PENDAHULUAN
Fungsi organ spesifik diatur oleh makromolekul yang bekerja sebagai pemicu
biologis dan dapat mengubah suatu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Fungsi
pemicu biologis tergantung pada struktur makromolekul yang terlibat. Bila suatu
mikromolekul obat berinteraksi dengan gugus fungsional makromolekul reseptor,
timbul energi yang akan berkompetetisi dengan energi yang menstabilkan
makromolekul tersebut, terjadi perubahan struktur dan distribusi muatan molekul,
menghasilkan makromolekul dengan bentuk konformasi yang baru. Perubahan
konformasi ini merupakan bagian penting dalam sistem pemicu biologis karena dapat
menyebabkan modifikasi fungsi organ spesifik sehingga timbul respons biologis.
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik,
dan dapat berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung
gugus fungsional spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.
Untuk dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik molekul obat harus mempunyai
faktor sterik dan distribusi muatan yang spesifik pula. Interaksi obat-reseptor terjadi
melalui dua tahap yaitu :
1
Interaksi obat-reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik)
yaitu kemampuan obat untuk mengubah bentuk konformasi makromolekul
protein sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
Interaksi obat-reseptor dapat membentuk kompleks obat-reseptor yang
merangsang timbulnya respons bilogis, baik respons agonis maupun
antagonis. Mekanisme timbulnya respons biologis dapat dijelaskan dengan
teori interaksi obat-reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat-reseptor, antara lain adalah teori
klasik, teori pendudukan, teori kecepatan, teori kesesuaian terimbas, teori
gangguan makromolekul, teori pendudukan-aktivasi, konsep kurir kedua, serta
teori mekanisme dan farmakopor sebagai dasar rancangan obat.
2
1.3 Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Lalu Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi
interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap, yaitu :
1. Pembentukan kompleks obat-reseptor
2. Menghasilkan respons biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas
dapat menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk
menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat-reseptor.
Jadi respons biologis merupakan fungsi dari jumlah kompleks obat-reseptor.
Proses interaksi obat-reseptor menurut Ariens-Stephenson dijelaskan dengan
bagan sebagai berikut :
afinitas
O+R komplek O-R efikasi respons biologis
Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan
kecepatasn ikatan reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya. Disini
tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian
(disosiasi) kompleks obat- reseptor dan bukan dari pembentukan kompleks obat-
reseptor yang stabil.
asosiasi
O+ R kompleks O-R disosiasi respon biologis
5
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat
mengikatr rseptor besar dan disosiasi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis
apabila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedangkan disosiasinya sangat
kecil. Di sini pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi senyawa
agonis yang produktif. Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan
disosiasinya tidak maksimal.
Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat
menginduksi terjadinya perubahan konformasi struktur enzim serhingga
menyebabkan orientasi gugus – gugus aktif enzim.
6
Diduga bahwa enzim atau protein membran memegang peranan penting
dalam mengatur pengangkutan ion. Substrat, seperti asetilkolin, akan mengikat
reseptor atau protein membran dan mengubah kekuatan normal yang menstabilkan
sturktur protein, terjadi penataulangan struktur membran sehingga sifat pengaturan
ion berubah.
Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori
gangguan makromolekul. Menurut belleau, interaksi mikromolekul obat dengan
makromolekul protein (reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
konformasi reseptor sebagai berikut :
Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah
struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.
Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat
mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek
pemblokan.
Pada terori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada
proses pengikatan obat-reseptor.
7
2.6 TEORI PENDUDUKAN-AKTIVASI
Ariens dan Rodrigues De Miranda (1979) mengemukakan teori pendudukan
aktivasi dari molekul dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan
obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yamh
berbeda fungsinya yaitu:
1. Bentuk teraktifkan (R*) dapat menunjang efek biologis
2. Bentuk istirahat (R) tidak dap at menunjang efek biologis
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori klasik
Respons biologis timbul bila ada interaksi antara tempat atau sturktur dalam
tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai
atau obat, dan satu sama lain merupakan struktur yang saling mengisi.
Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip
dengan struktur molekul obat.
Teori pendudukan
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
merupakan :
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Teori kecepatan
Respon biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan reseptor dan bukan
dari jumlah reseptor yang didudukinya.
9
Interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein (reseptor) dapat
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor sebagai
berikut :
- Gangguan konformasi spesifik (Specific conformational perturbation =
SCP).
- Gangguan konformasi tidak spesifik (Non specific conformational
perturbation = NSCP).
TEORI PENDUDUKAN-AKTIVASI
Sebelum berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan
dinamik antara dua keadaan yamh berbeda fungsinya yaitu:
3. Bentuk teraktifkan (R*) dapat menunjang efek biologis
4. Bentuk istirahat (R) tidak dapat menunjang efek biologis
3.2 Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
11