Anda di halaman 1dari 35

HUKUM DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Etika Profes Hukum

Dosen Pembimbing: APIP NVR YAHYA, SH.

TASIKMALA'<P..

Disusun Oleh:
Nama ROBIANTO
NPM 10.2222.1
Tk./Smt. Syari'ah/ AS
Fak./ Jur IIIN

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG


SINGAPARNA TASIKMALA YA
2012
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahm anirrah i111 ••••••


Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa ta'ala yang telah memberikan
nikmat yang tak terhingga, shalawat beserta salam marilah kitajunjungkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua kepada kemenangan.
Sehubungan dengan pembuatan makalah ini, kami ucapakan terima kasih
kepada semua pihak yang mendukung terutama kepada dosen pembimbing kami
yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan,
karena masih dalam tahap pembelajaran, tapi meskipun demikian mudah-
mudahan makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi
masyarakat.

Cipasung, Desember 2012

Penyusun,
DAFTARISI

KATA PENGANTAR

DAFT AR ISI

11

BAB I PENDAHULUAN

1
A. Latar Belakang Masai ah

1
B. Perumusan Masai ah

2
C. Tujuan Makalah

2
BAB II PEMBAHASAN

3
A. Baik Buruk Etika Hukum

11
B. HAM

8
1. Pengertian HAM

8
2. Sejarah HAM

10
3. Perkembangan HAM di Indonesia

11
4. Dasar Hukum Pemberlakuan, Penegakan dan
Penghormatan HAM di Indonesia

17
5. Pelaksanaan dan Penegakan HAM di Indonesia

18
C. Keadilan

20
1. Teori-teori Keadilan dalam Pandangan Hukum

20
2. Perspektif Keadilan Dal am Hukum Nasional

25
BAB III PENUTUP

29
A. Kesimpulan

111
29
B. Saran

29
DAFT AR PUSTAKA

IV
BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bertitik tolak dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia
percaya bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan.Manusia merupakan
makhluk ciptaan Tuhan yang yang paling sempurna karena dilengkapi oleh
penciptanya dengan akal, perasaan dan kehendak.
Akal adalah alat berpikir , sebagai sumber ilmu dan teknologi. Dengan aka!
inilah manusia manusia menilai mana yang benar dan yang salah sebagai sumber
nilai kebenaran. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan sebagai
sumber seni, sehingga dengan perasaan orang manusia menilai mana yang
indah dan mana yang jelek sebagai sumber nilai keindahan. Sedangkan
kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan, sebagai sumber kebaikan.
Sehingga dengan kehendak manusia menilai mana yang baik dan yang buruk,
sebagai sumber nilai moral.
Manusia dalam kehidupannya sudah menyadari bahwa yang benar,
yang indah dan yang baik itu menyenangkan, membahagiakan,
menenteramkan dan memuaskan manusia. Sebaliknya yang salah, yang jelek,
dan yang buruk itu menyengsarakan, menyusahkan, dan membosankan
manusia. Dari dua sisi yang bertolak belakang ini manusia adalah sumber
penentu yang menimbang, menilai, memutuskan yang paling menguntungkan
(nilai Moral).
Soren Kierkegaard seorang filsuf Denmark pelopor ajaran eksistensialisme
memandang bahwa eksistensi manusia dalam kontek kehidupan konkret
adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungannya, memiliki
sifat-sifat alamiah dan tunduk pada hukum alamiah. Kehidupan manusia
bermula dari tarap estetis, kemudian meningkat ketarap etis, dan terakhir taraf
religius.
Pada taraf kehidupan etis manusia marnpu menangkap alam sekitarnya
sebagai alam yang mengagumkan dan mengungkapkannya kembali sebagai

l
bentuk karya seni seperti lukisan,tarian nyanyian dan lain-lain. Pada taraf
kehidupan etis, manusia meningkatkan kehidupan estetis ketaraf manusiawi
dalam bentuk perbuatan bebas dan bertanggung jawab (nilai moral).
Pada taraf kehidupan religius manusia menghayati pertemuannya dengan
Tuhan penciptanya dalam bentuk takwa dimana makin dekat manusia dengan
Tuhannya maka makin dekat pula dia pada kesempurnaan hidup dan semakin
jauh dari kegelisahan dan keraguan.
Theo Huijbers juga menyatakan bahwa martabat manusia itu
menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk yang istimewa yang tiada
bandingannya di Dunia. Keistimewaan tersebut tampak pada pangkatnya,
bobotnya, relasinya, fungsinya sebagai manusia, bukan sebagai manusia
individu melainkan sebagai anggota kelas manusia, yang berbeda dengan
tumbuh-tumbuhan dan binatang. Sehingga dalam arti Universal semua
manusia bernilai dan sesuai dengan nilainya itu maka manusia harus
dihormati.
Nilai dapat diartikan sebagai ukuran yang disadari atau tidak disadari
oleh suatu masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang
baik dan sebagainya. Nilai merupakan dasar bagi norma, dan norma adalah
anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat.
Apabila dihubungkan dengan kegiatan Profesi hukum, maka kebutuhan
manusia untuk memperoleh layanan hukum juga termasuk dalam lingkup
dimensi budaya perilaku manusiawi yang dilandasi oleh nilai moral dan nilai
kebenaran. Atas dasar ini, adalah beralasan bagi pengemban profesi hukum
untuk memberikan layanan bantuan hukum yang sebaik-baiknya kepada klien
yang membutuhkannya. Hak untuk memperoleh layanan dan kewajiban untuk
memberikan layanan dibenarkan oleh dimensi budaya manusia. Namun dalam
kenyataannya, manusia menyimpang dari dimensi budaya tersebut sehingga
perilaku yang ditunjukkannya justru melanggar nilai moral dan nilai
kebenaran yang seharusnya diajunjung tinggi.
Mengapa terjadi pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran?
Terjadinya pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan

2
ekonomi yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikhis yang
seharusnya berbanding sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus
kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. Hakikat
manusia adalah makhluk budaya yang menyadari bahwa yang benar, yang
indah dan yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan
kebutuhan psikhis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia.
Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohani tercapai dalam keadaan
seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan terjadi dalam
suasana tertib, damai dan serasi (nilai etis, moral).
Tetapi karena manusia mempunyai keterbatasan, kelemahan, seperti
berbuat khilaf, keliru,maka tidak mustahil suatu ketika akan terjadi
penyimpangan atau pelanggaran kaidah sosial yang menimbulkan keadaan
tidak tertib, tidak stabil, yang perlu dipulihkan kembali.
Untuk menegakkan ketertiban dan menstabilkan keadaan diperlukan
sarana pendukung, yaitu organisasi masyarakat dan organisasi Negara. Dalam
bidang hukum organisasi masyarakat itu dapat berupa organisasi profesi
hukum yang berpedoman pada kode etik. Dalam bidang kenegaraan,
organisasi masyarakat itu adalah negara yang berpedoman pada Undang-
Undang (hukum positif). Hukum positif merupakan bentuk konkret dari sistem
nilai yang hidup dalam masyarakat.

B. Perumusan Masalah
I. Apakah yang dimaksud dengan baik-buruk etika hukum?
2. Apakah yang dimaksud dengan HAM?
3. Apakah yang dimaksud dengan peradilan?

C. Tujuan Makalah
l. Mengidentifikasi baik-buruk etika hukum.
2. Memberikan interpretasi HAM dari berbagai sudut pandang.
3. Menggali dan memberikan interpretasi tentang peradilan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Baik BurukEtika Hokum


Pembahasan baik dan buruk erat kaitannya dengan etika. Sebelum
mengkaji lebih dalam tentang baik dan buruk, maka akan disampaikan terlebih
dahulu tentang etika hukum.
Etika atau dalam bahasa lnggris disebut Ethics yang mengandung arti :
Ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup
dalam masyarakat; ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dgn akhlak; nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani kuno Ethos yang
berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap. Aristoteles adalah filsuf
pertama yang berbicara tentang etika secara kritis, reflektif, dan komprehensif.
aristoles pula filsuf pertama yang menempatkan etika sebagai cabang filsafat
tersendiri. Aristoteles dalam konteks ini lebih menyoal tentang hidup yang baik
dan bagaimana pula mencapai hidup yang baik itu. yakni hidup yang
bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan
hidupnya. menurut Aristoteles denaih apa yang mencapai tujuan hidupnya
berarti manusia itu mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. manusia ingin meraih
apa yang apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup
manusia adalah kebahagiaan, eudaimonia.
Perilaku menjadi obyek pembahasan etika, karena dalam perilaku
manusia menampakkan berbagai model pilihan atau keputusan yang masuk
dalam standar penilaian atau evaluasi, apakah perilaku itu mengandung
kemanfaatan atau kerugian baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan
oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil,
2003 : 8). profesi hukum dari aparatur hukum negara Republik Indonesia

4
dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara.
Pengemban profesi hukum harus bekerja secara profesional dan
fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan. kritis, dan
pengabdian yang tinggin karena mereka bertanggung jawab kepada diri
sendiri dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Pengemban profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik profesinya,
apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela
mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik.
Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan kehormatan yang akan
mengoreksi pelanggaran kode etik.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut
pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan
kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap
profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis
Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari
kepribadian profesional hukum.
1. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional
hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik
dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu:
a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan
melayani atau secara cuma-cuma
b. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan,
tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak
memeras.
2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan
keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional
hukum antara lain:
a. tidak menyalahgunakan wewenang;

5
b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan rnartabat (malkukan
perbuatan tercela;
c. mendahulukan kepentingan klien;
d. berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-
mata menunggu atasan;
e. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.
3. Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib
bertanggung jawab, artinya:
a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang
termasuk lingkup profesinya ;
b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan
perkara cuma-cuma (prodeo);
c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
kewaj ibannya.
4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak
mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan
memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara
moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi
oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai
kesusilaan dan agama.
5. Keberanian Moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang
menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian
tersebut antara lain:
a. menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang
tidak sah.

6
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etika perofes hukum
adalah Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk,
yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum
dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan hukum
bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum
berpredikat profesi hukum yaitu: Polisi, Jaksa, Penasihat hukum (advokad,
pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam
lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika.
Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor
kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud
pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang
wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat
ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan
keadilan, keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima,
dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan
terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh
pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan
kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Urgensi atau pentingnya ber'etika sejak jaman Aristoteles menjadi
pembahasan utama dengan tulisannya yang berjudul " Ethika Nicomachela".
Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang
manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan
tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain.
Pandangan aristoles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan
kepedulian dan tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada
etika, kehidupan manusia manjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan
untuk melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh
suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum.
Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan

7
dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya
pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat
disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang
merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun
seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-
kaidah etika memang menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya
dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-
duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai
manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi
lain ada aturan yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan,
misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat
Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak
pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia.
apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-
ketentuan hukum dan etika yang menentukannya; ada keharusan, perintah dan
larangan, serta sanksi-sanksi.

B. HAM
1. Pengertian HAM
Istilah Hak Asasi Manusia dalam beberapa bahasa asmg dikenal
dengan sebutan droit de )'home (perancis), yang berarti hak manusia, Human
Rights (Inggris) atau mensen rechten (Belanda) yang dalam bahasa Indonesia
disalin menjadi hak-hak kemanusian atau hak-hak asasi manusia.
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak seperti hak untuk hidup, hak
berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan,
hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan merupakan hak
yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun, seperti yang
tercantum pada rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia vide Tap MPR No. XVII/MPR/1998.

8
Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati
yang secara inheren melekat dalam setiap diri manusia sejak dilahirkan.
Pengertian ini mnengandung arti bahwa HAM merupakan karunia dari yang
maha kuasa kepada.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada diri
manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai
manusia. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya
di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi bersifat umum (universal), karena
diyakini beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, agama, atau
jenis kelamin. Dasar dari hak asasi, bahwa manusia harus memperoleh
kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. Hak
Asasi manusia bersifat supralegal, artinya tidak bergantung kepada adanya
suatu Negara atau undang-undang dasar, maupun kekuasaan pemerintah,
bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi, karena hak asasi manusia dimiliki
manusia bukan karena kemurahan atau pemberian pemerintah, melainkan
Karena berasal dari sumber yang lebih tinggi. Disebut HAM karena melekat
pada eksistensi manusia, yang bersifat universal, merata dan tidak dapat
dialihkan.
Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memrlukan
legitimasi yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu system hukum nasional
maupun Internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan
konstitusional terhadap HAM , hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia.
Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang
paling hakiki dalam diri manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan
manusia bersifat sekuler dan positivistic, maka eksistensi HAM memerlukan
landasan yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan man us ta.
Perjuangan dan perkembangan hak-hak asasi manusia di setiap negara
mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan perjalanan
hidup bangsanya, meskipun demikian sifat dan hakikat HAM di mana-mana

9
pada dasarnya sama juga. Atas dasar itulah maka tidak ada orang atau badan
manapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya. Demikian pula
tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada
kekuasaan apapun untuk membelenggungnya.

2. Sejarah HAM
Sejarah HAM dimulai pada saat berakhirnya Perang Dunia II. Dan,
negara-negara penjajah berusaha menghapuskan segi-segi kebobrokan daripada
penjajahan, sehingga pemikir-pemikir Barat mencetuskan konsep "Declaration of
Human Rights" (DUHAM) pada tahun 1948. Semula Konsep HAM ini secara
sukarela dijual ke semua negara yang sedang berkembang atau negara bekas
jajahan namun tidak banyak mendapat respon. Banyak negara tidak bersedia
menandatangani "Declaration of Human Rights".
Hak Asasi Manusia (HAM) dilahirkan oleh sebuah komisi PBB yang
dipimpin Eleanor Roosevelt, dan pada 10 Desember 1948 secara resmi
diterima oleh PBB sebagai "Universal Declaration of Human Rights".
Universal Declaration of Human Rights (1948) memuat tiga puluh pasal,
menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan kebudayaan yang
fundamental yang harus dinikmati oleh manusia di dunia ini.Hal itu sesuai
dengan pasal 1 piagam PBB, menegaskan salah satu tujuan PBB adalah untuk
mencapai kerjasama intemasiomal dalam mewujudkan dan mendorong
penghargaan atas hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan yang mendasari
bagi semua orang, tanpa membedakan suku bangsa, kelamin, bahasa maupun
agama. Pada awalnya deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan moral
anggota PBB, tetapi sejak 1957 dilengkapi 3 (tiga) perjanjian :
a. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
b. International Covenant em civil and political rights
c. Optional Protocol to the International covenant on civil and Political
Rights
Ketiga dokumen tersebut diterima Sidang Umum PBB 16 Desember
1966, dan kepada anggota PBB diberi kesempatan untuk meratifikasinya.

10
Setiap Negara yang meratifikasi dokumen tersebut, berarti terikat dengan
ketentuan dokumen tersebut. Kovenan tersebut bertujuan memberi
perlindungan atas hak-hak (rights) dan kebebasan (freedom) pribadi manusia.
Setiap Negara yang meratifikasi kovenan tersebut, menghormati dan
menjamin semua individu di wilayah kekuasaannya, dan mengakui kekuasaan
pengadilan hak-hak yang diakui dalam kovenan tersebut, tanpa membedakan
ras, wama kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal-usul
kebangsaan atau social, harta milik, kelahiran atau status Jainnya. Meskipun
telah disepakati secara aklamasi oleh sejumlah anggota PBB, baru 10 tahun
kemudian perjanjian itu dapat diberlakukan. Ini disebabkan pada tahun 1976,
baru 35 negara bersedia meratifikasi. Bahkan tidak berbeda dengan Indonesia,
Negara yang merasa dirinya champion dalam hak asasi manusia seperti USA
dan Inggris hingga awal decade 1990-an belum meratifikasi kedua kovenan
tersebut

3. Perkembangan HAM di Indonesia


Memang jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat
banyak sekali kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-
kasus penggusuran rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan,
pembersihan para pedagang kaki Jima yang sering meresahkan para pengguna
jalan raya seperti para pengguna kendaraan bermotor dan para pejalan kaki
Berikut adalah perkembangan HAM di Indonesia
a. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 - 1945)
1) Boedi Oetomo
Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah
memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui petisi - petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun
dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran
HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat.

11
2) Perhimpunan Indonesia; Lebih menitikberatkan pada hak untuk
menentukan nasib sendiri.
3) Sarekat Islam; Menekankan pada usaha - usaha unutk memperoleh
penghidupan yang Jayak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi
rasial.
4) Partai Komunis Indonesia; Sebagai partai yang berlandaskan paham
Marxisme lebih condong pada hak - hak yang bersifat sosial dan
menyentuh isu - isu yang berkenan dengan alat produksi.
5) lndische Partij; Pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak
untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang
sama dan hak kemerdekaan.
6) Partai Nasional Indonesia; Mengedepankan pada hak untuk
memperoleh kemerdekaan.
7) Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia
Menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan
pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan
berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam
penyelenggaraan Negara. Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga
terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan
Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi
dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan
kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak
untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan
lisan.

b. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 - sekarang)


1) Periode 1945 - 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada
hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi

12
politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan
pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
Iegitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan
masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45.
kornitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan
dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.Langkah
selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan
partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945.
2) Periode 1950- 1959
Periode 1950 - 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia
dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran
HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat
demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di
kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof Bagir Manan
pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalarni " pasang"
dan menikmati " bulan madu " kebebasan. Indikatornya menurut ahli
hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak
tumbuh partai - partai politik dengan beragam ideologinya masing -
masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul - betul
menikmati kebebasannya. Ketiga, pernilihan umum sebagai pilar Iain
dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan
demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat
resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya
sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif
terhadap eksekutif Kelima, wacana dan pernikiran tentang HAM
mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

13
3) Periode 1959- 1966
Pada periode rm sistem pemerintahan yang berlaku adalah
sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno
terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi
terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam
tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi
pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
4) Periode 1966- 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke
Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM.Pada masa awal
periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu
seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan
HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah
Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional
Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical
review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam
rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui
Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan
dalam piagam tentang Hak - hakAsasiManusiadanHak - hak serta
KewajibanWarga negara. Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-
an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami
kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan
ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif
yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif
terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan
bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan
nilai -nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta
bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana

14
tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan
dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah
ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan
oleh Negara - Negara Barat untukmemojokkan.
Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Meskipun
dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran,
pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama
dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya
Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhadap penegakan
HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan
jaringan dan Jobi intemasional terkait dengan pelanggaran HAM yang
terjadi seprtikasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM
di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.Upaya yang dilakukan oleh
masyarakat menjelang periode
1990-an Nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena
terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensive
menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan
dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan
KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini
bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, serta
member pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal
pelaksanaan HAM.
5) Periode 1998 - sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan
dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di
Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan
dan perlindungan HAM.Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan
perundang - undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM

15
dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia.
Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan
ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan
HAM diadopsi dari hokum dan instrument lnternasional dalam bidang
HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui
dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan
secara konsisten. Pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa
penentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen
konstitusi Negara ( Undang-undangDasar 1945 ), ketetapan MPR
( TAP MPR ), Undang - undang (UU), peraturan pemerintah dan
ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pada masa menjelang peralihan pemerintahan dari masa Orde
Baru ke masa Reformasi banyak sekali kejadian menyangkut
pelanggaran HAM ini. Peristiwa 1998 yang berujung penguduran diri
Presiden Soeharto pada waktu itu sebetulnya adalah puncak dari segala
peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan yang sangat represif, banyak aktifis
yang tiba-tiba hilang tak tahu di mana rimbanya. Disinyalir kuat
mereka telah diculik dan dibunuh oleh tangan-tangan penguasa pada
waktu itu.
Aksi demo besar-besaran mahasiswa dari seluruh Indonesia
juga menyimpan sejumlah kasus pelanggaran HAM oleh aparat
keamanan terhadap rakyat sipil. Semuanya berlangsung secara
sporadic dan sangat massif pada waktu itu. Karena institusi hukum
telah dikuasai oleh penguasa, maka HAM adalah alat yang digunakan
untuk menjerat para pelaku pelanggaran tersebut. Bahkan ketika masa
reformasi, cara-cara pelenyapan aktifis masih juga terjadi. Masih segar
dalam ingatan kita bagaimana almarhum Munir yang tewas secara
mendadak dalam perjalanannya ke Belanda. Di dalam darahnya

16
ditemukan racun jenis arsen yang melewati ambang batas normal.
Diduga kuat dia telah dengan sengaja diracun.

4. Dasar Hokum Pemberlakuan, Penegakan dan Penghormatan HAM di


Indonesia
Istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak
dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun
penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan
tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan
Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau
amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di
Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun Iembaga),
telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat
piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang
didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-
kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhimya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya
HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang
Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November
1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah
diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak
Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan
dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
disahkan pada tanggal 23 september 1999.
Undang-Undang ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun
1999 yang kemudian disempumakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9
Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

17
yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta
dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi
internasional yang mengatur HAM, antara lain :
1. Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun
1998.
2. Konvensi mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun
1958.
3. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita,
melalui UU No. 7 Tahun 1984.
4. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun
1990.
5. Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang
pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
6. Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999,
melalui UU No. 29 Tahun 1999.

5. Pelaksanaandan Penegakan HAM di Indonesia


Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif
dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS
HAM dan Pengadilan HAM, regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU
No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad
hoc, akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya
kebenaran hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara
secara egali ter.
Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah
terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik
yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus
disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu
memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula

18
keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat
merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.
Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu
menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena
konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita
praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran.
Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan
kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan
sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak orang lain.
Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue
mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang
sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang telah
terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai
pada pelanggaran HAM berat(gross human right violation). Disamping itu
juga karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam
memperjuangkan pemajuan dan perlindungan HAM
Masalah Hak Azasi Manusia (HAM) "populer" di Indonesia pada
masa pemerintahan Orde Baru. Di masa ini banyak peristiwa yang dinilai
merupakan pelanggaran HAM.
Pada dasarnya HAM terdapat pada UUD 1945 BAB X-A pasal 28-A
sampai dengan pasal 28-J. Sebagian kalangan menafsirkan, dengan adanya
dasar hukum tersebut maka masyarakat Indonesia berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum (UUD 1945 Amandemen ke-2 pasal 28-D ayat 1).
Memang jika ditilik dari defenisi HAM maka di Indonesia tercatat
banyak sekali kasus yang terjadi khususnya di bidang HAM. Misalnya kasus-
kasus penggusuran rumah-rumah warga yang dibangun di sekitar jembatan,
pembersihan para pedagang kaki lima yang sering meresahkan para pengguna
jalan raya seperti para pengguna kendaraan bermotor dan para pejalan kaki.

19
Pada masa menjelang peralihan pemerintahan dari masa Orde Baru ke
masa Reformasi banyak sekali kejadian menyangkut pelanggaran HAM ini.
Peristiwa 1998 yang berujung penguduran diri Presiden Soeharto pada waktu
itu sebetulnya adalah puncak dari segela peristiwa yang terjadi sebelurnnya.

C. Keadilan
1. Teorl-teori Keadilan dalam PandanganHokum
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai rnahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan "the search for justice". Berbagai macam teori mengenai
keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-
teori itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam bukunya
nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a
theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya
general theory of law and state.
a. Teori Keadilan Aritoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat
dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi
keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap
sebagai inti dari filsafat hukurnnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan
dalam kaitannya dengan keadilan".
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian
hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan
manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat
dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum
sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi
haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

20
Lebih Janjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi
kedalam dua macam keadilan, keadilan "distributief" dan keadilan
"commutatief". Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan
kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief
memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-
bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar
menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan nu
Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang Jain yang sama-sama bisa
didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan "pembuktian"
matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah
distribusi kekayaan dan barang berharga Jain berdasarkan nilai yang
berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi mas
yarakat.
b. Teori Keadilan John Rawls
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf
Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice,
Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh
pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif "liberal-
egalitarian of social justice", berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).
Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang
telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat Jemah pencari
keadilan.
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai
prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep

21
ciptaanya yang dikenal dengan "posisi asali" (original position) dan
"selubung ketidaktahuan" (veil of ignorance).
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan
sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada
pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara
satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan Jainnya dapat
melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai
suatu "posisi asasli" yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif
dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat
(basic structure of society).
Sementara konsep "selubung ketidaktahuan" diterjemahkan oleh
John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh
fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial
dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau
pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep
itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan
yang adil dengan teorinya disebut sebagai "Justice as fairness".
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep "posisi asasli"
terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya pnnsip
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat
universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan
sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang
sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of
religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan
berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and
expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai pnnsip
perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada pnnsip
persamaan kesempatan (equal oppotunity principle).

22
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap
keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua,
mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi
sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diatumya struktur
dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek
mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas
diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang
beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal:
Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-
institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap
aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum
lemah.
c. Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara
yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme,
nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum
yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa
keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.
Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai
pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang
adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap
perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak

23
mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap
sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan
sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang
manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan
menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah
pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh
sebab itu bersifat subjektif.
Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa
keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda
atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.
Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum
alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan
hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang
lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari
penalaran manusia atau kehendak Tuhan.
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut
aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara
hukum positif dan hukum a lam.
Menurut Hans Kelsen:
"Dualisrne antara hukum positif dan hukum alam menjadikan
karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika
tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat
Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung
karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang
berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa
itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia
ide yang tidak tampak."

Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans


Kelsen : pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang
bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui
pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang

24
pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian
atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan
yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan
kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi
menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.
Kedua, konsep keadilan dan Jegalitas. Untuk menegakkan diatas
dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans
Kelsen pengertian "Keadilan" bermaknakan legalitas. Suatu peraturan
umum adalah "adil" jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu
peraturan umum adalah "tidak adil" jika diterapkan pada suatu kasus dan
tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Konsep keadilan dan
legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia,
yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai
payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional
lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki
daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam
peraturan hukum tersebut.

2. Perspektif Keadilan Dalam Hokum Nasional


Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar
negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische
grondslagi sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap
penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia
merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasilay.
Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai,
mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan,
penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bemilai itu akan
tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuata bangsa
Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan

25
dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia
dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber
hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai
sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju
pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi :
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Yang menjadi persoalan
sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum
nasional yang bersumber pada Pancasila.
Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-
pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang
pengertian adil.
( 1) "Adil" ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2) "Adil" ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa
kurang.
(3) "Adil" ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara Iengkap tanpa
lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama,
dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan
kesalahan dan pelanggaran".
Untuk lebih Ianjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif
hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial.
Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan
kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan
kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui "hak hidup", maka
sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja
keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, sebab orang Iain itu juga memiliki hak yang sama (hak
untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu.

26
Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya
diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk
mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari
Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya
menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar
manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga
tercipta hubungan yang adil dan beradab.
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan
api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya
tinggi, maka keadilanpun mantap.
Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan "keadilan sosial", maka
keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan.
Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :
( 1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
(2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-
pengusaha.
(3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan
tidak wajar".

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat


dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-
hari sering dijumpai orang yang "main hakim sendiri", sebenarnya perbuatan
itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi
ketidakadilan, khususnya orang yang dihakirni itu.
Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan
sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan
individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya
Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh
karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang
menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum

27
diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih
menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat
dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat
hukum.

28
BAB ID
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah disampaikan di atas dapat dibuatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Baik buruk etika hukum suatu ukuran dalam etika profesi hukum ketika
seorang pemangku hukum menjalankan tugasnya sebagai profesi hukum,
apakah tindakan yang dijalankannya melanggar etika hukum a tau tidak.
2. adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu
manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak asasi manusia
adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat.
3. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak
dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak
dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui "hak hidup",
maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan
bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan
kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga merniliki hak yang
sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri
individu

B. Saran
Akhir dari rangkaian penyusunan makalah ini akan disampaikan saran-
saran sebagai berikut:
1. Seorang praktisi hukum wajib menjalankan tugasnya harus sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan dalam kode etik profesi hukum.
2. Semua orang harus dapat menjaga dan menghormati HAM sebagai hak
dasar dengan berprinsip pada keadilan.

29
DAFI AR PUST AKA

Apeldoorn, L . .J. Van. 1996. Pengantar I/mu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung:
Nuansa dan Nusamedia.
Huijbers, Theo. 1995. Filsofat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kansil C.S.T. 2005. Modul Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Lunis, Suhrawardi K. 2000. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Sadjiman, Djunaedi. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Daerah :Tanpa Nama
Penerbit.
Sumarsono, dkk. 2006. Pendidikan kewarganegaraan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Tresna, R. 1975. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Jakarta: W. Versluys
N.V.
Ubaedillah, Abdul Rozak. t.th. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

30
30

Anda mungkin juga menyukai