Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,

inayah, taufik, dan ilhamnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

tugas ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah

ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi

pembaca.

Harapan kami semoga tugas ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk

maupun isi tugas ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Tugas ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang

kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada pembaca untuk

memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan

tugas ini.

Pekanbaru , Januari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1

1.2 Fokus Penelitian......................................................................................5

1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................5

1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................5

1.4 Keaslian Penelitian..................................................................................5

1.5 Signifikansi dan Keaslian Penelitian.......................................................6

BAB II PERSEFEKTIF TEORITIS....................................................................8

2.1 Kajian Pustakan.......................................................................................8

1. Makna Anak Dalam Pernikahan.........................................................8

2. Coping Stress....................................................................................11

2.2 Ferspektif Teoritis..................................................................................14

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................16

3.1 Tipe Penelitian.......................................................................................16

3.2. Unit Analisa...........................................................................................17

3.3 Subyek Penelitian..................................................................................17

3.4 Metode Pengumpulan Data...................................................................17

3.5 Teknik Analisis Data.............................................................................18

3.6 Verifikasi Data.......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menikah adalah sebuah fase dalam siklus kehidupan manusia. Tujuan

dilaksanakannya suatu pernikahan sangat beragam, mulai dari memenuhi

kebutuhan secara finansial, kebutuhan sosial, hingga ingin memiliki

keturunan sebagai pelengkap dalam sebuah keluarga. Pada sebagian

masyarakat di Indonesia, memiliki keturunan sebagai penerus generasi

merupakan suatu keharusan. Dalam sebuah keluarga hadirnya keturunan

memiliki arti tersendiri, salah satunya adalah anak mampu menyatukan dan

menjaga agar suatu keluarga atau pernikahan tetap utuh (Wirawan & Arief,

2004).

Dalam sebuah keluarga di masyarakat Indonesia, adanya ayah, ibu dan

anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Menurut Moeloek (dalam

Hidayah, 2012) sesuai dengan latar belakang budaya masyarakat Indonesia,

anak memiliki beberapa fungsi. Pertama, anak sebagai simbol kesuburan dan

keberhasilan. Kedua, anak sebagai pelanjut keturunan keluarga. Ketiga, anak

sebagai teman dan penghibur bagi kedua orang tuanya. Keempat, anak

merupakan anugerah dan amanat yang diberikan Tuhan. Kelima, anak yang

sholeh dan sholeha akan mendoakan dan menolong orangtuanya di dunia dan

akhirat.

Oleh karena itu, bagi sebagian besar pasangan suami istri kehadiran

anak merupakan suatu hal yang sangat didambakan, mengingat arti dan fungsi

1
anak dalam keluarga sangat memberikan pengaruh bagi kelangsungan hidup

manusia. Hal tersebut tercermin dalam hasil Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia (SDKI) tahun 2012, sebanyak 83.9% responden wanita

menginginkan anak dengan segera (Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia, 2012).

Meskipun sebagian besar pasangan suami istri menginginkan

kehadiran anak dalam keluarga, namun sayangnya tidak setiap perkawinan

dianugerahi keturunan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah

satunya adalah faktor biologis, yaitu ketidaksuburan atau biasa disebut

infertilitas. Di Indonesia kira-kira 15-20% perkawinan atau sekitar 50 juta

pasangan mengalami kesulitan untuk memperoleh anak (Riset Kesehatan

Dasar, 2013).

Salah satu unsur keluarga sejahtera adalah bila mana dalam sebuah

keluarga terdapat keturunan, oleh karena itu infertilitas dapat dikatakan

sebagai pengalaman yang stressful, dikarenakan pasangan suami istri

mempersepsikan masalah infertilitas sebagai ancaman terhadap kesejahteraan

mereka (Rahmani & Abrar, 1999). Infertilitas yang dialami oleh seorang

wanita menikah akan memberikan beberapa konsekuensi psikologis, salah

satunya ialah stres. Stres ini disebut stres infertilitas, yaitu stres yang

dirasakan sejak bulanbulan pertama pernikahan hingga menunggu hasil

pengobatan yang sudah mereka jalani (Ratna dalam Hidayah, 2007). Pendapat

ini didukung oleh Menning (1980) bahwa infertilitas merupakan krisis

kehidupan yang komplek, menimbulkan stres secara emosional, serta

mengancam secara psikologis. Dalam beberapa penelitian menunjukkan

2
bahwa wanita menikah yang memiliki masalah infertilitas mengalami

kurangnya kontrol dalam hidup mereka, isolasi sosial, disfungsi seksual,

kesepian, rendah diri, dan tertekan secara psikologis (Aflakseir & Zarei,

2013).

Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita menikah yang memiliki

permasalahan infertilitas akan mengalami stres yang cukup berat (Aisia dalam

Hidayah, 2007). Stres tersebut bersumber dari tuntutan lingkungan, terutama

dalam lingkup sebuah keluarga yang mengharuskan pasangan suami istri

memiliki anak biologis.

Pengalaman individu dalam menghadapi permasalahan infertilitas

merupakan sesuatu yang unik, dikarenakan penghayatan dan respon setiap

wanita yang sudah menikah terhadap masalah tersebut pastinya akan berbeda-

beda. Dengan didorong oleh keinginan untuk memiliki keturunan maka

individu yang mengalami masalah infertilitas khususnya wanita pada

umumnya akan berupaya untuk mencari jalan pemecahan masalah tersebut

(Rahmawati, 2004). Usaha-usaha yang dilakukan seseorang, dalam hal ini

wanita menikah untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi stres yang

dihadapi akibat belum dikaruniai anak disebut koping.

Menurut Cohen dan Lazarus (dalam Folkman, 1984) tujuan

melakukan koping adalah untuk menyesuaikan diri terhadap kejadian-

kejadian negatif yang dijumpai dalam kehidupan nyata, mempertahankan

keseimbangan emosional, mengurangi hal-hal yang membahayakan dari

situasi dan kondisi lingkungan yang menuntut, serta mempertahankan citra

diri positif. Koping yang dilakukan oleh wanita yang sudah menikah dalam

3
menangani masalah infertilitas pastinya berbeda, seperti yang telah

digolongkan oleh para ahli, terdapat dua strategi koping yang biasanya

digunakan, yaitu ada yang menggunakan Problem Focused Coping (PFC),

dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk

menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres dan adapula

yang menggunakan Emotion Focused Coping (EFC), dimana individu

melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka

menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi

atau situasi yang penuh tekanan (Lazarus & Folkman, 1984).

Dalam hal ini supaya kondisi seorang wanita yang sudah menikah

tetap stabil dalam menghadapi masalah stres akibat infertilitas diperlukan

strategi koping yang adaptif. Dengan memiliki kemampuan koping yang

adaptif, seorang wanita menikah akan mampu melakukan penyesuaian dalam

hal perilaku, emosi serta kognitif dengan tujuan mengurangi atau

menghilangkan kondisi dan situasi yang tidak menyenangkan diluar batas

kemampuan yang dimilikinya.

Ketidakberhasilan memenuhi impian memiliki anak akan menuntun

pada setres yang kaitannya dengan perubahan hidup (peristiwa hidup).

Perubahan hidup menjadi sumber setres bila perubahan hidup tersebut

menuntut kita untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup ini dapat berupa

peristiwa menyenangkan seperti pernikahan dan perstiwa menyedihkan

seperti kematian orang tercinta.

Setres yang ditimbulkan oleh kehilangan pasangan dan belum

memiliki anak adalah sama.hal ini dikarenakan wanita tersebut harus selalu

4
bertahan dari hari kehari, bulan kebulan, tahun ke tahun bahkan hingga

ketiadaan pasangan. Shingga untuk menangani setres tersebut diperlukan

strategi coping stress yang berbeda dan unik dari masing-masing wanita

untuk bertahan dari stres dan mencapai tujuan dari pernikahan.

1.2 Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dipaparkan serta

kenyataan yang ada bahwa tuntutan untuk memiliki keturunan pada seorang

wanita yang sudah menikah cukup tinggi dan rentan terhadap stres, maka

dapat dikemukakan rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja stres yang dirasakan oleh wanita menikah yang belum

dikaruniai anak?

2. Bagaimana strategi koping yang dilakukan oleh wanita menikah yang

belum dikaruniai anak?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan mendiskripsikan stres yang dirasakan oleh wanita

menikah yang belum dikaruniai anak.

2. Menggambarkan strategi koping yang dilakukan oleh wanita menikah

yang belum dikaruniai anak.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dalam penelitian ini yakni dapat

memperkaya referensi, dan memberikan sumbangan positif terhadap ilmu

5
psikologi khususnya yaitu psikologi Sosial tentang koping stres wanita

menikah yang belum dikaruniai anak.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

wawasan kepada masyarakat umum mengenai koping stres wanita

menikah yang belum dikaruniai anak.

1.5 Signifikansi dan Keaslian Penelitian

1. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya seperti penelitian

yang dilakukan oleh Aisyah dengan judul “Kecemasan pada Pasangan

Menikah yang Belum Memilki Keturunan”, desain penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Perspektif studi kasus

penelitian tersebut dilakukan hanya untuk mengetahui tentang kecemasan

pada pasangan menikah yang belum memiliki keturunan dan faktor-

faktor yang mempengaruhi kecemasan pada pasangan yang belum

memiliki keturunan.

2. Perbedaan dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rahmawati

dengan judul “Gambaran Stress dan Coping pada Ibu Rumah Tangga

yang Belum Dikaruniai Anak”. Penelitian tersebut ingin mengetahui

bagaimanakah gambaran stress dan coping pada ibu rumah tangga yang

belum dikaruniai anak. Sedangkan penelitian disini untuk mengetahui

bagaimana strategi coping pada wanita menikah yang belum dikaruniai

anak. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan

kualitatif dengan metode wawancara sebagai instrumen utama dalam

pengumpulan data dan sebagai metode penunjang dilakukan observasi.

6
3. Penelitian juga dilakukan oleh Siti Mariyah Ulfah penelitian tersebut

mengenai Gambaran Subjective Well Being Pada Wanita Involuntary

Childless, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran

subjective well being pada wanita involuntary childless dan faktor-faktor

yang mempengaruhi subjective well being. Penelitian ini menggunakan

pendekatan metode kualitatif dengan studi kasus. Teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi,

dan data dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis

tematik.

7
BAB II

PERSPEKTIF TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka

1. Makna Anak Dalam Pernikahan

Menurut Dariyo (Mardiyan & Kustanti, 2016) Nilai-nilai anak

(values of children) merupakan suatu sistem penilaian masyarakat yang

berkaitan dengan kehadiran anak dalam suatu keluarga. Subjek

memandang bahwa kehadiran anak merupakan pelengkap kehidupan

pernikahan.Selain itu, kehadiran anak dalam pernikahan juga dipandang

oleh subjek sebagai tujuan dalam pernikahan, menyebutkan bahwa tujuan

pasangan yang melangsungkan ikatan pernikahan adalah untuk

mendapatkan keturunan dan keberhasilan dalam memiliki keturunan juga

merupakan suatu prestasi reproduksi bagi pasangan yang menikah.

Kehadiran anak dalam sebuah perkawinan merupakan dambaan

bagi suami-istri, karena anak mempunyai nilai tersendiri bagi keluarga.

Adanya anak dalam suatu keluarga sudah merupakan salah satu kebutuhan

bagi orang tua, baik sebagai kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologi.

Konsep nilai anak yang dimiliki oleh setiap keluarga umumnya telah

mendasar dan menjadi bagian dari hidup mereka (Hoffman, Thornton &

Manis, 1978).

Keberadaan anak dalam suatu keluarga berfungsi sebagai

penyambung garis keturunan, penerus tradisi keluarga, curahan kasih

sayang, hiburan dan jaminan hari tua. Anak sebagai penyambung garis

8
keturunan, kehadiran anak dalam suatu keluarga sangat didambakan, anak

diharapkan dapat meneruskan keturunan keluarga sehingga garis

keturunan keluarga tersebut tidak terputus. Anak sebagai penerus tradisi

keluarga, anak tidak hanya mewarisi harta peninggalan orang tua (yang

bersifat material), akan tetapi juga mewarisi kewajiban adat yang sudah

dipercayai oleh orang tua yang sudah diatur dalam adat yang ada, dan anak

dapat menjadi penerus kewajiban orang tua di lingkungan kerabat dan

masyarakat. Dengan kehadiran anak dalam suatu keluarga, orang tua akan

merasa senang karena sudah ada yang akan meneruskan apa yang menjadi

cita-cita dan harapan mereka. Menurut Hoffman dkk (1978) bahwa nilai

anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang tua atau kebutuhan

orang tua yang akan di penuhinya. Keberadaan anak dalam suatu keluarga

berfungsi sebagai penyambung garis keturunan, penerus tradisi keluarga,

curahan kasih sayang, hiburan dan jaminan hari tua. Kehadiran anak,

sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan, terutama

pada wanita.

Anak menimbulkan rasa tentram di hari tua, karena anak

merupakan jaminan bagi orang tua pada saat orang tua tidak dapat bekerja

lagi. Anak dapat memberikan suatu ketentraman bagi orang tua kelak

ketika anak tersebut telah bekerja. Anak harus membalas budi kebaikan

orang tua dalam hal ini adalah bahwa setiap anak harus mau memberikan

bantuan ekonomi, merawat dan membantu pekerjaan orang tua baik orang

tuanya masih mampu bekerja maupun tidak sanggup lagi untuk bekerja

mencari nafkahnya sendiri. Orang tua akan mendapat atau memperoleh

9
bantuan ekonomi maupun bantuan hanya merawat setelah usianya telah

tua.

Ternyata kehadiran seorang anak dalam sebuah pernikahan dapat

mengubah segalanya menjadi lebih indah. Berjutaalasan kebahagiaan akan

terpancar dari setiap pasangan suami istri yang telah memiliki anak.

Tentunya semua harapan yang diinginkan semua pasangan suami istri

adalah harapanharapan yang positif. Terlepas dari semua pendapat mereka,

seorang anak ternyata sangat penting karena anak adalah anugrah, amanah

dan titipan dari Tuhan yang harus jaga, rawat dan besarkan dengan baik.

Berjuta-juta ungkapan kebahagiaan yang ditujukan oleh sekian

banyak ibu dan ayah atas anak-anak mereka. Akan tetapi tidak semua

pasangan suami istri dengan mudah dikaruniai seorang anak, diluar sana

masih banyak pasangan yang mengharapkan kehidupan mereka diwarnai

dengan tawa anakanak mereka. Kehadiran anak dalam keluarga dapat

menghangatkan suasana sepi saat di rumah serta akan mengurangi

ketegangan dan kelelahan setelah orang tuanya seharian bekerja. Selain itu

anak juga dapat menimbulkan rasa aman dan hal ini biasanya dialami oleh

orang tua yang memiliki anak laki-laki karena mereka merasa bahwa

mereka yang sudah memiliki anak laki-laki yang nantinya akan

menggantikannya mencari nafkah kelak dan dapat melindungi keluarga

jika sudah dewasa. Selain itu anak juga memberikan dorongan untuk lebih

semangat lagi dalam bekerja untuk membiayai pendidikan anak-anaknya

serta kebutuhan rumah tangga lainnya.

10
2. Coping Stress

a. Defenisi Coping Stres

Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan

coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang

ketika dihadapkan pada tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal

yang ditujukan untuk mengatur suatu keadaan yang penuh stres

dengan tujuan mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010)

yaitu tingkah laku atau tindakan penanggulangan; sembarang

perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan

lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan masalah.

Folkman (dalam Sugianto, 2012) mengartikan strategi coping

sebagai perubahan pemikiran dan perilaku yang digunakan oleh

seseorang yang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam

yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan

lingkungannya yang dinilai sebagai stressor. Coping ini nantinya akan

terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi

keberadaan stressor. Sementara Sarason (Prayascitta, 2010)

mengartikan coping stress sebagai cara untuk menghadapi stres yang

mempengaruhi bagaimana seseorang mengidentifikasi dan mencoba

untuk menyelesaikan masalah.

b. Bentuk-bentuk Coping Stress

1) Problem Focus Coping

Problem focus coping adalah usaha nyata berupa periaku

individu untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan

11
mengubah kesulitan hubungan dengan lingkungan yang

memerlukan adaptasi atau dapat disebut pula perubahan eksternal

(Lazarus dalam Paraysitta, 2010). Strategi ini membawa pengaruh

pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan pengetahuan

individu tentang masalah yang dihadapinya berikut dampak-

dampak dari masalah tersebut, sehingga individu mengetahui

masalah dan konsekuensi yang dihadapinya. Lebih lanjut menurut

Lazarus (dalam Paraysitta, 2010) coping stress yang berpusat

pada masalah, individu mengatasi stress dengan mempelajari

cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru. Individu

cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat

mengubah situasi.

2) Emotion focus coping

Emotion focus coping adalah upaya untuk mencari dan

memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang

dirasakan, yang diarahkan untuk mengubah faktor dalam diri

sendiri dalam cara memandang atau mengartikan situasi

lingkungan, yang memperlukan adaptasi yang disebut pula

perubahan internal. Emotion focus coping berusaha untuk

mengurangi, meniadakan tekanan, untuk mengurangi beban

pikiran individu, tetapi tidak pada kesulitan yang sebenarnya

(Lazarus, dalam Paraysitta, 2010).

12
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress

1) Jenis Kelamin

Laki-laki dan Perempuan sama-sama menggunakan kedua

bentuk coping yaitu problem focus coping dan emotion focus

coping. Menurut Billings dan Moos (dalam Prayascitta, 2010),

wanita lebih cenderung berorientasi pada emosi sedangkan pria

berorientasi pada masalah.

Secara umum respon coping stress antara pria dan wanita

hampir sama, tetapi wanita lebih lemah atau lebih sering

menggunakan penyaluran emosi daripada pria (Hapsari dalam

Prayascitta, 2010).

2) Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi

pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya. Oleh

karenanya, seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih

realistis dan aktif dalam memecahkan masalah. (Prayascitta,

2010)

3) Perkembangan Usia

Struktur psikologis seseorang dan sumber sumber untuk

melakukan coping akan berubah menurut perkembangan usia dan

akan membedakan seseorang dalam merespons tekanan. Menurut

Garmezy (dalam Prayascitta, 2010) coping stress akan berbeda

untuk setiap tingkat usia. Pada usia muda akan menggunakan

problem focus coping sedangkan pada usia yang lebih tua akan

13
menggunakan emotion focus coping. Hal ini disebabkan pada

orang yang lebih tua memiliki anggapan bahwa dirinya tidak

mampu melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi

sehingga akan bereaksi dengan mengatur emosinya daripada

pemecahan masalah.

4) Status Sosial Ekonomi

Seseorang dengan status sosial ekonomi rendah akan

menampilkan coping yang kurang aktif, kurang realistis, dan lebih

fatal atau menampilkan respon menolak, dibandingkan dengan

seseorang yang status ekonominya lebih tinggi (Prayascitta,

2010).

Menurut Tanumidjojo (dalam Pratascitta, 2010) faktor-

faktor yang mempengaruhi coping stress antara lain

perkembangnan kognitif, yaitu bagaimana subjek berpikir dan

memahami kondisinya, kemudia kematangan usia yaitu

bagaimana subjek mengelola emosi, pikiran, dan perilakunya saat

menghadapi masalah. Hal lainnya adalah urutan kelahiran yaitu

posisi subjek diantara saudara-saudaranya yang berpengaruh

terhadap karakteristik subjek dalam menilai dirinya sendiri, serta

moral yaitu bagaimana subjek memandang aturan tentang

masalah yang sedang dihadapi.

2.2 Ferspektif Teoritis

Menurut Santrock (2003), stress adalah respon individu terhadap

keadaan dan kejadian tertentu, yang dapat mengancam dan mengganggu

14
kemampuan penguasaan dirinya. Sears, Peplau dan Taylor (2006)

mendefinisikan stress sebagai respon individu terhadap suatu kejadian atau

keadaan yang menyakitkan, mengancam dan menekan yang dapat

memengaruhi kondisi psikologis, emosi, kemampuan berpikir dan tingkah

laku individu. Hal ini disebabkan oleh naluri tubuh untuk melindungi diri dari

tekanan emosi, tekanan fisik, situasi ekstrim atau bahaya yang

mengancam. Stress juga muncul sebagai reaksi alami tubuh terhadap

ketegangan, tekanan dan perubahan dalam kehidupan.

Pada umumnya individu selalu berhadapan dengan berbagai stressor

yang berasal dari dalam diri sendiri ataupun dari lingkungan. Apabila

individu tidak mampu merespons stress yang dialaminya, maka akan

berdampak buruk bagi individu yang bersangkutan dan lingkungan sekitar.

Oleh karena itu setiap individu membutuhkan cara untuk mengatasi stress.

Cara-cara yang digunakan individu untuk mengatasi stress tersebut dikenal

dengan istilah coping stress.

Lazarus (1984) merumuskan strategi penanggulangan  stress  atau

coping stress sebagai perubahan kognitif dan tingkah laku yang terus menerus

sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang

dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya dirinya. Santrock (2003)

menambahkan coping berarti mengatur keadaan penuh beban, mengerahkan

usaha untuk memecahkan masalah, dan mencoba untuk menguasai atau

mengurangi tekanan dan berpikiran positif.

15
BAB III

METODE PENELITIAN

c.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala

atau fenomena. Penelitian ini mendeskripsikan hasil dari rumusan masalah yakni

stres apa saja yang dirasakan oleh tiga orang wanita dan bagaimana strategi

coping pada tiga orang wanita tersebut, yang sudah dipaparkan secara deskriptif

dan apa adanya oleh tiga orang wanita yang kemudian diolah.

c.2 Unit Analisa

Data dalam penelitian ini adalah semua data informasi yang diperoleh

dari para subyek yang dianggap paling mengetahui secara rinci dan jelas

mengenai fokus penelitian yang diteliti, yaitu apa saja stres yang dirasakan oleh

wanita menikah yang belum dikaruniai anak dan bagaimana strategi koping

yaang dilakukan oleh wanita menikah yang belum dikaruniai anak. Untuk

mengungkap dan menjawab pertanyaan peneliti, maka peneliti mengunakan

teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara yang berujuk pada

kisi-kisi yang telah dibuat berdasarkan bentuk dan faktor coping stress menurut

lazarus dan folkman.

c.3 Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah wanita menikah yang belum

dikaruniai anak. Subjek penelitian ini memiliki karakteristik sebagai

16
berikut,tiga orang wanita menikah berusia 20-45 tahun, sudah menjalani masa

pernikahan selama ≥ 3 tahun, dan mengalami masalah infertilitas primer.

c.4 Metode Pengumpulan Data

1. Observasi

Metode observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik

pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun kelapangan dan

mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku,

kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan. Obsevasi

dilakukan oleh penulis bertujuan untuk menanyakan kesanggupan calon

subyek menjadi subyek penelitian dalam penelitian.

2. Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini

adalah wawancara mendalam (in-depth interview), yakni proses

memperoleh keterangan untuk memperoleh data yang diperlukan penulis

untuk mengungkapkan stres yang dirasakan oleh subyek penelitian dan

bagaimana cara coping subyek, dilakukan dengan cara tanya jawab

sambil bertatap muka antara penulis dengan subyek (wanita menikah

yang belum dikaruniai anak).

Secara khusus penelitian ini penulis menggunakan teknik wawancara

semi terstruktur. Bentuk wawancara ini memungkinkan penulis dan subyek

untuk terlibat dalam suatu dialog dimana pertanyaan-pertanyaan bisa

dimodifikasi sesuai dengan jawaban subyek sehingga penulis tidak perlu

bertanya secara runtut.

17
Pada wawancara semi terstruktur, peneliti merancang serangkaian

pertanyaan dalam suatu pedoman wawancara akan tetapi pedoman tersebut

digunakan untuk menuntun dan bukan untuk mendikte wawancara tersebut.

Dengan demikian ada upaya untuk membangun hubungan dengan responden,

urutan pertanyaan tidak terlalu penting sifatnya, pewawancara lebih bebas

untuk meneliti wilayah-wilayah menarik yang muncul, pewanwancara bisa

mengikuti minat atau perhatian subyek.

Wawancara semi terstruktur memfasilitasi terbentuknya hubungan

atau empati, memungkinkan keluwesan yang lebih besar dalam peliputan dan

memungkinkan wawancara untuk memasuki daerah-daerah baru dan

cenderung untuk menghasilkan data yang lebih subur. Pada sisi

kelemahannya, bentuk wawancara ini memangkas kontrol yang dimiliki

peneliti atas situasinya, membutuhkan pelaksanaan yang lebih lama dan lebih

sulit untuk dianalisa.

Dari kelebihan-kelebihan tersebut kemudian penyusun membuat

pedoman wawancara untuk menggali data yang di perlukan agar wawancara

tetap terarah dan mendalam ( depth interview).

c.5 Teknik Analisa Data

Semua dat yang telah diperoleh dalam penelitian ini beri berupa data

hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Data yang didapat

merupakan deskripsi tentang pendapat, pengetahuan, pengalaman, dan aspek

lainnya dianalisis secara induktif sehingga memiliki makna. Menurut

Sukmadinata (2009), analisis induktif merupakan analisis yang dilakukan

bersamaan dengan proses pengumpulan data yaitu dengan menghimpun atau

18
memadukan data-data khusus menjadi kesatuan-kesatuan informasi. Proses

pengolahan data dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah

selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Menurut Miles dan Huberman

(Sugiyono, 2009) dalam penelitian kualitatif, analisa data dilakukan secara

interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya

sudah jenuh. Ada tiga aktivitas analisis data dalam penelitian kualitatif menurut

Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan

kesimpulan/verivikasi. Apabila dalam penelitian sudah terkumpul berbagai

macam data maka penulis melakukan reduksi atau pemilihan data-dat yang

berkaitan dengan penelitian setelah itu tahapan selanjutnya adalah sebagai

berikut.

1. Tahap kodifikasi

Data merupakan pengkodingan terhadap data. Pengkodingan

adalah peneliti memberikan nama atau penamaan terhadap hasil penelitian.

Hasil kegiatan tahap pertama adalah diperolehnya tema-tema atau klasifikasi

dari hasil penelitian. Tema-tema atau klasifikasi itu telah mengalami

penamaan oleh penulis.

2. Tahap penyajian data

Sebuah tahap lanjutan analisis dimana peneliti menyajikan temuan

penelitian berupa kategori atau pengelompokan. Miles dan Huberman

menganjurkan untuk menggunakan matrik dan diagram untuk menyajikan

hasil penelitian, yang merupakan temuan penelitian.

3. Tahap penarikan kesimpulan atau verifikasi

Suatau tahap lanjutan dimana pada tahap ini penulis menarik

kesimpulan dari temuan data. Ini adalah interpretasi peneliti atas temuan

19
dari suatu wawancara atau sebuah dokumen. Setelah kesimpulan diambil,

peneliti kemudian mengecek lagi kesahihan interpretasi dengan cara

mengecek ulang proses koding dan penyajia data untuk memastikan tidak

ada kesalahan yang telah dilakukan. Setelah tahap tiga ini dilakukan,

maka peneliti telah memiliki temuan penelitian berdasarkan hasil analisis

data yang telah dilakukan terhadap sutu hasil wawancara mendalam atau

dokumen.

c.6 Verifikasi Data

Verifikasi data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi

data. Menurut teknik triangulasi, informasi yang sudah dikumpulkan atau

dicari dari sumber-sumber yang berbeda agar tidak bias. Dalam penelitian ini

penulis mengunakan informan yakni tetangga atau saudara key informan

sebagai cara untuk cross check trhadap kebenaran data yang sudah

disampaikan oleh key informan.dasar dari pemilihan informan adalah orang

yang dekat dan mengenal key informan secara baik dan mengetahui kondisi

key informan. Kemudian penulis membandingkan jawaban dari key informan

dengan jawaban yang diperoleh dari informan.

20
DAFTAR PUSTAK

Dian Noviana Putra, “Gambaran Coping terhadap stres pada Mahasiswa


Tunanetra UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi tidak diterbitkan,
Yogyakarta Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013.

Folkman S. & Lazarus R. S. (1984). Personal Control, Stress and Coping Process:
A Theoretical Analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 46,
839-852.

Hidayah, N. (2012). Nilai Anak, Stres Infertilitas dan Kepuasan Perkawinan pada
Wanita yang Mengalami Infertilitas. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas
Ahmad Dahlan.

Maryam Siti,” Strategi Coping: Teori dan Sumberdayanya”, jurnal psikologi,


vol.1 nomor 2, agustus 2017. Hal 101 -107.

Sijangga, W. N. (2010). Hubungan Antara Strategi Coping dengan Kecemasan


Menghadapi Persalinan pada Ibu Hamil Hipertensi. Skripsi. Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Syakbani, D. N. (2008). Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri Yang


mengalami infertilitas.(Skripsi Tidak Dipublikasikan). Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana, Jakarta.

Yani, A. S. 1997. Analisis konsep koping: Suatu pengantar. Jurnal Keperawatan


Indonesia: Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai