Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia
kronik. Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di
antaranya adalah gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja
dari hormon insulin atau gangguan kedua-duanya. 4
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan
sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau
terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM
tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti
obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi atau
hiperandrogenisme ovarium.5
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari
setiap 1500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak
(pada anak usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-
7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-
laki dan perempuan sama.4
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari
data registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK
Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan
DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat
dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada
kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis
sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1
yang dilaporkan.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1


2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia
kronik. Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di
antaranya adalah gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja
dari hormon insulin atau gangguan kedua-duanya.4
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan
sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau
terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM
tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti
obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi atau
hiperandrogenisme ovarium.5

2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari
setiap 1500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak
(pada anak usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-
7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-
laki dan perempuan sama.4
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia,
Denmark serta Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap
100.000 penduduk. Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu
penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia Timur
kurang dari 2/100.000 penduduk/tahun. 4
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari
data registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK
Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan
DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat

2
dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada
kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis
sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1
yang dilaporkan.4

2.1.3 Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan
WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi.
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi6:
I. DM Tipe-1 (destruksi sel- β)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel β
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik
fibrosis; Haemokhromatosus; Fibrokalkulus pankreatopati;
dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma;
Feokromositoma; Hipertiroidisme; Somatostatinoma;
Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid; Hormon
tiroid; Diazoxid; Agonis β-adrenergik; Tiazid; Dilantin; α-
interferon; dan lain-lain.
6
IV. Diabetes Mellitus Kehamilan

3
2.1.4 Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin.
Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta
yang mengarah ke DM tipe 1. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk
menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat
dalam DM tipe 1 meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase
(GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat
komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan
endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta
tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk
bereaksi dengan semua sel islet. 4
Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD
enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG
yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya
semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD
target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama
pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif
untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam
individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk
mengembangkan disease.4

4
Gambar 2.1 Diagram Patomekanisme terjadi DM tipe 1

Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin


progresif. Insulin merupakan hormon anabolik utama. Sekresi normal
sebagai respons terhadap makanan secara istimewa dimodulasi oleh
mekanisme neural, hormonal dan berkaitan substrat yang memungkinkan
pengendalian penyusunan bahan makanan yang dikonsumsi sebagai
energi untuk penggunaan segera atau di masa mendatang, mobilisasi
energi selama keadaaan puasa tergantung pada kadar insulin plasma
yang rendah. 4
Defisiensi insulin mengakibatkan beberapa perubahan sekunder
yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan
dan glukagon) memperbesar kecepatan dan beratnya dekompensasi
metabolik. Peningkatan konsentrasi plasma dari hormon kontra-regulasi
ini memperberat kekacauan metabolik dengan mengganggu sekresi
insulin selanjutnya (epinefrin), antagonisme kerja insulin (epinefrin,
kortisol, hormon pertumbuhan), serta mempermudah glikogenolisis,
glukoneogenesis, lipolisis dan ketogenesis sambil menurunkan

5
penggunaan glukosa serta clearance ginjal. Semua perubahan normal ini
kembali normal dengan terapi insulin yang adekuat. Namun dapat
dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-regulasi. Misalnya
supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ dalam
oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik. 4
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat produksi
glukosa yang tak terkendali serta gangguan penggunaannya; akibatnya
timbul hiperglikemi dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan kadar plasma hormon kontraregulasi juga
bertanggung jawab atas percepatan lipolisis dan ganguan sintesis lipid,
yang berakibat peningkatan kadar plasma lipid total, kolesterol, trigliserid
dan asam lemak bebas. Keadaan hormonal yang saling mempengaruhi
antara defisiensi insulin dan kelebihan glukagon akan menimbulkan jalan
pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk keton; kecepatan
pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan asetoasetat,
melampui kapasitas penggunaan perifer serta ekskresi ginjal. Akumulasi
asam keton ini menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan
kompensasi yang cepat sebagai usaha mengekskresi kelebihan CO2
(pernafasan kussmaul). 4
Aseton yang dibentuk melalui konversi non-enzimatik asetoasetat,
bertanggung jawab atas timbulnya bau buah yang karakteristik pada
pernafasan ini. Keton diekskresi ke dalam kemih bersama-sama dengan
kation, yang selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan elektrolit.
Dengan dehidrasi progresif, asidosis, hiperosmolaritas dan berkurangnya
penggunaan oksigen otak, maka terjadi gangguan kesadaran dan pasien
akhirnya jatuh ke dalam koma. Dengan demikian, defisiensi insulin
menimbulkan suatu stasus katabolik yang dalam suatu kelaparan berat,
dimana semua gambaran klinis awal dapat dijelaskan atas dasar
perubahan metabolisme perantara yang telah diketahui. Keparahan dan
lamanya gejala mencerminkan derajat insulinopenia. 4

6
Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1
dapat cepat menjadi diabetik ketoasidosis apabila terjadi:
1).Diabetes tipe 1 yang tidak terdiagnosa
2).Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin
3).Adolescen dan pubertas
4).Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes
5).Stres yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan
emosional. 4

Gangguan produksi atau gangguan reseptor insulin.



Penurunan proses penyimpanan glukosa dalam hati.
Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake glukosa.

Kadar glukosa >>, kelaparan tingkat selular.

Hiperosmolar dalam, peningkatan proses glikolisis dan glukoneogenesis

Proses pemekatan <<

Glukosuria shiff cairan intraseluler ekstraseluler

Pembentukan benda keton

Poliuria

Dehidrasi

Keseimbangan kalori negative rangsang metabolisme anaerobic

Polifagia dan tenaga <<; asidosis

7
Kesadaran terganggu

Nutrisi kurang dari kebutuhan; gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit

Resiko tinggi cedera 4

2.1.5 Perjalanan Penyakit


Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD
Clinical Practice Consencus Guidelines tahun 2009. 6
- Periode pra-diabetes
- Periode manifestasi klinis
- Periode honey moon
- Periode ketergantungan insulin yang menetap

Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada
periode ini sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas.
Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi
ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya
sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide mulai menurun. Pada
periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan
laboratorium.6

Periode Manifestasi Klinis


Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi
insulin sangat kurang, maka kadar gula darah akan tinggi/meningkat.
Kadar gula darah yang melebihi 180mg/dL akan menyebabkan diuresis
osmotik. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan
elektrolit melalui urin (poliuri, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak
dapat di-uptake ke dalam sel, penderita akan merasa lapar (polifagi),

8
tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada periode ini penderita
memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.6

Periode Honey Moon


Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada
periode ini sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan
diproduksi insulin dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin
dari luar tubuh akan berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kgBB/hari.
Namun periode ini hanya berlangsung sementara, bisa dalam hitungan
hari ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi pada orang tua bahwa
periode ini bukanlah fase remisi yang menetap. 6

Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap


Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada
periode ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh
seumur hidupnya.6

2.1.6 Kriteria Diagnosa


Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
plasma <126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM
sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut7:
1. Gejala klasik diabetes atau krisis hiperglikemi dengan kadar plasma
glukosa ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L. Atau,
2. Kadar plasma glukosa puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa
adalah tidak ada asupan kalori selama 8 jam terakhir. Atau,
3. Kadar glukosa 2 jam postprandial ≥200 mg/dL 11.1 mmol/L) dengan
Uji Toleransi Glukosa Oral. Uji Toleransi Glukosa Oral dilakukan
dengan pemberian beban glukosa setara dengan 75g anhydrous
glukosa dilarutkan dalam air atau 1.75g/kgBB dengan maksimum
75g. Atau,

9
4. HbA1c > 6.5%. Petanda ini harus dilakukan sesuai standar
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) pada
laboratorium yang tersertifikasi dan terstandar dengan assay
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). 7
Pada kasus-kasus yang meragukan seperti penderita yang
asimptomatis dengan hiperglikemia (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi untuk
menentukan ada tidaknya diabetes. Konfirmasi dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti pemeriksaan HbA1c, kadar glukosa plasma puasa
dan 2 jam postprandial atau uji toleransi glukosa oral. Konfirmasi tidak
boleh dilakukan dengan pemeriksaan darah glukosa kapiler. 7
Konfirmasi harus segera dilakukan dengan sampel darah yang
baru. Apabila HbA1C adalah 7% dan konfirmasi menghasilkan 6,8% maka
diagnosis diabetes dapat ditegakkan. Apabila menggunakan dua jenis
pemeriksaan dan keduanya menghasilkan data yang lebih tinggi dari
standar normal maka diagnosis diabetes terbukti. Tetapi, apabila kedua
pemeriksaan hasilnya tidak sesuai maka yang diulang cukup yang
menghasilkan data yang diatas standar. Diagnosis diabetes ditentukan
berdasar hasil konfirmasi tersebut.7
Penilaian glukosa plasma Puasa:
 Normal: < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
 Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired Fasting Glucose =
IFG): 100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)
 Diabetes: ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral:
 Normal: <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
 Gangguan glukosa toleransi (Impaired Glucose Tolerance =IGT):
140–200 mg/dL (7.8–<11.1 mmol/L)
 Diabetes: ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

10
2.1.7 Tatalaksana
Komponen pengelolaan DM tipe 1 meliputi pemberian insulin,
pengaturan makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri. 7

Pemberian insulin

Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup di
dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan
metabolism sebagai insulin basal maupun insulin koreksi dengan
kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik makanan.

Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada
regimen yang seragam untuk semua penderita DM tipe 1. Regimen
apapun yang digunakan bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi
sekresi insulin orang normal sehingga mampu menormalkan
metabolisme gula atau paling tidak mendekati normal.

Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor
yaitu: umur, lama menderita diabetes mellitus, gaya hidup penderita
(pola makan, jadwal latihan, sekolah dsb), target kontrol metabolik,
dan kebiasaan individu maupun keluarganya.

Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan
pada keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit
penderita dan sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.

Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali
injeksi insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/pendek
dengan insulin basal).

Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status
pubertas, lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola
olahraga, aktifitas harian, hasil monitoring glukosa darah dan
HbA1c, serta ada tidaknya komorbiditas. 7

Dosis insulin (empiris):
-
Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/ kg/ hari.
-
Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7–
1 IU/kg/hari.
11
-
Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2
IU/kg/hari.7

Tabel 2.1 Jenis Sediaan Insulin dan Profil Kerjanya 7

Penyesuaian dosis insulin


• Penyesuaian dosis insulin bolus dapat dilakukan dengan

Memperhitungkan rasio insulin bolus-karbohidrat, yaitu dengan


cara memperhitungkan rasio dosis insulin bolus harian dengan total
karbohidrat harian. 7

Penyesuaian dosis insulin juga dapat dilakukan dengan jalan
memperhitungkan rasio insulin-karbohidrat (menggunakan rumus
500). Angka 500 dibagi dengan dosis insulin total harian hasilnya
dinyatakan dalam gram, artinya 1 unit insulin dapat mencakup
sejumlah gram karbohidrat dalam diet penderita. 7

Koreksi hiperglikemia: dapat dilakukan dengan rumus 1800 bila
menggunakan insulin kerja cepat, dan rumus 1500 bila
menggunakan insulin kerja pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi
dengan insulin total harian hasilnya dalam mg/dL, artinya 1 unit
insulin akan menurunkan kadar glukosa darah sebesar hasil
pembagian tersebut dalam mg/dL. Hasil perhitungan dosis koreksi
ini bersifat individual dan harus mempertimbangkan faktor lain
misalnya latihan.7

12
Pengaturan makan

Pada regimen konvensional, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk kalori.

Pada regimen basal-bolus, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk gram karbohidrat.

Pemilihan jenis makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks
glikemik dan glicemic load yang rendah. 7

Olah raga

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anak dan remaja DMT1 saat
melakukan olahraga:
-
Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga
dengan dokter.
-
Jika olahraga akan dilakukan pada saat puncak kerja insulin
maka dosis insulin harus diturunkan secara bermakna.
-
Pompa insulin harus dilepas atau insulin basal terakhir paling
tidak diberikan 90 menit sebelum mulai latihan.
-
Jangan suntik insulin pada bagian tubuh yang banyak
digunakan untuk latihan. 7

Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14 mmol/L)
dengan ketonuria /ketonemia (> 0,5 mmol/L)
-
Olahraga atau latihan fisik harus dihindari.
-
Berikan insulin kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau
5% dari dosis total harian.
-
Tunda aktivitas fisik sampai keton sudah negatif. 7

Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam
untuk olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin
yang bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak dikurangi.

Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi
segera setelah latihan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia
pasca latihan fisik. 7

Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga. 7

13
- Ukur kadar glukosa darah sebelum tidur dan kurangi insulin
basal sebelum tidur (atau basal pompa insulin) sebesar 10-20%
setelah olahraga di siang atau sore hari jika latihannya lebih
intensif dari biasanya atau jika aktivitasnya tidak dilakukan
secara reguler.
- Karbohidrat ekstra setelah aktivitas biasanya merupakan pilihan
terbaik untuk mencegah hipoglikemia pasca latihan setelah
olahraga anerobik dengan intensitas tinggi.
- Olahraga yang merupakan kombinasi antara latihan aerobic
(sepeda, lari, berenang) dan anaerobik memerlukan tambahan
ekstra karbohidrat sebelum, selama, dan setelah aktivitas.
- Hiperglikemia setelah latihan dapat dicegah dengan
memberikan tambahan kecil dosis insulin kerja cepat saat
pertengahan atau segera setelah selesai olahraga.

Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup
tinggi terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/dL
(<7.0 mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur sebaiknya
dikurangi. 7

Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus
menghindari olahraga yang bersifat anaerobik atau yang
membutuhkan ketahanan fisik karena dapat menyebabkan tekanan
darah tinggi. 7

Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di
sekolah. 7

Berikut ini adalah petunjuk mengenai beberapa penyesuaian diet,


insulin, dan cara monitoring gula darah agar aman berolahraga bagi anak
dan remaja DM tipe 1. 7
1. Sebelum berolahraga
a. Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan
dengan pelatih/guru olah raga dan konsultasikan dengan dokter.

14
b. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
c. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
d. Jika glukosa darah <90 mg/dL (< 5 mmol/L) dan cenderung turun,
tambahkan ekstra karbohidrat.
e. Jika glukosa darah 90-250 mg/dL (5-14 mmol/L) tidak diperlukan
ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifitas dan respons
individual).
f. Jika glukosa darah >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda
olah raga sampai glukosa darah normal dengan insulin.
g. Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan
tentukan apakah penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat
diperlukan
h. Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga
kompetisi sebaiknya insulin dinaikkan
i. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250 mL
pada 20 menit sebelum olahraga) 7
2. Selama berolah raga
a. Monitor glukosa darah tiap 30 menit.
b. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan. 7
3. Setelah berolah raga
a. Monitor glukosa darah, termasuk sepanjang malam (terutama bila
tidak biasa dengan program olahraga yang sedang dijalani).
b. Pertimbangkan mengubah terapi insulin, dengan menurunkan dosis
insulin basal.
c. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam
setelah olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat.
Hipoglikemia awitan lambat dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam
setelah latihan.7

2.1.8 Pemantauan

Tujuan pemantauan gula darah mandiri pada pasien dengan DM
tipe 1 adalah mencapai target kontrol glikemik yang optimal,

15
menghindari komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis
dan komplikasi kronis yaitu penyakit akibat ganggaun mikro dan
makrovaskuler, menimalisasi akibat hipoglikemia dan hiperglikemia
terhadap fungsi kognitif.

Pemantauan kontrol glikemik dilakukan dengan melakukan
pemantauan glukosa darah mandiri, HbA1c, keton, dan
pemantauan glukosa darah berkelanjutan.

Pemantauan tumbuh kembang merupakan bagian integral dari
pemantauan diabetes.7

Pemantauan glukosa darah mandiri


 Pemantauan glukosa darah mandiri memungkinkan pasien untuk
melakukan penyesuaian insulin terhadap makanan yang
dikonsumsi menjadi lebih baik dan memungkinkan pasien DM
untuk mengkoreksi kadar glukosa darah yang berada diluar target
sehingga dapat memperbaiki kadar HbA1c.
 Pemantauan glukosa darah mandiri selama olahraga
memungkinkan penyesuaian dosis insulin sebelum dan selama
olahraga sehingga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia
selama dan setelah olahraga.
 Frekuensi pemantauan glukosa darah mandiri berbeda-beda untuk
masing-masing individu tergantung dari ketersediaan alat dan
kemampuan anak untuk mengidentifikasikan hipoglikemia. Untuk
mengoptimalkan kontrol glikemik maka pemantauan glukosa darah
mandiri harus dilakukan 4-6 kali sehari.
- Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa
darah setelah puasa malam hari.
- Setiap sebelum makan.
- Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau
hiperglikemia.
- 1,5-2 jam setelah makan.

16

Pemantauan glukosa darah mandiri dilakukan secara lebih sering
pada olahraga dengan intensitas tinggi yaitu sebelum, selama dan
setelah melakukan kegiatan tersebut.

Target glukosa darah diharapkan sedapat mungkin mendekati
normal tanpa membahayakan penderita. 7

Tabel 2.2 Target Glukosa Darah Berdasarkan ISPAD dan IDF 7

Pemeriksaan keton
 Normal keton darah: <0.6 mmol/L
 Pemeriksaan keton darah lebih baik dari pada keton urin.
Keton darah >3,0 mmol/L biasanya disertai dengan asidosis
sehingga harus segera dibawa ke IGD. Keton darah <0,6 mmol/L
biasa ditemukan setelah puasa malam hari.
 Pemeriksaan keton harus tersedia dan dilakukan pada saat:
-
Sakit yang disertai demam dan/atau muntah.
-
Jika glukosa darah di atas 14 mmol/L (250 mg/dL) pada anak
yang tidak sehat atau jika kadar glukosa darah meningkat diatas
14 mmol/L (250 mg/dL) secara persisten.
-
Ketika terdapat poliuria persisten disertai peningkatan kadar
glukosa darah, terutama jika disertai nyeri abdomen atau napas
cepat.
-
Pemeriksaan keton darah sebaiknya tersedia bagi anak yang
lebih muda atau pasien yang menggunakan pompa insulin. 8
17
HbA1c (Hemoglobin terglikosilasi)
 HbA1c mencerminkan kondisi glikemia selama 8-12 minggu
terakhir.
 Fasilitas untuk pengukuran HbA1c harus tersedia disemua pusat
kesehatan yang menangani anak dan remaja dengan diabetes.
 HbA1c harus dipantau sebanyak 4-6 kali per tahun pada anak yang
lebih muda dan 3-4 kali per tahun pada anak yang lebih besar.
 Target HbA1c untuk semua kelompok usia adalah kurang dari 7,5%
(5,8 mmol/L).
Nilai HbA1c berdasarkan DCCT dinyatakan dalam persen (%) dan
berdasarkan the International Federation of Clinical Chemistry and
Laboratory Medicine (IFCC) dalam mmol/mol.7

Tabel 2.3 Target Kadar HbA1c Berdasarkan ISPAD dan IDF 7

2.1.9 Komplikasi
Tabel 2.4 Tahapan Pemeriksaan Penapisan Komplikasi Mikrovaskular
Berdasarkan ISPAD dan IDF7

18

Tekanan darah antara persentil ke 90-95 dianggap sebagai pra-
hipertensi. Dalam menentukan hipertensi pada anak digunakan
table tekanan darah menurut tinggi badan dan jenis kelamin seperti
pada tabel di bawah. 7

Tabel 2.5 Tekanan darah Berdasar Tinggi Badan dan Jenis Kelamin
Berdasarkan ISPAD dan IDF7

19

ACE inhibitor direkomendasikan sebagai terapi hipertensi pada
anak dan remaja. Dosis awal kaptopril adalah 6,25 mg (dinaikkan
sampai 12,5-25-75 mg sehari dalam dosis terbagi 2 atau 3 kali
sehari) dan enalapril 5 mg (dinaikkan sampai 10-40 mg/ haridalam
dosis terbagi 1 atau 2 kali sehari).7

Tabel 2.6 Tahapan Pemeriksaan Komplikasi Makrovaskular Berdasarkan


ISPAD dan IDF7

2.1.11 Edukasi

20

Edukasi/pendidikan merupakan unsur strategis pada pengelolaan
DM tipe-1, harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap
sesuai tingkat pengetahuan serta status sosial penderita/keluarga.

Sasaran edukasi adalah pasien (anak atau remaja) dan kedua
orang tua, serta pengasuhnya.

Edukasi tahap pertama dilakukan saat diagnosis ditegakkan
(biasanya selama perawatan di rumah sakit). Edukasi ini meliputi:
pengetahuan dasar tentang DM tipe 1 (terutama perbedaan dengan
tipe lain), pengaturan makanan, insulin (jenis, cara pemberian, efek
samping, penyesuaian dosis sederhana dll), dan pertolongan
pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe 1 (hipoglikemia,
pemberian insulin pada saat sakit).

Edukasi tahap kedua selanjutnya berlangsung selama konsultasi di
poliklinik. Pada tahap ini, edukasi berisi penjelasan lebih terperinci
tentang patofisiologi, olahraga, komplikasi, pengulangann terhadap
apa yang pernah diberikan serta bagaimana menghadapi
lingkungan sosial.7

2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2


2.2.1 Definisi
Diabetes mellitus merupakan kondisi hiperglikemia persisten yang
disebabkan oleh defek pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya.
DM tipe-2 merupakan hasil dari perpaduan antara resistensi insulin dan
defisiensi insulin relatif (kompensasi sekresi insulin yang tidak adekuat).
Homeostatis glukosa tergantung pada sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan aksi insulin pada jaringan. Perubahan perlahan dari
keadaan normal ke toleransi glukosa terganggu berhubungan dengan
memburuknya resistensi insulin. Toleransi glukosa terganggu ini
merupakan tahap pertengahan dalam perjalanan alamiah DM tipe-2 dan

21
merupakan faktor prediktor terhadap terjadinya DM tipe-2 dan penyakit
kardiovaskular.
Resistensi insulin sendiri tidak cukup untuk berkembang menjadi
diabetes mellitus. Untuk menjadi DM tipe-2 diperlukan kombinasi antara
resistensi insulin dan ketidak-adekuatan sekresi sel beta pankreas. Pada
pasien dengan DM tipe-2 terdapat keduanya, yakni aksi insulin yang
terganggu dan kegagalan sekresi insulin. Kondisi hiperglikemia diduga
memperburuk resistensi insulin maupun kelainan sekresi insulin, sehingga
mengakibatkan perubahan dari kondisi gangguan toleransi glukosa
menjadi diabetes mellitus.
Kontribusi relatif dari kedua komponen patofisologi ini bervariasi
dari dominan resistensi insulin sampai dominan kegagalan sel beta
pankreas. Kegagalan sel beta pada DM tipe-2 tidak diperantarai oleh
proses autoimun. Oleh karena adanya resistensi insulin maka konsentrasi
insulin dalam sirkulasi bisa meningkat namun juga bisa rendah jika
disfungsi sel beta lebih berat.
Sesudah pubertas berperan penting di dalam perkembangan DM
tipe-2 pada anak. Selama pubertas, terdapat peningkatan resistensi
terhadap aksi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia.
Sesudah pubertas, respons insulin basal dan terstimulasi menurun.
Peningkatan hormon pertumbuhan pada masa pubertas diduga juga
berperan terhadap terjadinya resistensi insulin selama pubertas. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika munculnya DM tipe-2 bersamaan
dengan usia pertengahan pubertas.
Efek dari obesitas terhadap metabolisme glukosa telah terbukti.
Anak obesitas lebih berisiko mengalami hiperinsulinemia. Hal ini karena
terdapat hubungan yang terbalik antara sensitivitas insulin dan lemak
viseral. Pengaruh lemak viseral lebih kuat daripada lemak subkutan.
Jaringan adiposa yang berkembang pada kondisi obesitas mensintesis
dan mensekresi metabolit dan protein signaling seperti leptin, adiponektin
dan TNF-alfa. Faktor-faktor ini diketahui mengganggu sekresi insulin dan

22
sensitivitasnya dan bahkan merupakan penyebab resistensi insulin dalam
berbagai percobaan klinis3.

2.2.2 Prevalensi
Prevalensi DM tipe 2 pada anak meningkat seiring dengan
meningkatnya obesitas pada anak, prevalensi tertinggi ditemukan pada
etnik dimana DM tipe 2 dewasa cukup tinggi, diantaranya: Amerika,
Hispanik-Amerika, dan Afrika-Amerika. Obesitas, sindrom metabolik,
etnisitas, dan riwayat keluarga dengan DM tipe 2 merupakan faktor resiko
terjadinya DM tipe 2.2

2.2.3 Patogenesis dan patofisiologi


DM tipe 2 dapat terjadi akibat berbagai proses, paling sering adalah
akibat resistensi insulin perifer dan kompensasi hiperinsulinemia yang
diikuti oleh kegagalan pankreas mensekresi insulin secara adekuat.
Mekanisme pasti yang mendasari terjadinya resistensi insulin dan
kegagalan sel beta pankreas sangat kompleks dan masih belum
dimengerti sepenuhnya. Suptipe DM tipe 2 lainnya juga dapat terjadi pada
anak. Maturity onset diabetes of youth (MODY) terdiri dari sekelompok
kelainan yang diturunkan secara dominan dan merupakan jenis diabetes
yang relatif ringan. Pasien dengan MODY tidak mampu mensekresi insulin
secara adekuat terhadap stimulasi glikemik. Pada pasien MODY tidak
ditemukan adanya resistensi insulin.1
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe 2 belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver
dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Delapan organ

23
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa. 1

2.2.4 Manifestasi Klinis


Kriteria kadar glukosa darah puasa dan post-prandial untuk
diagnosis DM tipe 2 sama dengan kriteria untuk diagnosis DM tipe 1.
Dugaan DM tipe 2 dibuat berdasarkan adanya gejala poliuria, polidipsia,
dan sindrom metabolik. Tidak mudah untuk membedakan DM tipe 2 dari
DM tipe 1 hanya berdasarkan klinis semata. Kemungkinan DM tipe 2
harus dipertimbangkan pada pasien dengan obesitas, memiliki riwayat
keluarga dengan DM tipe 2, ditemukan akantosis nigrikans dan tanda
sindrom metabolik lain pada pemeriksaan fisik, atau tidak terdeteksinya
antibodi terhadap sel beta pada pemeriksaan laboratorium. Akantosis
nigrikans merupakan manifestasi dermatologis hiperinsulinemia berupa
pigmentasi hiperkeratotik pada tengkuk dan daerah fleksural. Meskipun
ketoasidosis lebih sering terjadi pada DM tipe 1 tetapi dapat terjadi juga
pada pasien DM tipe 2. Ada tidaknya ketoasidosis tidak dapat digunakan
untuk membedakan DM tipe 2 dan DM tipe 1. Diagnosis DM tipe 2 dapat
dikonfirmasi dengan evaluasi respon insulin atau C-peptide terhadap
stimulasi karbohidrat oral dan tidak adanya autoimun terhadap sel beta. 3

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis DM dibuat berdasarkan ada/tidaknya gejala klinis DM
dan hasil pengukuran kadar glukosa plasma. Gejala klinis klasik DM
adalah: poliuria, polidipsia, nokturia serta adanya penurunan berat badan
tanpa sebab yang jelas. Tanpa adanya gejala klinis DM, pemeriksaan

24
harus diulang pada hari yang berbeda. Diagnosis DM tipe-2 ditegakkan
melalui dua tahap :
1. Menegakkan diagnosis DM, dan
2. Menentukan tipe DM. Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan dengan
kriteria American Diabetes Association (ADA)

Tabel 2.7 Diagnosis DM Menurut Kriteria American Diabetes Association


(ADA)

25
Catatan :
-
Satu pemeriksaan glukosa plasma sewaktu yang diambil pada
saat stress (trauma, infeksi berat, dll.) tanpa gejala DM
sebelumnya, tidak dapat menjadi dasar diagnosis DM.
Pemeriksaan harus dikonfirmasi lagi.
-
Tes Toleransi Glukosa Oral (oral glucose tolerance test, OGTT)
tidak boleh dilakukan bila diagnosis telah dapat ditegakkan
dengan kriteria glukosa plasma puasa atau sewaktu karena
berisiko mengakibatkan hiperglikemia berat.
-
Adanya ketonemia atau ketonuria yang menyertai hiperglikemia
berat menunjukkan diagnosis DM dan membutuhkan tatalaksana
segera. 3

Pra-Diabetes
Sebelum terjadi DM tipe-2, penderita sering mengalami kondisi
yang disebut PRA-DIABETES. Pada remaja obesitas, kondisi pradiabetes
bisa bersifat transien, namun bila berat badan sulit dikendalikan, sangat
berisiko mengalami progresivitas menjadi DM tipe-2. 3

Kriteria Diagnosis Untuk Pra-Diabetes:


-
Glukosa Puasa Terganggu/Impaired Fasting Glycemia (IFG):
Glukosa plasma puasa 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) ATAU
-
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)/Impaired Glucose Tolerance
(IGT):
Glukosa plasma post-prandial 140-199 mg/dl (7,8-11,1 mmol/L)

26
Membedakan DM Tipe-2 dan DM Tipe-1
Sesuai patogenesisnya, proses autoimun yang mendestruksi sel
beta pankreas pada DM tipe-1 dan resistensi insulin pada DM tipe-2,
kedua jenis DM ini seharusnya bisa dibedakan dari kadar insulin atau C-
peptide-nya. Pada DM tipe-1, kadar insulin/C-peptide akan rendah atau
sangat rendah, sedangkan pada DM tipe-2, kadar insulin/C-peptide akan
normal atau meningkat. Selain itu, pada DM tipe-1 akan terdeteksi auto-
antibodi terhadap sel beta pankreas sedangkan pada DM tipe-2 tidak.
Kedua hal tersebut secara teoritis merupakan pembeda antara DM tipe-1
dan tipe-2, namun kenyataannya, membedakan DM tipe-1 dan tipe-2 tidak
selalu mudah, karena3 :
1. Seiring dengan makin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak,
dapat dijumpai penderita DM tipe-1 yang obesitas. Penderita DM
tipe-1 yang obesitas mungkin mempunyai sisa kadar c-peptide yang
lebih tinggi.
2. Penderita DM tipe-2 dapat datang dalam kondisi ketosis atau
ketoasidosis sehingga menyerupai DM tipe-1. Pada keadaan
tersebut, kadar insulin atau c-peptide penderita bisa sangat rendah
akibat adanya glukotoksisitas atau memang sudah ada
ketergantungan insulin.
3. Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko penyakit
autoimun sehingga 15-40% penderita DM tipe-2 terdeteksi mem
punyai autoantibodi terkait DM tipe-1. Keadaan ini mempercepat
penderita jatuh ke dalam keadaan tergantung insulin.

Tabel 2.8 Karakteristik DM tipe 1, tipe 2 dan Diabetes Monogenic pada


Anak dan Remaja

27
Salah satu cara membedakan DM tipe-2 dari DM tipe-1 yang
mungkin dapat digunakan adalah pemeriksaan c-peptide sekitar 12-24
bulan setelah diagnosis karena sangat jarang penderita DM tipe-1 yang
masih mempunyai kadar c-peptide normal pada saat tersebut. 3

Rekomendasi Untuk Pemeriksaan Autoantibodi Terhadap Sel


Beta Pankreas
Meskipun secara klinis pasien didiagnosis sebagai DM tipe-2,
pemeriksaan autoantibodi terhadap sel beta pankreas sering diperlukan
karena :

28
1. Terdeteksinya autoantibodi bisa menunjukkan kemungkinan perlunya
pemberian insulin lebih awal.
2. Autoantibodi bisa menunjukkan diperlukannya pengecekan terhadap
penyakit autoimun yang lain, terutama autoimunitas pada tiroid.
3. Adanya autoantibodi mempengaruhi prediksi kemungkinan timbul
nya penyakit yang sama pada anggota keluarga yang lain (adik,
kakak) 3.

Skrining DM Tipe-2
Kelompok yang berisiko tinggi menderita DM tipe-2 adalah:
1. Anak/remaja dengan obesitas.
2. Ada keluarga dekat yang menderita DM tipe-2 atau penyakit
kardiovaskular.
3. Ada tanda resistensi insulin : akanthosis nigrikans, dislipidemia,
hipertensi, sindroma ovarium polikistik.
Di Jepang telah dilakukan skrining glukosuria pada semua remaja.
Cara ini dianggap cukup cost effective untuk mendeteksi DM tipe-2.
Penelitian di Bali, Indonesia pada 1.020 anak usia 6-12 tahun
mendapatkan prevalensi glukosuria 1,7%.

2.2.6 Manajemen
Tujuan manajemen tipe 2:3
 Edukasi manajemen diabetes mandiri
 Kadar glukosa darah normal
 Menurunkan berat badan (karena penderita DM tipe-2 biasanya
obesitas)
 Menurunkan asupan karbohidrat dan kalori
 Meningkatkan kapasitas aktivitas fisik
 Mengendalikan penyakit ko-morbid seperti hipertensi, dislipdemia,
nefropati, gangguan tidur, perlemakan hati dll.

29
EDUKASI
Edukasi untuk penderita DM tipe-2 harus memfokuskan pada
perubahan gaya hidup (diet dan aktivitas fisik), di samping edukasi
tentang pemberian obat antidiabetes oral dan insulin. Edukasi sebaiknya
dilakukan oleh tim yang melibatkan ahli gizi dan psikolog, serta, bila ada,
ahli aktivitas fisik. Edukasi sebaiknya juga diberikan kepada seluruh
anggota keluarga agar mereka memahami pentingnya perubahan gaya
hidup untuk keberhasilan manajemen DM tipe-2.3

MODIFIKASI GAYA HIDUP


Modifikasi gaya hidup merupakan bagian terpenting manajemen
DM tipe-2. Penderita dan keluarganya harus memahami implikasi medis
obesitas dan DM tipe-2. Pada pasien anak dan remaja, modifikasi gaya
hidup hanya akan berhasil bila dilakukan pendekatan multidisiplin dan
dukungan penuh keluarga. Perubahan harus dilakukan secara bertahap
dengan pemahaman bahwa perubahan tersebut harus terus
dipertahankan. Penderita dan keluarganya harus belajar memantau jenis
dan jumlah makanan yang dimakan dan aktivitas fisik yang dilakukan. 3

REKOMENDASI DIET
Rekomendasi diet harus disesuaikan dengan kemampuan
keuangan keluarga dan budaya setempat. Modifikasi diet yang disarankan
harus mencakup3:
- Menghindari minuman yang mengandung gula. Penggunaan air
atau minuman bebas kalori lainnya dapat sangat membantu
menurunkan berat badan. Hal ini termasuk menghindari asupan
makanan yang dibuat dari gula, seperti permen dan manisan lain.
Penggunaan pemanis buatan tanpa kalori yang telah disetujui
BPOM diijinkan dalam jumlah terbatas.

30
- Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran. Usahakan
makan 5 porsi buah-buahan atau sayuran perhari, misalnya
sebagai pengganti kudapan (snacks).
- Mengurangi asupan makanan dalam kemasan dan makanan
instan.
- Mengendalikan porsi asupan. Makanlah makanan atau kudapan
dari piring atau mangkok, jangan dimakan langsung dari kotak atau
kalengnya.
- Mengurangi makan di luar rumah, seperti di warung atau restoran.
Usahakan memilih porsi yang lebih kecil.
- Mengganti makanan yang berasal beras putih atau tepung terigu
dengan sumber karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik yang
lebih rendah.
Jumlah asupan energi/ kalori yang diperlukan sangat tergantung dengan
usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik yang dilaksanakan.

Di samping edukasi spesifik untuk penderita DM tipe-2, keluarga


penderita haruslah didorong untuk memperbaiki pola makan keluarga
sesuai dengan rekomendasi makanan sehat secara umum. Edukasi pola
makan keluarga mencakup3:
- Mengurangi ketersediaan makanan dan minuman tinggi kalori dan
tinggi lemak di rumah. Hal ini akan sangat membantu anak
mengendalikan asupan makanannya.
- Mengajarkan cara memahami label komposisi gizi pada kemasan
makanan.
- Menekankan pentingnya teladan orangtua dalam memilih makanan
sehat.
- Memberikan pujian dan dukungan untuk keberhasilan mencapai
target asupan makan tertentu, misalnya keberhasilan menghindari
minuman bergula, keberhasilan mempertahankan berat badan, dll.

31
- Mengusahakan makan pada waktunya bersama keluarga dan
menghindari makan sambil mengerjakan aktivitas lain seperti
menonton televisi atau aktivitas dengan komputer.

EDUKASI AKTIVITAS FISIK


Aktivitas fisik sangatlah penting dalam rencana manajemen DM
tipe-2. Olahraga teratur terbukti dapat memperbaiki kendali kadar gula
darah, membantu menurunkan berat badan, mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular dan meningkatkan kualitas hidup.
Sesuai dengan rekomendasi WHO mengenai aktivitas fisik untuk
usia 5-17 tahun, penderita DM tipe-2 anak-anak dan remaja dianjurkan
untuk3:
- Melaksanakan aktivitas fisik intensitas sedang atau berat yang
menyenangkan dan bervariasi setidaknya 60 menit setiap hari. Jika
anak tidak memiliki waktu 60 menit penuh setiap hari, aktivitas fisik
dapat dilakukan pada dua periode 30 menit atau empat periode 15
menit. Durasi aktivitas fisik lebih lama dari 60 menit memberikan
manfaat kesehatan tambahan.
- Sebagian besar aktivitas fisik sehari-hari harus merupakan aktivitas
aerobik. Aktivitas dengan intensitas yang lebih berat juga harus
dimasukkan, termasuk aktivitas untuk memperkuat otot dan tulang,
minimal 3 kali dalam seminggu.
- Untuk anak dan remaja yang sangat tidak aktif, disarankan untuk
meningkatkan frekuensi, durasi dan intensitas aktivitas fisik secara
bertahap. Melakukan sedikit aktivitas fisik lebih baik daripada tidak
melakukan sama sekali.
- Aktivitas fisik dipilih sesuai preferensi anak, disamping juga
mempertimbangkan kemampuan keuangan keluarga dan situasi
lingkungan. Penderita DM tipe-2 dianjurkan melakukan aktivitas
fisik dalam suatu kegiatan yang menyenangkan bersama keluarga.
- Penderita DM tipe-2 dianjurkan melakukan aktivitas fisik sebagai
bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan tangga,

32
jalan kaki, bersepeda atau menggunakan kendaraan umum ke
sekolah atau ke tempat lainnya serta melakukan aktivitas pekerjaan
rumah tangga.
Selain itu, penderita DM Tipe-2 juga harus mengurangi aktivitas
fisik sedentary, seperti menonton TV, aktivitas di depan komputer atau
piranti komunikasi elektronik lainnya, dan bermain video/ computer game,
dll sampai dengan < 2 jam per hari. Hal ini termasuk mendorong
dipatuhinya pola hidup teratur, terutama waktu tidur dan pembatasan
menonton TV dan penggunaan piranti elektronik lainnya. Penggunaan
piranti komunikasi elektronik mengakibatkan penurunan durasi tidur,
asupan nutrisi dengan kualitas yang kurang baik, kelebihan berat badan,
dan aktivitas fisik rendah.3

MEROKOK
Efek buruk merokok terhadap kesehatan penderita DM tipe-2 lebih
buruk daripada pada remaja lain pada umumnya. 3

TERAPI MEDIKAMENTOSA
Modifikasi gaya hidup merupakan dasar manajemen DM tipe-2.
Namun telah disadari bahwa hal ini tidak mudah sehingga target kadar
gula darah sering tidak tercapai.3
Sayangnya, usaha memodifikasi gaya hidup sering gagal, seperti
tingkat loss to follow up dan tingkat depresi yang tinggi dan tekanan dari
teman sebaya yang sering mengajak ke pola hidup yang kurang sehat.
Konsensus pakar menunjukkan bahwa hanya kurang dari 10% penderita
DM tipe-2 anak/ remaja yang berhasil mengendalikan kadar gula darah
dengan perubahan gaya hidup saja. Tujuan terapi medikamentosa DM
tipe-2 adalah3:
- memperbaiki resistensi insulin
- meningkatkan sekresi insulin endogen, atau
- memberikan insulin eksogen

33
Gambar 2.2 Alur Terapi Dm Tipe 2
I. TERAPI INISIAL
Terapi inisial DM tipe-2 meliputi metformin dan/ atau insulin,
tergantung gejala, beratnya hiperglikemia, dan ada tidaknya ketosis/
ketoasidosis.
Pada pasien yang secara metabolik stabil (tanpa ketosis/
ketoasidosis), HbA1c < 9% (atau gula darah sewaktu < 250mg/dL).
Pada kondisi ini, mengingat rendahnya keberhasilan manajemen diet dan
aktivitas fisik saja, metformin dapat segera dimulai bersamaan dengan
usaha memodifikasi gaya hidup.
Metformin dimulai dengan dosis 500 mg/ 24 jam, yang dapat
diberikan dengan dosis terbagi 250 mg/ 12 jam, selama 7 hari. Bila tidak
ada efek samping, dosis bisa dinaikkan 500 mg per minggu selama 3-4
minggu sampai mencapai dosis 1000 mg/ 12 jam, atau menggunakan

34
metformin lepas lambat 2000 mg/ 24 jam. Meningkatkan dosis lebih dari
2000 mg per hari tidak meningkatkan manfaat.3
Pada pasien yang secara metabolik tidak stabil (dengan
ketosis/ ketoasidosis), HbA1c ≥ 9% (atau gula darah sewaktu ≥ 250
mg/dL). Insulin basal diberikan mulai dengan dosis 0,25 -0,5 unit/ kg/ 24
jam. Pada saat ini metformin juga bisa dimulai kecuali bila ada asidosis.
Tujuan terapi inisial adalah mencapai HbA1c <6,5%. Bila hal ini
tidak dapat dicapai dengan metformin atau kombinasi metformin dan
insulin, diagnosis DM tipe-2 perlu dipertimbangkan lagi, atau manajemen
perlu ditingkatkan sesuai pedoman terapi lanjut.
Efek samping metformin, seperti nyeri abdomen, kembung dan
diare biasanya hanya terjadi pada awal pemberian metformin, bersifat
transien, dan dapat hilang dengan sempurna bila pengobatan dihentikan.
Setelah gejala efek samping membaik, metformin dapat dicoba lagi mulai
dengan dosis yang lebih rendah. Efek samping lebih sering terjadi bila
memulai dengan dosis metformin yang terlalu tinggi atau metformin
diminum pada saat perut dalam keadaan kosong. Penggunaan metformin
lepas lambat juga dapat menurunkan risiko komplikasiPerpindahan dari
kombinasi insulin dan metformin ke metformin saja dapat dilakukan dalam
waktu 2-6 minggu, dengan menurunkan bertahap dosis insulin 30-50%
sambil menaikkan dosis metformin.Catatan: insulin juga harus diberikan
bila belum jelas apakah DM tipe-1 atau tipe-2. 3

II. TERAPI LANJUT


-
Bila setelah penggunaan monoterapi dengan metformin selama 3-4
bulan gagal mencapai target HbA1c < 6,5%, penambahan insulin
basal sangat dianjurkan.
-
Bila setelah penggunaan metformin dan insulin basal sampai dosis
1,2 unit/ kg belum mencapai target HbA1c, maka bolus insulin kerja
pendek sebelum makan bisa ditambahkan dengan dosis titrasi
sampai mencapai target HbA1c.

35
-
Cara penghitungan dosis insulin kerja pendek pada regimen insulin
basal-bolus serupa dengan cara penghitungan pada DM tipe-1
(lihat Konsensus DM tipe-1).
-
Penggunaan obat anti diabetes oral lain seperti sulfonylurea,
meglitinidelrepaglinide, thiazolidinedione (TZD), α-glucosidase
inhibitors, incretin mimetics atau glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
receptor agonist, DPP-IV inhibitors, sodium-glucose co-transporter-
2 (SGLT-2) inhibitors mungkin bermanfaat meskipun
demikianpenelitian mengenai hal ini masih sangat terbatas
sehingga penggunaan pada usia < 18 tahun masih belum disetujui
secara umum.3

III. TINDAKAN PEMBEDAHAN GASTER


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tindakan pembedahan
pada gaster, seperti bariatric surgery, merupakan tindakan yang
berpotensi memberikan hasil yang lebih baik daripada terapi
medikamentosa. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan remisi DM tipe-
2 dan komorbiditas lain dengan pencapaian target HbA1c yang jauh lebih
baik daripada terapi medikamentosa.3

2.2.7 Monitoring
Monitor keberhasilan manajemen dan timbulnya ko-morbiditas
pada DM tipe-2 merupakan hal yang tidak terpisahkan dari manajemen
DM tipe-2. Pada bagian ini akan dibahas monitor manajemen DM tipe 2,
monitor manajemen ko-morbiditas DM tipe-2 akan dibahas di bagian
tentang ko-morbiditas.3
Target manajemen DM tipe-2 adalah kadar HbA1c <6,5% (lihat
Manajemen DM Tipe-2). Kadar HbA1c harus diperiksa paling tidak setiap
6 bulan. Jika kontrol metabolik tidak memuaskan (Kadar HbA1c tidak
mencapai target) atau menggunakan insulin, pemeriksaan HbA1c harus
dilaksanakan setiap 3 bulan.3
Monitoring glukosa darah mandiri harus dilakukan secara teratur.
Frekuensi monitor tergantung pada (1) pencapaian target kadar glukosa

36
darah puasa pada pemeriksaan- pemeriksaan sebelumnya (kadar glukosa
darah puasa yang dianjurkan adalah sekitar 70-130 mg/dL), (2)
pencapaian target kadar HbA1c, dan regimen manajemen yang
digunakan3:
- Pasien yang menggunakan regimen insulin basal-bolus atau
pompa insulin, harus memeriksa kadar glukosa darahnya > 3 kali
sehari.
- Selama sakit akut atau ketika muncul gejala hiperglikemi atau
hipoglikemi, pasien harus melakukan pemeriksaan lebih sering dan
berkonsultasi dengan dokter.
- Pemeriksaan dapat berupa kombinasi dari pengukuran gula darah
puasa dan post prandial. Pemeriksaan post prandial terutama
penting bila kadar glukosa darah puasa selalu normal tetapi kadar
HbA1c tidak mencapai target.
- Pada pasien yang tidak menggunakan insulin atau menggunakan
insulin basal saja, monitor glukosa darah bisa lebih jarang. Pasien
yang menggunakan insulin atau sulfoniluria memerlukan monitor
untuk mendeteksi hipoglikemia asimtomatik

2.2.8 Komplikasi
I. Komplikasi Akut
1. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600
mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300 -320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan
anion gap.
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (500-1200 mg/dl),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat.

37
Catatan:
Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di
rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.

2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <70
mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple's
triad:
 Terdapat gejala - gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala
glukosa darah rendah tetapi menunjukkan kadar gula darah normal. Di
lain pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia
meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan
kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan
glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan
OHO kerja panjang. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal
yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada
DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang
lebih lama. Pasien dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai
kemungkinan hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap
kesempatan.2

II. Komplikasi Kronis

38
1. Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali
adalah nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat
(claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala.
ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan
pada penderita.
 Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik

2. Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati
 Nefropati diabetik
 Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi nefropati.
 Untuk penderita penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan
protein sampai dengan dibawah 0.8 gram/kgBB/hari tidak
direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko
kardiovaskuler dan penurunan GFR Ginjal.
 Neuropati

Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan
faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
yang meningkatkan risiko amputasi.

Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari

Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal
yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi
sederhana (menggunakan monofilamen 10 gram). Pemeriksaan
ini kemudian diulang paling sedikit setiap tahun.

Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan
kaki yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus
dan amputasi

39

Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau
pregabalin dapat mengurangi rasa sakit.

Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus
kaki.

Untuk pelaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.1

BAB 3
PENUTUP

Diabetes mellitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia


kronik. Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaaan, di
antaranya adalah gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja
dari hormon insulin atau gangguan kedua-duanya.
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan
sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau
terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM
tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti
obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi atau
hiperandrogenisme ovarium.
Penatalaksanaan untuk Dm tipe 1 dan tipe 2 mencakup terapi
primer dan terapi sekunder yang disebut pentalogi terapi DM. Terapi
primer mencakup: diet, latihan fisik, dan penyuluhan kesehatan
masyarakat; terapi sekunder mencakup: Obat anti diabetes dan cangkok
pancreas.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI; 2011.
2. Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol
1. Jakarta : EGC, 2000.
3. IDAI. (2015). Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. (M.
Julia, A. Utari, Nurrochmah, & A. G. M., Eds.) (1st ed.). Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children.
Dalam: Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby
Inc, h 3-18.
5. Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien
N (2010). Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang
Tridjaja AAP Aman B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak,
Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161.
6. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric
Diabetes 2009: 10.

41
7. IDAI. 2017. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan
Remaja. https://bit.ly/2ML6wYB. Diunduh 14 Agustus 2018.

42

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Final Project
    Final Project
    Dokumen32 halaman
    Final Project
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Flowchart Final Project
    Flowchart Final Project
    Dokumen3 halaman
    Flowchart Final Project
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Modul 2
    Modul 2
    Dokumen13 halaman
    Modul 2
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Modul 1
    Modul 1
    Dokumen25 halaman
    Modul 1
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • VITAMIN
    VITAMIN
    Dokumen54 halaman
    VITAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • HIPERTENSI
    HIPERTENSI
    Dokumen42 halaman
    HIPERTENSI
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Rjpo BLS
    Rjpo BLS
    Dokumen18 halaman
    Rjpo BLS
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat DF
    Referat DF
    Dokumen20 halaman
    Referat DF
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • 10 Fakta Tentang Tempe
    10 Fakta Tentang Tempe
    Dokumen1 halaman
    10 Fakta Tentang Tempe
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Dokumen40 halaman
    Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Airway MAnagemen
    Airway MAnagemen
    Dokumen10 halaman
    Airway MAnagemen
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • HORDOELUM Referat
    HORDOELUM Referat
    Dokumen21 halaman
    HORDOELUM Referat
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Amoeba GIT
    Amoeba GIT
    Dokumen46 halaman
    Amoeba GIT
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Agen Hipoglikemik Oral
    Agen Hipoglikemik Oral
    Dokumen26 halaman
    Agen Hipoglikemik Oral
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Orchitis
    Orchitis
    Dokumen12 halaman
    Orchitis
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Abses Retrofaring
    Abses Retrofaring
    Dokumen23 halaman
    Abses Retrofaring
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Intracranial Hiv
    Intracranial Hiv
    Dokumen40 halaman
    Intracranial Hiv
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT Isi
    Referat THT Isi
    Dokumen24 halaman
    Referat THT Isi
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Status Urologi
    Status Urologi
    Dokumen1 halaman
    Status Urologi
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Abses Peritonsil
    Abses Peritonsil
    Dokumen21 halaman
    Abses Peritonsil
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen28 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat CD
    Referat CD
    Dokumen24 halaman
    Referat CD
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Pneumonia
    Pneumonia
    Dokumen22 halaman
    Pneumonia
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen11 halaman
    ANTIHISTAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen11 halaman
    ANTIHISTAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen28 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat