Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Fungsi organ spesifik diatur oleh makromolekul yang bekerja sebagai pemicu
biologis dan dapat mengubah suatu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Fungsi
pemicu biologis tergantung pada struktur makromolekul yang terlibat. Bila suatu
mikromolekul obat berinteraksi dengan gugus fungsional makromolekul reseptor,
timbul energi yang akan berkompetetisi dengan energi yang menstabilkan
makromolekul tersebut, terjadi perubahan struktur dan distribusi muatan molekul,
menghasilkan makromolekul dengan bentuk konformasi yang baru. Perubahan
konformasi ini merupakan bagian penting dalam sistem pemicu biologis karena dapat
menyebabkan modifikasi fungsi organ spesifik sehingga timbul respons biologis.

Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik,
dan dapat berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung
gugus fungsional spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.

Untuk dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik molekul obat harus mempunyai
faktor sterik dan distribusi muatan yang spesifik pula. Interaksi obat-reseptor terjadi
melalui dua tahap yaitu :

a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik.


Interaksi ini memerlukan afinitas.
b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul
protein sehingga timbul respons biologis.

1
Interaksi obat-reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik)
yaitu kemampuan obat untuk mengubah bentuk konformasi makromolekul
protein sehingga dapat menimbulkan respons biologis.
Interaksi obat-reseptor dapat membentuk kompleks obat-reseptor yang
merangsang timbulnya respons bilogis, baik respons agonis maupun
antagonis. Mekanisme timbulnya respons biologis dapat dijelaskan dengan
teori interaksi obat-reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat-reseptor, antara lain adalah teori
klasik, teori pendudukan, teori kecepatan, teori kesesuaian terimbas, teori
gangguan makromolekul, teori pendudukan-aktivasi, konsep kurir kedua, serta
teori mekanisme dan farmakopor sebagai dasar rancangan obat.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori


klasik ?
2. Bagaimana Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
pendudukan ?
3. Bagaimana Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
kecepatan ?
4. Bagaimana Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
kesesuiaian terimbas ?
5. Bagaimana Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
gangguan makromolekul ?
6. Bagaimana Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan Teori
Pendudukan-Aktivasi ?

2
1.3 Tujuan

1. Mengetahui Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori


klasik.
2. Mengetahui Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
pendudukan.
3. Mengetahui Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
kecepatan.
4. Mengetahui Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
kesesuiaian terimbas.
5. Mengetahui Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan teori
gangguan makromolekul.
6. Mengetahui Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-Reseptor berdasarkan
Teori Pendudukan-Aktivasi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TEORI KLASIK


Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu
senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada
sistem biologis mempunyai sifat karakteristik.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep
sederhana tentang interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau
obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.
Respons biologis timbul bila ada interaksi antara tempat atau struktur dalam
tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau
obat, dan satu sama lain merupakan struktur yang saling mengisi. Reseptor obat
digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul
obat.
2.2 TEORI PENDUDUKAN
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu
sisi reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif
selama proses pembentukan kompleks.
Obat (O) akan berinteraksi dengan reseptor (R) membentuk kompleks obat-
reseptor (OR), lalu a nkan menghasilkan efek biologis (E).
Proses interaksi ini dijelaskan sebagai berikut :
(O) + (R) (OR) (E)
Besar efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah
reseptor spesifik yang diduduki oleh molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi
agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi
antagonis. Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
merupakan :

4
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Lalu Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi
interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap, yaitu :
1. Pembentukan kompleks obat-reseptor
2. Menghasilkan respons biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas
dapat menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk
menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat-reseptor.
Jadi respons biologis merupakan fungsi dari jumlah kompleks obat-reseptor.
Proses interaksi obat-reseptor menurut Ariens-Stephenson dijelaskan dengan
bagan sebagai berikut :
afinitas
O+R komplek O-R efikasi respons biologis

Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Sedangkan


efikasi (aktivitas intrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat memulai
timbulnya respons biologis dan merupakan karakteristik dari senyawa-senyawa
agonis.

2.3 TEORI KECEPATAN

Croxatto dan Huidobra (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya


efisien pada saat berinteraklsi dengan reseptor.

Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan
kecepatasn ikatan reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya. Disini
tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian
(disosiasi) kompleks obat- reseptor dan bukan dari pembentukan kompleks obat-
reseptor yang stabil.

asosiasi
O+ R kompleks O-R disosiasi respon biologis

5
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat
mengikatr rseptor besar dan disosiasi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis
apabila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedangkan disosiasinya sangat
kecil. Di sini pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi senyawa
agonis yang produktif. Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan
disosiasinya tidak maksimal.

Konsep diatas di tunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa pemblok


(antagonis) menimbulkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukan efek
pemblokan. Pada permulaan kontak obat – reseptor, jumlah reseptor yang diduduki
oleh molekul obat masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor
maksimum sehingga timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang
diduduki molekul obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor
aklan turun sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan rerspons
biologis sehingga terjadi efek pemblokan.

2.4 TEORI KESESUAIAN TERIMBAS

Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat
menginduksi terjadinya perubahan konformasi struktur enzim serhingga
menyebabkan orientasi gugus – gugus aktif enzim.

(E) + (S) Kompleks E-S respoin biologis

Contoh : pengikatan substrat pada enzim fosfoglukomutase dapat


menginduksi perubahan konformasi enzim.

Perubahan konformasi ini menyebabkan asam – asam amino lisin dan


metionin menjadi “tertutup” dan gugus SH menjadi terbuka. Hal diatas digunakan
sebagai dasar untuk menjelaskan mekaniusme kerja obat terhadap reseptor.

6
Diduga bahwa enzim atau protein membran memegang peranan penting
dalam mengatur pengangkutan ion. Substrat, seperti asetilkolin, akan mengikat
reseptor atau protein membran dan mengubah kekuatan normal yang menstabilkan
sturktur protein, terjadi penataulangan struktur membran sehingga sifat pengaturan
ion berubah.

Bila perubahan struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat


terikat kurang kuat, dan mudah terdisosiasi, terjadi efek agonis. Bila perubahan
struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat terikat cukup kuat terjadi
efek antagonis.

2.5 TEORI GANGGUAN MAKROMOLEKUL

Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori
gangguan makromolekul. Menurut belleau, interaksi mikromolekul obat dengan
makromolekul protein (reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
konformasi reseptor sebagai berikut :

1. Gangguan konformasi spesifik (Specific conformational perturbation = SCP).


2. Gangguan konformasi tidak spesifik (Non specific conformational perturbation =
NSCP).

Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah
struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.

Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat
mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek
pemblokan.

Pada terori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada
proses pengikatan obat-reseptor.

7
2.6 TEORI PENDUDUKAN-AKTIVASI
Ariens dan Rodrigues De Miranda (1979) mengemukakan teori pendudukan
aktivasi dari molekul dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan
obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yamh
berbeda fungsinya yaitu:
1. Bentuk teraktifkan (R*) dapat menunjang efek biologis
2. Bentuk istirahat (R) tidak dap at menunjang efek biologis

Senyawa dikatakan agonis bila keseimbangan menuju kebentuk yang


teraktifkan (R*). senyawa di katakan anatagonis bila keseimbanagan menuju
kebentuk istirahat (R). Senyawa dikatakan agonis parsial bila terjadi bentuk
R* dan R.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Teori klasik
Respons biologis timbul bila ada interaksi antara tempat atau sturktur dalam
tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai
atau obat, dan satu sama lain merupakan struktur yang saling mengisi.
Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip
dengan struktur molekul obat.
 Teori pendudukan
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
merupakan :
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
 Teori kecepatan

Respon biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan reseptor dan bukan
dari jumlah reseptor yang didudukinya.

 Teori kesesuaian terimbas


Bila perubahan struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat
terikat kurang kuat, dan mudah terdisosiasi, terjadi efek agonis. Bila
perubahan struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat terikat
cukup kuat terjadi efek antagonis.
 Teori gangguan makromolekul

9
Interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein (reseptor) dapat
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor sebagai
berikut :
- Gangguan konformasi spesifik (Specific conformational perturbation =
SCP).
- Gangguan konformasi tidak spesifik (Non specific conformational
perturbation = NSCP).
 TEORI PENDUDUKAN-AKTIVASI
Sebelum berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan
dinamik antara dua keadaan yamh berbeda fungsinya yaitu:
3. Bentuk teraktifkan (R*) dapat menunjang efek biologis
4. Bentuk istirahat (R) tidak dapat menunjang efek biologis

3.2 Saran

Kami berharap melalui makalah “Hubungan Struktur dan Interaksi Obat-


Reseptor” ini pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang Hubungan Struktur
dan Interaksi Obat-Reseptor, jika ada salah kalimat kami mohon kritik dan saran.
Sekian dan terima kasih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Siswandono, Bambang Seukardjo. 2011. Kimia Medisinal.Surabaya. Airlangga


University.

11

Anda mungkin juga menyukai