Anda di halaman 1dari 6

Rencana Tuhan itu jauh lebih besar dibanding rencana manusia.

Begitu juga dengan sebuah


pertemuan. Pertemuan selalu datang di saat yang sulit ditebak. Diwaktu yang tidak terduga,
begitu juga kita akan dipertemukan dengan siapa.
“Yudhistira”
“Keira”
Malam itu, Yudhistira nggak akan pernah tau bahwa taman belakang rumah sakit akan menjadi
salah satu tempat favort barunya. Bukan hanya gubuk basecamp, bukan hanya ruang bawah
tanah di rumahnya dan bukan hanya kamar tidur, Tiara saudara kembarnya.
Dan semenjak malam itu juga,
Bau obat-obata yang selalu Yudhis benci menjadi bau kesukaannya
Yudhistira yang sangat susah untuk diajak berkunjung ke rumah sakit, walaupun 1 bulan sekali,
sekarang akan rajin berkunjung ke rumah sakit bahkan setiap hari tanpa di suruh.
***
Yudhistira
“ Jangan lupa malam ini dateng ke basecamp ya? Bawa mereka juga. Thanks.”
Basecamp bukan sebagaimana yang ada dalam benak orang-orang. Tempat keren untuk
kumpul seneng-seneng bareng temen-temen se gang lo pada. Basecamp yang gue maksud di
sini Cuma gubuk kecil yang muat diisi sekitar 15 orang. Dindingnya dari anyaman bambu ,
bahkan beberapa bagian sudah termakan rayap dan bolong. Atapnya pun penuh debu dan jaring
laba-laba. But i like it. I think here is my comfort zone.
Gue nggak peduli bagaimana bentuknya, dimana tempatnya atau apapun itu. Gue Cuma butuh
yang aman, nyaman dan nyenengin hati. Seenggaknya itu alasan yang gue yakini ketika
pertama kali gue menemukan tempat ini dan satu hal yang terbesit, ah... i found it.
Bunyi kas pintu terbuka terdengar. Daniel menatap gue bingung, kedua alis tebalnya berkerut
dan ujungnya bertemu menjadi satu.
Suara jejak kaki berlarian mulai terdengar.
“ Haloo... Kak Yudhistira”
Suara itu selalu menyapa gue 2 tahun terakhir ini, setiap gue bareng mereka. Kemudian mereka
erebut buat meluk gue erat.
“ Halo.. semuanya. Apa kabar kalian?”
“ Baik, ka. Aku mau cerita nih .”
“ Aku juga mau cerita tadi di jalan abis nemuin dompet jatuh.”
“ Aku abis sakit loh ka”
Bahagia itu cukup dengan hal kecil yang sederhana bagi gue. Melihatnya berebut buat
menceritakan hal-hal kecil yang dialami ke gue. Mungkin banyak orang di luar sana yang
menilai, Apa yang buat lo bahagia bareng mereka?, Sisi mana bahagia denger cerita mereka
yang biasa-biasa aja?
Ukuran bahagia orang satu dengan yang lain berbeda, begitu juga dengan gue. Gue sangat
bahagia bisa bercengkerama bareng mereka. Sekalipun mereka cuma anak-anak jalanan, anak-
anak yang bekerja dengan mulung dari tempat sampah satu ke tempat yang lain. Dan mereka
sekarang sudah menjadi bagian keluarga kecil gue yang bisa membuat gue bahagia karna hal
kecil sekalipun.
“Kak Yudhis, kenapa mukanya biru-biru? Kenapa hidung sama ujung bibirnya pakai plaster?”
Karena pertanyaan Angga salah satu dari mereka, suasana yang awalnya riuh ramai mulai
senyap. Mereka yang awalnya saling berebut, saling tertawaa mulai menatap gue dengan
intens. Tatapan sedih, tatapan polos anak-anak, bahkan tatapan khawatir.
“ Hahaha... jadi gini kemarin itu Kak Yudhis manjat pohon buat ambilin layangan anak kecil
di dekat lapangan depan sana yang nyangkut di pohon. Eh, taunya pas turun kakak salah mancat
bagian pohonnya, terus terpleset jatuh deh ke tanah. Idungnya kena batu kecil, kerikil gitu sama
ujung bibirnya juga. Makanya ini dikasih plaster. Tapi tenang... kakak nggak kenapa-kenapa,
kuy ?”
Sebisa mungkin gue menceritakan ke mereka apa yang sebenarnya tidak terjadi di gue.
Meskipun ada kebohongan di dalamnya, demi kebaikan mereka.
“ Iya, cepat sembuh ya ka”
“ Jangan naik – naik pohon lagi ya, kak”
“ Nanti kita sedih kalo tau kak yudhis luka – luka gitu”
Hanya seperti itu, namun mempu membuat hati gue teriris. Gue nggak mungkin nangis di
depan mereka. Gue cuma menjawab dengan memberikan gestur ibu jari gue.
“ Ayo, duduk yang rapi, yang bagus dulu. Nanti dibagiin hadiahnya satu-satu sama Kak
Daniel.”
“ Di dalam tas itu isinya banyak banget. Sama semuanya jadi nggak boleh berebut ya? Ada
baju baru buat pergi jalan-jalan, ada uang kalo mau beli sesuatu, ada jajan juga, ada obat juga
kalo ada yang ngrasa sakit cepet-cepet minum obat biar sembuh sama ada foto kuta pas jalan-
jalan di Dufan minggu lalu.”
Wajah mereka langsung berbinar setelah menerima hadiah dari Daniel.
“ Tapi... Kakak mau pamit juga ya? Jadi kakak mau pergi jauh banget. Kakak mau sekolah
supaya kakak pintar biar jadi dokter. Katanya kalian pingin kakak jadi dokter, supaya nanti
kalo ada yang sakit biar diobatin kakak, nggak ke dokter yang lain lagi. Supaya nanti kalo sakit
ke dokter biar gratis kalo priksanya ke kakak, biar nggak bayar. Masih ingat kan?”
Tak ada suara “ iya” atau “ingat kak” satupun yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya
melihat gue sambil menggangguk pelan, sedikit ragu.
“ Nanti kalo kakak nggak di sini, nanti kalo kalian mau main , mau jalan-jalan sama kak Daniel
ya? Jadi jangan sedih ya, nggak boleh ada yang nangis, oke?”
Mereka mulai mendekat ke arah gue. Ada yang terlihat menhan nangis, hingga matanya
berkaca-kaca segera mereka hapus air mtanya sebelum jatuh, ada yang ujung hidungnya udah
mulai memerah , namun karna gue bilang nggak boleh nangis, mereka berusaha untu tidak
menangis di depan gue. Sekarang gue berada di dalam pelukan mereka, tanpa gue sadari pun
ternyata iair mata gue sendiri yang menetes.
Dari awal gue pamit mereka tak mengeluarkan sepaah kata pun. Mereka hanya diam menatap
gue dalem banget. Sedih, pastilah sangat. Tapi gue nggak punya pilihan lain. Semakin lama
akan semakin menyakitkan , lebih baik gue akhiri sekarang.
Arti penting seperti apa yang ada dalam benak kalian? Arti penting suatu benda atau suatu
pertemuan singkat yang tak ternilai di beberapa pandangan orang, hal ini justru menjadi suatu
hal yang sangat penting dan membekas meninggalkan jejak, tanpa disadari.
***
“ Gue pengen deh matahari terbit atau matahari tenggelam di atas bukit. “
“ Gue pernah denger cerita dari sahabat kecil gue, die melihat matahari terbit di atas puncak
Dieng. Bagaimana bagusnya, bagaimana indahnya anugerah dari Tuhan yang lo nggak bisa
ungkapin dengan kata-kata. Bahkan gue lihat foto temen gue itu, gue iri. Asli. Kapan gue bisa?”
Salah satu keinginan Keira nggak beda jauh sama keinginan gue. Melihat matahari terbit atau
matahari tenggelam dengan mata telanjang. Karna gue nggak pernah lihat sekalipun dalam
hidup gue selama 25 tahun ini. Bahkan Tiara selalu mengajak gue buat pergi , gue selalu
berasalan aneh-aneh. Gue males, gue nggak suka matahari, gue titisan vampire , gue takut kulit
putih bersih gue jadi coklat. Dan hal itu nggak masuk akal. Sementara gue, jujur paling suka
melihat bagaimana ngeksplore alam yang ada dari Tuhan? Betapa bahagianya, bisa merasakan
berkecimpung dengan alam. Tapi gue nggak bisa.
Gue bisa merasakan bagaimana malam itu untuk pertama kalinya gue melihat Keira bercerita
dengan mata berbinar-binar sekalipun pandangannya sangat jauh.
Iya gue, Keira itu sama.
Kita nggak pernah bagaimana rasanya keluar dipagi atau siang hari, kita benar-benar seperti
vampire. Kita keluar di malam hari.
Satu bedanya gue dengan Keira. Gue di pagi hingga sore hari hanya akan bercengkerama di
ruang bawah tanah rumah gue, ngelukis ataupun bikin lagu. Menumpahkan apa yang gue
rasakan dan nggak bisa gue luapkan, gue hanya bisa meluapkan dengan kuas-kuas kecil dan
cat air dalam bentuk lukisan di canvas. Sementara, Keira di waktu tersebut dia ada di dalam
kamarnya belajar bareng guru yang dateng ke rumahnya, homeschooling. Di malam hari gue
akan berkeliaran , menggelilingi sudut kota, keliling bareng anak jalanan. Keira, hanya akan
tetap di dalam rumah. Kalau tidak pergi ke rumah sakit untuk berkunjung dia akan di rumah
belajar dan belajar. Keluarganya mengingingkan Keira harus sama dengan anak yang belajar
di sekolah. Tidak ada sedikitpun kebebasan yang didapatkannya.
“ Kalo gue bisa ngabulin keinginan lo liat sunrise atau sunset di Dieng gimana? “
“ Lo yakin? “
Dia memutar badan menjadi menghadap gue, tepat berhadap-hadapan.
“ Yakin. Banget. Asal lo tau konsekuensi setelahnya apa? Lo sanggup nggak?”
Diemnya dia bisa gue maklumi. Dia pasti butuh waktu buat berpikir sebelum menjawab apa
yang gue ajukan ke dia. Karena ini bisa dibilang hal gila, sangat gila mungkin orang di luar
sana yang mengetahuinya.
“ Santai aja. Pikirin dulu sebelum...”
“ Gue mau!”
“ Apa ? “
Kenapa gue yang kaget padahal gue yang mengajaknya?
“ Iya. Gue mau Yudhis, gue mau liat sunrise atau sunset tapi di Ujung Dieng. Dan gue sanggup
dengan konsekuensinya setelah itu, karena gue udah capek dengan semua ini.”
Capek , lelah ataupun letih itu selalu ada pada diri manusia bagaimana pun keadaannya. Bahkan
di keadaan gue sama Keira. Gue bisa merasakan bagaimana rasa capek dan lelah yang dia
rasakan?
Gue pernah pengen bisa main bola di lapangan dekat rumah bareng temen-temen, bahkan
ketika itu gue diam-diam keluar rumah tanpa ijin dari mama. Baru juga selangkah keluar dari
pintu rumah, kulit gue langsung berubah karena terkena sinar matahari dan gue pingsan. Ketika
sadar gue sudah ada di salah satu paviliun rumah sakit, ada papa mama dan Dokter Andra.
Mama menangis nggak henti-hentinya, iya saat itu gue merasa jahat banget bikin mama nangis
karena tindakan bodoh gue. Gue mementingan keinginan gue buat keluar rumah padahal gue
nggak boleh keluar rumah saat matahari musuh terbesar gue masih berkeliaran.
“ Yudhis capek mah.”
“ Yudhis juga pengen main di luar sama teman-teman.”
“ Yudhis bosen di rumah terus, di kurung, pah.”
Nggak ada jawaban dari orang tua gue saat itu, mereka hanya menangis mengdengarkan isi
hati keil gue yang udah gue pendam lama. Mereka Cuma meluk gue erat banget tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun, namun air matanya membasahi baju bagian belakang gue.
Saat itu gue sadar, gue nggak boleh bilang capek lelah atau apapun itu di depan mereka. Tanpa
gue sadari dan gue sangat yakin mereka jauh lebih capek baik hati maupun fisiknya dari gue.
Setelah kejadin itu gue nggak berniat buat keluar rumah lagi saat mtahari masih ada. Bahkan
ketika Tiara mengajak gue keluar rumah pun. Tiara satu-satunya orang yang belum mengetahui
apa yang terjadi pada diri gue. Gue nggak mau menyakitin dia , bahkan sebenarnya gue sudah
menykitin dia secara tidak langsung, saat ini.
***
Setelah pulang dari basecamp gue pulang ke rumah, Tiara belum pulang dari kampusnya.
“ Ma, Pa.. Yudhis mau ngomong sesuatu. “
Ketika gue baru masuk rumah, gue melihat papa sibuk di kursi piano dan mama duduk di depan
tv dengan benang sulam kesukannya. Gue bukan orang yang bisa basa-basi. Sepertinya orang
tua gue tau, apa yang akan gue omongin ini hal penting. Papa langsung duduk di samping
mama, sedang mama langsung menyimpang benang sulamnya di meja. Gue duduk di antara
kedua orang tua gue dengan menggenggam tangan mereka , gue diem.
Gue masih diem lama, papa mama juga diem. Mereka menunggu apa yang akan gue omongin.
“ Yudhis pengen naik ke puncak Dieng. “
Mama kaget, respon pertamanya langsung berusaha buat melepaskan tanggannya yang ada
dalam genggaman gue.
“ Sebentar aja, ma..pa.. dengerin keinginan Yudhis. Keinginan terakhir.”
“ Yudhis tau, papa dan mama pasti nggak akan bolehin Yudhis buat main ke Dieng. Apalagi
buat lihat matahari terbit. Sangat beresiko buat kesehatan Yudhis. Iyakan?”
“ Yudhis berterimakasih dengan sangat karena mama papa selama ini dengan sabar dengan
sayang merawat yudhis yang sakit dari kecil sampai kebesar ini. Nggak pernah negluh sedikit
pun dengan keadaan Yudhis. Maaf banget Yudhis belum bisa membahagian Mama, papa
bahkan Tiara sekalipun. “
“ Yudhis juga tau banget, resiko dari tindakan Yudhis itu bagaimana dan akan seperti apa.
Tapi Yudhis mohon dengan sangat Yudhis tetap ingin ke Dieng. Akhir-akhir ini Yudhis udah
rajin ke rumah sakit, setiap hari buat berobat sama Dokter Andra, sekalipun alasan Yudhis
lainnya karena Keira. “
“ Mama Papa kasih ijin kan buat anak kalian ini menikmati dunia di akhir masa hidupnya di
puncak Dieng demi sebuah sunrise? Mama Papa bisa mengabulkan permintaan dari anakmu
penderita Xp ini kan?”
Bahkan gue saat ini sudah tidak lagi duduk diantara kedua orang tua gue, gue memohon dengan
duduk di lantai sambil memegangi kedua tangan orang tua gue. Mereka nangis, papa sekalipun
sudah menangis, gue juga. Mereka tidak menjawab dengan jawaban IYA atau tidak menolak
dengan jawaban TIDAK. Diamnya mereka gue anggap sebagai jawaban atas permintaan ijin
gue.
Tanpa kita bertiga sadari, dibalik pelukan gue sama mama papa, ada sepasang mata yang
mengawasi dari balik pintu dan sepasang telingga yang mendengarkan semua apa yang gue
omongin. Tiara
***
Tiara pernah tanya tentang suatu kebohongan, kemudian Yudhistira menjelaskan sambil
memainkan rambut kembarannya itu.
“ Kebohongan ya sama aja bohong. Apapun itu alasannya namanya tetap bohong. Bohong demi
kebaikan, bagi gue bisa di terima bisa nggak. Tergantung apa alasan melakukan kebohongan
itu? Dan bagaimana ketulusan orang melakukan kebohongan yang kata demi kebaikan.
Namanya memang negatif tapi arti dari bohong tidak selalu negatif.”
Gue bilang ke Tiara. Gue pengen jadi bunga dandelion. Setiap dia tertiup dan terbang karena
angin, itu seperti hanya jiwa yang terluka, terbang dengan bebas ke suatu tempat. Begitu berada
di tempat baru dan menanancapkan akar, mereka akan melupakan masa lalu yang menyakitkan.
Setelah kejadian malam itu, bukan hanya Yudhistira yang melupakan masa lalu menyakitkan
yang dialami, namun Tiara juga. Bukan hanya Yudhistira yang ingin menjadi dandelion, tapi
Tiara juga. Bahkan sekarang, Tiara sudah menjadi dandelion, bunga kesukaan Yudhistira,
saudara kembarnya.

Anda mungkin juga menyukai