Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................... Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR.............................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... i

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 2

2.1 Anatomi ....................................................................................................................... 2

2.1.1 Anatomi Bola Mata .............................................................................................. 2

2.1.2 Anatomi Rongga Orbita ....................................................................................... 7

2.2 Tumor Orbita ............................................................................................................... 9

2.2.1 Definisi ................................................................................................................. 9

2.2.2 Etiologi ................................................................................................................. 9

2.2.3 Klasifikasi............................................................................................................. 9

2.2.4 Manifestasi Klinis Umum .................................................................................... 9

2.2.5 Tumor Orbita Primer .......................................................................................... 10

2.2.5.1 Choristoma ........................................................................................................ 10

2.2.5.2 Tumor Vaskuler................................................................................................. 11

2.2.5.3 Tumor Otot ........................................................................................................ 15

2.2.5.4 Tumor Kartilago ................................................................................................ 15

2.2.5.5 Tumor Neurogenik ............................................................................................ 16

2.2.5.7 Tumor Kelenjar Lakrimal.................................................................................. 19

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23


BAB 1

PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu organ penting dalam tubuh manusia dan mempunyai fungsi
sebagai organ penglihatan. Tetapi dalam perjalanan hidup manusia sehari-harinya, mata dapat
terserang oleh suatu penyakit atau tumor yang bersifat jinak ataupun ganas. Tumor adalah
pertumbuhan atau tonjolan abnormal di tubuh. Tumor sendiri dibagi menjadi jinak dan ganas.
Tumor pada mata disebut juga tumor orbita, yakni tumor yang menyerang rongga orbita
(tempat bola mata) sehingga selain merusak tulang penyusun rongga orbita dapat pula merusak
jaringan sekitar mata seperti otot, saraf, dan kelenjar lakrimal. Rongga orbita dibatasi bagian
superiornya oleh fossa anterior, dilateral oleh os zigoma, os frontalis dan sphenoid, di medial
oleh tulang yang membentuk dinding luar sinus ethmoid dan sphenoid, serta di inferior oleh
atap sinus lakrimalis (Rahmadani dan Rizky, 2012).
Orbita merupakan struktur anatomi kompleks yang terdiri dari bola mata, jaringan
lemak, vaskuler, saraf, kelenjar dan jaringan ikat. Di dalamnya terdapat struktur penting untuk
pengelihatan yang dilindungi olah tulang-tulang penyusunnya. Berdasarkan struktur anatomi,
rongga orbita berukuran relative kecil dengan ruang kosong yang sedikit, lesi infraorbita yang
menyebabkan peningkatan volume infraorbita dapat menyebabkan proptosis bola mata
sehingga mempengaruhi fungsi visus dan otot ekstraokuler (Rahmadani dan Rizky, 2012).
Struktur anatomi dalam rongga orbita dapat berkembang menjadi neoplasia. Invasi
struktur yang berdekatan, gangguan limfoproliferatif dan metastasis secara hematogen juga
dapat menyebabkan pertumbuhan tumor orbita sekunder. Tumor infraorbita akan
meningkatkan volume dalam rongga orbita dan menyebabkan mass effect seperti turunnya
ketajaman pengelihatan, gangguan lapang pandang, diplopia, dan gangguan motilitas orbita
(Rahmadani dan Rizky, 2012).

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Bola Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian
anterior (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan
2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan yaitu lapisan sklera
yang bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Didalam bola mata
terdapat aqueous humor, lensa, dan vitreous humor (Ilyas, 2014).

A. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata,
merupakan jaringan terluar yang melindungi bola mata. Sklera berhubungan dengan erat
dengan kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus sklera yang berjalan dari papil
saraf optik sampai kornea. Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vaskulat. Sklera
mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata.
Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm, sklera masih tahan terhadap kontusi trauma tumpul.
Kekakuan sklera dapat meninggi pada pasien diabetes mellitus dan merendah pada eksoftalmos
goiter, miotika, dan minum air yang banyak (Ilyas, 2014).

B. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah anterior dan terdiri atas 5 lapis,
yaitu:
1. Epitel
- Tebalnya 550 um, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berkaitan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit
dan glukosa yang merupakan barrier.

2
- Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
- Menyusun 90% ketebalan kornea.
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stromal
kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
- Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup mempunyai tebal 40
um.
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20-40 um.
Endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 2014).

3
C. Uvea
Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan koroid.
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan otot
rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior
yaitu:
1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut sensoris
untuk kornea, iris dan badan siliar.
2. Saraf simpatis yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis
yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk
dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan
pupil.
Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris terdiri dari
atas bagian pupil dan bagian tepi siliar, badan siliar terletak antara iris dan koroid. Batas antara
korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm temporal dan 7 mm nasal. Di dalam
badan siliar terdapat 3 otot akomodasi yaitu longitudinal, radiar dan sirkular.
Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola
mata. Reaksi pupil ini merupakan juga indikator untuk fungsi simpatis (midriasis) dan
parasimpatis (miosis) pupil. Badan siliar merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai
sistem ekskresi di belakang limbus. Radang badan siliar akan mengakibatkan melebarnya
pembuluh darah di daerah limbus, yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan
gambaran karakteristik peradangan intraocular.
Otot longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera bila berkonstraksi
akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan mata melalui sudut
bilik mata. Otot melingkar badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi akan mengakibatkan
mengendornya zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa. Kedua otot ini dipersarafi
oleh saraf parasimpatik dan bereaksi baik terhadap obat parasimpatomimetik (Ilyas, 2014).

D. Pupil
Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang
dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan pada orang tua, pupil mengecil akibat rasa silau yang
dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis.

Pupil waktu tidur kecil, hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma
dan tidur sesungguhnya. Pupil kecil waktu tidur akibat dari:
4
1. Berkurangnya rangsangan simpatis.
2. Kurangnya rangsangan hambatan miosis.
Bila subkorteks bekerja sempurna maka terjadi miosis. Di waktu bangun
korteks menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur
hambatan subkorteks hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang
akan meningkatakan miosis. Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi
kromatis pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto
yang diafragmanya di kecilkan (Ilyas, 2014).

E. Sudut Bilik Mata Depan


Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada
bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar
cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan
bola mata meninggi atau glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini di dapatkan jaringan
trabekulum, kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas, 2014).

F. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam
mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris yang terdiri
dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada
saat terjadinya akomodasi.
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu :
a. Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi
untuk menjadi cembung.
b. Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan.
c. Terletak di tempatnya.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :
a. Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia,
b. Keruh atau apa yang disebut katarak,
c. Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi.

G. Badan Kaca

5
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensa
dan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Mengandung air sebanyak 90%
sehingga tidak dapat lagi menyerap air (Ilyas, 2014).

H. Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya.
Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan:
1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.
2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.
3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapisan nukleus sel kerucut dan batang.
Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
4. Lapis fleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat asinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller
lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6. Lapis fleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps bipolar,
sel amakrin dengan sel ganglion.
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju saraf optik. Di
dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.
Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral
masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam.
Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dan koroid. Untuk
melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina seperti : tajam penglihatan,
penglihatan warna, dan lapangan pandang. Pemeriksaan obyektif adalah elektroretinografi
(ERG), elektrookulografi (EOG), dan visual evoked respons (VER) (Ilyas, 2014).

I. Saraf Optik

6
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis serabut saraf,
yaitu: saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik menggambarkan gangguan
yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak langsung terhadap saraf optik ataupun perbuatan
toksik dan anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik (Ilyas, 2010).

Anatomi Bola Mata


(Vaughan, 2008)

2.1.2 Anatomi Rongga Orbita


Rongga orbita mempunyai volume 30 cc, dengan ukuran lebar 40 mm, panajang 35
mm, tinggi 45 mm. Dinding orbita terdiri dari 7 macam tulang, yaitu: os. ethmoid, os. frontal,
os. lakrimal,os. maksila, os. palatum, os. sphenoid, dan os. zigomatik.
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung.
Dinding lateral orbita membentuk sudut 45o dengan dinding medialnya.
Rongga orbita dibagi atas 4 bidang yaitu :
1. Atap orbita terdiri dari os. frontal dan os. sphenoid ala parva. Daerah atap orbita
berdekatan dengan fossa kranii anterior dan sinus frontal.
2. Dinding lateral, terdiri dari os. zigomatik, os. frontal dan os. sphenoid ala magna,
berdekatan dengan fosa kranii tengan fosa pterigopalatinus.
3. Dinding medial, terdiri dari os. ethmoid, os. frontal, os. lakrimal dan os. sphenoid,
berdekatan dengan sinus ethmoid, sinus sphenoid dan kavum nasi.
4. Dasar orbita terdiri dari os. maksila, os. palatum dan os. zigomatik, berdekatan
dengan sinus maksila dan rongga-rongga tulang palatum.

7
Tulang tengkorak membentuk dinding orbita, selain itu didalamnya juga terdapat
apertura seperti foramina etmoidal, fisura orbita superior, fisura orbita interior, kanal optik, dan
tempat-tempat tersebut dilalui oleh saraf-saraf kranial arteri dan vena.
Jaringan lunak yang terdapat dirongga orbita adalah :
1. Periorbita, jaringan perios yang meliputi tulang orbita. Periorbita pada kanal optik
bersatu dengan durameter yang meliputi saraf optik di anterior bersatu dengan
septum orbita.
2. Saraf optik, atau saraf ke II kranial yang diselubungi oleh piamater, araknoid,
durameter seperti selubung otak.
3. Otot ekstra okular. Setiap bola mata mempunyai enam buah otot ekstra okular yang
juga diselubungi oleh fasia, ligamen dan jaringan ikat.
4. Jaringan lemak. Hampir sebagian besar rongga orbita berisi jaringan lemak.
5. Kelenjar lakrimal berfungsi mengeluarkan air mata dan sebagian terletak dirongga
orbita.
Jelas terlihat bahwa rongga orbita berisi berbagai macam jaringan sehingga masing-
masing jaringan mempunyai kemungkinan untuk tumbuh menjadi berbagai jenis tumor (Ilyas,
2014).

Anatomi Rongga Orbita


(Sobotta, 2006)

8
2.2 Tumor Orbita
2.2.1 Definisi
Tumor adalah pertumbuhan atau tonjolan abnormal di tubuh. Tumor sendiri dibagi
menjadi jinak dan ganas. Tumor orbita adalah tumor yang menyerang rongga orbita sehingga
merusak jaringan lunak mata, seperti otot mata, saraf mata, dan kelenjar air mata (AAO,
2009; Khurana, 2007).

2.2.2 Etiologi
- Mutasi gen pengendali pertumbuhan (kehilangan kedua kromosom dari satu
pasang alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom).
- Malformasi kongenital.
- Kelainan metabolisme
- Penyakit vaskuler
- Inflamasi intraokuler
- Neoplasma (jinak atau ganas)
- Trauma
(Gault et al, 2015; Kanski et al, 2011)

2.2.3 Klasifikasi
1. Tumor primer : tumor orbita yang berasal dari jaringan orbita sendiri. Tumor
orbita ini dapat bersifat jinak maupun ganas.
2. Tumor sekunder : tumor orbita yang berasal dari berbagai organ lain di tubuh.
Sifat tumor ini biasanya ganas.
3. Tumor metastasis : tumor orbita yang berasal dari tumor lain yang metastasis ke
struktur orbita secara hematogen.
(Khurana, 2007).

2.2.4 Manifestasi Klinis Umum


- Nyeri orbital
- Mata merah
- Proptosis (penonjolan abnormal pada salah satu atau kedua mata)
- Palpasi (di dapatkan massa)
- Gerak mata terbatas
- Gangguan penglihatan
(Rahmadani dan Rizky, 2012)

9
2.2.5 Tumor Orbita Primer
2.2.5.1 Choristoma
A. Kista Dermoid
Kista dermoid merupakan tumor yang umum terdapat pada anak-anak tetapi terdapat
juga pada orang dewasa. Lokasi kista dermoid biasanya berada di orbita superotemporal, tetapi
dapat juga berada ditempat lain, yaitu didaerah superonasal.
Permukaan tumor halus. Jenis kista ini tidak disertai rasa sakit. Pada umumnya dermoid
tidak menyebabkan eksoftalmos, karena terletak dianterior septum orbita. Kadang- kadang
terdapat pedikel dibelakang septum dan melekat dengan perioseteum orbita. Hal ini
menyababkan kelainan pada tulang (fosa lakrimal, dan dapat terlihat secara radiologis. Pada
pengangkatan tumor dilanjurkan agar membuang pedikel tersebut guna mencegah
kekambuhan. Secara mikroskopis, tumor berbentuk padat bercampur dengan komponen kista,
berisi materi seperti keju. Pada gambar histologis dinding kista terdiri dari epitel skuamosa
berlapis, dan kista berisi kelenjar keringat, folikel rambut dan kelenjar sibasea. Lumen dari
kista berisi dari sisa-sisa keratin dan rambut. Sering terjadi ruptur pada kista dan dapat
menyebabkan inflamasi (AAO, 2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

B. Kista Epidermoid
Epidermoid sama dengan dermoid, hanya tidak berisi kelenjar-kelenjar. Kadang-
kadang sulit untuk membedakan secara histologist, epidermoid yang berasal dari kongenital
atau akibat trauma masuknya epidermis kedalam jaringan. Dalam hal ini diperlukan anamnesis
yang baik (AAO, 2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

10
C. Teratoma
Teratoma berbeda dengan kista dermoid dalam strukturnya. Tumor tidak hanya berisi
jaringan ektoderm saja, tetapi juga mesoderm. Biasanya tumor berbentuk kista dengan
eksoftalmos yang luar biasa besarnya. Tumor sudah ada saat kelahiran. Pembedahan eksentrasi
kadang-kadang masih dapat dilakukan pengangkatan tumor dengan tetap membiarkan bola
mata di rongga orbita (AAO, 2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

2.2.5.2 Tumor Vaskuler


A. Hemangioma Kapiler
Hemangioma kapiler merupakan tumor jinak. Penampakannya berupa nodul merah, di
palpebra disebut strawberry birthmark. Tumor cenderung membesar pada bulan-bulan pertama
setelah kelahiran, dengan cara infiltratif ke jaringan sekitarnya. Tumor dapat meluas, multipel
sampai mengenai daerah kepala dan leher. Perjalanan penyakit hemangioma kapiler tumbuh
dengan pesat menjelang enam bulan kehidupan dan mengecil setelah anak berumur 1 tahun.
Pertumbuhan hemangioma lebih sesuai dikatakan sebagai pertumbuhan hemartroma dari pada
pertumbuhan neoplasma. Involusi sempurna, 30% akan terjadi pada umur 3 tahun, 60% pada
umur 4 tahun, 76% pada umur 7 tahun.
Bila tumor hanya mengenai daerah orbita tanpa lesi di palpebra, maka persangkaan
terhadap hemangioma didapat dari warna kebiru-biruan yang terjadi di palpebra atau
konjungtiva. Pada perabaan tumor akan terasa lunak seperti busa. Daerah predileksi sering
terjadi di daerah superonasal Gambaran mikroskopis tumor terbentuk nodul padat berisi sel
proliferasi sel endotel jinak dan berlumen. Dengan meningkatnya umur rongga vaskuler ini
menjadi ektatik dan skarifikasi terjadi spontan atau akibat pengobatan.
11
Pengobatan hanya dilakukan atas indikasi disfungsi okular atau deformitas kosmetik
yang terlalu luar. Pengobatan steroid dapat dilakukan untuk mengurangi besarnya tumor.
Radiasi dengan dosis rendah dikatakan cukup berhasil mengobati hemangioma. Tindakan
pembedahan, injeksi zat sklerosing, krioterapi hendaknya dibatasi sedapat mungkin (AAO,
2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

B. Hemangioma Kavernosa
Hemangioma kavernosa adalah tumor yang terjadi pada masa dewasa, dan penampakan
klinis jarang pada masa kanak- kanak. Tumor terdiri dari rongga-rongga dengan ukuran yang
sangat bervariasi. Rongga tersebut dibatasi oleh septa, berukuran cukup tebal dengan dinding
dilapisi sel endotel. Pertumbuhan slowly progresive. Tumor berkapsul tidak mempunyai sifat
regresi. Lokasi tumor sering terdapat didaerah intrakonal retrobulbar. Diagnosa dapat dibuat
dengan diagnostik penunjang A dab B scan ultrasonografi dan CT-scan. Arteriografi dan
venografi tidak menunjang, karena lesi terisolasi dari jaringan vaskular. Pengobatan dengan
pembedahan. Biasanya tumor sangat mudah ditaksir karena tumor berkapsul. Perubahan sel
menjadi tumor ganas sangat jarang terjadi (AAO, 2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

12
C. Hemangiopericytoma
Hemangiopericytoma merupakan tumor jinak pericyte yang terutama muncul diusia
paruh baya. hemangiopericytoma muncul dengan gejala orbital dan tampak mirip dengan
hemangioma kavernosus (Valentini et al, 2014).

D. Limfangioma
Limfangioma di orbita frekuensinya lebih sedikit dari hemangioma, tetapi
pertumbuhannya sangat ekstensif. Pada anak-anak, pertumbuhan tumor ini lebih buruk karena
seringnya terjadi infeksi sekunder. Gambaran histologi limfangioma memperlihatkan dinding
yang tipis, limfoid dengan beberapa folikel limfa banyak didapat di antara dinding rongg. Pada
tumor ini sering terjadi pendarahan kedalam rongga, sehingga sukar membedakannya dari
hemangioma (AAO, 2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

13
E. Malformasi Arteriovenosus
Malformasi arteriovenosus merupakan kelainan kongenital pembuluh darah orbita
dimana arteri secara langsung beranastomosis dengan vena tanpa melewati kapiler. Pembuluh
darah episkleral dapat diamati, malformasi arteriovenosus dapat di hilangkan dengan emboli
atau direseksi (Trombly et al, 2006).

F. Dermolipoma
Dermolipoma merupakan tumor jinak yang terdiri dari jaringan adiposa dan jaringan
ikat kolagen yang ditutupi epitel konjungtiva. Tumor berupa benjolan kecil, lesi datar sampai
massa besar pada perabaan lunak dan terdapat pseudofluktuasi, terletak pada fornix
superotemporal, di dekat kelenjar lakrimal ataupun musculus rectus lateralis, jarang pada
palpebra superior. Dermolipoma biasanya asimptomatik, namun dapat mengiritasi akibat unit
pilosebaceous atau deretan rambut tipis dipermukaannya sehingga memberikan sensasi adanya
benda asing yang presisten pada sebagian besar pasien. Penatalaksanaan berupa eksisi dari
tumor namun beberapa komplikasi seperti blepharoptosis, strabismus, dan keratokonjungtivitis
sicca telah dilaporkan terkait eksisi dari tumor (Yoon et al, 2015).

14
2.2.5.3 Tumor Otot
A. Leiomyoma
Leiomyoma merupakan tumor jinak otot polos pada intra maupun ekstraokuler yang
langka. pria memiliki resiko berpengaruh terhadap leiomyoma 2x dibanding perempuan,
dengan insidensi rata rata usia 30 tahun. Secara klinis pada gejala mata tampak proptosis
lambat, ptosis, diplopia, striae choroid, papiledema, dan penurunan visus. Leiomyoma yang
berlokasi pada anterior orbita dan kelopak mata akan tampak odem progresif tanpa nyeri pada
kelopak mata. Terapi terbaik pada leiomyoma berupa eksisi total tumor, pada kasus tumor yang
mencapai apex orbita sehingga harus dilakukan eksisi inkomplit maka rekurensi dapat terjadi.
Leiomyoma orbital tidak radiosensitive sehingga radioterapi pada kasus rekurensi akibat eksisi
tumor inkomplit kurang berperan pada terapinya (Gündüz et al, 2004).

2.2.5.4 Tumor Kartilago


A. Chondroma
Chondroma merupakan tumor jinak kartilagenous yang jarang terjadi dan tumbuh
lambat. Chondroma biasanya asimptomatik kecuali bila massa dapat teraba atau terlihat, sering
pada tulang yang menempel pada orbita seperti septum nasi, nasofaring, sinus ethmoid,
kartilago alaris dan sinus sphenoid. Chondroma dapat terjadi di segala usia, namun sering
terjadi pada dekade 3 dan 4 tanpa predileksi gender. Pada gambaran klinis chondroma terdapat
proptosa tanpa nyeri dan diplopia. Terapi pada tumor anterior dengan orbitotomi anterior atau
lateral, sementara pada tumor posterior sebaiknya melalui transkranial (Kabra et al, 2015).

15
2.2.5.5 Tumor Neurogenik
A. Neurofibroma
Neurofibroma adalah jenis tumor saraf yang terbanyak ditemukan. Tumor ini
merupakan proliferasi endoneural matriks dengan dominasi dari sel Schwann, yang berada
diselubung saraf. Ada tipe 3 neurofibroma yaitu: plexiform neurofibroma, diffuse
neurofibroma, dan localized neurofibroma. Neurofibroma tipe plexiform tumbuh infiltratif dan
dapat terjadi pada penyakit Von Recklinghausen. Neurofibroma sering mengenai bagian atas
orbita. Tumor biasanya multipel, tidak berbatas tegas, dan tidak berkapsul. Pengangkatan tumor
bergantung pada tingkat keparahan tanda dan gejala klinis. Eksisi dapat dicapai melalui
orbitotomi anterior ataupun lateral bergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Untuk ukuran
tumor yang lebih besar diperlukan eksenterasi (Dokey et al, 2015).

16
B. Orbital Schwannoma
Tumor yang berasal dari proliferasi sel-sel Schwann, pertumbuhan tumor relatif
lambat, dan berkapsul. Orbital Schwannoma dapat menginfiltrasi saraf kranialis sehingga
timbul nyeri akibat penekanan saraf kranial. Terapi primer untuk orbital Schwannoma adalah
eksisi (Nicolaas dan Adam, 2017).

C. Meningioma
Tumor berasal dari sel meningiotelial lapisan araknoid. Lapisan araknoid ini berada
dirongga orbita, dan merupakan pembungkus serabut saraf optik. Manifestasi klinis yang
didapatkan adalah hilangnya penglihatan, diplopia, cephalgia, dan nyeri retrobulbar.
Meningioma intra orbita yang berasal dari selubung saraf optik disebut meningioma
primer intra orbita, sedangkan yang berasal dari invasi intrakranial disebut meningioma
sekunder intra orbita.
Selain meningioma primer dan sekunder primer dan sekunder di dapat juga
meningioma ektopik. Meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat progresif,
umumnya terjadi pada wanita dewasa muda. Meningioma mempunyai sifat keganasan lokal,
tidak bermetastasis. Selain dari pada itu meningioma mempunyai sifat menjalar melalui
lubang-lubang kranial sehingga tumor dapat memasuki daerah intrakranial atau sebaliknya
meningioma intrakranial dapat memasuki intraorbita

17
Terapi adalah pembedahan, tetapi sukar menghindari komplikasi trauma saraf optik.
Sebaliknya bila fungsi saraf optik dipertahankan tanpa melakukan pengangkatan tumor secara
total pada saat operasi, kemungkinan tumor akan tumbuh kembali. Angka keberhasilan
tergantung dari pengangkatan adekuat (Juliet dan Brian, 2014).

E. Glioma Saraf Optik


Glioma biasanya ditemui pada anak-anak pada dekade pertama pada kehidupannya.
Kurang lebih seperempat dari penderita glioma disertai penyakit neurofibroma. Gejala
klinisnya memperlihatkan bahwa pada penderita terdapat proptosis, kelainan saraf optik, café-
aulait-spot yang ganda di tubuh. Gejala ini sangat karateristik untuk penyakit glioma.
Diagnosa dapat dibuat dengan CT scan X-ray standart. Penggunaan USG akan
memperlihatkan hilangya gambar saraf optik yang karateristik. Gambar CT scan akan
memperlihatkan pembesaran saraf optik. Dengan X-ray standar kadang-kadang terlihat
pembesaran kanal optik. Bila terdapat pembesaran kanal sebaiknya dilanjutkan dengan foto
tomografi untuk menilai kemungkinan ekstensi ke intrakranial. Gambaran mikroskopis glioma
memperlihatkan tumor berisi sel astrosit dengan diferensiasi baik. Pertumbuhan tumor ini
invasif dan apabila disertai penyakit neurofibromatosis, tumore dapat berproliferasi sampai
ruangsubaraknoid. Glioma tanpa neurofibroma biasanya hanya tumbuh disekitar saraf mata.
Pada anak –anak tumor tidak bergenerasi ganas, keganasan pada glioma hanya terjadi pada
orang dewasa.

18
Pengobatan masih kontroversial. Dapat dilakukan pembedahan. Untuk pemeriksaan
histologik biobsi dapat dilakukan melalui medial bola mata dengan disinsersi rektus medial.
Pembedahan orbitotomi lateral dilakukan bila ingin mengangkat satu segmen saraf optik.
Dilakukan operasi intrakranial bila tumor berada tumor berada di intrakranial, kanal optik, atau
bila ingin memperoleh lapang operasi yang luas. Diberikan radiasi bila tumor tidak mungkin
untuk diangkat lagi atau pertumbuhannya sangat angresif. Tidak dianjurkan pembedahan
bilamana intrakranial sudah meningkat (AAO, 2008; Kanski, 2008; Khurana 2007).

2.2.5.7 Tumor Kelenjar Lakrimal


A. Adenoma Pleomorfik
Tumor jinak tersering pada kelenjar lakrimal adalah adenoma pleomorfik. Secara
terminologi, pleomorphic pertama kali dikemukakan oleh Wilis, pleomorphic merupakan suatu
tumor campuran berisi sel epitel dan komponen mesenkimal.
Adenoma pleomorfik sendiri merupakan tumor jinak dari sel epitel pada kelenjar
lakrimal yang paling sering dijumpai. Sebagaimana tumor-tumor jinak lainnya, pleomorphic
adenoma mempunyai onset dengan sifat progresifitas yang lambat, yaitu 6-12 bulan.
Secara klinis, biasanya tumor ini muncul pada dekade ke 4-5 dengan insiden yang
sama pada pria dan wanita. Biasanya muncul dengan gejala massa yang terpalpasi pada
superotemporal pars orbatalis yang tidak nyeri dan mobile, proptosis progresif unilateral, massa
yang membesar perlahan, gangguan motilitas ocular, kelainan refraksi, diplopia, lakrimasi,
ptosis dan lipatan koroid dimana gejala ini muncul selama lebih dari 12 bulan tanpa tanda
inflamasi.

19
Adenoma pleomorfik mempunyai klinis sebagai massa padat, tegas pada fosa lakrimalis
dengan gejala yang ditimbulkan berupa proptosis yang tidak disertai nyeri, pergeseran bola
mata kearah medioinferior. Pertumbuhan tumor pada pleomorphic adenoma juga mampu
menstimulasi periosteum untuk membentuk suatu lapisan tipis berisi tulang-tulang baru
(kortikasi).
Pada 10% kasus adenoma pleomorfik dapat melibatkan lobus palpebra, sehingga pada
kasus tersebut tumor mobile, tidak nyeri dan tidak menyebabkan proptosis atau perubahan
tulang.
Secara makroskopis, tumor berwarna putih ke abu-abuan, soliter, kenyal dan
terbungkus lapisan tipis pseudoepitel yang terbentuk dari jaringan yang terkompresi dan
fibrosis reaktif.
Pengobatan terbaik adalah dengan eksisi total tumor dengan pseudocapsul melalui
lateral orbitotomy. Untuk meminimalisir penyebaran tumor, tepi kelenjar lakrimal dan
periorbita yang berdekatan harus dihilangkan secara ekstirpasi (Duck, 2005).

20
B. Orbital Pseudotumor
Pseudotumor merupakan tumor jinak yang dikarakteristikkan dengan adanya infiltrate
polymorphous lymphoid dengan derajat fibrosis yang bervariasi. Pseudotumor merupakan 10%
dari kasus tumor orbita dengan puncak insidensi usia 40-50 tahun, namun tidak menutup
kemungkinan terjadi pada anak-anak, dapat terjadi pada pria maupun wanita, bersifat unilateral
atau dapat juga bilateral seperti yang biasa terjadi pada anak.
Berdasarkan jaringan yang terlibat, pseudotumor dapat berhubungan dengan jaringan
pada otot extraoculi, kelenjar lakrimal, dan saraf optic. Gejala klinis pseudotumor bergantung
struktur orbita yang berhubungan serta derajat fibrosis dan inflamasi, seperti proptosis,
diplopia, odem pada kelopak mata, nyeri orbital, ptosis, chemosis dan visual loss.
Bentuk klasik pseudotumor ada pada variasi seluler yang tampak akut dan menyerupai
lymphoid tumor, yakni terdiri dari infiltrate polimorfik hiposeluler berisi limfosit, sel plasma,
makrofag, dan leukosit polimorfonuklear. Diagnose secara histopatologi di dapatkan dari
biopsy ataupun FNAC (Fine Needle Aspiration Cytology). Spektrum pengobatannya luas dan
terus berkembang, antara lain dengan pemberian kortikosteroid, terapi radiasi, NSAID, agen
sitotostik, imunosupresan minim kortikosteroid, immunoglobulin intravena, plasmapheresis
dan yang terbaru dengan pengobatan biologis menggunakan anti TNF α (Srinivasan et al, 2009).

21
BAB 3
KESIMPULAN

Tumor orbita adalah tumor yang menyerang rongga orbita, sebagian merusak jaringan
lunak mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor orbita dapat berasal dari dinding orbita,
isi orbita, sinus paranasalis, dan sebagiannya. Tumor orbita dapat bersifat jinak maupun ganas.
Penyebab tumor orbita antara lain adalah: kelainan kromosom, malformasi kongenital,
kelainan metabolism, penyakit vaskuler, inflamasi intraokuler, neoplasma (jinak atau ganas),
dan trauma.
Tumor orbita diklasifikan berdasarkan asal tumor menjadi: tumor orbita primer, tumor
orbita sekunder, dan tumor orbita metastasis. Klasifikasi tumor orbita yang lain dapat
berdasarkan asal jaringan atau lokasi anatomisnya, seperti: choristoma, tumor vaskuler, tumor
otot, tumor kartilago, tumor neurogenik, dan tumor kelenjar lakrimal.
Manifestasi klinis umum tumor orbita meliputi: nyeri orbita, mata merah, proptosis,
pembengkakan kelopak, didapatkan massa pada pemeriksaan palpasi, gerak mata terbatas, dan
gangguan penglihatan. Untuk menegakkan diagnosis tumor orbita diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan tambahan.
Tumor orbita dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien.
Adanya penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kemampuan untuk menjalankan aktivitas
sehari-hari. Beberapa kasus dapat mengancam jiwa jika tidak didiagnosa sejak awal dan tidak
mendapat penanganan optimal.

22
DAFTAR PUSTAKA

America Academy of Ophtalmology. 2008. Ophtalmic Pathology and Intraocular


Tumors, Section 4, Chapter 14.

Duck Kim Y. 2005. Lacrimal gland tumors. In: Karcioglu ZA, editor. Orbital tumors,
diagnosis and treatment. New York: Springer.. p. 204–20

Gault, J., & Vander, J. F. 2015. Ophthalmology Secrets in Color E-Book. Elsevier
Health Sciences

Gündüz K, Günalp I, Erden E, Erekul S. . 2004. Orbital leiomyoma: Report of a case


and review of the literature. Surv Ophthalmol; 49:237–42

Ilyas, S. 2014. Penuntun ilmu penyakit mata. Fakultas Kedokteras Universitas


Indonesia

Kabra, R.S., Patel, S.B. and Shanbhag, S.S., 2015. Orbital Chondroma: A rare
mesenchymal tumor of orbit. Indian journal of ophthalmology, 63(6), p.551

Kanski, J. J., & Bowling, B. 2011. Clinical ophthalmology: a systematic approach.


Elsevier Health Sciences

Riordan-Eva, P., & Whitcher, J. P. (Eds.). 2008. Vaughan & Asbury's general
ophthalmology. Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Pub. Division

Rahmadani, A, & Rizky, O. 2012. Referat Tumor Palpebra dan Penatalaksanaannya.


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

Srinivasan, R. and Gulnar, D., 2009. Orbital pseudotumor. Kerala J Ophthalmol, 21,
pp.127-131

Trombly R, Sandberg DI, Wolfe SA, et al. 2006. High-flow orbital arteriovenous
malformation in a child: current management and options. J Craniofac Surg; 17:779–82

Valentini V, Nicolai G, Fabiani F, et al. 2004. Surgical treatment of recurrent orbital


hemangiopericytoma. J Craniofac Surg; 15:106–13

Youn Joo Choi, In Hyuk Kim, Jeong Hoon Choi, Min Joung Lee, Namju Kim, Ho-
Kyung Choung, Sang In Khwarg. 2015. Early results of surgical management of conjunctival
dermolipoma: partial excision and free conjunctival autograft. British Journal of
Ophthalmology; 99, 8, 1031

http://eyewiki.org/Orbital_Meningiomas

http://eyewiki.aao.org/Orbital_Neurofibroma

http://eyewiki.org/Orbital_schwannoma

https://radiopaedia.org/articles/primary-uveal-malignant-melanoma

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Modul 2
    Modul 2
    Dokumen13 halaman
    Modul 2
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Final Project
    Final Project
    Dokumen32 halaman
    Final Project
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat DF
    Referat DF
    Dokumen20 halaman
    Referat DF
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • VITAMIN
    VITAMIN
    Dokumen54 halaman
    VITAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • HIPERTENSI
    HIPERTENSI
    Dokumen42 halaman
    HIPERTENSI
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Modul 1
    Modul 1
    Dokumen25 halaman
    Modul 1
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Flowchart Final Project
    Flowchart Final Project
    Dokumen3 halaman
    Flowchart Final Project
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • HORDOELUM Referat
    HORDOELUM Referat
    Dokumen21 halaman
    HORDOELUM Referat
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Rjpo BLS
    Rjpo BLS
    Dokumen18 halaman
    Rjpo BLS
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • 10 Fakta Tentang Tempe
    10 Fakta Tentang Tempe
    Dokumen1 halaman
    10 Fakta Tentang Tempe
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT Isi
    Referat THT Isi
    Dokumen24 halaman
    Referat THT Isi
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Dokumen40 halaman
    Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • DM Pada Anak
    DM Pada Anak
    Dokumen42 halaman
    DM Pada Anak
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Airway MAnagemen
    Airway MAnagemen
    Dokumen10 halaman
    Airway MAnagemen
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Amoeba GIT
    Amoeba GIT
    Dokumen46 halaman
    Amoeba GIT
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Status Urologi
    Status Urologi
    Dokumen1 halaman
    Status Urologi
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Intracranial Hiv
    Intracranial Hiv
    Dokumen40 halaman
    Intracranial Hiv
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Pneumonia
    Pneumonia
    Dokumen22 halaman
    Pneumonia
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Abses Retrofaring
    Abses Retrofaring
    Dokumen23 halaman
    Abses Retrofaring
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Agen Hipoglikemik Oral
    Agen Hipoglikemik Oral
    Dokumen26 halaman
    Agen Hipoglikemik Oral
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Abses Peritonsil
    Abses Peritonsil
    Dokumen21 halaman
    Abses Peritonsil
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen28 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen28 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen11 halaman
    ANTIHISTAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Orchitis
    Orchitis
    Dokumen12 halaman
    Orchitis
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen11 halaman
    ANTIHISTAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat