Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan penyakit yang


menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan
"defisiensi imun". Defisiensi imun mengakibatkan tubuh tidak mampu untuk
memerangi infeksi dan penyakit (WHO., 2006).
Berdasarkan analisis data yang tersedia pada UNAIDS
menunjukkan bahwa pada tahun 2014 terdapat lebih dari 90% infeksi baru
HIV terjadi di Asia Tengah, Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah dan Afrika
Utara. Peningkatan ini terjadi di antara orang-orang dari populasi kunci dan
pasangan seksual mereka. Di Asia dan Pasifik, Amerika Latin dan Karibia,
orang-orang dari populasi kunci dan pasangan seksual mereka
menyumbang hampir dua pertiga infeksi baru. Di sub-Sahara Afrika,
populasi kunci menyumbang lebih dari 20% infeksi baru, dan prevalensi HIV
di antara populasi ini seringkali sangat tinggi. Penyebaran HIV bisa terjadi
karena berbagai faktor seperti kurangnya akses terhadap pendidikan dan
layanan kesehatan seksual dan reproduksi, kemiskinan, kerawanan
pangan dan kekerasan (UNAIDS, 2016).
Berbagai negara telah mengupayakan cara agar orang-orang yang
telah terjangkit HIV dapat hidup selayaknya orang biasa dan juga menekan
jumlah infeksi HIV baru. Berdasarkan data yang diperoleh dari UNAIDS,
penurunan terbesar pada infeksi HIV orang dewasa baru terjadi di timur dan
selatan Afrika. Pada tahun 2015 ada sekitar 40.000 infeksi HIV baru pada
orang dewasa di wilayah ini jika dibandingkan dengan tahun 2010
mengalami penurunan sekitar 4%. Penurunan bertahap lebih banyak
dicapai di Asia dan wilayah Pasifik dan Afrika bagian barat dan tengah.
Tingkat infeksi HIV orang dewasa baru adalah relatif statis di Amerika Latin
dan Karibia, Eropa barat dan tengah, Amerika Utara dan Timur Tengah dan
Afrika Utara, sedangkan jumlah tahunan Infeksi HIV baru di Eropa Timur
dan Asia Tengah meningkat sebesar 57% (UNAIDS, 2016).

1
HIV merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan diobati
dengan antiretroviral therapy (ART). HIV dapat menyebabkan komplikasi
lebih lanjut dan berujung pada kematian. Defisiensi imun yang terjadi tidak
mampu melindungi organ-organ dalam tubuh seperti paru-paru, otak, dan
lain-lain apabila organ tersebut diserang oleh bakteri, virus, maupun
patogen lainnya . HIV dapat berkembang menjadi AIDS yang
merupakan tahap paling lanjut dari infeksi HIV. Hal ini didefinisikan oleh
terjadinya lebih dari 20 infeksi oportunistik atau kanker terkait HIV (WHO.,
2006).
HIV dapat bermanifestasi pada sistem saraf manusia, HIV ini dapat
menyebabkan berbagai komplikasi neurokognitif seperti disfungsi kognitif,
perilaku dan motor. Bergantung pada tingkat kerusakannya, ada tiga
kategori, yaitu perkembangan ketidakmampuan dari gangguan
neurokognitif asimtomatik ke HIV terkait gangguan neurokognitif ringan dan
demensia terkait HIV. HIV-ensefalitis adalah kelainan neurologis otak yang
paling sering terjadi pada infeksi HIV-1 dan merupakan penyebab utama
dari disfungsi kognitif, perilaku dan motor (Benea, Petrescu, & Moroti-
Constantinescu, 2012).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami merasa perlu mengkaji
lebih lanjut terkait “Manifestasi Intracranial HIV” itu sendiri dan bagaimana
penanganan yang baik agar infeksi baru HIV dapat ditekan dan orang yang
telah terkena HIV tidak terjadi komplikasi lebih lanjut terutama pada sistem
sarafnya.

2
BAB II
HIV

2.1 Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) menginfeksi sel-sel sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi
oleh virus ini, mengakibatkan kemunduran progresif sistem kekebalan
tubuh, yang menyebabkan "defisiensi imun." Sistem kekebalan tubuh
dianggap kurang bila tidak bisa lagi memenuhi perannya dalam memerangi
infeksi dan penyakit. Infeksi yang terkait dengan imunodefisiensi berat
dikenal sebagai "infeksi oportunistik", karena mereka memanfaatkan sistem
kekebalan yang lemah (WHO., 2016)

2.2 Manifestasi
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan spektrum yang berkisar dari
sindroma akut yang berkaitan dengan infeksi primer lalu keadaan
asimtomatik berkepanjangan sampai penyakit lanjut. Replikasi virus aktif
dan ganguan imunologik progresif berlangsung sepanjang perjalanan
infeksi HIV, dan dengan demikian penyakit HIV sebenarnya terus
berkembang bahkan selama stadium latensi klinis. Penyakit HIV secara
empiris dapat dibagi berdasarkan derajat imunosupresi menjadi stadium
dini (jumlah sel T CD4+ lebih besar daripada 500 per mikroliter), stadium
pertengahan (jumlah sel T CD4+ antara 200 sampai 500 per mikroliter), dan
stadium lanjut (jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 per mikroliter). Sebagian
besar infeksi oportunis untuk mendefinisikan AIDS dan keganasan sejati
terjadi pada stadium lanjut, sedangkan penyakit neurologik dan sarkoma
Kaposi tidak terlalu berkaitan dengan tingkat imunosupresi. (Isselbacher, et
al., 2000)

3
2.3 Stadium
Stadium klinis pada orang dewasa dan remaja yang terinfeksi dengan HIV
menurut WHO 2006 :
Stadium Klinis 1
- Tanpa gejala (asimtomatis)
- Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
- Kehilangan berat badani yang sedang tanpa alasanii (<10% berat
badan diperkirakan atau diukur)
- Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis,
ototis media dan faringitis)
- Herpes zoster
- Kheilitis angularis
- Ulkus di mulut yang berulang
- Erupsi papular pruritis
- Dermatitis seboroik
- Infeksi jamur di kuku
Stadium Klinis 3
- Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat
badan diperkirakan atau diukur)
- Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara
atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
- Kandidiasis mulut berkepanjangan
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis,
- infeksi tulang atau sendi, meningitis atau bakteremia)
- Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
- Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia
kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan

4
Stadium Klinis 4
- Sindrom wasting HIV
- Pneumonia Pneumocystis
- Pneumonia bakteri parah yang berulang
- Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus
lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun)
- Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau
paru)
- Tuberkulosis di luar paru
- Sarkoma Kaposi (KS)
- Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)
- Toksoplasmosis sistem saraf pusat
- Ensefalopati HIV
- Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis
- Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
- Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
- Kriptosporidiosis kronis
- Isosporiasis kronis
- Mikosis diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)
- Septisemia yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)
- Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)
- Karsinoma leher rahim invasif
- Leishmaniasis diseminata atipikal
- Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait
HIV

BAB III

5
MANIFESTASI INTRACRANIAL HIV

3.1 Neurophatogenesis
Infeksi HIV dapat menimbulkan berbagai kelainan neurologik akibat
infeksi oportunis dan neoplasma serta efek langsung HIV atau produknya.
HIV terbukti ditemukan dalam otak pasien HIV yang mengenai kelainan
neuropsikiatrik. Selain itu, virus dapat diisolasi dari cairan serebrospinalis
pada sejumlah besar individu yang terinfeksi yang tidak memperlihatkan
gejala neuropsikiatrik. Sel predominan dalam otak yang terinfeksi oleh HIV
adalah turunan monosit atau makrofag misalnya sel makroglia. Dilaporkan
bahwa virus yang diperoleh dari otak lebih bersifat tropik monosit daripada
tropik sel T bila dikultur in vitro. Tidak terdapat bukti meyakinkan bahwa
neuron dapat terinfesi oleh HIV in vivo. Namun, galaktosil seramid telah
dibuktikan merupakan komponen penting reseptor saraf untuk gp120 HIV
dan antibodi terhadap galaktosil seramid dapat menghambat masuknya
HIV ke dalam kultur sel neuron in vitro (Isselbacher, et al., 2000).

6
http://tube.medchrome.com/2010/11/pathogenesis-of-aids-and-
replication-of.html
Gambar 3.1. HIV secara langsung menghancurkan sel sistem saraf (Kaul,
2001).
Individu yang terinfeksi HIV dapat mengalami baik lesi pada
substansia alba maupun kerusakan neuron. Efek HIV pada jaringan otak
diduga merupakan kombinasi pengaruh toksik langsung atau inhibisi
fungsional gp120 pada sel neuron serta efek toksik berbagai sitokin yang
dilepaskan oleh makrofag, sel mikroglia residen, dan astrosit.
Neurotoksisitas pada neuron tertentu akibat gp120 dapat dihambat in vitro
oleh antagonis N-metil-D-aspartat (NMDA), yang merupakan suatu jenis
reseptor glutamat. Faktor-faktor yang bersifat toksik atau menghambat
terhadap neuron adalah TNF-α, IL-1, IL-6, TGF-β, dan endotelin. Pada

7
individu yang telah terinfeksi HIV, telah dibuktikan adanya gliosis reaktif
serta TNF-α dan IL-6 telah diketahui dapat menginduksi proses proliferasi
astrosit. Peningkatan kadar TNF-α dapat ditemukan pada cairan
serebrospinalis pasien HIV. Selain itu, IL-6 yang berasal dari astrosit dapat
menginduksi ekspresi HIV pada sel yang terinfeksi in vitro. Kemungkinan
HIV atau produknya terlibat langsung atau tidak langsung pada
neuropatogenesis didukung oleh pengamatan bahwa kelainan
neuropsikiatrik dapat mengalami perbaikan dengan cepat dan mencolok
setelah pemberian terapi zidovudin, terutama pada pasien anak HIV
(Isselbacher, et al., 2000).

3.2 Gangguan Intracranial


3.2.1 HIV Primer dari Otak
1. Enchepalitis
HIV-ensefalitis (HIVE) adalah gangguan neurologis otak yang
paling sering terjadi pada infeksi HIV-1 dan merupakan penyebab
utama HIV yang disertai dengan gangguan neurokognitif (HAND)
(Valcour, 2011). HIV memasuki sistem saraf pusat saat terjadi infeksi
(Xia, 2011), yang diangkut oleh limfosit T CD4 dan monosit, yang
melintasi sawar darah otak (BBB). Monosit yang terinfeksi menjadi
makrofag perivaskular dalam jaringan saraf. Kemudian, HIV
menginfeksi makrofag lokal (mikroglia). Makrofag perivaskular dan
mikroglia menyatu, membentuk sel raksasa multinukleat (MGCs).
MGCs menggandakan virus (berfungsi sebagai wabah HIV) dan
mengekspresikan molekul neurotoksik: virus (gp-120 dan protein tat)
dan seluler (Diesing, 2002). Neurotoksin ini memiliki paling sedikit dua
sifat, yaitu:
- Mereka mengaktifkan astrosit, yang pada gilirannya melepaskan
sitokin dan meningkatkan permeabilitas BBB, mempromosikan
migrasi sel yang terinfeksi HIV lebih banyak dari darah ke otak.

8
- Mereka merusak neuron, dengan proses demyelinasi dan
kehilangan fungsi neuronal.

Gambar 3.2. neuropatogenesis pada HIVE

Oleh karena itu, gambaran histopatologi lokal pada HIVE


menunjukkan perubahan inflamasi dan kerusakan neuronal:
akumulasi makrofag perivaskular (lihat gambar3.2), gliosis reaktif
dengan nodul mikroglial serta pembentukan MGCs dan nekrosis
neuron lokal dengan demyelinasi dan neuroatrofi (Osborn, dkk, 2004).

9
Gambar 3.3. HIV menembus blood-brain-barrier (Dave, 2005)

Secara makro, dalam HIVE, terdapat substansia alba yang pucat


secara menyeluruh, pengurangan ketebalan substansi saraf, terutama
pada struktur substansia grisseria bagian dalam dan substansia alba frontal
subkortikal. Sebagian besar terkena adalah ganglia basalis (terutama inti
kaudatus), korpus callosum dan hippocampus, yang berkorelasi baik
dengan sindrom kognitif klinis dan perilaku, namun dalam tingkat yang lebih
rendah dengan manifestasi motorik (Valcour, 2011).
HIV terbukti merusak neuron secara langsung, melalui neurotoksin
virus dan secara tidak langsung, melalui jalur imunologis. Yang terakhir
terdiri dari perubahan lokal (sudah disebutkan neurotoksin seluler dan
kerusakan BBB) dan perubahan sistemik, yang berarti terjadi aktivasi
sistem imun kronis. Aktivasi sistem imun kronis dapat dilakukan oleh

10
peradangan infeksius atau noninfeksius yang persisten. Akibatnya adalah
terjadi penstabilan vaskular secara menyeluruh yang dimediasi oleh
kekebalan tubuh (disfungsi endotel dengan aterosklerosis) yang memiliki
banyak konsekuensi dalam gangguan metabolisme, termasuk degenerasi
saraf (penyakit aterosklerotik subklinis pada pembuluh darah otak)
(Munteanu, dkk, 2011).

3.2.2 Infeksi Oportunistik Intracranial


1. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat merupakan
penyebab paling umum dari adanya lesi intracerebral pada pasien
terinfeksi HIV. Kejadiannya telah menurun diantara pasien yang
diobati dengan terapi antiretroviral yang efektif. Laporan
sebelumnya menggambarkan frekuensi 3-40% yang
mencerminkan variasi regional yang cukup besar dalam
pemaparan terhadap parasit tersebut. Sebagian besar kasus di
Amerika Serikat mungkin merupakan hasil reaktivasi infeksi laten.
Ensefalitis toksoplasma dengan tidak adanya antibodi
imunoglobulin G terhadap toksoplasma telah didokumentasikan.
Toksoplasmosis menyebabkan multifocal cerebritis dengan gejala
awal dan tanda seperti kebingungan, sakit kepala, perubahan
kepribadian, kejang umum atau fokal, hemiparesis, kehilangan
hemihipestesia, atau defisit neurologis fokal lainnya. Ct scan otak
biasanya menunjukkan multiple ring lessions dengan predileksi
korteks dan struktur gray-matter. Cerebellum dan batang otak
kurang umum terlibat. Penampilan radiologis bisa sangat
bervariasi, bisa berbentuk lesi tunggal difus. Faktanya, lesi serebral
umum lainnya dapat secara radiologis tidak dapat dibedakan dari
toxoplasmosis. MRI lebih sensitif dari pada CT. MRI seringkali
membantu perlokalisasi lesi yang paling mudah diakses untuk
biopsi. Diagnosis banding lesi fokal serebral pada pasien AIDS
mencakup limfoma, massa lain dari penyebab infeksi seperti

11
serebritis kriptokokkus dan tuberkulosis, dan pada beberapa kasus
bisa terjadi stroke. Pemeriksaan CSF pada toksoplasmosis bersifat
non diagnostik. Itu bisa normal, atau bisa menunjukkan pleocytosis
mononuclear dan protein tinggi. Antibodi CSF terhadap
Toxoplasma tidak sensitif terhadap Toxoplasma ensefalitis (Snider,
et al., 1983).

Gambar 3.3. Ring Lesion (Snider, et al., 1983).

2. Kriptokokosis
Kriptokokosis adalah infeksi jamur oportunistik dengan
Cryptococcus neoformans, yang muncul pada infeksi HIV stadium
4 dengan limfosit CD4 di bawah 100/mm3. Manifestasi yang paling
sering adalah meningoencephalitis kriptokokus, disertai batuk
kering, nyeri dada, dan lesi kulit (penampilan seperti moluscum).
Pasien mengeluh terutama karena sakit kepala dan kebingungan
dalam beberapa hari, kemudian gangguan gaya berjalan dan saraf
kranial karena tekanan CSF yang tinggi. Pada CT-scan dan MRI
didapatkan gambaran hiperdense beberapa area kecil di ganglia
basalis, lesi kistik nonstratif simetris - pseudokista "agaromal" di
dalam ruang periventrikular, ruang Virchow Robin yang melebar,
dilatasi ventrikel ringan dengan peningkatan meningeal nodular;
vaskulitis dan infark. Cryptococcomas sangat jarang terjadi dan
muncul sebagai cincin padat padat atau solid yang meningkatkan

12
massa secara istimewa pada pleksus koroid.Untuk menetapkan
diagnosis dapat melakukan pungsi lumbal dan kultur darah. Pada
pungsi lumbal ditemukan jamur dengan pewarnaan India ink dan
pada kultur darah relatif positif.

3. Leukoensefalopati
Disebabkan oleh virus JC (virus polyoma) yang
mempengaruhi sekitar 4-8% pasien dengan penyakit HIV lanjut.
Dengan terapi antiretroviral yang efektif, prognosis bisa
meningkat. Leukoensefalopati adalah penyakit progresif subakut
atau kronis yang paling sering ditandai dengan temuan neurologis
fokal, seperti hemiparesis, kelainan gaya berjalan dan gangguan
visualisai, serta perubahan status mental dan kepribadian. Kejang
juga bisa terjadi. CT scan atau MRI biasanya menunjukkan lesi
fokal atau diffuse pada white matter, terutama di daerah parieto-
occipital. Batang otak atau cerebellum hanya bisa terlibat dalam
15% kasus. Secara patologis, infeksi terbatas pada oligodendrosit
dan berakibat adanya demyelinasi dengan sedikit atau tanpa ada
pembengkakan. Evaluasi rutin CSF bersifat nondiagnostik dan
biasanya normal atau hanya menunjukkan perubahan nonspesifik,
seperti pleocytosis ringan atau peningkatan protein. Deteksi PCR
CSF dari JC DNA virus telah menjadi alat yang berguna untuk
diagnosis PML, dan tersedia di beberapa laboraturium komersial.
(Guire, Barhite, Hollander, & Miles, 1995).

13
Gambar 3.4. Lesi Fokal pada White Matter (Guire, Barhite, Hollander, &
Miles, 1995).

4. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada pasien AIDS di Amerika Serikat. Studi
epidemiologis menunjukkan bahwa sampai tahun 1992 hampir
setengah dari pasien terinfeksi HIV terinfeksi CMV dengan
manifestasi chorioretinitis, esophagitis, kolitis, pneumonia, dan
penyakit sistem saraf pusat. Ensefalitis bersamaan dengan CMV
dari jaringan otak atau cairan serebrospinal telah dilaporkan.
Manifestasi klinis ensefalitis CMV pada pasien AIDS meliputi
perubahan kepribadian, sulit berkonsentrasi, sakit kepala, dan
mengantuk sering hadir. Pada MRI didapatkan gambaran
encephalitis dan ventriculitis. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal dan biopsi otak.
Untuk penatalaksanaan Pasien CMV ensefalitis diberi gansiklovir
dan foscarnet (Hawley, Schaefer, Schulz, & Muller, 1983).

Gambar 3.5. Peningkatan karakteristik di ependyma disekitar


ventricle lateral (Hawley, Schaefer, Schulz, & Muller, 1983).

5. Neurosifilis

14
Penurunan imunitas seluler dan imunitas humoral oleh HIV
dapat melemahkan pertahanan host terhadap Treponema
pallidum, sehingga meningkatkan jumlah dan penyebaran lesi.
Bakteremia menimbulkan lesi vaskular dan radang selaput otak
yang mengakibatkan penetrasi Treponema pallidum ke dalam
sistem saraf pusat dan berkontribusi pada pengembangan
neurosifilis (Sellati, et al., 2000). Neurosifilis diklasifikasikan
menjadi fase awal (asimptomatis, meningitis simptomatis, sifilis
meningovascular) dan fase akhir (tabes dorsalis). Gambaran klinis
untuk meningitis simtomatik terdiri dari sakit kepala, mual, muntah
dan leher kaku, gangguan penglihatan. Untuk sifilis
meningovaskular mirip dengan stroke iskemik onset akut atau
kronis pada orang muda. Tabes dorsalis ditandai dengan ataksia
dan serangan nyeri berat (Benea, Petrescu, & Moroti-
Constantinescu, 2012). Evaluasi pasien HIV dengan tes antibodi
treponema serum yang positif memenuhi kriteria diagnostik untuk
sifilis laten dan diindikasikan pungsi lumbal untuk mendiagnosis
neurosifilis. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di
Amerika menyarankan pungsi lumbal pada sifilis primer atau
sekunder bila disertai tanda atau gejala yang menunjukkan
keterlibatan mata (misalnya uveitis) atau keterlibatan neurologis
(misalnya sakit kepala, status mental yang berubah, tanda
meningeal) (Centers for Disease Control and Prevention , 2002).
Pemeriksaan VDRL cairan serebrosipinal yang positif menegakkan
diagnosis neurosifilis laten. Penatalaksanaan pasien diberikan
injeksi intravena penisilin 4 juta unit tiap 4 jam selama 10 hari
kemudian dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui hasil
pengobatan (Lukehart, et al., 1988).

15
Gambar 3.6. Gambaran Neurosifilis pada MRI (Lukehart, et al., 1988).

3.2.3 Neoplasma
1. Limfoma SSP Primer
Limfoma Sistem Saraf Pusat Primer (PCNSL) adalah
penyebab massa serebral yang umum terjadi pada pasien dengan
penyakit HIV stadium lanjut. Tanda dan gejala yang paling umum
adalah kebingungan, penurunan kesadaran (lethargy), perubahan
kepribadian, biasanya dengan defisit fokal, seperti hemiparesis,
hemihipestesia, ataxia, dan afasia. Pada CT-scan atau MRI, lesi
bisa tunggal atau ganda dan di sekitar lesi didapatkan edema.
Diagnosis pasti memerlukan biopsi otak atau pemeriksaan sitologi
cairan serebrospinal yang positif. Beberapa penelitian
menunjukkan prognosis PCNSL pada pasien HIV membaik ketika
diterapi antiretroviral yang efektif, pemberian deksametason untuk
mengendalikan gejala dan dan radioterapi otak selama 3 minggu
(McGuire, 2003).

Gambar 3.7. Limfoma SSP Primer (McGuire, 2003).

16
2. Sarkoma Kaposi
Kaposi sarcoma (KS) adalah neoplasma sistemik yang paling
umum terjadi pada penyakit HIV, namun jarang menyebar ke
sistem saraf pusat. Di antara neoplasma sistemik, limfoma non-
Hodgkin adalah penyebab paling penting dari disfungsi neurologis
pada penyakit HIV dan menyerang sistem saraf pusat dengan
metastase di meningen. Tanda dan gejala gangguan intracranial
biasanya didapatkan palsi saraf kranial. Pemeriksaan sitologi
cairan serebrospinal sangat penting untuk diagnosis (McGuire,
2003).

3.3 Tanda dan Gejala


1. Nyeri kepala
Nyeri kepala adalah masalah klinis yang umum dan berat pada
pasien dengan penyakit HIV. Meskipun banyak pasien memiliki nyeri kepala
yang ringan, nyeri kepala juga bisa ditimbulkan berbagai gangguan SSP.
Meningitis, ensefalitis, vaskulitis serebral, dan lesi massa dapat timbul
dengan nyeri kepala. Nyeri kepala baru atau perubahan signifikan dalam
pola nyeri kepala memerlukan evaluasi termasuk foto oleh CT atau MRI
diikuti oleh pungsi lumbal, kecuali kontraindikasi oleh adanya lesi massa.
tidak perlu menunggu CT atau MRI kecuali pasien telah mengalami
perubahan status mental, papilledema, atau pemeriksaan neurologis fokal.
Kemungkinan penyebab terkait HIV meningkat dengan defisiensi imun yang
lebih parah (CD4 baru atau terakhir CD4 <200 sel/µL) (McGuire, 2003).

2. Kejang
Kejang dapat menyertai ADC (AIDS Demensia kompleks) atau dapat
merupakan manifestasi dari komplikasi intrakranial oportunistik atau
neoplastik dari penyakit HIV lanjut (Holtzman, et al., 1989). Penyebab paling
umum, dalam urutan frekuensi, adalah lesi massa serebral, ensefalitis
(termasuk demensia terkait HIV ), dan meningitis. Pada sekitar 20% pasien,
tidak ada etiologi definitif untuk kejang yang dapat ditemukan meskipun

17
dilakukan pemeriksaan neurologis, radiologis, dan laboratorium secara
menyeluruh.
Pengobatan dengan obat antikonvulsan seperti fenobarbital,
fenitoin, karbamazepin, atau asam valproik, memberikan kontrol simtomatik
yang sangat baik, walaupun Kejang karena lesi massa bisa menjadi sulit
untuk diatasi dengan terapi antikonvulsan. Pasien dengan penyakit HIV
lanjut tampaknya memiliki peningkatan risiko reaksi merugikan pada
antikonvulsan, terutama fenitoin (McGuire, 2003).

3. Perubahan status mental


Encefalopati akut dibedakan dari demensia oleh perkembangan
gejala yang cepat dan seringnya berasosiasi dengan penekanan tingkat
kewaspadaan. Infeksi oportunistik dan neoplasma dapat hadir dengan
penurunan kognitif progresif dan perubahan kepribadian yang serupa
dengan ADC, namun defisit fokal biasanya lebih menonjol dan jalur
klinisnya lebih cepat daripada di ADC.
Penurunan status mental pada pasien terinfeksi HIV memerlukan
pemeriksaan fisik penuh, evaluasi elektrolit dan fungsi ginjal dan hati,
serologi sifilis, pengukuran tingkat vitamin B12, pemeriksaan toksikologi,
dan evaluasi neurologis, termasuk gambaran diagnostik otak dan, kecuali
jika ada kontraindikasi, .
Tes neuropsikiatrik harus dipertimbangkan di mana depresi
(pseudodementia) berada dalam diagnosis banding. Jika perubahan mental
bersifat episodik dan sensorium membaik dalam waktu 24 jam tanpa
perawatan spesifik, kecurigaan terhadap toksisitas obat atau ensefalopati,
keadaan sadar harus dibangun (McGuire, 2003).

4. Pelemahan Neurokognitif
Kelainan neurokognitif pada orang dengan HIV dikarakteristikkan
oleh trias dari kognitif, psikologis, dan disfungsi motorik. Gejala mungkin
termasuk kombinasi dari distraksi, konsentrasi atau perhatian yang buruk,
masalah memori jangka pendek dan jangka panjang, penurunan

18
kemampuan pemecahan masalah atau kemampuan kalkulasi, penurunan
kemampuan membuat rencana ke depan, kesulitan belajar hal baru,
masalah dengan pemahaman bicara dan bahasa, persepsi visual yang
abnormal, kelambatan psikomotor, keseimbangan buruk, kikuk, dan
perubahan dalam mood (apatis, depresi) penolakan social dan perubahan
tingkah laku.
Manifestasi neurologis spesifik bergantung pada bagian otak mana
yang terkena. Penurunan bisa berkisar dari sangat ringan sehingga tidak
jelas tanpa pengujian khusus, sampai parah sehingga tidak bisa hidup
secara mandiri
Demensia terkait HIV (HAD) didiagnosis ketika ada bukti adanya
penurunan tajam pada fungsi setidaknya dua domain kognitif yang terpisah,
beserta bukti fungsional Kerusakan yang mempengaruhi aktivitas
kehidupan sehari-hari dan perawatan diri. Menurut definisi, harus ada bukti
penurunan signifikan dari kemampuan premorbid (Benea, Petrescu, &
Moroti-Constantinescu, 2012).
Pasien dengan demensia terkait HIV (HAD) sering menunjukkan
gangguan kemampuan motorik bahkan saat fungsi kognitif lainnya relatif
utuh (sacktor, et al., 1996). Mereka bisa hadir: perlambatan psikomotor,
koordinasi buruk, tremor, gangguan kemampuan motorik halus ( tulisan
tangan, menggunakan kancing dll). Kehadiran masalah motorik bersama
dengan masalah kognitif lainnya merupakan salah satu faktor kunci yang
menderita AIDS-demensia dari penyakit Alzheimer dan penyakit terkait
demensia (cohen, et al., 2001).

3.4 Diagnosa
3.4.1 Biomarker HIV yang berhubungan dengan penyakit CNS
Analisis CSF sangat penting dalam mengesampingkan etiologi
alternatif. Pengujian berguna untuk diferensial Diagnosis meliputi: opening
pressure, kultur (terutama jamur dan mikobakteri), jumlah sel, protein,
antigen kriptokokus, VDRL untuk tes reaksi berantai neurosifilis dan

19
polimerase untuk toksoplasma, sitomegalovirus, virus Epstein Barr, virus
John Cunningham, dan virus herpes.
Profil CSF pasien dengan HAND seringkali tidak dapat dibedakan
dari orang yang terinfeksi HIV individu tanpa gangguan kognitif. Kelainan
nonspesifik mungkin termasuk protein total tinggi ringan dan pleocytosis
mononuklear ringan. Hampir semua pasien dengan HAD memiliki kadar
protein tinggi. Leukositosis CSF lebih besar dari 50 sel/μL tidak mungkin
disebabkan oleh HIV saja, terutama bila CD4 di bawah 200 sel/μL.
Pleocytosis polimorfonuklear tidak mungkin terjadi dengan HAD dan
meningkatkan kemungkinan meningitis bakteri atau ventriculitis
sitomegalovirus (De Gans J., 1989).
β-2-mikroglobulin (rantai cahaya HLA I yang diekspresikan di
permukaan semua sel berinti kecuali neuron) menghasilkan peningkatan
konsentrasi di CSF pada kondisi inflamasi dan limfoproliferatif. CSF β-2-
mikroglobulin berkorelasi dengan baik dengan tingkat keparahan HAD dan
tingkat penurunan dengan keberhasilan pengobatan HIV.
Neopterin (produk metabolisme guanosin trifosfat, yang terutama
diproduksi oleh monosit aktif, makrofag, dan mikroglia) menunjukkan
konsentrasi CSF yang tinggi pada pasien dengan infeksi SSP oportunistik
dan juga . Konsentrasi CSF berkorelasi dengan tingkat keparahan dan
penurunan HAD dengan terapi antiretroviral. Dalam satu studi setelah 2
tahun penekanan virologi, hanya 55% yang memiliki tingkat neoperin CSF
normal.
Neurofilamen-Light (elemen struktural utama neuron mielinitas
besar) menunjukkan tingkat CSF secara signifikan namun secara
nonspesifik meningkat pada HAD dan meningkat dengan gangguan ART
(Mellgren A., 2007)
RNA HIV
Tingkat viral load HIV Plasma tidak spesifik atau sensitif terhadap
HAD. Pada pasien yang diobati dengan ART, tingkat viral load plasma tidak
terdeteksi tampaknya terjadi lebih sering di HAD karena alasan yang tidak
jelas. RNA HIV CSF juga tidak spesifik, dengan tingkat yang meningkat

20
pada pasien HAD, asimtomatik dan orang-orang dengan infeksi
oportunistik. Sebelum ART, viral load CSF yang lebih tinggi berkorelasi
dengan nilai neuropsikologis yang lebih rendah pada subjek dengan
penyakit yang lebih lanjut. HAD dapat terjadi tanpa adanya viral load HIV
yang meningkat di CSF. Penjelasan yang mungkin untuk situasi ini adalah:
sisa defisit meskipun ART; adanya kondisi perancu seperti hepatitis C atau
penyalahgunaan zat atau aktivasi kekebalan otonom sebagai respons
terhadap infeksi HIV awal (Sevigny JJ., 2004).

3.4.2 Neuroimaging
HAD adalah diagnostik pengecualian. Computed tomography (CT)
dan magnetic resonance imaging (MRI) studi otak dapat mendukung
diagnosis HIV ensefalopati (HIVE) dan menyingkirkan infeksi oportunistik
atau neoplasma terkait HIV.
CT scan menunjukkan atrofi korteks difus, pembesaran ventrikel,
dan hipotensi pada substansia alba pada tahap selanjutnya. Kalsifikasi
ganglia basalis terlihat pada orang dewasa namun lebih sering terjadi pada
anak-anak. Biasanya pemeriksaan tomografi komputer menawarkan hasil
normal pada ANI dan MND.
MRI: Bila infeksi menjadi gejala klinis, temuan MRI yang paling
umum adalah atrofi umum di daerah kortikal dan subkortikal otak. Lebih
khusus lagi, daerah ini meliputi materi putih frontal dan ganglia basalis,
dengan modifikasi di area ini menjadi lebih menonjol pada tahap HAD yang
paling maju. Caudate nucleus atrophy adalah temuan umum. Temuan
pencitraan umum lainnya, walaupun bukan fitur MRI penentu tentang HIVE,
adalah adanya gambar hiperintar tertimbang T2 dalam materi putih SSP
(kelainan sinyal white matter WMSA) (Valcour VG., 2007)

21
Gambar 3.8 HIVE. MRI (T2-w FLAIR) sisi transversal: sinyal simetris pada
substansia alba subkortikal dan pada area paraventrikular (INBI Matei
Bals collection, courtesy of Dr. M. Mardarescu)

Gambar 3.9 HIVE. MRI (T2-w) sisi transversal : sinyal simetris pada subkortikal
paraventrikular substansia alba, utamanya pada area posterior parietal (INBI
Matei Balscollection, courtesy of Dr. M. Mardarescu)

Gambar 3.10 HIVE. MRI (T2-w FLAIR) sisi koronal : sinyal simetris pada
substansia alba paraventricular, utamanya pada area posterior parietal
(INBI Matei Bals collection, courtesy of Dr. R. Draghicenoiu)

22
Gambar 3.11 HIVE. MRI (T2-w FLAIR) sisi koronal : ventriculomegali
ringan dengan hipersinyal linear paraventricular dan sinyal tinggi pada
substansia alba subkortikal (INBI Matei Bals collection, courtesy of Dr. R.
Draghicenoiu)

Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) adalah teknik


pencitraan fungsional yang memungkinkan pengukuran spesifik
konsentrasi metabolit otak secara noninvasif. Spektrum neurokimia yang
paling sering dilaporkan dalam pemeriksaan pasien HIV + adalah: N-acetyl
aspartate (NAA) - penanda integritas neuron, myo-inositol (mI) sebuah
marker sel glial, Choline (Cho) sebuah spidol sel dan creatine (Cr) penanda
metabolisme energi. Kolin berguna dalam memeriksa kelainan substansia
alba dan spektrum creatine sering digunakan sebagai puncak referensi
karena sinyal Cr relatif konstan di seluruh subjek (Ernst, et al., 2002)
Difusi Magnetic Resonance Imaging (DTI) adalah teknik MRI yang
relatif baru yang menghasilkan gambar jaringan biologis yang tertimbang
dengan karakteristik mikrostruktur lokal difusi air, yang mampu
menunjukkan hubungan antara daerah otak (Wu Y , Storey P,. 2006)
Single-photon emission computed tomography (SPECT) dapat
mengungkapkan kelainan pada aliran darah serebral di daerah otak frontal,
temporal, dan parietal, tingkat keparahannya ditunjukkan terkait dengan
tingkat keparahan gejala kognitif (Chang L , Ernst., 2000)
Pencitraan PET: Beberapa penelitian menunjukkan
hipermetabolisme glukosa di ganglia basalis, thalamus, lobus temporal dan
parietal di awal penyakit bahkan pada stadium asimtomatik. Pada stadium

23
lanjut penyakit ini diamati hipometabolisme untuk substansi grisea kortikal
dan subkortikal. Penggunaan ligan PET baru [11C] -PK11195 mungkin
memberi jendela ke daerah aktif proses peradangan pada infeksi HIV.
Pemindaian PET juga berguna untuk menyingkirkan limfoma SSP, yang
menunjukkan peningkatan serapan, sedangkan lesi pada HAND tidak. Ada
beberapa modalitas pencitraan MRI lainnya yang telah digunakan untuk
meneliti efek CNS terkait HIV: perfusi MRI, pencitraan transfer magnetis,
dan pencitraan peningkatan kualitas pasca-kontraksi tetapi studi yang
tersedia terbatas (O’Doherty MJ., 1997).

3.4.3 Uji neuropsikologi


Diagnosis HAND menyiratkan pengecualian penyebab kognitif
lainnya oleh pemeriksaan neurologis dan evaluasi gambaran radiologi.
Penilaian neuropsikologis penting untuk mengukur dan menentukan pola
spesifik kelainan kognitif, untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan
defisit (untuk mendeteksi kelainan kognitif ringan dan dini) dan untuk tindak
lanjut jangka panjang. Penilaian perlu cukup komprehensif untuk menilai
kemampuan perhatian, memori kerja, daya ingat tertunda, pembelajaran,
kefasihan verbal, kecepatan pemrosesan informasi, abstraksi / pemecahan
masalah dan fungsi motorik. Penting untuk menggunakan norma
demografik yang dikoreksi bahkan untuk alat skrining ini (Morgan EE, et al.,
2007)
European Clinical Society merekomendasikan skrining untuk
gangguan neurokognitif. Setiap orang yang terinfeksi HIV yang
mengeluhkan gangguan dalam ingatannya (pemahaman, kejelasan atau
kecepatan) harus dievaluasi secara ekstensif, termasuk pemeriksaan
neurologis, penilaian neuropsikologis, pemeriksaan serebrospinal dan
pencitraan otak.
Pasien tanpa gejala seperti itu harus ditargetkan untuk skrining:
• Infeksi HIV yang tidak terkontrol (viral load HIV terdeteksi)
• Penggunaan agen antiretroviral dengan penetrasi CNS terbatas
• CD4 rendah (<200)

24
• depresi terus-menerus
Alat skrining
• International HIV Dementia Scale (IHDS)
Metode Penilaian:
Pengujian Neuropsikologis Komprehensif: Setidaknya 5 kemampuan
kognitif; Setidaknya 2 tes per kemampuan Teknik skrining neuropsikiatrik
yang paling banyak diterima adalah Skala Demensia HIV Internasional
(IHDS), walaupun skala ini tidak cukup sensitif untuk penilaian gangguan
kognitif dini. Skala terdiri dari 4 subset yang menargetkan memori (Recall,
registration), kecepatan psikomotor, kemampuan konstruktivis, dan
konsentrasi. Pasien dengan tes skrining negatif mungkin memerlukan
pengujian neuropsikologis yang lebih mendalam (Valcour V, et al., 2011)

Tabel 3.1 Knippels, et al. AIDS.2002; 16: 259-267


Berapa kali selama Keseluruhan Sebagian Lebih Kadang- Sedikit Tidak
4 minggu waktu besar dari kadang waktu sama
sebelumnya waktu setengah sekali
waktu
Kesulitan berpikir
dan menyelesaikan
masalah, 1 2 3 4 5 6
c/membuat
rencana,
keputusan, dan
belajar hal baru?
Lupa hal yang baru
saja terjadi, c/
menaruh barang, 1 2 3 4 5 6
pertemuan?
Kesulitan menjaga
perhatian pada
suatu kegiatan 1 2 3 4 5 6
dalam waktu lama?
Kesulitan
melakukan aktivitas
melibatkan 1 2 3 4 5 6

25
konsentrasi dan
berpikir?

Skala Demensia HIV Internasional


Memory-Registration : Berikan empat huruf untuk diingat (anjing, topi,
kacang, merah) – 1 detik untuk tiap kata pengucapan. Tanyakan pada
pasien keempat kata setelah mengucapkannya. Ulangi kata jika pasien
tidak mengingatnya segera. Bilang pasien Anda akan menanyakan kata
yang sama nanti.
1. Kecepatan motor
Minta pasien mengetuk dua jari pertama dari tangan nondominan
selebar dan secepat mungkin
4 = 15 dalam 5 detik

3 = 11-14 dalam 5 detik


2 = 7-10 dalam 5 detik
1 = 3-6 dalam 5 detik
0 = 0-2 dalam 5 detik
2. Kecepatan psikomotor
Minta pasien melakukan pergerakan dengan tangan nondominan
secepat mungkin :
 Mengepalkan tangan pada kepalan tangan pada permukaan rata
 Taruh tangan dengan rata dengan telapak di bawah
 Taruh tangan tegak lurus pada permukaan pada sisi jari kelingking
 Demonstrasikan dan minta pasien melakukannya dua kali
4= 4 kali dalam 10 detik
3= 3 kali dalam 10 detik
2= 2 kali dalam 10 detik
1= 1 kali dalam 10 detik
0= tidak bisa melakukan

3. Mengingat memori
Minta pasien untuk mengingat empat huruf sebelumnya. Untuk huruf
yang tidak diingat, berikan petunjuk seperti berikut : hewan (anjing), pakaian

26
(topi), sayur (kacang), warna (merah). Berikan 1 poin untuk tiap kata yang
langsung diingat. Beri 0,5 poin untuk kata yang sebelumnya sekali salah
diingat. Maksimum 4 poin.
Total skor demensia HIV Internasional : Jumlah skor dari 3 poin. Nilai
skor maksimum yang memungkinkan yaitu 12 poin.
Pasien dengan skor ≤ 10 harus dievaluasi lebih jauh dengan
kemungkinan demensia (Sacktor NC, et al., 2005)

Dalam memajukan penyakit, tes yang mengeksplorasi kemampuan


berikut mungkin membantu:
• Kemampuan motorik: Uji Tapping Finger, Grooved Pegboard Test
• Konsentrasi: Continuous Performance Test, Trail Making Test A and B
• Pengolahan: Trail Making Test A and B, Pilihan Waktu Reaksi
• Memori / pembelajaran: Skala Memori Weschler, Uji Belajar Verbal
California
• Abstraksi: Tes Penyortiran Kartu Wisconsin
• Ucapan / bahasa: Uji Penamaan Boston, Uji Kelancaran Verbal
Selain tes neuropsikologis, juga disarankan untuk menilai secara
singkat tingkat keluhan depresi dengan menggunakan skala psikiatri yang
divalidasi. Penilaian harus dilengkapi dengan pemeriksaan aktivitas
kehidupan sehari-hari karena penilaian ini berfungsi untuk memastikan
adanya demensia versus tahap yang lebih ringan dari HAND (Hinkin
CH.,2004)

3.5 Diagnosa Banding


A. Infeksi oportunistik
1. Leucoencephalopathy multifokal progresif (PML)
Adalah lesi otak infiltratif yang paling umum yang diamati pada
pasien AIDS dan disebabkan oleh pengaktifan ulang virus JC yang aktif,
polyomavirus DNA (Cristina Loredana, et al.,2012).

2. Tuberkulosis

27
Tuberkulosis melibatkan SSP dalam beberapa cara termasuk
meningitis, abses serebral, tuberkulosis dan stroke akibat vasospasme dan
trombosis. Selain presentasi khas seperti sindrom meningitis, kasus
dengan ciri atipikal mungkin dilakukan. Karena SSP dan TB Paru dapat
memiliki onset simultan, radiografi dada dapat memberikan bukti
pendukung. Neuroradiologi memainkan peran penting dalam diagnosis dan
penampilannya berbeda bentuknya:
- Tuberkulosis intraparenchymal tampak sebagai beberapa lesi
kurang dari 1 cm itu mendominasi pada antarmuka substansia grisea
dan daerah periventrikular; lesi memiliki sedikit efek massa atau
edema. CT menunjukkan lesi dengan buruk namun menunjukkan
adanya arachnoiditis basilar, edema serebral, infark dan keberadaan
dan jalur hidrosefalus. Tuberkuloma yang disembuhkan dapat
mengapur atau berkembang ke daerah encephalomalacia.
- Abses tuberkulosis berukuran lebih besar dibandingkan dengan
tuberkulosis, yang berperan sebagai massa lokal soliter dengan efek
massa dan edema; peningkatan cincin biasanya tipis dan seragam.
- Meningitis tuberkulosis - meningitis basilar adalah bentuk yang
paling sering dan dipandang sebagai penebalan dan peningkatan
leptomeningeal yang melibatkan daerah suprasellar. Hidrosefalus
adalah temuan umum dan hubungannya dengan meningitis basilar
pada CT dan gambaran klinis yang kompatibel sangat menandakan
meningitis tuberkulosis (Cristina Loredana, et al.,2012).

3. CMV ensefalitis
CMV reaktivasi pada pasien HIV muncul di bawah 50 CD4 T tingkat
(sebagai infeksi oportunistik) dan dapat menyebabkan manifestasi mata
(retinitis, vitritis), neurologis (ensefalitis), paru (pneumonitis), keterlibatan
aparatus pencernaan (ulkus esofagus dan kolitis); hepato-splenomegali,
pembesaran kelenjar getah bening dan demam (Cristina Loredana, et al.,2012).

4. Cryptococcosis

28
Criptococcosis adalah infeksi ragi oportunistik dengan Cryptococcus
neoformans, muncul akhir-akhir ini selama infeksi HIV, di bawah 100/mmc
limfosit CD4. Ini adalah penyakit terdefinisi AIDS. Keterlibatan SSP adalah
manifestasi yang paling sering terjadi (meningoencephalitis, kriptokokus
langka) (Cristina Loredana, et al.,2012).

B. Neurosifilis
Bentuk awal mempengaruhi meningens, CSF dan pembuluh darah
sedangkan bentuk akhir mempengaruhi otak dan sumsum tulang belakang.
Akibatnya, gambaran klinis untuk meningitis simtomatik terdiri dari sakit
kepala, mual, muntah dan leher kaku yang berhubungan dengan gangguan
penglihatan; untuk sifilis meningovaskular, presentasi khasnya mirip
dengan stroke iskemik dengan onset akut atau kronis pada orang muda
(Cristina Loredana, et al.,2012).

C. Neurotoksisitas HAART
Ada banyak komplikasi SSP pada pasien HIV, mulai dari sindrom
kejiwaan sampai kejang dan gangguan kognitif. Dalam beberapa kasus,
komplikasi neuro psikiatrik dapat dikaitkan dengan obat antiretroviral,
terutama yang menembus SSP. Bagi klinisi, penting untuk membedakan
antara gejala yang terkait dengan komplikasi SSP terhadap infeksi HIV dan
efek samping dari ART. ARV yang paling sering dikaitkan dengan
komplikasi neuro psikiatri adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI) dan NNRTI (Cristina Loredana, et al.,2012).

D. Penyebab Neoplastik
Limfoma SSP primer (PCNSL) adalah penyebab paling umum kedua
dari massa intrakranial setelah toksoplasmosis. Ada banyak kemungkinan
gejala yang muncul tergantung pada lokasi dan tingkat tumor. Secara
umum, setengah dari pasien hadir dengan defisit neurologis fokal (kejang,
afasia, hemiparesis dan kelemahan lokal) dan separuh lainnya hadir
dengan gejala non fokal seperti lesu, sakit kepala, kehilangan memori,

29
perubahan status mental dan perubahan kepribadian (Cristina Loredana, et
al.,2012).

E. Ensefalopati reversibel
Keluhan gangguan kognitif dapat dikaitkan dengan koeksistensi
kondisi medis lainnya atau penyalahgunaan zat. Oleh karena itu, kita harus
memeriksa disfungsi tiroid, anemia karena kekurangan vitamin B12, sirosis
hati (ensefalopati portal), gagal ginjal (uremia), infeksi (sepsis), intoksikasi
(alkoholisme, obat-obatan terlarang) (Cristina Loredana, et al.,2012).

F. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)


Kemerosotan klinis dapat terjadi pada pasien HIV sesaat setelah
inisiasi ART dan disebabkan oleh peningkatan tiba-tiba dalam surveilans
kekebalan yang menyebabkan reaksi inflamasi patologis. IRIS dapat
dinyatakan secara klinis sebagai perburukan manifestasi infeksi yang
mendasarinya atau adanya infeksi kretifikasi pada subklinis. Saat ini, tidak
ada pedoman yang diuji untuk pencegahan atau diagnosis IRIS.
Berdasarkan kemunduran klinis yang berkaitan erat dengan inisiasi ART,
diagnosisnya disarankan oleh penurunan viral load RNA yang signifikan
dan peningkatan jumlah CD4. IRIS sebenarnya dapat memperburuk PML
pada awalnya namun perbaikan klinis dimungkinkan pada waktunya. Pada
neuroimaging ada peningkatan kontras atipikal untuk lesi PML non inflamasi
(Cristina Loredana, et al.,2012).

3.6 Tatalaksana
Prinsip terapi HIV adalah mencegah komplikasi dan memperpanjang
kualitas hidup. Terapi utamanya yaitu antiretrovirus (ARV) yang sangat aktif
(HAART). HAART - terdiri dari beberapa obat antiretroviral dari kelas yang
berbeda yang menghentikan replikasi HIV dengan bertindak dalam
beberapa poin penting dalam siklus hidupnya. Selain menekan replikasi

30
virus, HAART mengurangi dan memulihkan fungsi kekebalan tubuh,
meningkatkan jumlah CD4 (Cristina Loredana, et al.,2012)
Pengenalan HAART sejak tahun 1996 telah menyebabkan
perbaikan besar dalam morbiditas medis dan harapan hidup pada pasien
HIV. Prevalensi dari infeksi oportunistik menurun secara nyata dan
mencegah perkembangan AIDS atau setidaknya menunda
perkembanganya. Selain itu peningkatan signifikan dalam hasil neurologis
dengan penurunan yang berarti pada kejadian HAD (HIV Assosiated
Demensia) (Sacktor N., 2001)
Sebelum adanya HAART prevalensi oportunistik diperkirakan sekitar
16% pada kasus AIDS, sedangkan setelah adanya HAART diperkiraan
kurang dari 5%. Namun, HAART saja tidak bisa menghilangkan HAND (HIV
Neurokognitif Disorder), apalagi studi tentang pengobatan pasien HAND
menunjukkan nilai yang tetap dari ringan hingga sedang dari gangguan
neurokognitif, hal ini menunjukkan bahwa etiologi HAND dapat bersifat
multifaktorial. Penjelasan yang mungkin untuk pengamatan ini adalah
penekanan sisa virus di SSP karena penetrasi beberapa obat antiretroviral
yang buruk, adanya strain virus yang resistan terhadap obat dan kepatuhan
terhadap obat yang buruk. Faktor-faktor lain yang terlibat bukan terkait HIV
kemungkinan terdiri dari neurotoksisitas antiretroviral dan penyakit yang
ada bersamaan seperti penyakit serebrovaskular (Heaton RK., 2010)
Rekomendasi terbaru untuk memulai atau mengganti ART
didasarkan pada parameter seperti jumlah CD4 dan jumlah virus dalam
plasma, tidak pada status infeksi di SSP. Meski begitu, pengobatan optimal
untuk HAND belum ditetapkan, beberapa penelitian telah dilakukan
menunjukkan bahwa antiretroviral dengan penetrasi CNS yang baik
mungkin mempengaruhi kognisi secara positif. Penetrasi yang lebih baik di
SSP, diperkirakan dengan skor CPE (CNS penetration effectiveness) ini
terkait dengan jumlah virus dalam CSF yang lebih rendah. Berdasarkan
konsentrasi di CSF, sifat obat dan hasil studi klinis, masing-masing
antiretroviral diberi skor CPE, mulai dari 1 (penetrasi rendah) sampai 2 -3

31
(intermediate) dan 4 (best penetrasi / efektivitas) (Cristina Loredana, et
al.,2012).
- Skor CPE 1:
Tenofovir, Zalcitabine, Nelfinavir, Ritonavir, Saquinavir / Ritonavir,
Saquinavir, Tipranavir / Ritonavir, Enfuvirtide
- Skor CPE 2:
Didanosine, Lamivudine, Stavudine, Etravirine, Atazanavir /
Ritonavir, Atazanavir, Fosamprenavir

- Skor CPE 3 :
Abacavir, Emtricitabine, Delavirdine, Efavirenz, Indinavir, Darunavir
/ Ritonavir, Fosamprenavir / Ritonavir, Lopinavir / Ritonavir,
Maraviroc, Raltegravir
- Skor CPE 4 :
Zidovudine, Nevirapine, Indinavir / Ritonavir
Peringkat CPE kemudian dihitung dengan menambahkan nilai untuk
setiap obat antiretroviral di regimen, menurut skor kelompok CHARTER
direvisi pada tahun 2010. Sebaliknya, ada penelitian yang gagal
mengidentifikasi hubungan antara skor CPE yang tinggi dan hasil kognitif
yang lebih baik. Temuan kontroversial ini memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Untuk saat ini, pada pasien yang tidak melakukan pengobatan dokter
harus mempertimbangkan untuk memulai regimen antiretroviral di mana
setidaknya 2 obat menembus SSP. Juga untuk kategori pasien ini, risiko
antiretroviral resistensi harus dipertimbangkan (jika terjadi kegagalan
virologi sebelumnya). Jika pasien sudah mlakukan pengobatan, mengubah
regimen yang ada dengan obat-obatan yang memiliki penetrasi SSP yang
lebih baik bisa jadi solusinya. Walaupun bisa diganti kapan saja,
pengecekan strain virus HIV pada CSF harus tetap dilakukan sebelum
mengganti terapi (Cristina Loredana, et al.,2012).
Mengenai terapi adjuvant, percobaan berfokus pada kemungkinan
mekanisme patologi neurologis. Satu penelitian menguji minocycline, yang
mungkin memiliki anti-inflamasi, efek antioksidan dan anti apoptosis.

32
Sellegiline merupakan senyawa uji lainnya karena kemampuannya untuk
memblokir kematian sel apoptosis pada infe ksi otak kronis HIV (Sacktor N.,
2000)
Tidak ada pengobatan tunggal yang dapat menyembuhkan
komplikasi neurologi terkait AIDS. Beberapa kelainan membutuhkan terapi
secara giat sementara lainnya diobati sesuai gejala.Nyeri neuropati
umumnya sulit dikendalikan. Jaringan yang meradang dapat menekan
saraf, dan menyebabkan nyeri. Peradangan dan kondisi otoimun yang
mengakibatkan neuropati mungkin dapat diobati dengan kortikosteroid, dan
tindakan misalnya plasmaferesis (atau cuci darah) dapat membebaskan
darah dari unsur berbahaya yang menyebabkan peradangan. Pilihan
pengobatan untuk neuropsikiatri terkait AIDS dan HIV atau kelainan psikotik
termasuk antidepresan dan antikejang. Psikostimulan mungkin juga
memperbaiki gejala depresi dan melawan kelesuan. Obat anti demensia
mungkin menghilangkan kebingungan dan memperlambat penurunan
mental, dan benzodiazepin dapat diresepkan untuk mengobati kecemasan.
Terapi psikologis juga dapat menolong beberapa pasien (National Institute
of Neurological Disorder and Stroke., 2008).
Terapi antiretroviral (HAART) dipakai untuk mengobati demensia
kompleks terkait AIDS, miopati vakuolar, PML, dan ensefalitis CMV. HAART
mengkombinasikan sedikitnya tiga jenis obat untuk mengurangi jumlah
virus yang beredar dalam darah dan mungkin juga menunda permulaan
beberapa infeksi. Beberapa pilihan pengobatan saraf terkait AIDS termasuk
terapi fisik dan rehabilitasi, terapi radiasi dan/atau kemoterapi untuk
membunuh atau memperkecil tumor ganas di otak yang dapat disebabkan
oleh HIV, obat antijamur atau antimalaria untuk melawan infeksi bakteri
tertentu yang terkait dengan kelainan, dan penisilin untuk mengobati
neurosifilis saraf (National Institute of Neurological Disorder and Stroke.,
2008).

3.7 Prognosis

33
Komplikasi ensefalitis pada HIV memiliki tingkat kematian sebesar
50%. Namun Prognosis secara menyeluruh untuk individu dengan AIDS
dalam beberapa tahun terakhir telah meningkat secara signifikan karena
adanya penatalaksanaan dan obat baru. Dokter yang menangani di bidang
AIDS seringkali gagal untuk menyadari komplikasi neurologis dari AIDS.
Mereka yang diperkirakan memiliki komplikasi neurologis harus
didiskusikan lebih lanjut.

BAB IV
KESIMPULAN

Manifestasi HIV pada gangguan intracranial merupakan hal yang


umum terjadi pada HIV stadium klinis 4. Intracranial HIV meliputi infeksi
primer HIV, infeksi oportunistik, dan neoplasma. HIV-ensefalitis (HIVE)
adalah gangguan neurologis otak yang paling sering terjadi pada infeksi
HIV-1 dan merupakan penyebab utama HIV yang disertai dengan
gangguan neurokognitif (HAND). Infeksi oportunistik pada Intracranial HIV
meliputi Toksoplasmosis, Kriptokokosis, Leukoensefalopati,
Sitomegalovirus, dan Neurosifilis. Sedangkan neoplasma pada Intracranial
HIV yaitu limfoma sistem saraf pusat primer, sarcoma Kaposi dan limfoma
non-Hodgkin. Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien,
dibutuhkan diagnosis sejak dini meliputi tanda dan gejala yang dialami
pasien dan pemeriksaan penunjang seperti MRI atau CT-scan, kultur dan
PCR pada cairan serebrospinal atau darah. Pasien dengan HIV encefalitis
juga dapat menyebabkan keterbatasan kemandirian pasien dalam
menjalankan aktifitas sehari-hari, dikarenakan penurunan kemampuan
neurokognitif dan gejala seperti depresi, lesu, kebingungan dan penurunan
status mental memerlukan penanganan psikologis untuk menolong pasien.
Prinsip tatalaksana Intracranial HIV mencegah komplikasi dan
memperpanjang kualitas hidup. Terapi utamanya yaitu Antiretroviral dan
terapi adjuvant sebagai anti-inflamasi dan neuroprotektif. Anti retroviral
memiliki kemampuan menembus SSP mulai dari yang lemah hingga kuat

34
dan dinilai menggunakan skor efektifitas penetrasi cerebral (CPE).
Pengobatan pertama dengan minimal menggunakan 2 regimen yang dapat
menembus SSP dengan skor CPE yang baik, sedangkan yang sudah
pernah menggunakan anti retroviral harus dipertimbangkan resistensi obat
anti retroviral. Terapi adjuvant digunakan sebagai pendamping terapi utama
dan berfungsi sebagai anti inflamasi, neuroprotektif dan anti apoptosis.
Terapi simtomatis juga perlu dilakukan seperti penggunaan antikejang, anti
nyeri, plasmaferesis (atau cuci darah) dapat membebaskan darah dari
unsur berbahaya yang menyebabkan peradangan, anti demensia mungkin
menghilangkan kebingungan dan memperlambat penurunan mental, dan
benzodiazepin dapat diresepkan untuk mengobati kecemasan. Terapi fisik
dan rehabilitas juga sangat penting dilakukan untuk memperbaiki kualitas
hidup pada pasien.

35
DAFTAR PUSTAKAKA

Benea, C. L., Petrescu, A.-M., & Moroti-Constantinescu, R. (2012). HIV-


Encephalopathy-Now and Then.
Centers for Disease Control and Prevention . (2002). Sexually Transmited
Diseases Treatment Guidines.
Chang L , Ernst T , Leonido-Yee M , Speck O . Perfusion MRI detects rCBF
abnormalities in early stages of HIV-cognitive motor complex
.Neurology 2000; 54 (2) : 389 – 396 .
Cohen, R.A., Boland, R., Paul, R., et al. (2001). Neurocognitive
performance enhanced by highly active antiretroviral therapy in HIV-
infected women. 341-345.
Cristina Loredana, et al. HIV Encephalopathy – Now and Then National
Institute of Infectious Diseases “Prof Dr. Matei Bals”,Romania
Dave R, Pomerantz RJ. (2005). HIV neuropathogenesis:persistent
infection, persistent questions. Science & Medicine.
De Gans J, Tiessens G, Portegies P, Troost D; Predominance of
polymorphonuclear leukocytes in cerebrospinal fluid of AIDS patients
with cytomegalovirus related polyradiculo(myelo)pathy. International
Conference on AIDS. Int Conf AIDS.1989 Jun 4-9; 5: 244 (abstract
no. M.B.P.134
Diesing TS, Swindells S, Gelbard H, Gendelman HE. HIV-1-associated
dementia: a basic science and clinical perspective. AIDS Read.
2002; 12(8):358-68

36
Dismukes. (1998 ). Cryptococcal meningitis in patients with AIDS. J Infect
Dis. 624-8.
Erlich, K. S. (2011, November). Varicella-Zoster-Virus and HIV. Retrieved
from HIV In Site Knowledge Base Chapter.
Ernst T, Chang L, Jovicich J et al: Abnormal brain activation on functional
MRI in cognitively asymptomatic HIV patients. Neurology
2002;59(9):1343-1349
Guire, M., Barhite, Hollander, & Miles. (1995). JC virus DNA in
cerebrospinal fluid of human immunodeficiency virus-infected
patients; predictive value for progressive multifocal
leukoencephalopathy. 395-9.
Hawley, Schaefer, Schulz, & Muller. (1983). Cytomegalovirus Encephalitis
in acquired immunodeficiency syndrome.
Heaton RK,Clifford DB,Franklin DR,et al. HIV-associated neurocognitive
disorders persist in the era of potent antiretroviral therapy:
CHARTER Study. Neurology 2010;75:2087-2096
Hinkin CH , Hardy DJ , Mason KI , et al . Medication adherence in HIV-
infected adults: effect of patient age, cognitive status and substance
. AIDS 2004 ; 18 : S19 – S25
Holtzman, D.M., Kaku, D.A., So Y.T., (1989). New-onset seizures
associated with human immunodeficiency virus infection: causation
and clinical features in 100 cases. 87(2):173-7.
Isselbacher, Braunwald, wilson, Martin, Fauci, Kasper. (2000). Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harisson Ed 13 Vol.4. Jakarta. EGC
Kaul, Garden & Lipton (2001). Pathways to neuronal injury and apoptosis in
HIVassociated dementia. Nature 410, 988-994.
Levy, Bredesen, & Rosenblum. (1985). Neurological manifestations of the
acquired immunodeficiency syndrom (AIDS) : experience at UCSF
and review of the literature. J Neurosurg. 475-95.
Lukehart, Hook, zander, B., Collier, Critchlow, & Handsfield. (1988).
Invasion of the central nervous system by Treponema pallidum :
implications for diagnosis and treatment.

37
Mardjono, M., & Sidharta, P. (2010). Neurologi Klinis Dasar.
McGuire, D. (2003). Neurologic Manifestation Of HIV. Retrieved from HIV
In Site Knowledge Base Chapter.
Mellgren A, Price RW, Hagberg L, Rosengren L, Brew BJ, Gisslen M.
Antiretroviral treatment reduces increased CSF neurofilame nt
protein (NFL) in HIV-1 infection. Neurology 2007;69:1536–1541.
Morgan EE , Woods SP , Scott JC , et al . Predictive validity of
demographically adjusted normative standards for the HIV dementia
scale . J Clin Exp Neuropsychol 2007 ; 20 : 1 – 8
Munteanu D, Arama V, Mihailescu R et al. Inflammatory markers and
metabolic syndrome in HIV-positive adults undergoing highly active
antiretroviral therapy 21th ECCMID& 27th ECC 2011: P 2189
National Institute of Neurological Disorder and Stroke; 2008; Neurological
Complications of AIDS Fact Sheet;
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-
Education/Fact-Sheets/Neurological-Complications-AIDS-Fact-
Sheet
O’Doherty MJ , Barrington SF , Campbell M , Lowe J , Bradbeer CS . PET
scanning and the human immunodeficiency virus-positive patient J
Nucl Med1997; 38 (10) : 1575 – 1583
Osborn AG, Salzman KL, Katzman G et al. Diagnosting Imaging Brain
2004;8: 560-640. 1st ed. Salt Lake City: Amirsys; ISBN: 0-7216-
2905-9
Sacktor N, Lyles RH, Skolasky R, Kleeberger C, Selnes OA, Miller EN,et al.
HIVassociated neurologic disease incidence changes: multicenter
AIDS Cohort Study, 1990-1998. Neurology 2001;56:257-260
Sacktor N, Schifitto G, Mc Dermott MP, Marder K, Mc Arthur JC, Kierbutz
K. Transdermal selegilinein HIV-associated cognitive impairment:
pilot, placebocontrolled study. Neurology.2000;54:233-235
Sacktor NC; Wong M; Nakasujja N; Skolasky RL; Selnes OA; Musisi S;
Robertson K; McArthur JC; Ronald A; Katabira E. AIDS
2005;19(13):1367-74.

38
Sacktor, N., Bacellar H., Hoover D et al. (1996). Psychomotor slowing in
HIV infection: a predictor of dementia, AIDS and death. 2(6): 404-
410.
Sellati, Wilkinson, Sheffield, Koup, Radolf, & Norgard. (2000). Virulent
Treponema Pallidum, lipoprotein, and synthetic lipopeptides induce
ccr5 on human monocytes and enchance their susceptibility to
infection by human immunodeficeincy virus type 1.
Sevigny JJ , Albert SM , McDermott MP , et al . Evaluation of HIV RNA and
markers of immune activation as predictors of HIV-associated
dementia . Neurology 2004 ; 63 (11) : 2084 –2090
Snider, Simpson, Nielsen, Gold, Metroka, & Posner. (1983). Neurological
complications of acquired immune deficiency syndrome: analysis of
50 patients. Ann Neurol. 403-18.
UNAIDS, Review of data from People Living with HIV Stigma Index surveys
conducted in more than 65 countries, 2016.
Valcour V, Paul R, Chiao S, Wendelken LA, Miller B. Screening for cognitive
impairment in human immunodeficiency virus. Clin Infect Dis. Oct
2011;53(8):836-42
Valcour V, Sithinamsuwan P, Letendre S, Ances B: Pathogenesis of HIV in
the Central Nervous System. CurrHIV/AIDS Rep. 2011;8 : 54-61
Valcour VG, Sithinamsuwan P, Nidhinandana S, Thitivichianlert S, Ratto-
Kim S, Apateerapong W, Shiramizu BT, Desouza MS, Chitpatima
ST, Watt G, Chuenchitra T, Robertson KR, Paul RH, McArthur JC,
Kim JH, Shikuma CM: Neuropsychological abnormalities in patients
with dementia in CRF 01_AE HIV-1 infection.Neurology
2007;68(7):525-527
World Health Organization; Overview of HIV/AIDS; November 2016
http://www.who.int/features/qa/71/en/
World Health Organization; WHO CASE DEFINITIONS OF HIV FOR
SURVEILLANCE AND REVISED CLINICAL STAGING AND
IMMUNOLOGICAL CLASSIFICATION OF HIV-RELATED DISEASE
IN ADULTS AND CHILDREN; 2006; www.who.int/hiv

39
Wu Y , Storey P , Cohen BA , Epstein LG , Edelman RR , Ragin AB .
Diffusion alterations in corpus callosum of patients with HIV . AJNR
Am J Neuroradiol 2006 ; 27 (3) : 656 –660
Xia C, Luo D, Yu X, Jiang S, Liu S. HIV-associated dementia in the era of
highly active antiretroviral therapy (HAART). Microbes and Infection
13 (2011) 419-25

40

Anda mungkin juga menyukai

  • Orchitis
    Orchitis
    Dokumen12 halaman
    Orchitis
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Airway MAnagemen
    Airway MAnagemen
    Dokumen10 halaman
    Airway MAnagemen
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Abses Retrofaring
    Abses Retrofaring
    Dokumen23 halaman
    Abses Retrofaring
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Final Project
    Final Project
    Dokumen32 halaman
    Final Project
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Flowchart Final Project
    Flowchart Final Project
    Dokumen3 halaman
    Flowchart Final Project
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Modul 2
    Modul 2
    Dokumen13 halaman
    Modul 2
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Modul 1
    Modul 1
    Dokumen25 halaman
    Modul 1
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • VITAMIN
    VITAMIN
    Dokumen54 halaman
    VITAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • HIPERTENSI
    HIPERTENSI
    Dokumen42 halaman
    HIPERTENSI
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Rjpo BLS
    Rjpo BLS
    Dokumen18 halaman
    Rjpo BLS
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat DF
    Referat DF
    Dokumen20 halaman
    Referat DF
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • 10 Fakta Tentang Tempe
    10 Fakta Tentang Tempe
    Dokumen1 halaman
    10 Fakta Tentang Tempe
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Dokumen40 halaman
    Penggolongan Sindrom Organ Zang
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • HORDOELUM Referat
    HORDOELUM Referat
    Dokumen21 halaman
    HORDOELUM Referat
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • DM Pada Anak
    DM Pada Anak
    Dokumen42 halaman
    DM Pada Anak
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Amoeba GIT
    Amoeba GIT
    Dokumen46 halaman
    Amoeba GIT
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat THT Isi
    Referat THT Isi
    Dokumen24 halaman
    Referat THT Isi
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Status Urologi
    Status Urologi
    Dokumen1 halaman
    Status Urologi
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Agen Hipoglikemik Oral
    Agen Hipoglikemik Oral
    Dokumen26 halaman
    Agen Hipoglikemik Oral
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Abses Peritonsil
    Abses Peritonsil
    Dokumen21 halaman
    Abses Peritonsil
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen28 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Referat CD
    Referat CD
    Dokumen24 halaman
    Referat CD
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Pneumonia
    Pneumonia
    Dokumen22 halaman
    Pneumonia
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen11 halaman
    ANTIHISTAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen11 halaman
    ANTIHISTAMIN
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat
  • Tuberkulosis Paru
    Tuberkulosis Paru
    Dokumen28 halaman
    Tuberkulosis Paru
    Irwan Sanjaya
    Belum ada peringkat