Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sekarang ini pelayanan kesehatan di Indonesia hampir melupakan tentang
bahaya infeksi nosokomial yang merupakan infeksi yang terjadi di rumah sakit di
Indonesia. Padahal infeksi ini sangat rawan terjadi terutama pada pasien yang dirawat
di rumah sakit maupun petugas kesehatan yang sedang bertugas. Resiko infeksi
nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat juga terjadi
pada para petugas rumah sakit tersebut. Infeksi petugas sangat berpengaruh pada mutu
pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien dengan
maksimal (Hartono, 2009 didalam Riska 2014).
Infeksi nosokomial merupakan masalah besar yang dihadapi rumah sakit. Infeksi
nosokomial/hospital acquired infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan
berkembang selama pasien di rawat di rumah sakit (World Health Organization, 2009).
Infeksi nosokomial dapat meningkatkan angka kematian. Infeksi nosokomial adalah
infeksi yang dialami pasien dari rumah sakit pada saat menjalani proses perawatan.
Infeksi nosokomial dapat terjadi akibat adanya transmisi mikroba patogen yang
bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Kerugian dari infeksi
nosokomial adalah hari rawat penderita yang bertambah, beban biaya menjadi semakin
besar, serta menjadi bukti yang menunjukan bahwa manajemen pelayanan medis di
rumah sakit tersebut kurang bermutu (WHO, 2009 didalam Priswanto, 2011).
Berbagai upaya dalam pencegahan infeksi nosokomial sebaiknya menjadi
prioritas di setiap tempat pelayanan kesehatan. Pada tahun 2011 Kementerian
Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes 1691 tahun 2011 pasal 7 dengan bunyi “Setiap
Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien”. Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS) sangat penting dalam menggambarkan
mutu pelayanan rumah sakit, ditambah lagi pelayanan dalam pencegahan infeksi sering
dijadikan sebagai acuan dalam proses akreditasi rumah sakit.
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak
di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi
masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 Rumah Sakit dari 14 negara yang berasal dari
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi
nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Harry, 2010). Di Amerika Serikat,
2 juta orang pertahunnya menderita HAI serta menyebabkan 9000 kematian. Di Inggris,
terdapat 100.000 kasus HAI serta menyebabkan 5000 kematian tiap tahunnya (WHO,
2009).
Di negara maju infeksi yang didapat dalam rumah sakit terjadi dengan angka
yang cukup tinggi. Infeksi nosokomial menyebabkan 20.000 kematian setiap tahun di
Amerika Serikat, 10% pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi yang baru
selama dirawat sampai 1,4 juta infeksi setiap tahun di seluruh dunia (Ahituta, 2009
didalam Ilkafah, 2017).
Menurut Dewan Penasehat Aliansi Dunia untuk Keselamatan Pasien, infeksi
nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Studi yang
dilakukan WHO (2009) pada 55 rumah sakit di 14 negara di seluruh dunia,
menunjukkan bahwa 8,7% pasien rumah sakit menderita infeksi selama menjalani
perawatan di rumah sakit, sementara itu di negara berkembang, diperkirakan lebih dari
40% pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial (Ahituta, 2009 didalam
Ilkafah, 2017).
Menurut Depkes RI (2011), angka kejadian infeksi di rumah sakit sekitar 3–21%
(rata-rata 9%) atau lebih 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia. Di
Indonesia infeksi nosokomial mencapai 15,74% jauh diatas negara maju yang berkisar
4,8–15,5% (Firmansyah, 2010).
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada
2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama
dirawat. Faktor-faktor penunjang peningkatan ini adalah meningkatnya pasien yang
lemah yang masuk ke rumah sakit dan penggunaan tehnologi invasif beresiko tinggi
(Jeyamohan, 2010).
Beberapa kejadian infeksi nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian
pada pasien, akan tetapi ini menjadi penyebab penting pasien dirawat lebih lama di
Rumah Sakit. Infeksi nosokomial merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab
langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Infeksi ini bisa ditularkan dari
pasien ke petugas maupun sebaliknya, pasien ke pengunjung atau sebaliknya, serta
antar orang yang berada di lingkungan Rumah Sakit. Penyebab infeksi nosokomial
akan menjadi kuman yang berada di lingkungan Rumah Sakit atau oleh kuman yang
sudah dibawa oleh pasien itu sendiri, yaitu kuman endogen. Bahaya dari terjadinya
infeksi nosokomial adalah meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka
kematian (mortality) serta dapat memperlama perawatan pasien di Rumah Sakit dan
dapat mempengaruhi mutu pelayanan Rumah Sakit. Dari batasan ini dapat disimpulkan
bahwa kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang secara potensial dapat dicegah.
Cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak langsung antara pasien dengan
personel yang merawat atau menjaga pasien, kontak tidak langsung ketika obyek
didalam lingkungan yang terkontaminasi dan tidak didesinfeksi atau disterilkan
(Amdani, 2009).
Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak perkembangan yang telah
dibuat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi
nosokomial di banyak negara dan di beberapa negara kondisinya justru sangat
memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan dan perubahan
pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta penggunaan jasa diluar Rumah Sakit.
Karena itulah, dinegara-negara miskin dan berkembang pencegahan infeksi
nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien di
Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Otani, Kurz, Barney, & Steven, 2015).
Tingginya angka prevalensi kejadian infeksi nosokomial tersebut merupakan
ancaman bagi pelayanan rumah sakit. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mencegah
terjadinya infeksi nosokomial yang salah satunya dengan melakukan hand hygiene
(Otani, Kurz, Barney, & Steven, 2015).
Oleh karena itu hand hygene menjadi metode pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial yang paling penting karena tangan merupakan salah satu wahana
yang paling efisien untuk penularan infeksi nosokomial (Schaffer, 2010).
Hand hygene adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari
kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun atau air. Tujuan hand hygene adalah
untuk menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan
mengurangi jumlah mikroorganisme (Tietjen, 2009). Salah satu tenaga kesehatan yang
paling rentan terhadap penyakit infeksi tersebut adalah perawat karena yang bertugas
selama 24 jam di rumah sakit dan yang sering berinteraksi dengan pasien adalah
perawat (Tietjen, 2009).
Hand hygene harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan
tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk
menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan sehingga
penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Indikasi hand
hygene harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadi perpindahan kuman
melalui tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi
pencemaran dan setelah melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran
(Depkes, 2009). Mencuci tangan merupakan tehnik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005 didalam Anindi, 2010).
Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan
pengontrolan infeksi. Sedangkan menurut Schaffer didalam Anindi (2010) mencuci
tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk menghindari penyakit,
agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar hilang. Dapat disimpulkan
mencuci tangan (hand hygiene) merupakan teknik dasar yang paling penting dalam
pencegahan infeksi dengan cara membasahi tangan dengan air mengalir memakai
sabun untuk menghilangkan kotoran.
Meskipun hand hygiene merupakan teknik dasar yang penting dalam
pencegahan infeksi namun tingkat kepatuhan petugas kesehatan khususnya perawat
dalam melakukan hand hygiene masih sangat rendah. Perilaku kepatuhan hand hygiene
perawat merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap
pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. Studi di Amerika Serikat menunjukkan
tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan masih sekitar 50% dan di Australia
sekitar 65%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Karaaslan dkk (2014) diunit
perawatan intensif neonatal dan anak Rumah Sakit Universitas Marmara Istanbul
didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene yaitu sebesar
43,2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Pittet (2013) didapatkan rata-rata
kepatuhan cuci tangan di rumah sakit universitas Geneva adalah sebesar 48%.
Angka kepatuhan hand hygiene di Indonesia juga masih sangat rendah. Dilihat
dari penelitian yang dilakukan Damanik (2011), didapatkan angka kepatuhan perawat
dalam melakukan hand hygiene hanya sebesar 48,3%. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Pratama (2015), ditemukan bahwa tingkat kepatuhan melaksanakan
hand hygiene di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung masih sangat rendah yaitu sebesar
36%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suryoputri (2011), didapatkan angka
kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene berdasarkan bangsal adalah 24,16%
(Bedah), 26,09% (Anak), 25,13% (Interna), 25,9% (HCU), 26,11% (PICU), dan
25,72% (ICU).
Di Sumatera Barat angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene
juga masih sangat rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Ananda (2014), didapatkan
angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene di RSUP M. Djamil Padang
yaitu sebesar 34,2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kharliasni (2015) di
Ruang Rawat Inap RSI Ibnu Sina Padang didapatkan kepatuhan perawat melakukan
hand hygiene adalah sebesar 41,5%.
Penelitian lain dilakukan oleh Yahya (2015), didapatkan angka kepatuhan
perawat dalam melakukan hand hygiene di RSUD dr. Rasidin Padang yaitu sebesar
51,3%. Dapat disimpulkan, angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene
masih sangat rendah. Rendahnya kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene
ini dipicu oleh berbagai faktor.
Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pelaksanaan
langkah-langkah hand hygiene perawat. Menurut teori Lawrence Green ada tiga faktor
utama yang mempengaruhi setiap individu dalam melakukan sebuah perilaku dalam
hal ini perilaku hand hygiene yaitu faktor pendorong (predisposing factor), yang
terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi. Faktor penguat
(reinforcing factor) yang terwujud dalam supervisi, peran kader, tokoh agama, tokoh
masyarakat. Faktor pemungkin (enabling factor), yang terwujud dalam sarana dan
prasarana, sumber daya, kebijakan, pelatihan (Sutiyono dkk, 2014).
Teori lain terkait faktor yang mempengaruhi perilaku yang dikemukakan oleh
Gibson dan Ivancevich yaitu faktor individu, faktor organisasi, dan faktor psikologi
(Yanti dan Warsito, 2013). Gibson menjelaskan bahwa faktor individu yang
mempengaruhi kinerja adalah pengetahuan, umur, pendidikan, masa kerja dan status
pegawai. Selanjutnya faktor organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan,
supervisi, imbalan, kebijakan, struktur, kerjatim. Adapun faktor psikologis terdiri dari
persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi (Purwanti, 2010).
Menurut teori WHO (2007) didalam Anindi 2010, terdapat 4 determinan
mengapa seseorang berperilaku yakni : (1) Pemikiran dan perasaan yang dipengaruhi
oleh beberapa hal seperti pengetahuan, kepercayaan, dan sikap, (2) adanya acuan atau
referensi dari seseorang yang dipercayai, (3) sumber daya yang tersedia seperti fasilitas,
uang, waktu, tenaga kerja dan (4) kebudayaan, kebiasaan, nilai, maupun tradisi yang
ada di masyarakat.
Menurut beberapa teori diatas dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi
perilaku kepatuhan perawat dalam pelaksanaan langkah-langkah hand hygiene menurut
teori Lawrence yaitu faktor pendorong, faktor pemungkin dan faktor penguat, menurut
teori Gibson faktor yang mempengaruhi perilaku dalam hal ini perilaku hand hygiene
yaitu faktor individu, faktor organisasi dan faktor psikologi dan menurut teori WHO
faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu pemikiran dan perasaan, adanya acuan atau
referensi dari seseorang yang dipercayai, sumber daya yang tersedia dan kebudayaan,
kebiasaan, nilai, maupun tradisi yang ada di masyarakat (Mandala, 2014).
Pengetahuan merupakan salah satu faktor pendorong dan faktor individu yang
dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan
adalah suatu hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Perilaku yang didasarkan pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Sedangkan menurut Hidayat (2007), pengetahuan (knowledge) adalah suatu proses
dengan menggunakan pancaindra yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu
dapat menghasilkan pengetahuan dan keterampilan. Dapat disimpulkan pengetahuan
adalah suatu proses atau suatu hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu yang menghasilkan suatu keterampilan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saragih dan
Rumapea (2010) menunjukkan bahwa perawat dengan tingkat pengetahuan yang baik
tentang cuci tangan mempunyai kepatuhan yang lebih tinggi. Sejalan dengan penelitian
Pratama (2015) yang menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan
perawat dalam melakukan hand hygiene yaitu pengetahuan. Penelitian lain
menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan
kepatuhan perawat melakukan hand hygiene (Damanik, 2011). Dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan
perawat dalam melakukan hand hygiene.
Masih rendahnya angka kepatuhan petugas dirumah sakit dalam melakukan
hand hygiene menyebabkan tingginya angka kejadian infeksi nosokomial disuatu
instansi kesehatan (Mandala, 2014).
Dari fenomena diatas penulis tertarik melakukan penelian dengan judul
“Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Infeksi Nosokomial dengan
Kepatuhan Perawat Melakukan hand hygiene di Ruang Akasia Rumah Sakit dr. H.
Andi Abdurrahman Noor”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas rumusan masalah yang saya buat adalah “Apakah ada
hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial dengan
kepatuhan perawat melakukan hand hygiene di Ruang Akasia Rumah Sakit dr. H. Andi
Abdurrahman Noor tahun 2018 ?”.

1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang
infeksi nosokomial dengan kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene di
Ruang Akasia RSUD dr. H. Andi Abdurahman Noor Kabupaten Tanah Bumbu tahun
2018.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat di Ruang Akasia RSUD dr. H.
Andi Abdurrahman Noor Kabupaten Tanah Bumbu 2018.
2. Mengidentifikasi kepatuhan perawat di Ruang Akasia RSUD dr. H. Andi
Abdurrahman Noor Kabupaten Tanah Bumbu 2018.
3. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi
nosokomial dengan kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene di
Ruang Akasia RSUD dr. H. Andi Abdurahman Noor Kabupaten Tanah Bumbu
tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai