Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bapak Ln
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 55 tahun
Alamat : Jl. Cilalla Jaya No. 50
Pekerjaan : Petani
Status : Sudah menikah
MRS : 9 Oktober 2016
MR : 357404
Perawatan : CVCU RSWS

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri dada
Anamnesis terpimpin :
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke rumah sakit dengan
keluhan utama nyeri dada yang dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit di Sidrap. Pasien kemudian dirujuk ke RS Wahidin. Nyeri
dada dirasakan seakan terhiris dan pedis. Pasien juga merasakan nyeri
yang menjalar di lengan kanan. Pasien juga akan sesak setelah atau
ketika nyeri dada menyerang. Pasien juga sering sesak yang dirasakan
sebelum atau setelah beraktivitas. Jika sesak pada waktu malam ,pasien
sulit tidur dan harus menggunakan lebih dari 2 bantal kepala. Pasien juga
sering keringat dingin dan terasa mual tetapi tidak muntah. Kaki (telapak
kaki) pasien biasa kram-kram. Pasien pernah dirawat pasang cincin pada
bulan 5 tahun 2010 di RS Wahidin.

1
Riwayat penyakit :
 Riwayat pasang cincin pada bulan 5 tahun 2010 ( Coronary Artery
Disease post PCI)
 Riwayat pernah berobat di RS Wahidin kerana sesak napas dan
pembengkakan jantung, dirawat selama 3 hari di cvcu.
 Riwayat keluarga yang menderita penyakit jantung tidak ada.
 Riwayat penyakit : Diabetis Mellitus tipe II (tidak berobat teratur)
:Hipertensi (tidak berobat teratur)
Faktor Risiko :

Faktor risiko

Modifikasi Non-modifikasi

 Hipertensi
 Jenis Kelamin (Laki-laki)
 Diabetes mellitus
 Umur (55 tahun)
 Merokok ( 1 bungkus/hari )
 Kerja berat ( petani )

C. PEMERIKSAAN FISIS

STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Sakit sedang/Gizi Cukup/Compos mentis (GCS 15 : E4M6V5)
BB: 49 kg, Tb: 153 cm, IMT: 20,93kg/m2

Tanda Vital
Tekanan darah : 140/100 MmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 37,20C

2
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+1 cm H2O (sudut 30˚), limfadenopati (-),
Pembesaran gondok (-)

Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris
kesan normal
Perkusi : Paru kiri : Sonor
: Paru kanan : Sonor
: Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
: Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
: Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi pernapasan: vesikuler,
Bunyi tambahan: ronki (+/+) di basal paru, wheezing (-/-)

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak
Palpasi : Apeks jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung : S I/II reguler, murmur (-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

3
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), Ascites (-)

Pemeriksaan Ekstremitas
- Extremitas hangat
- edema pretibial (-/-)
- edema dorsum pedis (-/-).

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG
Tanggal 09/10/2016

Interpretasi:
• Ritme : sinus , regular
• Heart Rate : 75 kali/menit
• Axis : Superior Axis Deviation (extreme)
• Gelombang P : 0,08 s
• PR Interval : 0,2 sec
• QRS kompleks : 0,08 sec, deep Q wave patologis pada V1-V5.
• ST Segmen : ST Elevasi pada Lead V1-V5
• Gelombang T : normal
Kesimpulan : Ritme sinus regular ,HR 75 kali /menit , superior
axis deviation (extreme),ST elevasi pada V1-V5.

5
2. Laboratorium
Tanggal 09/10/2016
Tes Keputusan
WBC 10,84 x 103/uL
RBC 7,38 x 106/uL
HGB 20,2 g/dL
HCT 63,7 %
PLT 226 x 103/mm3
Na 146
K 4,2
Cl 99
GDS 145 mg/dl
Ureum 39 mg/dl
Creatinine 1,53 mg/dl
SGOT 29 U/L
SGPT 23 U/L
PT 14,0 detik
APTT 34,1 detik
INR 1,35
Uric acid 9,3 mg/dl
CK 92,00 U/L
CK-MB 20,7 U/L
Basofil 0.04 x 103 /uL
Neutrofil 8.05 x 103 /uL
Limfosit 2.01 x 103 /uL
Monosit 0.53 x 103 /uL
Eosinofil 0.20x 103 /uL

6
3. Foto Thoraks :
Tanggal 09/10/2016

- corakan bronkovascular dalam batas normal


- Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru
- Cor : kesan membesar dengan TI:0,71
- Aortae dilatasi dan klasifikasi
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak

Kesan :
- Kardiomegali dengan dilatatio et atherosclerosis aortae

7
E. DIAGNOSIS
 ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) whole anterior onset 18
jam KILLIP I

F. PLANNING
 Echocardiography
 Angiography (untuk mengetahui tempat penyumbatan)
 Precutaneus Coronary Intervention (PCI)

G. TERAPI
 Bed rest
 Oksigen 3 lpm via nasal cannula
 NaCl 0,9% 500 cc/24 jam /drips
 Anti Platelet
-Aspilet 80 mg/ 24 jam / oral (meningkatkan fibrinolitik dan
mengurangi plasma konsentrasi Vit K dalam faktor koagulasi)
-Clopidogrel 75 mg/ 24 jam / oral (mencegah pembekuan darah
dengan memblok reseptor pemebekuan dan lebih efektif jika
diambil bersama dengan aspilet)
 Isosorbide Dinitrate : Farsorbid 10 mg/8 jam/oral (melemaskan
dan melebarkan pembuluh darah sehingga darah dapat mengalir
lebih mudah untuk meredakan nyeri dada dan dikomsumsi sebelum
serangan nyeri dada berlaku).
 Captopril 12,5 mg/8 jam /oral (HT: menghambat produksi hormon
angiotensin 2 untuk membuatkan dinding pembuluh darah lebih
rileks sehingga dapat menurunkan tekanan darah, sekaligus
meningkatkan suplai darah dan oksigen ke jantung) (JANTUNG:
mengurangi kadar cairan yang berlebihan dalam tubuh sehingga
meringankan beban jantung dan memperlambat perkembangan
gagal jantung.)

8
 Beta Blocker : Bisoprolol 1.25 mg/24 jam/ oral (mengurangi
frekuensi detak jantung dan tekanan otot jantung saat berkontraksi
dan dapat mengurangi beban jantung serta tekanan darah tubuh)
 Laxadyn syrp 10 cc/24 jam /oral
 Benzodiazepine : Alprazolam 0.5mg/24 jam /oral (Mengatasi
kecemasan, serangan panik, kecemasan yang berkaitan dengan
depresi supaya jantung tidak takikardi )
 Statin’s group : Atorvastatin 40mg/24 jam/oral (menghambat
reaksi beberapa enzim yang dibutuhkan oleh tubuh dalam
menghasilkan kolesterol)
 Diuretik : Furosemide 40mg / 12 jam/ oral (membuang cairan
berlebih di dalam tubuh juga digunakan untuk tekanan darah
tinggi saat obat diuretik lainnya tidak bisa mengatasinya lagi)

9
DISKUSI
Infark Miokard Akut

1. Definisi (1,2)
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segment elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil
peningkatan marka jantung.
Infark miokard akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat
iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini berhubungan erat
dengan adanya penyempitan arteri koronaria oleh plak ateroma dan trombus
yang terbentuk akibat rupturnya plak ateroma.
Secara anatomi arteri koronaria dibagi menjadi cabang epikardial yang
memperdarahi epikard dan bagian luar dari miokard, dan cabang profunda
yang memperdarahi endokard dan miokard bagian dalam.
Apabila A. Koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark
miokard transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh
dinding miokard. Pada EKG biasanya dimulai dari depresi segmen ST dengan

10
T terbalik, kemudian berubah menjadi elevasi segmen ST dan menghilangnya
gelombang R sampai terbentuk gelombang Q patologis yang disebut dengan
ST elevation miocard infarction (STEMI)
Apabila hanya cabang profunda yang tersumbat, atau mungkin tidak
tersumbat namun tiba-tiba terjadi peningkatan konsumsi oksugen yang hebat,
maka kerusakan miokard terjadi hanya terbatas pada subendokard sehingga
disebut non ST elevation myocardial infarction (STEMI), karena pada EKG
tidak tampak elevasi dari segmen ST.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Sumber : Netter’s Cardiology, Chapter 9: Acute Miocardial Infarction

11
2. Patofisiologi (2,3)
Sebagian besar Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah manifestasi akut dari
plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini
berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang
menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli
yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti
diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal).
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA
pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat
utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral
arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik

12
dengan proses yang sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait.
Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis
merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi
beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive
extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan
kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses
inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada
lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous
cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak
stabil. Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi
memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada
penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak
hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.
Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication
pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda
bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak
garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan
lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak
atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau
penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi
perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat
sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif.
Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis
yang bersifat tidak stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA.
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding
arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag
dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi
trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses

13
trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total
atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada
plak aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak
stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya
transien/labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–
20 menit. Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh
kolateral atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan
trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan
miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih
dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka
keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau
dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan
persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang
berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.
Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah sebagai
dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama
disebabkan oleh pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat fibrous cups
yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups
bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling
akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi,
gangguan matriks ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM) akibat
aktivitas matrix metallo proteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan
kolagen dan aktivitas inflammatory cytokines.
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses
inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-
biologis SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses
inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat
bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan
homeostatik. Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi
fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi

14
juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena
tergganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada
patogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi
itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan
faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium
Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti
endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor
kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami
disrupsi terjadi platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh
serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction
diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos
pembuluh darah.

3. Faktor Resiko (3,4,7)


Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih
dapat diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik,
antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi
glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.
Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA.Penelitian
angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh
trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada
(pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus.
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner.
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran
patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang

15
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu,
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi
protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang
terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli
arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria
terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.

4.Gejala Klinis (2,5)


Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien Sindroma
Koronary Arteri (SKA). Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada
merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter
harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan
nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut

16
• Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
• Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
• Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
• Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
• Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
• Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala
NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal
ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas,
nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat
terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia.
Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular
multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

5.Diagnosis (2,3,6)
• Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar
ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaphoresis,mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa
gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan

17
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.dapat juga ditanyakan apakah pasien mempunyai
faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus dan riwayat PJK dini dalam keluarga.
• Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang
perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
• Pemeriksaan marka jantung
Creatine kinase (CK) adalah enzim miokard yang meningkat apabila
terjadi IMA, mencapai konsentrasi maksimal setelah 24 jam seranga n,
kemudian kembali ke nilai normal setelah 72 jam serangan. Walaupun
demikian false positive dapat teradi pada miokarditis, perikarditis,
trauma miokard, penyakit kolagen yang mengenai miokard, dan
trauma pada otot seperti miositis, luka bakar atau setelah dikerok.
Dilaporkan juga enzim ini dapat meningkat pada hipotiroidisme, agagl
ginjal, dan subarachnoid hemorrahge Creatine Kinase Myocardial

18
Band (CKMB) adalah isoenzim dari CK yang lebih spesifik mewakili
enzim miokard, maka beberapa laboratorium mendiagnosis IMA bila
kenaikan nilai CKMB melebihi 6% dari CK.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia,
trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan
ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin
T.

• Pemeriksaan elektrokardiografi
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. EKG
memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Rekaman EKG
penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya

19
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
dan I dan aVL
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I
dan aVL
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

20
6. Penatalaksanaan (6,7)

21
Umum :
1. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
2. Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
3. Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau
sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau > 110
kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas < 8
kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
4. Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat
tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
5. Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated
fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah),
magnesium (sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal)

Medika mentosa
Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
1. Anti Iskemia
A) Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya
terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi
oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan,
asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.

22
B) Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang.
Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik
yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

C) Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri
dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node.
Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi
arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang.

23
2. Antiplatelet
i. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan.
ii. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada
indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih.
iii. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole)
diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan
penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan
riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi
H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid.
iv. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam
12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada
indikasi klinis.
v. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali
sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan
awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian
dihentikan).
vi. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari.
vii. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading
300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP)

24
direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima
strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor.
viii. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap
hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang
dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat.
ix. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi
(termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan
selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau
clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat
risiko kejadian iskemik yang tinggi.
x. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan
(atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap
aman.
xi. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID
(penghambat COX-2 selektif dan NSAID non-selektif).

3.Terapi Reperfusi

 Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,


diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul
dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left
Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru.
 Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang
sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.

25
 Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki
fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla
ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari
(2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan,
jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas
IKP.

4. Intervensi koroner perkutan primer


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut
yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa
pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan
awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan
dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak
disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang
telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada
pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum
diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra
terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT)
dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS)

26
5. Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama
pada tempat- tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien
STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada
pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak
kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2
jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko
perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu
antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90
menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase,
reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak
spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau intravena
harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai
tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada
pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga
revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit
hingga 5 hari.
Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

27
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu
melakukan IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua
pasien. IKP “rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis
gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit
disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan
untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi
setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali. Angiografi emergensi
dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan
untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis
inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk
melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal
angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-
24 jam.

28
7.Prognosis (8,9)
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal 6


jantung
+S3(aliran darah masuk
ke ventrikel yang bisa
II didengar,seharusnya tidak 17
didengar) dan atau ronki
basah
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung


dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut
Indeks Kardiak
Kelas PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

29
8.Komplikasi (2,10)
A) Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan
IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi,
namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi
mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai
konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai
komplikasimekanis.
B) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah
90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun
dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau
komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan
gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine
output.
C) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen
basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada
Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi
vasodilator.
D) Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang
buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi
urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang
buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.

30
E) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit
mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah
awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien
pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we
emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan
75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok
kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat
tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien
biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas
dingin) dan kongesti paru.
F) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam
15 hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium
awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok
AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik),
sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik),
henti sinus sebesar 5% (≥5 detik),VT berkelanjutan sebesar 3% dan
VF sebesar 3%.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Marshall S.Runge and Magmus Ohman, Netter’s Cardiology chapter 9: Acute


Miocardial Infaction page 93-102.
2. Eugene Bowmanld, 4 Stage of Heart Failure, Chapter 2: Heart Failure
Presentation and Functional Type , page 21-58.
3. Alessandro Capucii, Clinical Presentation in Cardiology, Chapter 1.2 :
Elevation Myocardial Infarction (STEMI) ,page 5-6.
4. Michael Collins, Acute Coronary Syndrome-Posterior STEMI from The
Northen Hospital ,page 4-8.
5. Poh K K and Tan H, Electrocardiography Series : ECG ST Elevation in
patients, page 3-6.
6. Syukri K, Peter Kabo. Buku Ajar EKG dan penanggulangan beberapa
penyakit jantung untuk dokter umum. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
7. Datuk Noor Hisyam, Clinical Practical Guideline : Management of Acute
STEMI page 40-53.
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications. 2015.
9. Depkes RI. Buku Saku Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut.
10. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 2005; 147: 6-9

32

Anda mungkin juga menyukai