker,

2012).

2.1.3. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon

seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta

lingkungan. Secara lebih rinci perilaku kesehatan mencakup

Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana

manusia merespon baik secara pasif maupun aktif sehubungan

dengan sakit dan penyakit. Perilaku ini dengan sendirinya

berhubungan dengan tingkat pencegahan penyakit antara lain:

a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan

kesehatan misalnya makan makanan bergizi, dan olahraga.

b. Perilaku pencegahan penyakit misalnya memakai kelambu

untuk mencegah malaria, pemberian imunisasi. Termasuk


13

juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang

lain.

c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan misalnya

usaha mengobati penyakitnya sendiri, pengobatan di fasilitas

kesehatan atau pengobatan ke fasilitas kesehatan tradisional.

d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan setelah

sembuh dari penyakit misalnya melakukan diet, melakukan

anjuran dokter selama masa pemulihan.

e. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan. Perilaku ini

mencakup respon terhadap fasilitas pelayanan, cara

pelayanan, petugas kesehatan dan obat – obat.

f. Perilaku terhadap makanan. Perilaku ini mencakup

pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan

serta unsur – unsur yang terkandung di dalamnya.,

pengelolaan makanan dan lain sebagainya sehubungan

dengan tubuh kita.

g. Perilaku terhadap lingkungan sehat adalah respon seseorang

terhadap lingkungan sebagai salah satu determinan kesehatan

manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan

lingkungan.itu sendiri. Dari batasan ini perilaku kesehatan

dapat diklasifikan menjadi 3 kelompok:

1) Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk

memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan


14

usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu

perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek :

1. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan

penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana

telah sembuh dari penyakit.

2. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang

dalam keadaan sakit.

3. Perilaku gizi (makanan dan minuman).

2) Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas

Pelayanan Kesehatan atau Sering disebut Perilaku Pencarian

pengobatan (Heath Seeking Behavior). Adalah menyangkut

upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita dan atau

kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari

mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari

pengobatan ke luar negeri.

3) Perilaku Kesehatan Lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun sosial budaya dan bagaimana,

sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi

kesehatannya. Seorang ahli lain membuat klasifikasi lain

tentang perilaku kesehatan ini.

4) Perilaku hidup sehat.

Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan

upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan


15

meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini mencakup antar

lain :

1. Menu seimbang

2. Olahraga teratur

3. Tidak merokok

4. Tidak minum-minuman keras dan narkoba

5. Istirahat yang cukup

6. Mengendalian stress

7. Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan

5) Perilaku Sakit

Mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit.

Persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan

gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya, dsb. Perilaku

peran sakit (the sick role behavior), Perilaku ini mencakup:

1. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

2. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sasaran pelayanan

penyembuhan penyakit yang layak.

3. Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, dan

pelayanan kesehatan) ( Baumali, 2009).

2.1.4 Domain Perilaku Kesehatan

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam

memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-

faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang


16

membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut

determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat

kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik

lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang

mewarnai perilaku seseorang ( Benada, 2012)

2.1.5 Perubahan Perilaku Kesehatan

Teori perubahan perilaku kesehatan ini penting dalam

promosi kesehatan yang bertujuan “behavior change” Perubahan

perilaku ini diarahkan untuk mengubah perilaku negatif (tidak sehat)

menjadi perilaku positif (sesuai dengan nilai-nilai kesehatan)

pembentukan atau pengembangan perilaku sehat memelihara

perilaku yang sudah positif.

1. Teori Perubahan Perilaku Kesehatan

Menurut teori ini, penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung

kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan

organisme. Perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus yang

diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula (mampu

meyakinkan). Karena itu kualitas dari sumber komunikasi sangat


17

menentukan keberhasilan perubahan perilaku, misalnya gaya bicara,

kredibilitas pemimpin kelompok, dsb.

2. Dissonance Theory (Festinger, 2014)

Ada suatu keadaan cognitive dissonance yang merupakan

ketidakseimbangan psikologis, yang diliputi oleh ketegangan diri yang

berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali.Dissonance tejadi

karena dalam diri individu terdapat elemen kognisi yang bertentangan,

pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Apabila terjadi penyesuaian

secara kognitif, akan ada perubahan sikap yang berujung perubahan

perilaku.

3. Teori Fungsi ( Katz, 2011) Menurut teori ini perilaku mempunyai

fungsi :

1. Instrumental

Defence mechanism penerima objek dan pemberi arti nilai

ekspresif Perubahan perilaku individu tergantung kebutuhan

Stimulus yang dapat memberi perubahan perilaku individu adalah

stimulus yang dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang

tersebut.

c. Teori Kurt Lewin (2010)

Menurut Kurt Lewin, perilaku manusia adalah suatu keadaan

seimbang antara driving forces (kekuatan-kekuatan pendorong) dan

restrining forces (kekuatan-kekuatan penahan). Perilaku dapat

berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan

tersebut. Ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku :


18

1. Kekuatan pendorong, kekuatan penahan tetap perilaku baru

Contoh : seseorang yang punya saudara dengan penyakit kusta

sebelumnya tidak mau memeriksakan saudaranya karena malu

dikira penyakit keturunan, dapat berubah perilakunya untuk

memeriksakan saudaranya ke puskesmas karena adanya

penyuluhan dari petugas kesehatan terdekat tentang pentingnya

deteksi dini kusta.

2. Kekuatan penahan, pendorong tetap perilaku baru

Misalnya pada contoh di atas , dengan memberi pengertian bahwa

kusta bukan penyakit keturunan, maka kekuatan penahan akan

melemah dan terjad perubahan perilaku.

2.1.6 Upaya Perubahan Perilaku Kesehatan

Hal yang penting di dalam perilaku kesehatan adalah masalah

pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku

merupakan tujuan dari pendidikan kesehatan atau penyuluhan

kesehatan sebagai penunjang program kesehatan lainnya. Perubahan

yang dimaksud bukan hanya sekedar covert behaviour tapi juga overt

behaviour. Di dalam program – program kesehatan, agar diperoleh

perubahan perilaku yang sesuai dengan norma – norma kesehatan

diperlukan usaha – usaha yang konkrit dan positip. Beberapa strategi

untuk memperoleh perubahan perilaku bisa dikelompokkan menjadi

tiga bagian :

1) Menggunakan kekuatan / kekuasaan atau dorongan


19

Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran

sehingga ia mau melakukan perilaku yang diharapkan. Misalnya

dengan peraturan – peraturan / undang – undang yang harus

dipatuhi oleh masyarakat. Cara ini menyebabkan perubahan yang

cepat akan tetapi biasanya tidak berlangsung lama karena

perubahan terjadi bukan berdasarkan kesadaran sendiri. Sebagai

contoh adanya perubahan di masyarakat untuk menata rumahnya

dengan membuat pagar rumah pada saat akan ada lomba desa

tetapi begitu lomba / penilaian selesai banyak pagar yang kurang

terawat.

2) Pemberian informasi

Adanya informasi tentang cara mencapai hidup sehat,

pemeliharaan kesehatan , cara menghindari penyakit dan

sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat.

Selanjutnya diharapkan pengetahuan tadi menimbulkan kesadaran

masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan orang

berperilaku sesuai pengetahuan yang dimilikinya. Perubahan

semacam ini akan memakan waktu lama tapi perubahan yang

dicapai akan bersifat lebih langgeng.

3) Diskusi partisipatif

Cara ini merupakan pengembangan dari cara kedua dimana

penyampaian informasi kesehatan bukan hanya searah tetapi

dilakukan secara partisipatif. Hal ini berarti bahwa masyarakat

bukan hanya penerima yang pasif tapi juga ikut aktif berpartisipasi
20

di dalam diskusi tentang informasi yang diterimanya. Cara ini

memakan waktu yang lebih lama dibanding cara kedua ataupun

pertama akan tetapi pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku

akan lebih mantap dan mendalam sehingga perilaku mereka juga

akan lebih mantap.

Apapun cara yang dilakukan harus jelas bahwa perubahan

perilaku akan terjadi ketika ada partisipasi sukarela dari

masyarakat, pemaksaan, propaganda politis yang mengancam

akan tidak banyak berguna untuk mewujutkan perubahan yang

langgeng (Sulastri, 2011)

2.2 Konsep dasar Ibu

2.2.1 Definisi Ibu

Ibu adalah wanita yang bersuami Anwar (2007), Wanita atau

ibu adalah pengurus generasi keluarga dan bangsa sehingga

keberadaanwanita yang sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat

diperlukan. Wanita atau ibu adalah makhluk bio-psiko-sosial-cultural

dan spiritual yang utuh dan unik, mempunyai kebutuhan dasar yang

bermacam-macam sesuai dengan tingkat perkembangannya (Sofyan,

2008).
21

2.2.2 Peran Ibu

Menurut Effendy (2008), peran ibu meliputi :

1. Mengurus rumah tangga. Dalam hal ini di dalam keluarga ibu

sebagai pengurus rumah tangga. Kegiatan yang biasa ibu lakukan

seperti memasak, menyapu, mencuci, dll

2. Sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya dan sebagai salah

satu kelompok dari peranan sosial.

3. Karena secara khusus kebutuhan efektif dan sosial tidak dipenuhi

oleh ayah. Maka berkembang suatu hubungan persahabatan

antara ibu dan anak-anak. Ibu jauh lebih bersifat tradisional

terhadap pengasuh anak (misalnya dengan suatu penekanan yang

lebih besar pada kehormatan, kepatuhan, kebersihan dan

disiplin).

4. Sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Di dalam

masyarakat ibu bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya

dalam rangka mewujudkan hubungan yang harmonis melalui

acara kegiatan-kegiatan seperti arisan, PKK dan pengajian.

2.3 Konsep dasar Pantang Makanan

2.3.1 Pantang Makanan

Pantang atau tabu ialah suatu larangan untuk mengkonsumsi

jenis makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya terhadap barang

siapa yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan

magis, yaitu adanya kekuatan superpower yang berbau mistik yang akan
22

menghukum orang-orang yang melanggar pantangan tersebut. Pada

kenyataannya hukuman ini tidak selalu terjadi. Pantangan merupakan

sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang tua, terus ke

generasi-generasi di bawahnya. Hal ini menyebabkan orang tidak tau lagi

kapan suatu pantangan atau tabu makanan dimulai dan apa sebabnya.

Seringkali nilai sosial ini tidak sesuai dengan nilai gizi makanan

(Baumali dan Nurhikmah, 2009).

Suatu kelompok masyarakat yang mempunyai seperangkat

pengetahuan, nilai, gagasan, norma dan aturan sebagai konsep dasar dari

kebudayaanya, akan mewujudkan bentuk-bentuk perilaku dalam

kehidupan sosial. Perilaku itu akan mewujudkan perbedaan persepsi

masyarakat terhadap konsep makanan dan gizi, demikian halnya pada

kasus tentang makanan dan gizi pada periode kehamilan, persalinan

dan nifas (Nurhikmah, 2009).

Dipandang dari aspek budaya, ada 7 hal pengaruh budaya

terhadap perilaku kesehatan, yaitu tradisi, sikap fanatisme, etnosentris,

perasaan bangga pada statusnya, norma, nilai dan unsur budaya yang

dipelajari pada tingkat awal proses sosialisasi (Foster dan Anderson,

2009).

Masalah gizi yang masih banyak terjadi ternyata bukan saja

diakibatkan oleh keadaan sosial ekonomi suatu negara tetapi juga

dipengaruhi adanya kepercayaan-kepercayaan yang keliru mengenai

hubungan antara makanan dan kesehatan, pantangan-pantangan yang

mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia


23

bagi mereka. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan

latar belakang budaya berbeda yang sangat mempengaruhi tingkah laku

kehidupan masyarakat termasuk perilaku kesehatan. Banyak praktek-

praktek budaya yang berpengaruh secara negatif terhadap perilaku

kesehatan masyarakat, seperti kepercayaan untuk pantang terhadap

suatu makanan tertentu (Suprabowo, 2006).

Sehubungan dengan pangan yang biasanya dipandang pantas

untuk dimakan, dijumpai banyak pola pantangan, takhayul dan

larangan pada beragam kebudayaan dan daerah yang berlainan di

dunia (Baumali, 2009).

Klasifikasi makanan yang berkaitan dengan kesehatan yaitu

“panas-dingin”. Seseorang yang sehat dianggap memiliki

keseimbangan antara panas dan dingin. Bila faktor panas menguasai

tubuh diatas faktor dingin, maka akan timbul penyakit dengan gejala

panas badan, sedangkan jika faktor dingin yang menguasai maka

penyakit itu berbentuk perasaan dingin. Faktor panas dan dingin

dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Si sakit perlu diberi

makanan yang bersifat berlawanan dengan sifat jenis sakitnya agar

membantu mencapai kondisi keseimbangan antara faktor panas dan

dingin dalam tubuhnya (Nurhikmah, 2009).

Pada beberapa suku bangsa, kondisi tubuh ibu yang sedang

menyusuidipandang dalam keadaan "dingin" sehingga ia harus

memakan makanan yang "panas" dan menghindari makanan yang

"dingin" dan sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil
24

(Mass, 2014). Suatu budaya dengan budaya yang lain memiliki jenis

makanan ”panas-dingin” yang berbeda. Di sebuah desa di India jenis

makanan panas diantaranya kacang polong yang sudah dikupas, gula

kasar, susu kerbau, telur dan ikan. Jenis makanan dingindiantaranya

daun wortel dan dadih. Berbeda di pantai timur Malaysia, jenis

makanan ”dingin” yang dilarang dikonsumsi ibu nifas yaitu hampir

semua sayuran, semua buah-buahan mentah kecuali durian, semua

makanan asam, semua makanan mentah, gorengan, berbagai jenis ikan,

kare, bumbu dan kopi. Sedangkan yang dianggap sebagai makanan

”panas” yaitu durian, telur, madu, gandum, tapioka, pisang yang

dimasak, ikan panggang, lada hitam serta kopi (Foster, 2009).

Banyak masyarakat dari berbagai budaya percaya akan

hubungan asosiatif antara suatu bahan makanan menurut bentuk dan

sifatnya dengan akibat buruk yang ditimbulkannya. Makanan panas

diberikan untuk menghilangkan perdarahan setelah melahirkan.

Menyusui juga dipengaruhi oleh panas dan dingin, panas dipercaya

meningkatkan ASI dan dingin menguranginya (Baumali, 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Baumali (2009),

menggambarkan bahwa semua ibu nifas di suku Timor pantang

terhadap makanan terutama sumber protein hewani seperti daging

dan ikan selama 40 hari dengan alasan luka akan lama sembuhnya.

Alasan lain yaitu bahwa ada pihak-pihak yang akan menentukan apa

yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh ibu nifas,

pihak tersebut adalah orang tua dan suami maupun orang yang memiliki
25

kemampuan seperti dukun.masyarakat suku Dayak tentang pantangan

makanan pada ibu nifas yaitu ibu yang baru melahirkan pantang

makan daging, telur, ikan, sayuran yang bersifat dingin seperti labu

air, timun, perenggi (waluh), dan sayuran berbumbu. Lamanya

pantangan tergantung dari jenis makanannya. Makanan yang

dianjurkan yaitu nasi putih dengan garam dan daun bungkal selama

3 hari (Suprabowo, 2016).

Ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena

akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan

menyebabkan perdarahan yang banyak (Mass, 2014). Selain telur

masih ada beberapa bahan makanan yang dipantangkan bagi ibu

menyusui, yaitu 14 jenis sayuran, 14 jenis buah, 10 jenis ikan, 5

jenis daging, 3 jenis makanan fermentasi dan berbagai jenis gula.

Beberapa alasannya yaitu karena makanan tersebut dianggap

berdampak negatif bagi kese hatan ibu dan janin, karena nasihat

orang tua atau mertua, serta menghormati orang-orang sekitarnya yang

dianggap peduli pada mereka (Nurhikmah, 2009).

Sedangkan penelitian Elvayanie dan Sumarmi (2013), cit

Nurhikmah (2009), di wilayah kerja Puskesmas Turak Kabupaten

Hulu sungai utara propinsi Kalimantan Selatan, masyarakat setempat

memiliki keyakinan berkaitan dengan pantang pada masa nifas yaitu

ibu nifas pantang makan ikan (ikan bersisik, ikan tauman) karena

diyakini ikan membuat daerah genetalia gatal dan berbau, pantang

makanan pedas dan asam karena bisa menyebabkan bayi diare,


26

pantang makan buah tertentu karena bisa menyebabkan air susu

terasa asam dan bayi tidak mau menyusu. Di masyarakat Betawi

berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena

dapat menyebabkan ASI menjadi asin (Mass, 2014).

2.3.2 Penyebab Pantangan Makan

Penyebab pantang makanan menurut Baumali (2009), adalah

kepatuhan pada mitos berpantang makanan, yaitu kegagalan

menghubungkan makanan dengan kesehatan dan kegagalan mengenali

kebutuhan gizi. Susunan makanan yang cukup cenderung ditafsirkan

dalam rangka kuantitas, bukan kualitasnya.

2.3.3 Kebutuhan Gizi Ibu Nifas

Masa nifas atau puerperium adalah masa dari kelahiran

plasenta dan selaput janin hingga kembalinya traktus reproduksi

wanita pada kondisi tidak hamil, biasanya berlangsung sekitar 6

minggu (Varney, 2008). Namun, kondisi tersebut tidak kembali ke

keadaan fisiologis dan anatomis yang sama seperti sebelum hamil.

Perubahan fisiologi pada masa nifas yaitu involusi uterus, lochea,

perubahan hormon, perubahan sistem hematologis dan kardiovaskular,

sistem pernafasan, sistem perkemihan, sistem pencernaan dan

defekasi, perubahan berat badan, perubahan struktur lain, psikologis,

pemulihan fertilitas, serta perbaikan jaringan lunak. Pada masa nifas,

ibu memerlukan tambahan nutrisi 3 kali lipat dari kondisi biasanya

untuk pemulihan tenaga atau aktivitas ibu, metabolisme, cadangan

dalam tubuh, penyembuhan luka jalan lahir, serta untuk memenuhi


27

kebutuhan bayi berupa produksi ASI. Diet yang diberikan harus

bermutu tinggi dengan cukup kalori, cukup protein, cairan, serta banyak

buah-buahan karena ibu nifas mengalami hemo konsentrasi

(Wiknjosastro, 2015).

Beberapa zat gizi y ang dibutuhkan ibu nifas yaitu :

a) Kalori

Ibu nifas harus mengkonsumsi tambahan 500 kkal tiap hari

(Saifudin, 2012). Zat nutrisi yang termasuk sumber energi adalah

karbohidrat dan lemak. Karbohidrat berasal dari padi-padian,

kentang, umbi, jagung, sagu, tepung roti, mie, dan lain-lain.

b) Lemak

Lemak bisa diambil dari hewani dan nabati. Lemak hewani

yaitu mentega dan keju. Lemak nabati berasal dari minyak

kelapa sawit, minyak sayur dan margarin. Ibu nifas juga

dianjurkan makan makanan yang mengandung asam lemak omega

3 yang banyak terdapat pada ikan laut seperti kakap, tongkol dan

lemuru. Zat tersebut penting untuk perkembangan otak yang

optimal bagi bayi (Larnkjaer, dkk, 2012).

c) Protein

Ibu nifas membutuhkan tambahan protein sebanyak 16

gram/hari pada 6 bulan pertama, 12 gram/hari pada 6 bulan kedua

dan 11 gram/hari pada tahun kedua. Protein diperlukan untuk

menghasilkan ASI dan untuk membangun kembali berbagai


28

jaringan tubuh yang mengalami perubahan saat melahirkan

(Baumali, 2009).

Sumber protein dapat diperoleh dari protein hewani dan

protein nabati. Protein hewani merupakan protein yang sempurna

yaitu protein yang mengandung asam amino esensial lengkap.

Sedangkan protein nabati merupakan jenis protein tidak sempurna

karena tidak mengandung asam amin esensial atau kandungan

asan amino esensialnya sangat rendah (hanya 1 atau 2 macam

saja) sehingga dinilai tidak dapat menjamin berbagai keperluan

pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan berbagai jaringan

pada tubuh. Protein hewani antara lain terdapat pada telur, daging,

ikan, udang, kerang, susu dan keju. Sedangkan protein nabati

banyak terkandung dalam tahu, tempe, kacang-kacangan, jagung

dan lain-lain

d) Sumber pengatur dan pelindung (mineral, air dan vitamin)

Mineral, air dan vitamin digunakan untuk melindungi tubuh

dari serangan penyakit dan mengatur kelancaran metabolisme di

dalam tubuh. Sumber zat pengatur bisa diperoleh dari semua

jenis sayur dan buah-buahan segar.

1) Mineral

Beberapa mineral yang penting yaitu zat kapur, zat besi, fosfor,

yodium, dan kalsium. Sumber zat kapur berasal dari susu, keju,

kacang-kacangan dan sayur-sayuran berdaun hijau. Ibu menyusui

memerlukan zat besi 30-60 mg per hari yang bermanfaat untuk


29

menambah sel darah merah, sumbernya dari kuning telur, hati,

daging, kerang, kacang-kacangan dan sayuran. Fosfor

bermanfaatuntuk pembentukan tulang dan gigi, sumbernya dari

susu, keju dan daging. Yodium bermanfaat untuk mencegah

timbulnya kelemahan mental, sumbernya dari ikan, ikan laut

dan garam beryodium. Kalsium merupakan salah satu bahan

mineral ASI dan juga untuk pertumbuhan gigi anak, sumbernya

dari susu, keju dan lain-lain. Ibu nifas membutuhkan kalsium 0,5-1

gram per hari.

2) Air

Ibu menyusui dianjurkan minum 2-3 liter/hari. Lebih baik dalam

bentuk air putih, susu dan jus buah.

3) Vitamin

Beberapa vitamin yang penting bagi ibu nifas yaitu vitamin A,

vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B6, vitamin B12,

vitamin C, vitamin D dan vitamin K. Ibu nifas membutuhkan asupan

kapsul Vitamin A 200.000 Iu per hari. Vitamin B1 bermanfaat

untuk nafsu makan, berasal dari hati, kuning telur, tomat, jeruk

dan nanas.Vitamin B2 bermanfaat untuk pertumbuhan dan

pencernaan, berasal dari hati, kuning telur, susu, keju, sayuran

hijau. Vitamin B3 bermanfaat untuk proses pencernaan, kesehatan

kulit, jaringan saraf dan pertumbuhan. Vitamin B6 bermanfaat

untuk pembentukan sel darah merah serta kesehatan gigi dan

gusi. Sumbernya antara gandum, jagung, hati dan daging


30

bermanfaat untuk pembentukan sel darah merah dan kesehatan

jaringan saraf. Sumbernya antara lain telur, daging, hati, keju, ikan

laut dan kerang laut. Ibu nifas membutuhkan vitamin C 100 mg

per hari. Vitamin Cbermanfaat untuk pembentukan jaringan ikat

dan bahan semua jaringan ikat (untuk penyembuhan luka),

pertumbuhan tulang, gigi dan gusi, daya tahan terhadap infeksi dan

memberikan kekuatan pada pembuluh darah. Sumbernya berasal

dari jeruk, tomat, melon, mangga, pepaya dan sayuran. Vitamin

D bermanfaat untuk pertumbuhan dan pembentukan tulang dan

gigi serta penyerapan kalsium dan fosfor, Vitamin K bermanfaat

untuk mencegah perdarahan (Paath, 2015).

2.4. Konsep Dasar Luka Perineum

2.4.1 Definisi

1. Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh

(Sjamsuhidayat, 2015). Ketika terjadi luka, akan menimbulkan

beragam efek yaitu kehilangan segera semua atau sebagian fungsi

organ, respon stres simpatis, hemoragi dan pembekuan darah,

kontaminasi bakteri serta kematian sel (Rusjiyanto, 2009).

2. Luka Pada Saluran Genetalia Wanita

Selama persalinan tidak jarang terjadi kerusakan pada jaringan

lunak genetalia wanita. Trauma pada saluran genetalia yaitu :


31

a) Superfisial atau ruptur

Hal ini biasanya berupa lecet pada kulit epidermis akibat

tekanan peregangan. Hal ini tidak memerlukan pengobatan.

b) Derajat Satu

Robekan terjadi di kulit dan jaringan superfisial di bawahnya

(tidak termasuk otot) yaitu pada mukosa vagina, komisura

posterior, dan kulit perineum (Ocviyanty, 2007). Luka dapat

sembuh dengan sendirinya karena tepi luka biasanya

berhadapan langsung.

c) Derajat dua

Robekan telah menyebabkan kerusakan sampai pada otot

perineum.

Luka ini biasanya dijahit untuk membantu penyembuhan.

d) Episiotomi

Episiotomi merupakan insisi bedah untuk memperbesar

introitus vagina agar bayi mudah keluar. Episiotomi termasuk

dalam kategori robekan derajat dua

e) Derajat tiga

Robekan ini telah mengenai otot sfingter ani. Harus dilakukan

perbaikan obstetrik sehingga aktivitas otot sfingter ani pulih dan

penyulit inkontinensia feses dapat dihindari.

f) Derajat empat
32

Robekan pada derajat ini terjadi sangat luas. Sfingter ani dapat

terputus dan robekan mencapai mukosa rektum. Diperlukan

perbaikan bedah spesialistik agar fungsi anus kembali normal

(Coad, 2007).

3. Proses Penyembuhan Luka Perineum

Sebagian besar luka perineum dapat digolongkan sebagai luka

dalam karena trauma jaringan melibatkan lapisan di bawah epidermis

dan dermis (Coad, 2007).

Seseorang yang mengalami luka, tubuh akan memberikan

reaksi atas terjadinya luka tersebut. Reaksi y ang terjadi yaitu

melalui fasefase yang disebut sebagai fase penyembuhan luka. Fase

penyembuhan luka yaitu :

a) Fase inflamasi (24 jam pertama – 48 jam)

Setelah terjadi trauma, pembuluh darah yang terputus pada

luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha

menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung

pembuluh darah yang terputus (retraksi), reaksi hemostasis

serta terjadi reaksi inflamasi (peradangan). Respon peradangan

adalah suatu reaksi normal yang merupakan hal penting untuk

memastikan penyembuhan luka. Peradangan berfungsi

mengisolasi jaringan yang rusak dan mengurangi penyebaran

infeksi.
33

b) Fase proliferasi (48 jam – 5 hari)

Fase proliferasi adalah fase penyembuhan luka yang

ditandai oleh sintesis kolagen. Sintesis kolagen dimulai dalam

24 jam setelah cidera dan akan mencapai puncaknya pada hari

ke lima sampai hari ke tujuh kemudian akan berkurang secara

perlahan-lahan. Kolagen disekresi oleh fibroblas sebagai

tropokolagen imatur y ang mengalami hidroksilasi (tergantung

vitamin C) untuk menghasilkan polimer yang stabil. Proses

fibroplasia yaitu penggantian parenkim yang tidak dapat

beregenerasi dengan jaringan ikat. Proses ini dimulai sejak

24 jam setelah cidera. Pada fase proliferasi, serat-serat

dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri

dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut, sehingga

menyebabkan tarikan pada tepi luka. Fibroblast dan sel endotel

vaskular mulai berproliferasi dan denganwaktu 3-5 hari terbentuk

jaringan granulasi yang merupakan tanda dari penyembuhan.

Jaringan granulasi berwarna kemerahan dengan permukaan

yang berbenjol halus. Bentuk akhir dari jaringan granulasi

adalah suatu parut yang terdiri dari fibroblast berbentuk spindel,

kolagen yang tebal, fragmen jaringan elastik, matriks

ekstraseluler sertapembuluh darah yang relatif sedikit dan tidak

kelihatan aktif (Prabowo, 2007).

Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari

dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya


34

kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses

mitosis. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling

menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan

tertutupnya permukaan luka, proses Fibroplasia dengan

pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah

proses pematangan dalam fase penyudahan (maturasi)

(Prabowo, 2007).

c) Fase maturasi (5 hari – 21 hari)

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas

penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai

dengan gaya gravitasi dan akhirnya perupaan kembali

jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dinyatakan berakhir

jika semua tanda radang sudah hilang dan bisa berlangsung

berbulan-bulan.

Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang

menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Odem dan sel

radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru

menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap

dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada.

Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis,

lemas dan mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan

yang maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka

kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan


35

kulit normal.Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah

penyembuhan (Sjamsuhidajat, 2015).

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi lama penyembuhan luka


perineum

a) Faktor eksternal

1) Status Gizi

Status gizi mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka. Status

gizi yang buruk mempengaruhi sistem kekebalan tubuh yang

memberi perlindungan terhadap penyakit infeksi seperti

penurunan sekretori Imunoglobulin A (AIgA) yang dapat

memberikan kekebalan permukaan membran mukosa, gangguan

sistem fagositosis, gangguan pembentukan kekebalan humoral

tertentu, berkurangnya sebagian komplemen dan berkurangnya

thymus sel (T).

2) Lingkungan

Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana ibu akan selalu

merasa mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat

nasihat khususnya orangtua dalam merawat kebersihan setelah

persalinan.

3) Tradisi

Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk

perawatan setelah persalinan masih banyak digunakan, termasuk

oleh kalangan masyarakat modern. Misalnya untuk perawatan

kebersihan genital, masyarakat tradisional menggunakan daun sirih

yang direbus dengan air kemudian dipakai untuk cebok.


36

4) Pengetahuan

Pengetahuan ibu tentang perawatan setelah persalinan sangat

menentukan lama penyembuhan luka perineum. Apabila

pengetahuan ibu kurang, terlebih masalah kebersihan maka

penyembuhan luka akan berlangsung lama.

5) Sosial ekonomi

Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama

penyembuhan perineum adalah keadaan fisik dan mental ibu

dalam melakukan aktifitas sehari-hari setelah persalinan.

6) Penanganan petugas

Pada saat persalinan, cara membersihkannya harus dilakukan

dengan tepat oleh penanganan petugas kesehatan, hal ini

merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama

penyembuhan luka perineum.

b) Faktor internal

1) Usia

Usia berpengaruh terhadap imunitas. Penyembuhan luka yang

terjadi pada orang tua sering tidak sebaik pada orang yang muda.

Hal ini disebabkan suplai darah yang kurang baik, status nutrisi

yang Kurang atau adanya penyakit penyerta. Sehingga

penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada

orang tua.
37

2) Penanganan jaringan

Penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan memperlambat

penyembuhan.

3) Hipovolemia

Volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada

vasokonstriksi dan penurunan oksigen dan nutrien yang tersedia utuk

penyembuhan luka.

4) Faktor lokal Edema

Penurunan suplai oksigen melalui gerakan meningkatkan tekanan

interstisial pada pembuluh.

5) Personal hygiene

Personal hygiene (kebersihan diri) yang kurang dapat

memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya

benda asing seperti debu dan kuman.

6) Medikasi

Steroid dapat menyamarkan adanya infeksi dengan menggangu

respon inflamasi normal. Antikoagulan dapat menyebabkan

hemoragi. Antibiotik spektrum luas atau spesifik efektif bila

diberikan segera sebelum pembedahan untuk patolagi spesifik

atau kontaminasi bakteri. Jika diberikan setelah luka ditutup,

tidak efektif karena koagulasi intrvaskular.

7) Aktivitas yang berlebih

Aktivitas yang berlebih dapat menghambat perapatan tepi luka

serta mengganggu penyembuhan yang diinginkan.


38

8) Penyakit penyerta

Pada penyakit diabetes melitus (terjadi kerusakan imunitas), pada

penderita yang mendapat radioterapi juga mempengaruhi

penyembuhan luka karena akan terjadi penurunan vaskularisasi

jaringan dan Penyembuhan luka pada daerah yang diradiasi sering

terganggu. (Rusjiyanto, 2009).

2.5 Konsep Dasar Masa Nifas

2.5.1 Pengertian

Masa nifas (postpartum / puerpurium) barasal dari kata latin

yaitu dari kata “puer” yang artinya bayi dan “parous” yang berarti

melahirkan, yaitu masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai

sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil lama masa nifas

berkisar sekitar 6-8 minggu (Sujiyatini, 2010).

Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta

berakhir dan ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan

sebelum hamil. Masa nifas atau puerpurium dimulai sejak 2 jam

setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah

itu (Anggraini, 2010).

Masa setelah melahirkan plasenta lahir dan berakhir katika

alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa

nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Saleha, 2009).

Masa puerperium atau masa nifas mulai setelah partus selesai,

dan berakhir kira-kira setelah 6 minggu akan tetapi seluruh alat


39

genital akan pulih kembali seperti sebelum kehamilan dalam 3 bulan

(Wiknjosastro, 2006).

Masa Nifas adalah masa setelah seorang ibu melahirkan bayi

yang dipergunakan untuk memulihkan kesehatannya kembali yang

umumnya memerlukan waktu 6- 12 minngu (Varney, 2012).

2.5.2 Tahapan Masa Nifas

Menurut Suherni (2009), ada tiga tahapan masa nifas yaitu :

a) Puerperium dini

Yaitu dimana ibu sudah diperbol ehkan berdiri dan berjalan-jalan.

Dalam agama islam, dianggap telah bersih dan bekerja dalam 40 hari.

b) Puerperium Intermedial

Yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia yang lamanya 6-8

minggu.

c) Remote puerperium

Adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna

terutama bila selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi.

Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu- minggu, bulanan atau

tahunan.

2.5.3 Perubahan Fisiologi Masa Nifas

Menurut Bahiyatun (2008), ada perubahan pada masa nifas yaitu:

a. Perubahan sistem reproduksi

1) Perubahan uterus

Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi keluar.

Hal ini menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta


40

(plasenta site) sehingga jaringan perlekatan antara plasenta dan

dinding uterus, mengalami nekrosis dan lepas.

Ukuran uterus mengecil kembali (setelah 2 hari pasca

persalinan, setinggi sekitar umbilikus, setelah 2 minggu masuk

panggul, setelah 4 minggu kembali pada ukuran sebelum hamil).

Jika sampai 2 minggu postpartum, uterus belum masuk

panggul, curiga ada subinvolusi. Subinvolusi dapat disebabkan oleh

infeksi atau perdarahan lanjut (late post partum haemorrhage).

Tinggi fundus uterus dan berat uterus menurut masa involusi

sebagai berikut :

Tabel 2.1.3 Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa
involusi sebagai berikut
Involusi Tinggi fundus uteri Berat uterus

Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram


Uri lahir Dua jari bawah pusat 750 gram
Satu minggu Pertengahan pusat-symphisis 500 gram

Dua minggu Tak teraba diatas symphisis 350 gram


Enam minggu Bertambah kecil 50 gram
Delapan minggu Sebesar normal 30 gram
(Sumber: Prawirohardjo, 2007)

1) Perubahan vagina dan perineum

a) Vagina

Pada minggu ketiga, vagina mengecil dan timbul rugae (lipatan

atau kerutan) kembali.

b) Perlukaan vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum

tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan


41

biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat eskstraksi dengan

cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan

terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan

spekulum.

c) Perubahan pada perineum

Terjadi robekan perineum pada hampir semua persalinan pertama

dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan

perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas

apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih

kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah

dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia

suboksipito bregmatika.

d) Lochea

Dengan involusi uterus, maka lapisan luar dari decidua yang

mengelilingi tempat atau situs placenta akan menjadi nekrotik

(layu / mati), pelepasan jaringan nekrotik disebabkan karena

pertumbuhan endometrium. Decidua yang mati akan keluar

bersama sisa cairan suatu campuran antara darah yang

dinamakan lochea, yaitu suatu ekskresi cairan rahim selama

masa nifas yang mempunyai reaksi basa atau alkalis yang dapat

membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi

asam yang ada pada vagina normal. Lochea mempunyai bau

amis (anyer), meskipun tidak terlalu menyengat, dan volumenya

berbeda-beda pada setiap wanita. Lochea mengalami perubahan


42

karena proses involusi. Lochea adalah cairan sekret yang berasal

dari cavum uteri dan vagina dalam masa nifas.

Menurut Anggraini (2010), ada beberapa jenis lochea, yakni :

a. Lochea rubra / merah (kruenta)

Muncul pada hari 1 sampai hari ke 4 masa post partum.

Cairan yang keluar berwarna merah mengandung darah

segar, jaringan sisa-sisa plasenta di dinding rahim, lemak

bayi, lanugo dan mekonium.

b. Lochea sanguinolenta

Berwarna merah kecoklatan dan berlendir, berlansung dari

hari ke 4 sampai hari ke 7 postpartum

c. Lochea serosa

Lochea ini berwarna kuning kecoklatan karena mengandung

serum leukosit dan laserasi plasenta. Muncul pada hari 7

sampai hari ke 14 post partum.

d. Lochea alba

Mengandung leukosit sel desidua sel epitel selaput lendir

serviks dan serabut jaringan yang mati. Berlangsung selama

2 sampai 6 minggu post partum.

e. Lochea purulenta, karena infeksi, keluar cairan seperti

nanah, berbau busuk

f. Lochiostatis, lochea tidak lancar keluarnya.


43

2) Perubahan sistem pencernaan

Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan. Hal ini

umumnya disebabkan karena makanan padat dan kurangnya

bersarat selama persalinan. Disamping itu rasa takut untuk buang air

besar, sehubungan dengan jahitan pada perinium, jangan sampai

lepas dan juga takut akan rasa nyeri. Buang air besar harus

dilakukan 3-4 hari setelah persalinan. Bilamana masih juga terjadi

konstipasi dan beraknya mungkin keras dapat diberikan obat laksan

per oral atau per rektal (Suherni, 2009).

3) Perubahan perkemihan

Menurut Suherni (2009), Saluran kencing kembali normal

dalam waktu 2 sampai 8 minggu,tergantung pada :

a. Keadaan atau status sebelum persalinan

b. Lamanya partus kala 2 dilalui

c. Besarnya tekanan kepala yang menekan pada saat persalinan.

4) Perubahan sistem muskuloskeletal

Menurut Saleha (2009), Perubahan sistem muskuloskeletal

adalah sebagai berikut :

a. Diathesis

Setiap wanita nifas memiliki derajat diathesis / konstitusi

(yakni keadaan tubuh yang membuat jaringan tubuh bereaksi

secara luar biasa terhadap rangsangan luar tertentu, sehingga

membuat orang lebih peka terhadap penyakit tertentu).

Kemudian demikian juga adanya rectie/muskulus rektus yang


44

terpisah dari abdomen. Seberapa diathesis terpisah ini tergantung

dan beberapa faktor termasuk kondisi umum dan tonus otot.

Sebagian besar wanita melakukan ambulasi (bisa berjalan) 4-8

jam postpartum.

Konstipasi terjadi umumnya selama periode post partum

awal karena penurunan tonus otot usus, resa tidak nyaman pada

perineum dan kecemasan.

Haemoroid adalah peristiwa lazim pada periode

postpartum awal karena tekanan pada dasar panggul mengejan

selama persalinan.

b. Abdominis dan peritoneum

Akibat peritoneum berkontraksi dan ber-retraksi pasca

persalinan dan juga beberapa hari setelah itu,peritonium yang

membungkus sebagaian besar dari uterus, membentuk lipatan

dan kerutan. Ligamentum dan rotundum sangat lebih kendor dari

keadaan sebelum hamil. Memerlukan waktu cukup lama agar

dapat kembali normal seperti semula.

Dinding abdomen tetap kendor untuk sementara waktu.

Karena sebagai konsekuensi dari putusnya serat elastis kulit dan

distensi yang berlangsung lama akibat pembesaran uterus selama

hamil. Pemulihannya harus dibantu dengan cara berlatih.

Pasca persalinan dinding perut menjadi longgar,

disebabkan karena teregang begitu lama. Namun demikian

umumnya akan pulih dalam 6 minggu.


45

5) Perubahan tanda vital

Menurut Saifuddin (2010), pada ibu post partum terdapat

beberapa kemungkinan yang terjadi pada bagian vital ibu

diantaranya, yaitu :

a. Suhu badan

(1) Sekitar hari ke 4 setelah persalinan suhu ibu mungkin

naik sedikit, antara 37,2o C- 37,5oC. Kemungkinan

disebabkan karena ikutan dari aktivitas payudara.

(2) Bila kenaikan mencapai 38oC pada hari kedua sampai

hari berikutnya, harus diwaspadai adanya infeksi atau

sepsis nifas.

b. Denyut darah

(1) Denyut darah ibu akan melambat sampai sekitar

60x/menit, yakni pada waktu habis persalinan karena ibu

dalam keadaan istirahat penuh. Ini terjadi utamanya pada

minggu pertama post partum.

(2) Pada ibu yang nervus nadinya bisa cepat, kira-kira

110x/menit. Bisa juga terjadi gejala shock karena infeksi,

khususnya bila disertai peningkatan suhu tubuh.

c. Tekanan darah

(1) Tekanan darah < 140/90 mmHg. Tekanan darah tersebut

bisa meningkat dari pra persalinan pada 1-3 hari

postpartum.
46

(2) Bila tekanan darah menjadi rendah menunjukkan adanya

pre-eklamsi yang bisa timbul pada masa nifas. Namun hal

seperti itu jarang terjadi.

d. Respirasi

(1) Pada umumnya respirasi lambat atau bahkan normal Karena ibu

dalam keadaan pemulihan atau dalam kondisi istirahat.

(2) Bila ada respirasi cepat postpartum (>30x/menit), mungkin

karena adanya ikutan tanda syok.

6) Peran dan tanggung jawab bidan

Menurut Anggraini (2010), Peran dan tanggung jawab bidan

dalam masa nifas adalah sebagai berikut:

a. Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.

b. Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara

mencegah perdarahan, mengenali tanda bahaya, menjaga gizi

yang baik, serta mempraktekkan kebersihan yang aman.

c. Mempasilitasi hubungan dan ikatan batin antara ibu dan bayi

secara fisik dan psikologis.

d. Memulai dan mendorong pemberian ASI, serta mengkondisikan

ibu untuk menyusui bayinya dengan cara meningkatkan rasa

nyaman.

e. Memberi dukungan yang terus-menerus selama masa nifas yang

baik dan sesuai dengan kebutuhan ibu agar mengurangi

ketegangan fisik dan psikologis selama persalinan dan masa

nifas.
47

7) Proses adaptasi psikologis ibu nifas

a. Adaptasi psikologis masa nifas

Menurut Suherni (2009), periode masa nifas merupakan waktu

dimana ibu mengalami stress pasca persalinan terutama pada ibu

primipara. Hal-hal yang dapat membantu ibu dalam beradaptasi

pada masa nifas adalah sebagai berikut:

(1) Fungsi yang mempengaruhi untuk sukses dan lancarnya

masa transisi menjadi orang tua.

(2) Respon dan dukungan dari keluarga dan teman dekat

(3) Riwayat pengalaman pada waktu hamil dan melahirkan

sebelumnya.

(4) Harapan, keinginan, dan aspirasi ibu saat hamil juga

melahirkan.

(5) Perubahan peran seseorang ibu memerlukan adaptasi yang

harus dijalani. Tanggung jawab bertambah dengan hadirnya

bayi baru lahir. Dorongan serta perhatian anggota keluarga

lainnya merupakan dukungan positif untuk ibu. Dalam

menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan mengalami

fase-fase sebagai berikut:

a. Fase taking in

Fase ini merupakan periode ketergantungan periode

ini berlangsung dari hari ke-1 sampai ke-2 setelah

melahirkan. Pada fase ini, ibu sedang berfokus terutama

pada dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali menceritakan


48

proses persalinan yang dialaminya dari awal sampai akhir,

ibu perlu bicara tentang dirinya sendiri, ketidaknyamanan

fisik yang dialami ibu pada fase ini seperti rasa mules, nyeri

pada jahitan, kurang tidur, dan kelelahan merupakan sesuatu

yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu

cukup istirahat untuk mencegah gangguan psikologis yang

mungkin dialami seperti mudah tersinggung, menangis. Hal

ini membuat ibu cenderung menjadi pasif terhadap

lingkungannya.

b. Fase Taking Hold

Yaitu periode yang berlangsung antara 3-10 hari

setelah melahirkan, pada fase ini ibu merasa khawatir akan

ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam

merawat bayinya. Ibu mempunyai perasaan sangat sensitif

sehingga mudah tersinggung dan gampang marah. Kita perlu

berhati-hati menjaga komunikasi dengan ibu. Dukungan

moril sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan

diri ibu. Bagi petugas kesehatan pada fase ini merupakan

kesempatan untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan

kesehatan yang diperlukan ibu nifas.

c. Fase leting go

Fase ini merupakan periode penerimaan tanggung jawab akan

peran barunya. Fase ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu

sudah menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. ibu


49

memahami bahwa bayi butuh disusui sehingga siap terjaga untuk

memenuhi kebutuhan bayinya ( Saleha, 2010).

2.6. Hubungan Perilaku Pantang Makanan dengan Lama


Penyembuhan Luka Perineum.

Menurut penelitian yang di lakukan oleh Yuliana (2008), yang

berjudul Hubungan Antara makan berpantang dengan lama

penyembuhan luka perineum yang berarti Pantang makanan pada masa

nifas dapat menurunkan asupan gizi ibu yang akan berpengaruh

terhadap kesehatan ibu, pemulihan tenaga, penyembuhan luka

perineum dan produksi ASI bagi bayi. Hal tersebut tidak sesuai

dengan anjuran untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung

karbohidrat, sayuran dan buah yang mengandung vitamin dan mineral,

protein hewani, protein nabati serta banyak minum setiap hari.

Menurut penelitian yang di lakukan oleh Deviana (2010), yang

berjudul Hubungan antara makan berpantang dengan lama

penyembuhan luka perineum yang berarti berpantang makanan dalam

waktu lama dapat berakibat buruk terhadap kesehatan dan angka

kesakitan ibu. Kecukupan zat gizi sangat berperan dalam proses

penyembuhan luka.

Menurut Penelitian yang di lakukan oleh Santika (2012), yang

berjudul hubungan antara makan berpantang dengan lama penyembuhan

luka perineum bahwa Pantangan makan sangat berpengaruh terhadap

ibu nifas dan kesehatan bayinya karena dari makan yang berpantang

luka pada perineum akan sangat lambat sembuh ketimbang ibu nifas

yang tidak menerapkan pantang makanan maka akan cepat sembuh.


50

Menurut Penelitian yang di lakukan oleh Anisa (2015), yang

berjudul hubungan antara Pantang Makanan dengan lama penyembuhan

luka perineum yaiitu tahapan penyembuhan luka memerlukan protein

sebagai dasar untuk pembentukan fibroblast dan terjadinya kolagen,

disamping elemen-elemen lain yang diperlukan untuk proses

penyembuhan luka sepertivitamin C yang berperan dalam proses

kecepatan penyembuhan luka. Vitamin A berperan dalam

pembentukan epitel dan sistem imunitas. Vitamin dapat meningkatkan

jumlah monosit, makrofag di lokasi luka, mengatur aktifitas kolagen

dan meningkatkan reaksi tubuh pada fase inflamasi awal.

Menurut penelitian yang di lakukan oleh Chania, S (2008),

yang berjudul the refusal of abstinence from food suggest healing

changed adalah pantang makanan sangat berpengaruh terhadap lama

penyembuhan luka pada perineum.

Menurut Penelitian yang di lakukan oleh Clara, S (2013), yang

berjudul The relationship between abstinence from food with wound

healing adalah Tahapan penyembuhan luka memerlukan protein

sebagai dasar untuk pembentukan fibroblast dan terjadinya kolagen,

disamping elemen-elemen lain yang diperlukan untuk proses

penyembuhan luka seperti vitamin C yang berperan dalam proses

kecepatan penyembuhan luka. Vitamin A berperan dalam

pembentukan epitel dan sistem imunitas.

Menurut Penelitian yang dilakuakn Oleh Justin, H (2014), yang

berjudul The refusal of abstinence food with wound healing yaitu


51

asam lemak esensial juga penting dalam proses penyembuhan luka

karena tidak bisa disintesa dalam tubuh sehingga harus didapatkan

dari makanan atau dari suplemen. Peranan asam lemak esensial

ini adalah mengurangi peradangan, mengurangi pengentalan sel-sel

darah dan berperan dalam mencegah perkembang biakan sel-sel

tidak normal.
52

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN KERANGKA TEORI

3.1 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah rangkuman dari penjabaran teori yang

sudah diuraikan sebelumnya dalam bentuk naratif (Hidayat, 2014).

Berdasarkan landasan teori di atas maka kerangka teori yang

dapat digunakan seperti gambar berikut :

FAKTOR
SOSIAL Perilaku pantang makanan
BUDAYA

Pembatasan
konsumsi beberapa
jenis makanan

Kalori, protein,
vitamin
dan mineral

Fase penyembuhan
Luka
1. Fase Inflamasai
2. Fase Proliferasi
3. Fase Maturasi

Faktor yang
Derajat I Lama penyembuhan luka mempengaruhi :
Luka Derajat II Baik : 24 jam – 48 jam Faktor internal
perineum Derajat III Sedang : 48 jam – 5 hari Faktor eksternal
Derajat IV Lambat : > 5 hari – 1 hari

Sumber : Notoadmojo, 2010

Keterangan
: Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan antara Perilaku pantang makanan Dengan Kejadian lama
penyembuhan luka perineum Pada Ibu Nifas di BPM Bidan J desa Rejosari
Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu.
53

3.2 Kerangka Konsep

Kerangka Konsep merupakan Justifikasi ilmiah terhadap topik yang

dipilih sesuai dengan identifikasi masalah. Kerangka konsep harus

didukung landasan teori yang kuat serta di tunjang oleh informasi yang

bersumber pada berbagai laporan ilmiah, hasil penelitian ,jurnal penelitian,

dan lain – lain (Hidayat, 2014).

Variabel Independen Variabel Dependen

Lama penyembuhan luka


Perilaku pantang perineum
makanan

Faktor – Faktor Penyebab lamanya


penyembuhan luka perineum:
1. Status Gizi
2. Lingkungan
Sumber : Notoadmojo, 2010 3. Tradisi
4. Pengetahuan
Keterangan 5. Sosial ekonomi
6. Penanganan petugas
: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Hubungan antara Perilaku pantang makanan Dengan Kejadian
lama penyembuhan luka perineum Pada Ibu Nifas di BPM Bidan J Desa Rejosari
Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu.
54

3.3 Kerangka Penelitian

Hubungan antara Perilaku pantang makanan Dengan Kejadian lama


penyembuhan luka perineum Pada Ibu Nifas di BPM Bidan
Malaika,J.,Amd.Keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah
Bumbu.

Variabel Dependen
Variabel Independen Lama Penyembuhan luka
Pantang makanan perineum

Rancangan penelitian : Analitik dengan metode cross sectional


Tehnik pengambilan sampel : Total sampling

Populasi : Seluruh Ibu nifas yang ada di BPM Bidan Malaika, J., Amd. Keb Desa
Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu berjumlah 60 orang
Sample : seluruh jumlah populasi 60 orang pada bulan juni 2016
Tehnik Pengambilan data : data primer dan Sekunder

H0 : Tidak ada Hubungan antara Perilaku pantang makanan Dengan Kejadian lama
penyembuhan luka perineum Pada Ibu Nifas di BPM Bidan Maliaka,J., Amd.Keb Desa
Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu.
Ha : Ada Hubungan antara Perilaku pantangan makanan Dengan Kejadian lama
penyembuhan luka perineum Pada Ibu Nifas di BPM Bidan Malaika, J.,Amd.keb Desa
Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu.

Analisis data
Chi-Square

Kesimpulan

Gambar 3.3 Kerangka Penelitian Hubungan antara Perilaku pantang makanan Dengan
Kejadian lama penyembuhan luka perineum Pada Ibu Nifas di BPM Bidan
Malaika, J., Amd. Keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah
Bumbu.
55

3.4 Hipotesa Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga,atau

dalil sementara yang kebenaranya akan di buktikan dalam penelitian

(Notoadmojo, 2010).

Dalam penelitian ini rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :

1. Ho : Tidak Ada hubungan antara perilaku pantang makanan dengan

lamanya penyembuhan luka perineum pada ibu nifas BPM Bidan

Malaika, J., Amd.Keb Desa Rejosari Kecamatan Kabupaten Tanah

Bumbu.

2. Ha : Ada hubungan antara perilaku pantang makanan dengan

lamanya penyembuhan luka perineum pada ibu nifas di BPM Bidan

Malaika, J., Amd.Keb Desa Rejosari Kecamatan Kabupaten Tanah

Bumbu.
56

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian


4.1.1 Waktu

penelitian dilakukan pada bulan Juni 2017.

4.1.2 Tempat
Tempat penelitian dilaksananakan di BPM Malaika, J.,

Amd.Keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe Kabupaten Tanah

Bumbu, Alasan peneliti memilih lokasi ini yaitu Banyaknya ibu

nifas yang masih melakukan makan berpantang dan banyak ibu

nifas yang mengalami luka perineum, lokasinya sangat terpencil,

masih melakoni kepercayaan terhadap budaya.

4.2 Desain Penelitian


Rancangan penelitian ini atau desain penelitan ini adalah

analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional dimana

data yang menyangkut variable bebas dan terikat akan

dikumpulkan dalam waktu bersamaan (Notoadmodjo, 2013).

4.3 Populasi, Sampel dan Sampling Penelitian


4.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti. Objek

tersebut dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan, benda mati

lainnya, serta peristiwa dan gejala yang terjadi di dalam masyarakat

atau di dalam alam (Notoatmodjo, 2010). Adapun populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh ibu nifas yang masih melakukan


57

pantang makanan dan mengalami ruptur perineum berjumlah 60

orang ibu nifas.

4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi, sampel yang

digunakan Pada Penelitian Ini adalah Total Sampling yaitu seluruh

ibu nifas yang masih melakukan pantang makanan dan mengalami

ruptur perineum berjumlah 60 orang ibu nifas.

1. Kriteria Sampel
Sampel yang nantinya akan dipilih adalah yang memenuhi sebagai

berikut :

a) Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subyek

penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan

diteliti ( Nursalam, 2008 ).

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :

a. Seluruh ibu nifas baik yang masih melakukan makan

berpantang dan mengalami luka perineum maupun yang tidak

melakukan makan berpantang dan mengalami luka perineum.

b. Memiliki data lengkap di BPM Malaika, J., Amd.keb

b) Kriteria Eksklusi
Kriteria Eksklusi adalah menghilangkan atau

mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi

karena sebagian sebab ( Nursalam, 2008 ).

a. Ibu nifas yang tidak bersedia menjadi responden.


58

4.3.3 Sampling Penelitian


Adapun pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan

secara total sampling/ Sampling jenuh, merupakan teknik sampling

yang didasarkan keadaan jenuh atau tidaknya sampel, dikatakan

jenuh apabila jumlah sampelnya lebih setengahnya dari populasi.

Namun, pada sumber data (buku register Kehamilan) di BPM

Malaika, J., Amd.Keb Desa Rejosari Kecamatan Mantewe

Kabupaten Tanah Bumbu yang diteliti, ditemukan diagnosa

responden yang tidak lengkap, sehingga sebagian besar responden

tidak masuk ke dalam kriterian inklusi (Nasir A, Muhith A, &

Ideputri, 2011).

4.4 Variabel Penelitian


Menurut Hidayat (2007), terdapat beberapa jenis variabel

diantaranya :

1. Variabel Independen ( Variabel Bebas )


Merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau

timbulnya variabel dependen (terikat). Dalam penelitian ini

variabel independennya adalah Makan berpantang.

2. Variabel Dependen ( Variabel Terikat )


Merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat

karena variabel independen (bebas). Dalam penelitian ini

variabel dependen adalah lama penyembuhan luka Perineum.


59

4.5 Definisi Operasional


Definisi Operasional penelitian ini meliputi penjelasan

setiap variabel yang diteliti, parameter, skala, alat ukur, dan hasil

ukur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Paramete Skala Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional r Ukur
1 Perilaku suatu larangan kepatuhan Nomina Kuesioner 1. Ya = 1
pantang untukmengkons pada l dengan 3 Apabila
makanan umsi jenis mitos pertanyaan ibu
makanan berpantan melakuka
tertentu karena g n prilaku
terdapat makanan, pantangan
ancaman bahaya yaitu makan
terhadap barang sayuran 2.Tidak= 2
siapa yang hijau dan 3. Apabila
melanggarnya ikan laut. ibu tidak
melakukan
pantang
anmakan

2 Lamanya Jangka waktu Fase Ordinal Lembar 1. Baik =3


penyemb yang mengalami Inflamasi Observasi Apabila
uhan penyembuhan 24- 48 jam fase 24-48
luka pada luka Fase jam
perineum perineum proliferasi
48 jam – 5 2.
hari Sedang=2
Fase Apabila 48-
Maturasi > 5 hari
5 hari – 40
hari 3.lambat =1
Apabila >
5- 40 hari
60

4.6 Instrumen Penelitian


Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Untuk variabel Pantangan makan adalah Instrumen yang

digunakan adalah menggunakan Kuesioner dan Wawancara.

2. Untuk variabel lama penyembuhan luka Perineum instrumen

yang digunakan adalah lembar observasi pada ibu nifas yang

mengalami luka perineum.

Instrumen penelitian merupakan suatu cara bagaimana data

diperoleh dari alat ukur. Dalam penelitian ini penelitian yang

digunakan adalah kuesioner perilaku ibu yang sudah diuji validitas

dan reliabilitas

a. Uji Validitas

Uji validitas dapat menggunakan rumus Pearson Product

Moment, setelah itu diuji dengan menggunakan uji t dan lalu baru

dilihat penafsiran dari indeks korelasinya (Hidayat AAA, 2011).

Setelah dilakukan penyebaran kuesioner di Bidan Praktik Mandiri

(BPM) Hj. Badariah, Amd.Keb dengan jumlah responden 28

orang, uji validitas dapat dilakukan dengan menggunakan

bantuan komputer dengan program Statistical Package of Sosial

Science (SPSS) dengan rtabel df= (n-2) = 28.

Dari hasil uji validitas kuesioner perilaku ibu dari 3 item

pertanyaan semuanya valid atau memenuhi kriteria dari rtabel df=

(n-2) = 28 yang skornya > 0,374.


61

b. Uji reliabilitas

Setelah mengukur validitas maka perlu mengukur

reliabilitas data, Dalam penggunaan metode ini sebaiknya

pertanyaan berjumlah genap sehingga memudahkan dibelah

(Hidayat AAA, 2009).

Dari hasil uji reliabilitas ke dua kuisioner didapatkan hasil

bahwa nilai alpha () lebih besar dari nilai rtabel.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data


Untuk variabel Pantangan Makan pada pengumpulan data

dilakukan dengan mengambil data Primer dengan menggunakan

kuisioner di BPM Malika, J., Amd. Keb Desa Rejosari Kecamatan

Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu dan untuk variabel lama

Penyembuhan Luka Perineum dapat melihat dari lembar observasi

yang ada di BPM Malika, J., Amd. Keb Desa Rejosari Kecamatan

Mantewe Kabupaten Tanah Bumbu.

4.8 Tehnik Pengolahan Data

Menurut Nursalam (2013), Teknik pengolahan data terdiri dari:

1. Editing

Pada tahap ini tiap-tiap lembar rekam medik diteliti apakah

semua item sudah terpenuhi atau belum.

2. Coding
62

Setelah data terkumpul dan selesai diedit di lapangan, tahap

berikutnya yaitu adalah mengkode data, yaitu melakukan

pemberian kode untuk setiap pertanyaan-pertanyaan untuk

memudahkan dalam pengolahan data.

Untuk coding variabel pantangan makan sebagai berikut :

1. Ya : 1

2. Tidak : 2

Untuk coding Variabel lama Penyembuhan Luka Perineum sebagai

berikut :

1. Baik :3

2. Sedang : 2

3. Lambat : 1

3. Scoring
Pertanyaan yang dijawab diberi skor atau nilai sesuai yang

telah ditetapkan pada pelayanan operasional.

4. Tabulating
Data yang ada disusun dalam bentuk tabel atau grafik

Distribusi Frekuensi dan diolah dengan menggunakan program

Statistical Package of Sosial Science (SPSS) 16.

4.9 Teknik Analisa Data


4.9.1 Analisis Univariat
Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat yaitu

untuk menjelaskan/mendeskrpsikan karakteristik setiap variable yang

diteliti Setelah semua data terkumpul, data tersebut diolah secara


63

manual, maka hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel. dengan

mengumpulkan data, mengelompokan data, memasukan data dalam

tabel dan dalam bentuk narasi ( Notoadmojo, 2012).

Caranya yaitu dengan membagi frekuensi kejadian (F) dengan

populasi (N) dan dikalikan 100% dengan rumus sebagai berikut :

F
P = N X 100%

Keterangan :
F : frekuensi kejadian
N : populasi penelitian
P : Persentase distribusi

Menurut Sugiono (2012), hasil pengolahan data dibuat dalam

bentuk persentasi dan di interpretasi dalam skala sebagai berikut :

100 % : Seluruhnya
76-99 % : Hampir Seluruhnya
51-75 % : Sebagian Besar
50 % : Setengahnya
26-49% : Hampir setengahnya
1-25% : Sebagian Kecil
0% : Tidak satupun

4.9.2 Analisa Bivariat


Analisa Bivariat dilakukan untuk mencari hubungan antar dua

variabel yaitu untuk menganalisa data untuk melihat hubungan atau

korelasi antara variabel independent dan variabel dependent.


64

Data dianalisis dengan menggunakan uji statistic Chi Square

(x2) untuk mengetahui hubungan antara variabel independent dan

variabel dependent dengan α = 0,05.

Menggunakan rumus uji Chi-square

𝑥2
b k Dengan
(𝑜𝑖𝑗 − 𝑒𝑖𝑗 )2 𝑑𝑓 = (𝑏 − 1)(𝑘 − 1)
= ∑ ∑
𝑒𝑖𝑗
i=1Di mana
j=1 :

(𝑛𝑖. )(𝑛.𝑗 )
𝑒𝑖𝑗 =
𝑛
Keterangan:
x2 : Chi Square
o : jumlah observasi (pengamatan)
e : jumlah ekspektasi (harapan)
b : jumlah baris
k : jumlah kolom
n : jumlah semua pengamatan
ni. : jumlah semua pengamatan pada baris ke-i
n.j : jumlah semua pengamatan pada baris ke-j

Aturan pengambilan keputusan dari hasil analisis yang dilakukan

adalah:

a. Jika nilai p value ≤ a (0,05) = 95 %, maka Ho ditolak atau Ha

diterima, Artinya variabel tersebut memiliki pengaruh yang

bermakna.

b. Jika p value > a (0,05), maka Ho diterima atau Ha ditolak. Artinya

variabel tersebut tidak memiliki pengaruh yang bermakna dengan

tingkatan sebagai berikut :


65

1. 0,000 – 0,005 : Sangat Erat

2. 0,006 – 0,009 : Erat

3. 0,01 – 0,02 : Cukup

4. 0,03 – 0,04 : Berhubungan tapi sangat tipis ( Sugiyono,

2010).

Anda mungkin juga menyukai