HUKUM AGRARIA
Dosen Pengampu:
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tanah atau sebidang tanah dalam bahasa latin disebut ager. Agrarius berarti
agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.1
Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai tempat dimana manusia tinggal,
Tanah adalah asset yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa,
dan bernegara. Pengelolaan dan pemanfaatan akan tanah juga harus diperhatikan
sehingga sesuai dnegan prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Prinsip yang dimaksud ialah “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 (selanjutnya diingkat UUPA) yang
menyatakan bahwa bumu, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang
1
Ismaya Samun, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 3.
2
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Dari yang seperti tersebut diatas hak menguasai dari Negara itu bukanlah hak
untuk memiliki bumi dan lain-lain itu. Namun menurut sisitem hukum tanah
sekarang, tidak seperti asas domain dan Negara sebagaimana tersimpul dalam
bahwa “semua tanah yang tidak terbukti menjadi hak eigendom orang lain adalah
memberikan jaminan kepastian hukum atas hak atas tanah kepada setiap warga
negaranya.
Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 meliputi :
a. Hak milik;
d. Hak Pakai;
e. Hak Sewa;
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2000, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hal.9
3
f. Hak Membuka Hutan;
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
Hak tanah yang akan penulis gunakan dalam penulisan makalah ini adalah Hak
Milik dan Hak Guna Bangunan. Pengaturan Hak Milik dan Hak Guna Bangunan
secara umum terdapat dalam UUPA. Hak milik di atur dalam Pasal 20 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “ hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dpat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6, dan yang dimaksud Hak Guna Bangunan dalam UUPA di atur dalam
Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Hak Guna Bangunan adalah hak
Tanah yang merupakan hal pokok bagi manusia menghadapai beberapa masalah
antara lain :
4
c. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting,
disatu sisi lain telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
kelestariannya.
Untuk menjaga kelestarian tanah yang ada, banyak cara agar tanah-tanah
masih tetap berada dalam kepemilikan penduduk asli, namun pihak laindapat
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dikenal Pemberian
praktek sering terjadi ketidak sesuaian penerapan aturan pemberian Hak Guna
Bangunan diats Hak Milik atas tanah. Ketidak sesuaian ini dikaitkan dengan
lamanya Hak Guna Bangunan diberikan diatas Hak Milik atas tanah. Jangka
waktu pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik atas tanah dalam UU
1) Hak guna bangunan ats tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu
hak milik, hak guna bangunan, atas tanah hak milik dapat diperbaharui
5
dengan pemebrian Hak Guna Bangunan baru dnegan akta yang dibuat oleh
jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dilakukan dengan
Permasalahan mengenai tanah dikemudian hari tentu saja tidak bisa dihindari
apabila tidak dipatuhinya peraturan yang mengatur mengenai tanah itu sendiri.
“masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena sifat
tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar seriap manusia.
Tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan
adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran yang
lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan kelompok lain
yang lebih besar. Dengan demikian, selalu ada kebijakan yang berfungsi untuk
2. Rumusan Masalah
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemenag Hak Guna Bangunan diatas tanah
Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas Tanah yang diatasnya diberikan Hak Guna
Bangunan?
3
Maria S.W Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, hal.19.
6
3. Tujuan
Mengetahui perlindungan hukum terhadap pemenag Hak Guna Bangunan diatas tanah
Hak Milik dan pemegang Hak Milik atas Tanah yang diatasnya diberikan Hak Guna
Bangunan.
4. Manfaat
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya, sehingga
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap pemegang hak Guna Bangunan di atas tanah Hak
Perjanjian-perjanjian yang dibuat antara pihak yang memiliki Hak Milik dengan
pihak yang memohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagai dasar
didalamnya melindungi kepentingan para pihak sehingga seiring berjalannya waktu yang
sangat panjang dari sewa-menyewa ataupun kerjasama yang dijalin antara kedua belah
perjanjian yang sering terjadi didalam praktek agar dapat ditemukan kelebihan dan
kekurangan masing-masing perjanjian dan supaya dapat menarik sebuh kesimpulan untuk
di kemudian hari mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik yang
Perjanjian pertama yang dibuat dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah
Hak Milik adalah sewa-menyewa tanah. Pasal 3 sewa menyewa ini mengatakan
bahwa :
“Pihak pertama dengan ini menjamin kepada pihak kedua, bahwa tanah tersebut tidak
dikenakan sitaan, tidak digunakan sebagai jaminan atau dibebani dengan beban-beban
lainnya, belum pernah dimohonkan untuk pemberian Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, atau pembebanan lainnya, kepada pihak lain kecuali kepada penyewa dan
karenanya menjamin bahwa pihak kedua dapat menjalankan hak-haknya sebagai
pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah tersebut tanpa mendapat
gangguan dari pihak pertama, ahli warisnya atau siapapun juga.”
8
Pasal 3 ini menjamin bahwa pihak pertama sebagai pemegang Hak Milik menjamin
bahwa dari tanah tersebut adalah tanah yang bebas. Bebas dalam artian bahwa tanah
tersebut tidak dalam sengketa, jamina hutang, dan tidak juga pernah dimohonkan Hak
Guna Bangunan sebelumnya. Pemberian jaminan ini dimaksudkan supaya pihak kedua
merasa yakin bahwa memang pihaknyalah yang akan berhak secara penuh atas tanah
Jaminan yang diberikan pihak yang menyewakan disertai syarat apabila penyewa
mememuhi kewajiban-kewajibannya sebagai penyewa yang tertib, maka berdasar dari hal
tersebut maka penyewa tidak berhak untuk membatalkan sewa. Klausul Pasal 4 yang
menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak meninggal dunia
maka akan diteruskan oleh ahli warisnya atau sesame ahli waris apabila keduanya
meninggal dunia, menjadi jaminan bahwa jangka waktu sewa menyawa telah disepakati
bersama tidak akan putus apabila salah satu diantara kedua belah pihak meninggal dunia.
Mengingat usia seseorang tidak ada yang pernah tahu, maka isi dari pasal tersebut
Pasal selanjutnya juga menjadi jamianan perlindungan hukum adalah Pasal 5 yang
berbunyi :
9
“yang menyewakan menjamin penyewa bahwa penyewa dapat menjalankan hak-
haknya sebagai penyewa dari tanah tersebut tanpa mendapat gangguan hukum
dari pihak lain.”
Walaupun telah dijelaskan pada Pasal 3 bahwa pihak pertama atau pihak yang
menyewakan menjamin pihak penyewa atas segala hal yang berkaitan dengan tanah
tersebut dan akan bebas gangguan dari pihak yang menyewakan beserta para ahli waris
dan siapapun juga, Pasal 5 kembali menegaskan bahwa pihak penyewa akan dapat
pihak lain. Jadi adanya Pasal 3 dan Pasal 5 ini mempunyai arti yang sama.
pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik. Perjanjian ini juga
memuat klausul-klausul yang jadi perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Namun
yang akan saya bahas disini mengenai perlindungan terhadap pihak yang mendapatkan
perlindungan terhadap pihak yang mendapatkan Hak Guna Bangunan. Pasal 1 pada
perjanjian ini mengatur mengenai janji untuk memberikan hak guna bangunan atas tanah
dan untuk menerima Hak Guna Bangunan atas tanah, janji yang diberikan oleh pihak
pertama kepada pihak kedua adalah, janji untuk mengikatkan diri kepada pihak kedua
untuk memberikan Hak Guna Bangunan atas tanah dan menyerahkan tanahnya hanya
Pasal 6 mengatur mengenai pernyataan dan jaminan dari pihak pertama yang
berbunyi :
10
b. Bahwa tidak ada orang atau pihak lain yang ikut mempunyai suatu hak atau
kepentingan dengan nama apapun atas tanah beserta segala sesuatu yang
didirikan dan/atau tertanam diatasnya;
c. Bahwa pihak pertama berhak untuk memberikan hak guna bangunan atas
tanah dan menyerahkan tanah kepada pihak kedua berdasarkan akta ini;
d. Bahwa pihak pertama berhak untuk menandatangani akta ini;
e. Bahwa tanah berserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam
diatasnya, belum pernah dijual/dioperkan oleh pihak pertama dengan cara
apapun kepada orang atau pihak lain;
f. Bahwa tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam
diatasnya tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa;
g. Bahwa tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam
diatasnya tidak berada dalam suatu sitaan;
h. Bahwa tanah beserta segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatas
tidak dijaminkan atau dipertanggungkan dengan cara bagaimanapun kepada
orang atau pihak lain;
i. Bahwa pihak kedua sekarang dan dikemudian hari sehubungan dengan
pemberian hak guna bangunan atas tanah, tidak akan mendapat suatu tuntutan
dan/atau gugatan dalam bentuk dan berjumlah berapapun dari orang atau
pihak lain;
j. Bahwa akta ini berlaku sah dan mengikat pihak pertama.
Dari klausul-klausul yang tersebut diatas dapat dilihat bahwa pihak pertama menjamin ats
tanah yang diperjanjikannya dengan pihak kedua atau pihak yang akan memperoleh hak
guna bangunan. Hak-hak yang dijamin sama halnya dengan apa yang ada pada perjanjian
sewa menyewa.
Akta selanjutnya yang dibuat adalah akta pemberian Hak Guna Bangunan atas
Hak Milik, merupakan sebuah bentuk yang baku yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional sesuai dengan Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No.8 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3
11
Pendaftaran Tanah, dimana dalam lampiran pasal tersebut dijelaskan mengenai tata cara
pengisian blanko akta seperti yang dimaksud. Untuk perlindungan hukum dalam akta ini
berarti digunakan juga oleh sampel kedua dan ketiga, karena bentuknya sama. Dibuat
Pasal 3 berbunyi :
“Pihak pertama menjamin, bahwa objek pemberian hak tidak tersangkut dalam
suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu
utang yang tidak tercatat dalam sertipikat, dan bebas dari beban-beban lainnya
yang berupa apapun.”
Inti daripada Pasal 3 ini sama halnya dengan apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak
dalam akta-akta yang sebelumnya telah ditandatangani. Berarti dalam setiap akta pihak
pertama menjamin mengenai bebasnya tanah tersebut dari segala macam hal dan pihak
kedua dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut secara bebas selama jangka
waktu yang telah disepakati dan selama masih sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak Milik, lebih ditekankan pada adanya jaminan dari pihak pertama atau
pemegang Hak Milik yang menyatakan bahwa selama jangka waktu yang telah disepakati
bersama pihak kedua dapat mempergunakan tanah tersebut dengan bebas tanpa
Perjanjian yang dibuat antara Desa adat X dan PT. Y adalah perjanjian sewa menyewa dan
kuasa. Sewa menyewa menjadi dasar utama diberikannya hak guna bangunan atas tanah
hak milik. Perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris menyebutkan perlindungan hukum
yang diberikan untuk pemegang Hak Guna Bangunan atas tanah di temukan dalam Pasal 3
yang menyatakan bahwa memang benar apa yang disewakan dalam akta ini benar
merupakan milik pihak pertama sehingga dengan demikian hanya pihak pertama
12
sendirilah yang berhak untuk memindahtangankannya; apa yang disewakan tersebut bebas
dari segala sitaan, ikatan dari jaminan sesuatu utang terhadap pihak manapun; dan pihak
kedua dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa tanah tersebut tanpa mendapat
gangguan hukum dari pihak lain. Hal ini ditegaskan dan menjadi jaminan pihak pertama
karena mengingat jangka waktu perjanjian sewa menyewa ini cukup panjang, maka pihak
pertama harus secara tegas menjamin dan memberikan perlindungan hukum terhadap
pihak kedua supaya dapat menjalankan usahanya, dalam hal ini telah ditentukan usaha
Perlindungan hukum yang diberikan pihak yang menyewakan terhadap pihak penyewa
dilanjutkan pada Pasal 6 angka 2 yang menyatakan bahwa pihak pertama menjamin bahwa
pihak kedua akan dapat menikmati sepenuhnya tanah yang disewanya tersebut tanpa
mendapat gangguan dari pihak manapun dan karena alasan apapun juga, termasuk tidak
akan dipaksa untuk pindah ke tempat lain baik oleh pihak pertama, ahli waris Pihak
Pertama maupun pihak-pihak lainnya. Jaminan ini sama halnya dengan yang dijelaskan
pada Pasal 3 hanya ditambahkan mengenai tidak dipaksa untuk pindah ketempat lain baik
oleh pihak pertama, ahli waris pihak pertama maupun pihak-pihak lainnya. Pasal 12 angka
1 terdapat klausul yang menyatakan bahwa apabila kedua belah pihak sepakat untuk
memperpanjang jangka waktu maka pihak kedua adalah pihak yang mempunyai prioritas
untuk memperpanjang jangka waktu sewa tersebut. Prioritas disini diartikan bahwa, pihak
kedua adalah pihak yang harus diutamakan apabila ingin memperpanjang jangka waktu
sewa dan tidak di sewakan kepada pihak lain. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan pihak
kedua terhadap bangunan yang di bangun diatas tanah hak milik pihak pertama, dan
keberlajutan dari usaha yang dijalankan pihak kedua. Begitu juga yang dijamin oleh pihak
13
pertama apabila pihak pertama berkeinginan untuk menjual tanah tersebut, maka pihak
kedua adalah pihak yang mendapat hak utama untuk membelinya. Diberikan kepada pihak
kedua hak utama dalam membeli tanah juga untuk selanjutnya usaha pihak kedua. Contoh
menemukan suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
(1) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama
tiga puluh tahun.
(2) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna bangunan dengan pemegang Hak Milik,
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak
Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak
tersebut wajib didaftarkan.
Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah dalam
sample kedua ini adalah 50 (limapuluh) tahun sesuai dengan jangka waktu sewa
menyewa yang telah disepakati bersama. Terlepas dari asas kebebasan berkontrak yang
dimiliki kedua belah pihak dalam membuat suatu perjanjian dan menentukan apa yang
ada di dalam perjanjian tersebut, tentu saja tidak bisa mengesampingkan apa yang telah
14
Apabila jangka waktu yang disepakati bersama dalam perjanjian sewa menyewa tidak
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang pemberian Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Hal ini tentu saja tidak sesuai
dengan syarat keempat yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian dilakukan dengan
adanya sebab yang halal. Sebab yang halal dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi isi
dari perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak bertentangan dengan undang-
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 KUHPerdata, Pasal 1335
KUHPerdata menyatakan bahwa :“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”. Pasal 1335
Mengenai suatu sebab terlarang diatur dalam Psal 1337 KUHPerdata yang menayatakan
bahwa “ suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila
Jika pengaturan jangka waktu yang diberikan tidak sesuai (50 Tahun) maka tentu
saja hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Pemberian Hak Guna Bangunan
sendiri sebelumnya pernah diatur dalan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
15
Penanaman Modal (UUPM) Pasal 22 ayat (1) huruf b yang menyatakan : Hak Guna
Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapanpuluh) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (limapuluh) tahun dan dapat
Mengacu dengan apa yang diatur dalam UUPM maka dapat diberikan Hak Guna
Bangunan selama 50 tahun pada saat pemberian pertama bahkan dapat langsung
undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap UUD NRI 1945
tertanggal 25 Maret 2008 memutuskan bahwa apa yang diatur dalam PAsal 22 ayat (1)
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (Sembilan puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh)
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat
Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata”di muka sekaligus”, Pasal 22 ayat
(4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus dimuka” bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Jadi dapat disimpulkan, pemberian jangka
16
waktu Hak Guna Bangunan itu sendiri dapat diberikan selama 50 tahun dan dapat
diperbaharui sekaligus di muka selama 30 taun menjadi 80 tahun hanya berlaku sejak
Indonesia. Mengingat suatu aturan hukum bersifat tidak berlaku surut, maka sepanjang
jangka waktu dari diundangkannya UUPM. Sampai diputuskan MK pemberian hak guna
bangunan selama 50 tahun dibenarkan dan masih bisa dijalankan, namun setelah
dikeluarkan putusan MK tanggal 25 Maret 2008 maka tidak dibenarkan lagi untuk
tersebut pemberi hak guna bangunan kembali pada peraturan perunang-undnagan yng
mengatur mengenai hak guna bangunan yang terdahulu, peraturan hukum yang dimaksud
dalah PP No. 40 Tahun 1996 tentang pemberian hak guna usaham hak guna bangunan
dan hak pakai, terutama Pasal 29 yang mengeatur jangka waktu pemberian hak guna
Pemberian jangka waktu yang tidak sesuai dapat berakibat perjanjian yang digunakan
sebagai dasar pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik batal demi hukum.
“Suatu perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum dalam pengertian tidak dapat
dipaksakan pelaksanaanya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya
suatu perikatan.” “Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, perjanjian yang demikian
Miftahul Huda dalam tulisannya yang berjudul Batal Demi Hukum, berpendapat
“batal karena hukum atau batal demi hukum berakibat suatu perbuatan untuk
sebagaian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada (dihapuskan)
17
tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan
Suatu perjanjian yang batal demi hukum pun sebenarnya tidak seketika dan sekaligus
menjadi tidak berlaku apabila mengandung suatu kausa yang tidak halal. Karena
membutuhkan pembatalan oleh pengadilan, seperti yang di jelaskan oleh Miftahul Huda
berikut : Pada dasarnya dalam sistem hukum kita tidak mengenal ketetapan batal demi
hukum dalam arti bahwa perbuatan demi hukum dalam arti bahwa perbutan dianggap
tidak ada tanpa pembatalan yang dilakukan pengadilan atau intstansi yang kompeten.
Contohya sebuah kontrak yang dianggap tidak memenuhi kausa yang halal adalah batal
demi hukum namun tanpa permohonan dan pernyataan pengadilan bahwa kontrak itu
batal demi hukum maka kontrak itu belum batal demi hukum. Artinya ketetapan batal
demi hukum memerlukan pembatalan oleh pengadilan, begitu pula sebuah peraturan
dikemudian hari terjadi suatu masalah dan salah satu pihak menyadari bahwa produk
hukum yang dimilikinya cacat akan hukum. Maka pihak yang paling dirugikan adalah
pemegang Hak Guna Bangunan. Mengapa demikian? Karena pihak pemegang Hak Milik
adalah pemegang hak atas tanah yang paling kuat, hak-hak atas tanah tersebut tidak juga
hilang. Berbeda halnya dengan pemegang Hak Guna Bangunan yang terbatas, hanya
berdasarkan perjanjian sewa-menyewa dan akta pemberian hak guna bangunan diats hak
milik. Jika kedua akta itu dimohonkan pembatalan di pengadilan tentu saja pemegang hak
guna bangunan tidak mempunyai hak lagi atas tanah dan bangunan tersebut. Sampai hal
itu terjadi tentu saja akta pemberian hak guna bangunandiats hak milik tersebut tidak
18
dapat memberikan perlindungan hukum karena pemegang Hak Guna Bangunan
akan dirugikan.
Pada contoh ketiga ini, perjanjian yang dibuat pertama adalah perjanjian sewa-
menyewa. Jaminan yang diberikan oleh pihak pertama sama halnya dengan pihak
penggunaan kata-kata dan kalimat disesuaikan dengan kebiasaan yang digunakan oleh
Notaris bersangkutan yang membuat suatu perjanjian. Jaminan ini dituangkan dalam
“Pihak Pertama memberi jaminan kepada Pihak Kedua bahwa apa yang disewakan
adalah memang benar merupakan milik Pihak Pertama, bebas dari sengketa, bebas dari
sitaan, dan pihak kedua selama perjanjian ini berlaku dapat mempergunakan tanah yang
disewanya tanpa mendapatkan gangguan dari siapapun juga yang mengaku turut
mempunyai hak atas tanah tersebut, yang akan dipergunakan oleh pihak kedua sebagai
tempat usaha dan kegiatan lain berhubungan dengan usaha tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama pihak kedua memenuhi kewajiban-
kewajibannya sebagai penyewa secara tertib, maka pihak kedua ditanggung tidak akan
dapat dipaksakan pindah tempat oleh pihak pertama atau ahli warisnya atau oleh pihak
ketiga.”
pendahuluan pemberian Hak Guan bangunan diatas tanah Hak Milik. Apa yang dijamin
pihak pertama sebagai perlindungan hukum bagi pihak kedua sama dengan apa yang ada
dalam sampel pertama, begitu pula dengan akta pemberian hak huna bangunan di atas
19
B. Perlindungan Hukum terhadap pemegang Hak Milik atas tanah yang diatasnya
Dalam hal ini penulis tidak menguraikan secara satu persatu sebagaimana yang
telah penulis uraikan diatas. Penulis menulis secara umum atau secara keseluruhan karena
didapati hal-hal yang serupa dengan yang dijelaskan diatsa. Perjanjian sewa-menyewa
dan perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik memuat
hal-hal yang sama, tidak ada jaminan yang mendasar yang dapat mencerminkan adanya
perlindungan hukum yang dapat melindungi pihak pemegang Hak Milik. Jaminan dari
pihak kedua hanya terdapat dalam perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna
Bangunan di atas tanah Hak Milik, yang menyatakan bahwa pihak kedua dengan ini
b. Bahwa pihak kedua akan mengusahakan agar persyaratan yang diperlukan oleh pihak
c. Bahwa setalah semua persyaratan yang dimaksud dalam sub b dipenuhi, pihak kedua
akan membuat dan menandatangani akta pemberian hak guna bangunan atas tanah
hak milik bersama-sama dengan Pihak pertama atau kuasa-kuasa mereka yang sah
penandatanganan;
Selain daripada apa yang tertulis diatas, penulis tidak bisa menemukan adanya
jaminan bagi pihak pemegang Hak Milik dari pihak kedua atau pihak yang mendapatkan
Hak Guna Bangunan. Padahal dari Hak Guna Bangunan yang diberikan dapat
20
dipindahkan ke tangan pihak ketiga, bahkan dari Hak Guna Bangunan tersebut dapat
dijadikan anggunan akan suatu hutang di bank. Pemasangan Hak Tanggungan atas
sertipikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik memang tidak secara detail di atur.
Aturan yang digunakan adalah pembebanan Hak Tanggungan pada sertipikat Hak Guna
Bangunan secara umum, karena memang sertipikat Hak Guna Bangunan di atas tanah
Hak Milik termasuk dalam cakupan sertipikat Hak Guna Bangunan pada umumnya.
Akibat jangka panjang yang dirasakan adalah apabila suatu saat pihak kedua
gagal memenuhi kewajibannya atas hutang yang telah dimilikinya dengan pihak ketiga
sehingga tejadi penyitaan terhadap Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik. Penyintaan
dalam hal ini yang disita adalah kepemilikan bangunan selama sisa jangka waktu yang
telah diperjanjikan dengan pihak pertama. Memang hal ini tidak mempunyai dampak
secara langsung terhadap pihak pertama atau pihak pemegang Hak Milik, pihak pertama
hanya akan merasa terganggu dengan adanya penyitaan dari pihak ketiga, dan apabila
ingin menjual tanah tersebut tentu saja tidak mudah karena di atasnya masih terpasang
Hak Guna Bangunan di atas tanah dan dari Hak Guna Bangunan itu masih dibebani Hak
Tanggungan.
21
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dapat diberikan jika hak dan
hukum diberikan dapat diberikan ketika proses pemberian Hak Guna Bangunan di
atas Hak Milik sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai aturan yang berlaku diartikan bahwa dalam pembuatan sewa menyewa
dan/atau perjanjian pendahuluan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik
atas tanah, serta akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik memenuhi
segala aturan yang menyangkut mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas
HakMilik. Baik aturan mengenai siapa yang dapat menjadi subyek daripada pemegang
Hak Guna Bangunan sampai dengan jangka waktu yang dapat diberikannya Hak
Guna Bangunan tersebut. Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan yang
diberikan pada sampel ke 2 yang memberikan Hak Guna Bangunan selama 50 tahun
tentu saja sudah tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tidak memenuhi aturan
yang berlaku tentu saja pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tidak dapat
memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak, terutama pemegang Hak
Guna Bangunan yang telah mengeluarkan materi (uang) untuk memperoleh Hak
Guna Bangunan di atas Hak Milik pihak lain dan membangun untuk tujuan usaha
yang dimaksud.
22
23