PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian diabetes mellitus di USA adalah sekitar 1 dari
setiap 1500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari 350 anak
(pada anak usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-
7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian pada laki-
laki dan perempuan sama.4
Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia,
Denmark serta Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap
100.000 penduduk. Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu
penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia Timur
kurang dari 2/100.000 penduduk/tahun. 4
Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari
data registry nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK
Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari 200-anak dengan
DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat
2
dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada
kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis
sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1
yang dilaporkan.4
2.1.3 Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolecene Diabetes dan
WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi.
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi6:
I. DM Tipe-1 (destruksi sel- β)
a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel β
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasma; Kistik
fibrosis; Haemokhromatosus; Fibrokalkulus pankreatopati;
dan lain-lain.
d. Gangguan endokrin
Akromegali; Sindrom Cushing; Glukanoma;
Feokromositoma; Hipertiroidisme; Somatostatinoma;
Aldosteronoma; dan lain-lain.
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor; Pentamidin; Asam nikotinik; Glukokortikoid; Hormon
tiroid; Diazoxid; Agonis β-adrenergik; Tiazid; Dilantin; α-
interferon; dan lain-lain.
6
IV. Diabetes Mellitus Kehamilan
3
2.1.4 Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin.
Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta
yang mengarah ke DM tipe 1. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk
menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat
dalam DM tipe 1 meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase
(GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat
komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan
endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta
tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk
bereaksi dengan semua sel islet. 4
Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD
enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG
yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya
semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD
target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama
pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif
untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam
individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk
mengembangkan disease.4
4
Gambar 2.1 Diagram Patomekanisme terjadi DM tipe 1
5
penggunaan glukosa serta clearance ginjal. Semua perubahan normal ini
kembali normal dengan terapi insulin yang adekuat. Namun dapat
dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-regulasi. Misalnya
supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ dalam
oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik. 4
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat produksi
glukosa yang tak terkendali serta gangguan penggunaannya; akibatnya
timbul hiperglikemi dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan kadar plasma hormon kontraregulasi juga
bertanggung jawab atas percepatan lipolisis dan ganguan sintesis lipid,
yang berakibat peningkatan kadar plasma lipid total, kolesterol, trigliserid
dan asam lemak bebas. Keadaan hormonal yang saling mempengaruhi
antara defisiensi insulin dan kelebihan glukagon akan menimbulkan jalan
pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk keton; kecepatan
pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan asetoasetat,
melampui kapasitas penggunaan perifer serta ekskresi ginjal. Akumulasi
asam keton ini menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan
kompensasi yang cepat sebagai usaha mengekskresi kelebihan CO2
(pernafasan kussmaul). 4
Aseton yang dibentuk melalui konversi non-enzimatik asetoasetat,
bertanggung jawab atas timbulnya bau buah yang karakteristik pada
pernafasan ini. Keton diekskresi ke dalam kemih bersama-sama dengan
kation, yang selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan elektrolit.
Dengan dehidrasi progresif, asidosis, hiperosmolaritas dan berkurangnya
penggunaan oksigen otak, maka terjadi gangguan kesadaran dan pasien
akhirnya jatuh ke dalam koma. Dengan demikian, defisiensi insulin
menimbulkan suatu stasus katabolik yang dalam suatu kelaparan berat,
dimana semua gambaran klinis awal dapat dijelaskan atas dasar
perubahan metabolisme perantara yang telah diketahui. Keparahan dan
lamanya gejala mencerminkan derajat insulinopenia. 4
6
Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1
dapat cepat menjadi diabetik ketoasidosis apabila terjadi:
1).Diabetes tipe 1 yang tidak terdiagnosa
2).Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin
3).Adolescen dan pubertas
4).Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes
5).Stres yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan
emosional. 4
7
Kesadaran terganggu
↓
Nutrisi kurang dari kebutuhan; gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
↓
Resiko tinggi cedera 4
Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada
periode ini sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas.
Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi
ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya
sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide mulai menurun. Pada
periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan
laboratorium.6
8
tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada periode ini penderita
memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.6
9
4. HbA1c > 6.5%. Petanda ini harus dilakukan sesuai standar
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) pada
laboratorium yang tersertifikasi dan terstandar dengan assay
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT). 7
Pada kasus-kasus yang meragukan seperti penderita yang
asimptomatis dengan hiperglikemia (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi untuk
menentukan ada tidaknya diabetes. Konfirmasi dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti pemeriksaan HbA1c, kadar glukosa plasma puasa
dan 2 jam postprandial atau uji toleransi glukosa oral. Konfirmasi tidak
boleh dilakukan dengan pemeriksaan darah glukosa kapiler. 7
Konfirmasi harus segera dilakukan dengan sampel darah yang
baru. Apabila HbA1C adalah 7% dan konfirmasi menghasilkan 6,8% maka
diagnosis diabetes dapat ditegakkan. Apabila menggunakan dua jenis
pemeriksaan dan keduanya menghasilkan data yang lebih tinggi dari
standar normal maka diagnosis diabetes terbukti. Tetapi, apabila kedua
pemeriksaan hasilnya tidak sesuai maka yang diulang cukup yang
menghasilkan data yang diatas standar. Diagnosis diabetes ditentukan
berdasar hasil konfirmasi tersebut.7
Penilaian glukosa plasma Puasa:
Normal: < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired Fasting Glucose =
IFG): 100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)
Diabetes: ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral:
Normal: <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
Gangguan glukosa toleransi (Impaired Glucose Tolerance =IGT):
140–200 mg/dL (7.8–<11.1 mmol/L)
Diabetes: ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
10
2.1.7 Tatalaksana
Komponen pengelolaan DM tipe 1 meliputi pemberian insulin,
pengaturan makan, olah raga, edukasi, dan pemantauan mandiri. 7
Pemberian insulin
Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup di
dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan
metabolism sebagai insulin basal maupun insulin koreksi dengan
kadar yang lebih tinggi (bolus) akibat efek glikemik makanan.
Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada
regimen yang seragam untuk semua penderita DM tipe 1. Regimen
apapun yang digunakan bertujuan untuk mengikuti pola fisiologi
sekresi insulin orang normal sehingga mampu menormalkan
metabolisme gula atau paling tidak mendekati normal.
Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor
yaitu: umur, lama menderita diabetes mellitus, gaya hidup penderita
(pola makan, jadwal latihan, sekolah dsb), target kontrol metabolik,
dan kebiasaan individu maupun keluarganya.
Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan
pada keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit
penderita dan sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.
Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali
injeksi insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/pendek
dengan insulin basal).
Dosis insulin harian, tergantung pada: Umur, berat badan, status
pubertas, lama menderita, fase diabetes, asupan makanan, pola
olahraga, aktifitas harian, hasil monitoring glukosa darah dan
HbA1c, serta ada tidaknya komorbiditas. 7
Dosis insulin (empiris):
-
Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/ kg/ hari.
-
Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7–
1 IU/kg/hari.
11
-
Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2
IU/kg/hari.7
12
Pengaturan makan
Pada regimen konvensional, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk kalori.
Pada regimen basal-bolus, pengaturan makan dengan
memperhitungkan asupan dalam bentuk gram karbohidrat.
Pemilihan jenis makanan dianjurkan karbohidrat dengan indeks
glikemik dan glicemic load yang rendah. 7
Olah raga
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anak dan remaja DMT1 saat
melakukan olahraga:
-
Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga
dengan dokter.
-
Jika olahraga akan dilakukan pada saat puncak kerja insulin
maka dosis insulin harus diturunkan secara bermakna.
-
Pompa insulin harus dilepas atau insulin basal terakhir paling
tidak diberikan 90 menit sebelum mulai latihan.
-
Jangan suntik insulin pada bagian tubuh yang banyak
digunakan untuk latihan. 7
Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14 mmol/L)
dengan ketonuria /ketonemia (> 0,5 mmol/L)
-
Olahraga atau latihan fisik harus dihindari.
-
Berikan insulin kerja cepat (rapid acting) sekitar 0,05 U/kg atau
5% dari dosis total harian.
-
Tunda aktivitas fisik sampai keton sudah negatif. 7
Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam
untuk olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin
yang bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak dikurangi.
Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi
segera setelah latihan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia
pasca latihan fisik. 7
Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga. 7
13
- Ukur kadar glukosa darah sebelum tidur dan kurangi insulin
basal sebelum tidur (atau basal pompa insulin) sebesar 10-20%
setelah olahraga di siang atau sore hari jika latihannya lebih
intensif dari biasanya atau jika aktivitasnya tidak dilakukan
secara reguler.
- Karbohidrat ekstra setelah aktivitas biasanya merupakan pilihan
terbaik untuk mencegah hipoglikemia pasca latihan setelah
olahraga anerobik dengan intensitas tinggi.
- Olahraga yang merupakan kombinasi antara latihan aerobic
(sepeda, lari, berenang) dan anaerobik memerlukan tambahan
ekstra karbohidrat sebelum, selama, dan setelah aktivitas.
- Hiperglikemia setelah latihan dapat dicegah dengan
memberikan tambahan kecil dosis insulin kerja cepat saat
pertengahan atau segera setelah selesai olahraga.
Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup
tinggi terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/dL
(<7.0 mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur sebaiknya
dikurangi. 7
Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus
menghindari olahraga yang bersifat anaerobik atau yang
membutuhkan ketahanan fisik karena dapat menyebabkan tekanan
darah tinggi. 7
Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di
sekolah. 7
14
b. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
c. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
d. Jika glukosa darah <90 mg/dL (< 5 mmol/L) dan cenderung turun,
tambahkan ekstra karbohidrat.
e. Jika glukosa darah 90-250 mg/dL (5-14 mmol/L) tidak diperlukan
ekstra karbohidrat (tergantung lama aktifitas dan respons
individual).
f. Jika glukosa darah >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda
olah raga sampai glukosa darah normal dengan insulin.
g. Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan
tentukan apakah penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat
diperlukan
h. Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga
kompetisi sebaiknya insulin dinaikkan
i. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250 mL
pada 20 menit sebelum olahraga) 7
2. Selama berolah raga
a. Monitor glukosa darah tiap 30 menit.
b. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan. 7
3. Setelah berolah raga
a. Monitor glukosa darah, termasuk sepanjang malam (terutama bila
tidak biasa dengan program olahraga yang sedang dijalani).
b. Pertimbangkan mengubah terapi insulin, dengan menurunkan dosis
insulin basal.
c. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam
setelah olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat.
Hipoglikemia awitan lambat dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam
setelah latihan.7
2.1.8 Pemantauan
Tujuan pemantauan gula darah mandiri pada pasien dengan DM
tipe 1 adalah mencapai target kontrol glikemik yang optimal,
15
menghindari komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis
dan komplikasi kronis yaitu penyakit akibat ganggaun mikro dan
makrovaskuler, menimalisasi akibat hipoglikemia dan hiperglikemia
terhadap fungsi kognitif.
Pemantauan kontrol glikemik dilakukan dengan melakukan
pemantauan glukosa darah mandiri, HbA1c, keton, dan
pemantauan glukosa darah berkelanjutan.
Pemantauan tumbuh kembang merupakan bagian integral dari
pemantauan diabetes.7
16
Pemantauan glukosa darah mandiri dilakukan secara lebih sering
pada olahraga dengan intensitas tinggi yaitu sebelum, selama dan
setelah melakukan kegiatan tersebut.
Target glukosa darah diharapkan sedapat mungkin mendekati
normal tanpa membahayakan penderita. 7
Pemeriksaan keton
Normal keton darah: <0.6 mmol/L
Pemeriksaan keton darah lebih baik dari pada keton urin.
Keton darah >3,0 mmol/L biasanya disertai dengan asidosis
sehingga harus segera dibawa ke IGD. Keton darah <0,6 mmol/L
biasa ditemukan setelah puasa malam hari.
Pemeriksaan keton harus tersedia dan dilakukan pada saat:
-
Sakit yang disertai demam dan/atau muntah.
-
Jika glukosa darah di atas 14 mmol/L (250 mg/dL) pada anak
yang tidak sehat atau jika kadar glukosa darah meningkat diatas
14 mmol/L (250 mg/dL) secara persisten.
-
Ketika terdapat poliuria persisten disertai peningkatan kadar
glukosa darah, terutama jika disertai nyeri abdomen atau napas
cepat.
-
Pemeriksaan keton darah sebaiknya tersedia bagi anak yang
lebih muda atau pasien yang menggunakan pompa insulin. 8
17
HbA1c (Hemoglobin terglikosilasi)
HbA1c mencerminkan kondisi glikemia selama 8-12 minggu
terakhir.
Fasilitas untuk pengukuran HbA1c harus tersedia disemua pusat
kesehatan yang menangani anak dan remaja dengan diabetes.
HbA1c harus dipantau sebanyak 4-6 kali per tahun pada anak yang
lebih muda dan 3-4 kali per tahun pada anak yang lebih besar.
Target HbA1c untuk semua kelompok usia adalah kurang dari 7,5%
(5,8 mmol/L).
Nilai HbA1c berdasarkan DCCT dinyatakan dalam persen (%) dan
berdasarkan the International Federation of Clinical Chemistry and
Laboratory Medicine (IFCC) dalam mmol/mol.7
2.1.9 Komplikasi
Tabel 2.4 Tahapan Pemeriksaan Penapisan Komplikasi Mikrovaskular
Berdasarkan ISPAD dan IDF7
18
Tekanan darah antara persentil ke 90-95 dianggap sebagai pra-
hipertensi. Dalam menentukan hipertensi pada anak digunakan
table tekanan darah menurut tinggi badan dan jenis kelamin seperti
pada tabel di bawah. 7
Tabel 2.5 Tekanan darah Berdasar Tinggi Badan dan Jenis Kelamin
Berdasarkan ISPAD dan IDF7
19
ACE inhibitor direkomendasikan sebagai terapi hipertensi pada
anak dan remaja. Dosis awal kaptopril adalah 6,25 mg (dinaikkan
sampai 12,5-25-75 mg sehari dalam dosis terbagi 2 atau 3 kali
sehari) dan enalapril 5 mg (dinaikkan sampai 10-40 mg/ haridalam
dosis terbagi 1 atau 2 kali sehari).7
2.1.11 Edukasi
20
Edukasi/pendidikan merupakan unsur strategis pada pengelolaan
DM tipe-1, harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap
sesuai tingkat pengetahuan serta status sosial penderita/keluarga.
Sasaran edukasi adalah pasien (anak atau remaja) dan kedua
orang tua, serta pengasuhnya.
Edukasi tahap pertama dilakukan saat diagnosis ditegakkan
(biasanya selama perawatan di rumah sakit). Edukasi ini meliputi:
pengetahuan dasar tentang DM tipe 1 (terutama perbedaan dengan
tipe lain), pengaturan makanan, insulin (jenis, cara pemberian, efek
samping, penyesuaian dosis sederhana dll), dan pertolongan
pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe 1 (hipoglikemia,
pemberian insulin pada saat sakit).
Edukasi tahap kedua selanjutnya berlangsung selama konsultasi di
poliklinik. Pada tahap ini, edukasi berisi penjelasan lebih terperinci
tentang patofisiologi, olahraga, komplikasi, pengulangann terhadap
apa yang pernah diberikan serta bagaimana menghadapi
lingkungan sosial.7
21
merupakan faktor prediktor terhadap terjadinya DM tipe-2 dan penyakit
kardiovaskular.
Resistensi insulin sendiri tidak cukup untuk berkembang menjadi
diabetes mellitus. Untuk menjadi DM tipe-2 diperlukan kombinasi antara
resistensi insulin dan ketidak-adekuatan sekresi sel beta pankreas. Pada
pasien dengan DM tipe-2 terdapat keduanya, yakni aksi insulin yang
terganggu dan kegagalan sekresi insulin. Kondisi hiperglikemia diduga
memperburuk resistensi insulin maupun kelainan sekresi insulin, sehingga
mengakibatkan perubahan dari kondisi gangguan toleransi glukosa
menjadi diabetes mellitus.
Kontribusi relatif dari kedua komponen patofisologi ini bervariasi
dari dominan resistensi insulin sampai dominan kegagalan sel beta
pankreas. Kegagalan sel beta pada DM tipe-2 tidak diperantarai oleh
proses autoimun. Oleh karena adanya resistensi insulin maka konsentrasi
insulin dalam sirkulasi bisa meningkat namun juga bisa rendah jika
disfungsi sel beta lebih berat.
Sesudah pubertas berperan penting di dalam perkembangan DM
tipe-2 pada anak. Selama pubertas, terdapat peningkatan resistensi
terhadap aksi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia.
Sesudah pubertas, respons insulin basal dan terstimulasi menurun.
Peningkatan hormon pertumbuhan pada masa pubertas diduga juga
berperan terhadap terjadinya resistensi insulin selama pubertas. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika munculnya DM tipe-2 bersamaan
dengan usia pertengahan pubertas.
Efek dari obesitas terhadap metabolisme glukosa telah terbukti.
Anak obesitas lebih berisiko mengalami hiperinsulinemia. Hal ini karena
terdapat hubungan yang terbalik antara sensitivitas insulin dan lemak
viseral. Pengaruh lemak viseral lebih kuat daripada lemak subkutan.
Jaringan adiposa yang berkembang pada kondisi obesitas mensintesis
dan mensekresi metabolit dan protein signaling seperti leptin, adiponektin
dan TNF-alfa. Faktor-faktor ini diketahui mengganggu sekresi insulin dan
22
sensitivitasnya dan bahkan merupakan penyebab resistensi insulin dalam
berbagai percobaan klinis3.
2.2.2 Prevalensi
Prevalensi DM tipe 2 pada anak meningkat seiring dengan
meningkatnya obesitas pada anak, prevalensi tertinggi ditemukan pada
etnik dimana DM tipe 2 dewasa cukup tinggi, diantaranya: Amerika,
Hispanik-Amerika, dan Afrika-Amerika. Obesitas, sindrom metabolik,
etnisitas, dan riwayat keluarga dengan DM tipe 2 merupakan faktor resiko
terjadinya DM tipe 2.2
23
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa. 1
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis DM dibuat berdasarkan ada/tidaknya gejala klinis DM
dan hasil pengukuran kadar glukosa plasma. Gejala klinis klasik DM
adalah: poliuria, polidipsia, nokturia serta adanya penurunan berat badan
tanpa sebab yang jelas. Tanpa adanya gejala klinis DM, pemeriksaan
24
harus diulang pada hari yang berbeda. Diagnosis DM tipe-2 ditegakkan
melalui dua tahap :
1. Menegakkan diagnosis DM, dan
2. Menentukan tipe DM. Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan dengan
kriteria American Diabetes Association (ADA)
25
Catatan :
-
Satu pemeriksaan glukosa plasma sewaktu yang diambil pada
saat stress (trauma, infeksi berat, dll.) tanpa gejala DM
sebelumnya, tidak dapat menjadi dasar diagnosis DM.
Pemeriksaan harus dikonfirmasi lagi.
-
Tes Toleransi Glukosa Oral (oral glucose tolerance test, OGTT)
tidak boleh dilakukan bila diagnosis telah dapat ditegakkan
dengan kriteria glukosa plasma puasa atau sewaktu karena
berisiko mengakibatkan hiperglikemia berat.
-
Adanya ketonemia atau ketonuria yang menyertai hiperglikemia
berat menunjukkan diagnosis DM dan membutuhkan tatalaksana
segera. 3
Pra-Diabetes
Sebelum terjadi DM tipe-2, penderita sering mengalami kondisi
yang disebut PRA-DIABETES. Pada remaja obesitas, kondisi pradiabetes
bisa bersifat transien, namun bila berat badan sulit dikendalikan, sangat
berisiko mengalami progresivitas menjadi DM tipe-2. 3
26
Membedakan DM Tipe-2 dan DM Tipe-1
Sesuai patogenesisnya, proses autoimun yang mendestruksi sel
beta pankreas pada DM tipe-1 dan resistensi insulin pada DM tipe-2,
kedua jenis DM ini seharusnya bisa dibedakan dari kadar insulin atau C-
peptide-nya. Pada DM tipe-1, kadar insulin/C-peptide akan rendah atau
sangat rendah, sedangkan pada DM tipe-2, kadar insulin/C-peptide akan
normal atau meningkat. Selain itu, pada DM tipe-1 akan terdeteksi auto-
antibodi terhadap sel beta pankreas sedangkan pada DM tipe-2 tidak.
Kedua hal tersebut secara teoritis merupakan pembeda antara DM tipe-1
dan tipe-2, namun kenyataannya, membedakan DM tipe-1 dan tipe-2 tidak
selalu mudah, karena3 :
1. Seiring dengan makin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak,
dapat dijumpai penderita DM tipe-1 yang obesitas. Penderita DM
tipe-1 yang obesitas mungkin mempunyai sisa kadar c-peptide yang
lebih tinggi.
2. Penderita DM tipe-2 dapat datang dalam kondisi ketosis atau
ketoasidosis sehingga menyerupai DM tipe-1. Pada keadaan
tersebut, kadar insulin atau c-peptide penderita bisa sangat rendah
akibat adanya glukotoksisitas atau memang sudah ada
ketergantungan insulin.
3. Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko penyakit
autoimun sehingga 15-40% penderita DM tipe-2 terdeteksi mem
punyai autoantibodi terkait DM tipe-1. Keadaan ini mempercepat
penderita jatuh ke dalam keadaan tergantung insulin.
27
Salah satu cara membedakan DM tipe-2 dari DM tipe-1 yang
mungkin dapat digunakan adalah pemeriksaan c-peptide sekitar 12-24
bulan setelah diagnosis karena sangat jarang penderita DM tipe-1 yang
masih mempunyai kadar c-peptide normal pada saat tersebut. 3
28
1. Terdeteksinya autoantibodi bisa menunjukkan kemungkinan perlunya
pemberian insulin lebih awal.
2. Autoantibodi bisa menunjukkan diperlukannya pengecekan terhadap
penyakit autoimun yang lain, terutama autoimunitas pada tiroid.
3. Adanya autoantibodi mempengaruhi prediksi kemungkinan timbul
nya penyakit yang sama pada anggota keluarga yang lain (adik,
kakak) 3.
Skrining DM Tipe-2
Kelompok yang berisiko tinggi menderita DM tipe-2 adalah:
1. Anak/remaja dengan obesitas.
2. Ada keluarga dekat yang menderita DM tipe-2 atau penyakit
kardiovaskular.
3. Ada tanda resistensi insulin : akanthosis nigrikans, dislipidemia,
hipertensi, sindroma ovarium polikistik.
Di Jepang telah dilakukan skrining glukosuria pada semua remaja.
Cara ini dianggap cukup cost effective untuk mendeteksi DM tipe-2.
Penelitian di Bali, Indonesia pada 1.020 anak usia 6-12 tahun
mendapatkan prevalensi glukosuria 1,7%.
2.2.6 Manajemen
Tujuan manajemen tipe 2:3
Edukasi manajemen diabetes mandiri
Kadar glukosa darah normal
Menurunkan berat badan (karena penderita DM tipe-2 biasanya
obesitas)
Menurunkan asupan karbohidrat dan kalori
Meningkatkan kapasitas aktivitas fisik
Mengendalikan penyakit ko-morbid seperti hipertensi, dislipdemia,
nefropati, gangguan tidur, perlemakan hati dll.
29
EDUKASI
Edukasi untuk penderita DM tipe-2 harus memfokuskan pada
perubahan gaya hidup (diet dan aktivitas fisik), di samping edukasi
tentang pemberian obat antidiabetes oral dan insulin. Edukasi sebaiknya
dilakukan oleh tim yang melibatkan ahli gizi dan psikolog, serta, bila ada,
ahli aktivitas fisik. Edukasi sebaiknya juga diberikan kepada seluruh
anggota keluarga agar mereka memahami pentingnya perubahan gaya
hidup untuk keberhasilan manajemen DM tipe-2.3
REKOMENDASI DIET
Rekomendasi diet harus disesuaikan dengan kemampuan
keuangan keluarga dan budaya setempat. Modifikasi diet yang disarankan
harus mencakup3:
- Menghindari minuman yang mengandung gula. Penggunaan air
atau minuman bebas kalori lainnya dapat sangat membantu
menurunkan berat badan. Hal ini termasuk menghindari asupan
makanan yang dibuat dari gula, seperti permen dan manisan lain.
Penggunaan pemanis buatan tanpa kalori yang telah disetujui
BPOM diijinkan dalam jumlah terbatas.
30
- Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran. Usahakan
makan 5 porsi buah-buahan atau sayuran perhari, misalnya
sebagai pengganti kudapan (snacks).
- Mengurangi asupan makanan dalam kemasan dan makanan
instan.
- Mengendalikan porsi asupan. Makanlah makanan atau kudapan
dari piring atau mangkok, jangan dimakan langsung dari kotak atau
kalengnya.
- Mengurangi makan di luar rumah, seperti di warung atau restoran.
Usahakan memilih porsi yang lebih kecil.
- Mengganti makanan yang berasal beras putih atau tepung terigu
dengan sumber karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik yang
lebih rendah.
Jumlah asupan energi/ kalori yang diperlukan sangat tergantung dengan
usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik yang dilaksanakan.
31
- Mengusahakan makan pada waktunya bersama keluarga dan
menghindari makan sambil mengerjakan aktivitas lain seperti
menonton televisi atau aktivitas dengan komputer.
32
jalan kaki, bersepeda atau menggunakan kendaraan umum ke
sekolah atau ke tempat lainnya serta melakukan aktivitas pekerjaan
rumah tangga.
Selain itu, penderita DM Tipe-2 juga harus mengurangi aktivitas
fisik sedentary, seperti menonton TV, aktivitas di depan komputer atau
piranti komunikasi elektronik lainnya, dan bermain video/ computer game,
dll sampai dengan < 2 jam per hari. Hal ini termasuk mendorong
dipatuhinya pola hidup teratur, terutama waktu tidur dan pembatasan
menonton TV dan penggunaan piranti elektronik lainnya. Penggunaan
piranti komunikasi elektronik mengakibatkan penurunan durasi tidur,
asupan nutrisi dengan kualitas yang kurang baik, kelebihan berat badan,
dan aktivitas fisik rendah.3
MEROKOK
Efek buruk merokok terhadap kesehatan penderita DM tipe-2 lebih
buruk daripada pada remaja lain pada umumnya. 3
TERAPI MEDIKAMENTOSA
Modifikasi gaya hidup merupakan dasar manajemen DM tipe-2.
Namun telah disadari bahwa hal ini tidak mudah sehingga target kadar
gula darah sering tidak tercapai.3
Sayangnya, usaha memodifikasi gaya hidup sering gagal, seperti
tingkat loss to follow up dan tingkat depresi yang tinggi dan tekanan dari
teman sebaya yang sering mengajak ke pola hidup yang kurang sehat.
Konsensus pakar menunjukkan bahwa hanya kurang dari 10% penderita
DM tipe-2 anak/ remaja yang berhasil mengendalikan kadar gula darah
dengan perubahan gaya hidup saja. Tujuan terapi medikamentosa DM
tipe-2 adalah3:
- memperbaiki resistensi insulin
- meningkatkan sekresi insulin endogen, atau
- memberikan insulin eksogen
33
Gambar 2.2 Alur Terapi Dm Tipe 2
I. TERAPI INISIAL
Terapi inisial DM tipe-2 meliputi metformin dan/ atau insulin,
tergantung gejala, beratnya hiperglikemia, dan ada tidaknya ketosis/
ketoasidosis.
Pada pasien yang secara metabolik stabil (tanpa ketosis/
ketoasidosis), HbA1c < 9% (atau gula darah sewaktu < 250mg/dL).
Pada kondisi ini, mengingat rendahnya keberhasilan manajemen diet dan
aktivitas fisik saja, metformin dapat segera dimulai bersamaan dengan
usaha memodifikasi gaya hidup.
Metformin dimulai dengan dosis 500 mg/ 24 jam, yang dapat
diberikan dengan dosis terbagi 250 mg/ 12 jam, selama 7 hari. Bila tidak
ada efek samping, dosis bisa dinaikkan 500 mg per minggu selama 3-4
minggu sampai mencapai dosis 1000 mg/ 12 jam, atau menggunakan
34
metformin lepas lambat 2000 mg/ 24 jam. Meningkatkan dosis lebih dari
2000 mg per hari tidak meningkatkan manfaat.3
Pada pasien yang secara metabolik tidak stabil (dengan
ketosis/ ketoasidosis), HbA1c ≥ 9% (atau gula darah sewaktu ≥ 250
mg/dL). Insulin basal diberikan mulai dengan dosis 0,25 -0,5 unit/ kg/ 24
jam. Pada saat ini metformin juga bisa dimulai kecuali bila ada asidosis.
Tujuan terapi inisial adalah mencapai HbA1c <6,5%. Bila hal ini
tidak dapat dicapai dengan metformin atau kombinasi metformin dan
insulin, diagnosis DM tipe-2 perlu dipertimbangkan lagi, atau manajemen
perlu ditingkatkan sesuai pedoman terapi lanjut.
Efek samping metformin, seperti nyeri abdomen, kembung dan
diare biasanya hanya terjadi pada awal pemberian metformin, bersifat
transien, dan dapat hilang dengan sempurna bila pengobatan dihentikan.
Setelah gejala efek samping membaik, metformin dapat dicoba lagi mulai
dengan dosis yang lebih rendah. Efek samping lebih sering terjadi bila
memulai dengan dosis metformin yang terlalu tinggi atau metformin
diminum pada saat perut dalam keadaan kosong. Penggunaan metformin
lepas lambat juga dapat menurunkan risiko komplikasiPerpindahan dari
kombinasi insulin dan metformin ke metformin saja dapat dilakukan dalam
waktu 2-6 minggu, dengan menurunkan bertahap dosis insulin 30-50%
sambil menaikkan dosis metformin.Catatan: insulin juga harus diberikan
bila belum jelas apakah DM tipe-1 atau tipe-2. 3
35
-
Cara penghitungan dosis insulin kerja pendek pada regimen insulin
basal-bolus serupa dengan cara penghitungan pada DM tipe-1
(lihat Konsensus DM tipe-1).
-
Penggunaan obat anti diabetes oral lain seperti sulfonylurea,
meglitinidelrepaglinide, thiazolidinedione (TZD), α-glucosidase
inhibitors, incretin mimetics atau glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
receptor agonist, DPP-IV inhibitors, sodium-glucose co-transporter-
2 (SGLT-2) inhibitors mungkin bermanfaat meskipun
demikianpenelitian mengenai hal ini masih sangat terbatas
sehingga penggunaan pada usia < 18 tahun masih belum disetujui
secara umum.3
2.2.7 Monitoring
Monitor keberhasilan manajemen dan timbulnya ko-morbiditas
pada DM tipe-2 merupakan hal yang tidak terpisahkan dari manajemen
DM tipe-2. Pada bagian ini akan dibahas monitor manajemen DM tipe 2,
monitor manajemen ko-morbiditas DM tipe-2 akan dibahas di bagian
tentang ko-morbiditas.3
Target manajemen DM tipe-2 adalah kadar HbA1c <6,5% (lihat
Manajemen DM Tipe-2). Kadar HbA1c harus diperiksa paling tidak setiap
6 bulan. Jika kontrol metabolik tidak memuaskan (Kadar HbA1c tidak
mencapai target) atau menggunakan insulin, pemeriksaan HbA1c harus
dilaksanakan setiap 3 bulan.3
Monitoring glukosa darah mandiri harus dilakukan secara teratur.
Frekuensi monitor tergantung pada (1) pencapaian target kadar glukosa
36
darah puasa pada pemeriksaan- pemeriksaan sebelumnya (kadar glukosa
darah puasa yang dianjurkan adalah sekitar 70-130 mg/dL), (2)
pencapaian target kadar HbA1c, dan regimen manajemen yang
digunakan3:
- Pasien yang menggunakan regimen insulin basal-bolus atau
pompa insulin, harus memeriksa kadar glukosa darahnya > 3 kali
sehari.
- Selama sakit akut atau ketika muncul gejala hiperglikemi atau
hipoglikemi, pasien harus melakukan pemeriksaan lebih sering dan
berkonsultasi dengan dokter.
- Pemeriksaan dapat berupa kombinasi dari pengukuran gula darah
puasa dan post prandial. Pemeriksaan post prandial terutama
penting bila kadar glukosa darah puasa selalu normal tetapi kadar
HbA1c tidak mencapai target.
- Pada pasien yang tidak menggunakan insulin atau menggunakan
insulin basal saja, monitor glukosa darah bisa lebih jarang. Pasien
yang menggunakan insulin atau sulfoniluria memerlukan monitor
untuk mendeteksi hipoglikemia asimtomatik
2.2.8 Komplikasi
I. Komplikasi Akut
1. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600
mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300 -320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan
anion gap.
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (500-1200 mg/dl),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330-380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat.
37
Catatan:
Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di
rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah <70
mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple's
triad:
Terdapat gejala - gejala hipoglikemia
Kadar glukosa darah yang rendah
Gejala berkurang dengan pengobatan
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala
glukosa darah rendah tetapi menunjukkan kadar gula darah normal. Di
lain pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia
meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan
kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan
glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan
OHO kerja panjang. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal
yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada
DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang
lebih lama. Pasien dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai
kemungkinan hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap
kesempatan.2
38
1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali
adalah nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat
(claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala.
ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan
pada penderita.
Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresi nefropati.
Untuk penderita penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan
protein sampai dengan dibawah 0.8 gram/kgBB/hari tidak
direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko
kardiovaskuler dan penurunan GFR Ginjal.
Neuropati
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan
faktor penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
yang meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari
Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal
yang simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi
sederhana (menggunakan monofilamen 10 gram). Pemeriksaan
ini kemudian diulang paling sedikit setiap tahun.
Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan
kaki yang memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus
dan amputasi
39
Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau
pregabalin dapat mengurangi rasa sakit.
Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus
kaki.
Untuk pelaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.1
BAB 3
PENUTUP
40
DAFTAR PUSTAKA
41
7. IDAI. 2017. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan
Remaja. https://bit.ly/2ML6wYB. Diunduh 14 Agustus 2018.
42