PENDAHULUAN
1
HIV merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan diobati
dengan antiretroviral therapy (ART). HIV dapat menyebabkan komplikasi
lebih lanjut dan berujung pada kematian. Defisiensi imun yang terjadi tidak
mampu melindungi organ-organ dalam tubuh seperti paru-paru, otak, dan
lain-lain apabila organ tersebut diserang oleh bakteri, virus, maupun
patogen lainnya . HIV dapat berkembang menjadi AIDS yang
merupakan tahap paling lanjut dari infeksi HIV. Hal ini didefinisikan oleh
terjadinya lebih dari 20 infeksi oportunistik atau kanker terkait HIV (WHO.,
2006).
HIV dapat bermanifestasi pada sistem saraf manusia, HIV ini dapat
menyebabkan berbagai komplikasi neurokognitif seperti disfungsi kognitif,
perilaku dan motor. Bergantung pada tingkat kerusakannya, ada tiga
kategori, yaitu perkembangan ketidakmampuan dari gangguan
neurokognitif asimtomatik ke HIV terkait gangguan neurokognitif ringan dan
demensia terkait HIV. HIV-ensefalitis adalah kelainan neurologis otak yang
paling sering terjadi pada infeksi HIV-1 dan merupakan penyebab utama
dari disfungsi kognitif, perilaku dan motor (Benea, Petrescu, & Moroti-
Constantinescu, 2012).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami merasa perlu mengkaji
lebih lanjut terkait “Manifestasi Intracranial HIV” itu sendiri dan bagaimana
penanganan yang baik agar infeksi baru HIV dapat ditekan dan orang yang
telah terkena HIV tidak terjadi komplikasi lebih lanjut terutama pada sistem
sarafnya.
2
BAB II
HIV
2.1 Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) menginfeksi sel-sel sistem
kekebalan tubuh, menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi
oleh virus ini, mengakibatkan kemunduran progresif sistem kekebalan
tubuh, yang menyebabkan "defisiensi imun." Sistem kekebalan tubuh
dianggap kurang bila tidak bisa lagi memenuhi perannya dalam memerangi
infeksi dan penyakit. Infeksi yang terkait dengan imunodefisiensi berat
dikenal sebagai "infeksi oportunistik", karena mereka memanfaatkan sistem
kekebalan yang lemah (WHO., 2016)
2.2 Manifestasi
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan spektrum yang berkisar dari
sindroma akut yang berkaitan dengan infeksi primer lalu keadaan
asimtomatik berkepanjangan sampai penyakit lanjut. Replikasi virus aktif
dan ganguan imunologik progresif berlangsung sepanjang perjalanan
infeksi HIV, dan dengan demikian penyakit HIV sebenarnya terus
berkembang bahkan selama stadium latensi klinis. Penyakit HIV secara
empiris dapat dibagi berdasarkan derajat imunosupresi menjadi stadium
dini (jumlah sel T CD4+ lebih besar daripada 500 per mikroliter), stadium
pertengahan (jumlah sel T CD4+ antara 200 sampai 500 per mikroliter), dan
stadium lanjut (jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 per mikroliter). Sebagian
besar infeksi oportunis untuk mendefinisikan AIDS dan keganasan sejati
terjadi pada stadium lanjut, sedangkan penyakit neurologik dan sarkoma
Kaposi tidak terlalu berkaitan dengan tingkat imunosupresi. (Isselbacher, et
al., 2000)
3
2.3 Stadium
Stadium klinis pada orang dewasa dan remaja yang terinfeksi dengan HIV
menurut WHO 2006 :
Stadium Klinis 1
- Tanpa gejala (asimtomatis)
- Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
- Kehilangan berat badani yang sedang tanpa alasanii (<10% berat
badan diperkirakan atau diukur)
- Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis,
ototis media dan faringitis)
- Herpes zoster
- Kheilitis angularis
- Ulkus di mulut yang berulang
- Erupsi papular pruritis
- Dermatitis seboroik
- Infeksi jamur di kuku
Stadium Klinis 3
- Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat
badan diperkirakan atau diukur)
- Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara
atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
- Kandidiasis mulut berkepanjangan
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis,
- infeksi tulang atau sendi, meningitis atau bakteremia)
- Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
- Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia
kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan
4
Stadium Klinis 4
- Sindrom wasting HIV
- Pneumonia Pneumocystis
- Pneumonia bakteri parah yang berulang
- Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus
lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun)
- Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau
paru)
- Tuberkulosis di luar paru
- Sarkoma Kaposi (KS)
- Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)
- Toksoplasmosis sistem saraf pusat
- Ensefalopati HIV
- Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis
- Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
- Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
- Kriptosporidiosis kronis
- Isosporiasis kronis
- Mikosis diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)
- Septisemia yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)
- Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)
- Karsinoma leher rahim invasif
- Leishmaniasis diseminata atipikal
- Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait
HIV
BAB III
5
MANIFESTASI INTRACRANIAL HIV
3.1 Neurophatogenesis
Infeksi HIV dapat menimbulkan berbagai kelainan neurologik akibat
infeksi oportunis dan neoplasma serta efek langsung HIV atau produknya.
HIV terbukti ditemukan dalam otak pasien HIV yang mengenai kelainan
neuropsikiatrik. Selain itu, virus dapat diisolasi dari cairan serebrospinalis
pada sejumlah besar individu yang terinfeksi yang tidak memperlihatkan
gejala neuropsikiatrik. Sel predominan dalam otak yang terinfeksi oleh HIV
adalah turunan monosit atau makrofag misalnya sel makroglia. Dilaporkan
bahwa virus yang diperoleh dari otak lebih bersifat tropik monosit daripada
tropik sel T bila dikultur in vitro. Tidak terdapat bukti meyakinkan bahwa
neuron dapat terinfesi oleh HIV in vivo. Namun, galaktosil seramid telah
dibuktikan merupakan komponen penting reseptor saraf untuk gp120 HIV
dan antibodi terhadap galaktosil seramid dapat menghambat masuknya
HIV ke dalam kultur sel neuron in vitro (Isselbacher, et al., 2000).
6
http://tube.medchrome.com/2010/11/pathogenesis-of-aids-and-
replication-of.html
Gambar 3.1. HIV secara langsung menghancurkan sel sistem saraf (Kaul,
2001).
Individu yang terinfeksi HIV dapat mengalami baik lesi pada
substansia alba maupun kerusakan neuron. Efek HIV pada jaringan otak
diduga merupakan kombinasi pengaruh toksik langsung atau inhibisi
fungsional gp120 pada sel neuron serta efek toksik berbagai sitokin yang
dilepaskan oleh makrofag, sel mikroglia residen, dan astrosit.
Neurotoksisitas pada neuron tertentu akibat gp120 dapat dihambat in vitro
oleh antagonis N-metil-D-aspartat (NMDA), yang merupakan suatu jenis
reseptor glutamat. Faktor-faktor yang bersifat toksik atau menghambat
terhadap neuron adalah TNF-α, IL-1, IL-6, TGF-β, dan endotelin. Pada
7
individu yang telah terinfeksi HIV, telah dibuktikan adanya gliosis reaktif
serta TNF-α dan IL-6 telah diketahui dapat menginduksi proses proliferasi
astrosit. Peningkatan kadar TNF-α dapat ditemukan pada cairan
serebrospinalis pasien HIV. Selain itu, IL-6 yang berasal dari astrosit dapat
menginduksi ekspresi HIV pada sel yang terinfeksi in vitro. Kemungkinan
HIV atau produknya terlibat langsung atau tidak langsung pada
neuropatogenesis didukung oleh pengamatan bahwa kelainan
neuropsikiatrik dapat mengalami perbaikan dengan cepat dan mencolok
setelah pemberian terapi zidovudin, terutama pada pasien anak HIV
(Isselbacher, et al., 2000).
8
- Mereka merusak neuron, dengan proses demyelinasi dan
kehilangan fungsi neuronal.
9
Gambar 3.3. HIV menembus blood-brain-barrier (Dave, 2005)
10
peradangan infeksius atau noninfeksius yang persisten. Akibatnya adalah
terjadi penstabilan vaskular secara menyeluruh yang dimediasi oleh
kekebalan tubuh (disfungsi endotel dengan aterosklerosis) yang memiliki
banyak konsekuensi dalam gangguan metabolisme, termasuk degenerasi
saraf (penyakit aterosklerotik subklinis pada pembuluh darah otak)
(Munteanu, dkk, 2011).
11
serebritis kriptokokkus dan tuberkulosis, dan pada beberapa kasus
bisa terjadi stroke. Pemeriksaan CSF pada toksoplasmosis bersifat
non diagnostik. Itu bisa normal, atau bisa menunjukkan pleocytosis
mononuclear dan protein tinggi. Antibodi CSF terhadap
Toxoplasma tidak sensitif terhadap Toxoplasma ensefalitis (Snider,
et al., 1983).
2. Kriptokokosis
Kriptokokosis adalah infeksi jamur oportunistik dengan
Cryptococcus neoformans, yang muncul pada infeksi HIV stadium
4 dengan limfosit CD4 di bawah 100/mm3. Manifestasi yang paling
sering adalah meningoencephalitis kriptokokus, disertai batuk
kering, nyeri dada, dan lesi kulit (penampilan seperti moluscum).
Pasien mengeluh terutama karena sakit kepala dan kebingungan
dalam beberapa hari, kemudian gangguan gaya berjalan dan saraf
kranial karena tekanan CSF yang tinggi. Pada CT-scan dan MRI
didapatkan gambaran hiperdense beberapa area kecil di ganglia
basalis, lesi kistik nonstratif simetris - pseudokista "agaromal" di
dalam ruang periventrikular, ruang Virchow Robin yang melebar,
dilatasi ventrikel ringan dengan peningkatan meningeal nodular;
vaskulitis dan infark. Cryptococcomas sangat jarang terjadi dan
muncul sebagai cincin padat padat atau solid yang meningkatkan
12
massa secara istimewa pada pleksus koroid.Untuk menetapkan
diagnosis dapat melakukan pungsi lumbal dan kultur darah. Pada
pungsi lumbal ditemukan jamur dengan pewarnaan India ink dan
pada kultur darah relatif positif.
3. Leukoensefalopati
Disebabkan oleh virus JC (virus polyoma) yang
mempengaruhi sekitar 4-8% pasien dengan penyakit HIV lanjut.
Dengan terapi antiretroviral yang efektif, prognosis bisa
meningkat. Leukoensefalopati adalah penyakit progresif subakut
atau kronis yang paling sering ditandai dengan temuan neurologis
fokal, seperti hemiparesis, kelainan gaya berjalan dan gangguan
visualisai, serta perubahan status mental dan kepribadian. Kejang
juga bisa terjadi. CT scan atau MRI biasanya menunjukkan lesi
fokal atau diffuse pada white matter, terutama di daerah parieto-
occipital. Batang otak atau cerebellum hanya bisa terlibat dalam
15% kasus. Secara patologis, infeksi terbatas pada oligodendrosit
dan berakibat adanya demyelinasi dengan sedikit atau tanpa ada
pembengkakan. Evaluasi rutin CSF bersifat nondiagnostik dan
biasanya normal atau hanya menunjukkan perubahan nonspesifik,
seperti pleocytosis ringan atau peningkatan protein. Deteksi PCR
CSF dari JC DNA virus telah menjadi alat yang berguna untuk
diagnosis PML, dan tersedia di beberapa laboraturium komersial.
(Guire, Barhite, Hollander, & Miles, 1995).
13
Gambar 3.4. Lesi Fokal pada White Matter (Guire, Barhite, Hollander, &
Miles, 1995).
4. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada pasien AIDS di Amerika Serikat. Studi
epidemiologis menunjukkan bahwa sampai tahun 1992 hampir
setengah dari pasien terinfeksi HIV terinfeksi CMV dengan
manifestasi chorioretinitis, esophagitis, kolitis, pneumonia, dan
penyakit sistem saraf pusat. Ensefalitis bersamaan dengan CMV
dari jaringan otak atau cairan serebrospinal telah dilaporkan.
Manifestasi klinis ensefalitis CMV pada pasien AIDS meliputi
perubahan kepribadian, sulit berkonsentrasi, sakit kepala, dan
mengantuk sering hadir. Pada MRI didapatkan gambaran
encephalitis dan ventriculitis. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal dan biopsi otak.
Untuk penatalaksanaan Pasien CMV ensefalitis diberi gansiklovir
dan foscarnet (Hawley, Schaefer, Schulz, & Muller, 1983).
5. Neurosifilis
14
Penurunan imunitas seluler dan imunitas humoral oleh HIV
dapat melemahkan pertahanan host terhadap Treponema
pallidum, sehingga meningkatkan jumlah dan penyebaran lesi.
Bakteremia menimbulkan lesi vaskular dan radang selaput otak
yang mengakibatkan penetrasi Treponema pallidum ke dalam
sistem saraf pusat dan berkontribusi pada pengembangan
neurosifilis (Sellati, et al., 2000). Neurosifilis diklasifikasikan
menjadi fase awal (asimptomatis, meningitis simptomatis, sifilis
meningovascular) dan fase akhir (tabes dorsalis). Gambaran klinis
untuk meningitis simtomatik terdiri dari sakit kepala, mual, muntah
dan leher kaku, gangguan penglihatan. Untuk sifilis
meningovaskular mirip dengan stroke iskemik onset akut atau
kronis pada orang muda. Tabes dorsalis ditandai dengan ataksia
dan serangan nyeri berat (Benea, Petrescu, & Moroti-
Constantinescu, 2012). Evaluasi pasien HIV dengan tes antibodi
treponema serum yang positif memenuhi kriteria diagnostik untuk
sifilis laten dan diindikasikan pungsi lumbal untuk mendiagnosis
neurosifilis. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di
Amerika menyarankan pungsi lumbal pada sifilis primer atau
sekunder bila disertai tanda atau gejala yang menunjukkan
keterlibatan mata (misalnya uveitis) atau keterlibatan neurologis
(misalnya sakit kepala, status mental yang berubah, tanda
meningeal) (Centers for Disease Control and Prevention , 2002).
Pemeriksaan VDRL cairan serebrosipinal yang positif menegakkan
diagnosis neurosifilis laten. Penatalaksanaan pasien diberikan
injeksi intravena penisilin 4 juta unit tiap 4 jam selama 10 hari
kemudian dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui hasil
pengobatan (Lukehart, et al., 1988).
15
Gambar 3.6. Gambaran Neurosifilis pada MRI (Lukehart, et al., 1988).
3.2.3 Neoplasma
1. Limfoma SSP Primer
Limfoma Sistem Saraf Pusat Primer (PCNSL) adalah
penyebab massa serebral yang umum terjadi pada pasien dengan
penyakit HIV stadium lanjut. Tanda dan gejala yang paling umum
adalah kebingungan, penurunan kesadaran (lethargy), perubahan
kepribadian, biasanya dengan defisit fokal, seperti hemiparesis,
hemihipestesia, ataxia, dan afasia. Pada CT-scan atau MRI, lesi
bisa tunggal atau ganda dan di sekitar lesi didapatkan edema.
Diagnosis pasti memerlukan biopsi otak atau pemeriksaan sitologi
cairan serebrospinal yang positif. Beberapa penelitian
menunjukkan prognosis PCNSL pada pasien HIV membaik ketika
diterapi antiretroviral yang efektif, pemberian deksametason untuk
mengendalikan gejala dan dan radioterapi otak selama 3 minggu
(McGuire, 2003).
16
2. Sarkoma Kaposi
Kaposi sarcoma (KS) adalah neoplasma sistemik yang paling
umum terjadi pada penyakit HIV, namun jarang menyebar ke
sistem saraf pusat. Di antara neoplasma sistemik, limfoma non-
Hodgkin adalah penyebab paling penting dari disfungsi neurologis
pada penyakit HIV dan menyerang sistem saraf pusat dengan
metastase di meningen. Tanda dan gejala gangguan intracranial
biasanya didapatkan palsi saraf kranial. Pemeriksaan sitologi
cairan serebrospinal sangat penting untuk diagnosis (McGuire,
2003).
2. Kejang
Kejang dapat menyertai ADC (AIDS Demensia kompleks) atau dapat
merupakan manifestasi dari komplikasi intrakranial oportunistik atau
neoplastik dari penyakit HIV lanjut (Holtzman, et al., 1989). Penyebab paling
umum, dalam urutan frekuensi, adalah lesi massa serebral, ensefalitis
(termasuk demensia terkait HIV ), dan meningitis. Pada sekitar 20% pasien,
tidak ada etiologi definitif untuk kejang yang dapat ditemukan meskipun
17
dilakukan pemeriksaan neurologis, radiologis, dan laboratorium secara
menyeluruh.
Pengobatan dengan obat antikonvulsan seperti fenobarbital,
fenitoin, karbamazepin, atau asam valproik, memberikan kontrol simtomatik
yang sangat baik, walaupun Kejang karena lesi massa bisa menjadi sulit
untuk diatasi dengan terapi antikonvulsan. Pasien dengan penyakit HIV
lanjut tampaknya memiliki peningkatan risiko reaksi merugikan pada
antikonvulsan, terutama fenitoin (McGuire, 2003).
4. Pelemahan Neurokognitif
Kelainan neurokognitif pada orang dengan HIV dikarakteristikkan
oleh trias dari kognitif, psikologis, dan disfungsi motorik. Gejala mungkin
termasuk kombinasi dari distraksi, konsentrasi atau perhatian yang buruk,
masalah memori jangka pendek dan jangka panjang, penurunan
18
kemampuan pemecahan masalah atau kemampuan kalkulasi, penurunan
kemampuan membuat rencana ke depan, kesulitan belajar hal baru,
masalah dengan pemahaman bicara dan bahasa, persepsi visual yang
abnormal, kelambatan psikomotor, keseimbangan buruk, kikuk, dan
perubahan dalam mood (apatis, depresi) penolakan social dan perubahan
tingkah laku.
Manifestasi neurologis spesifik bergantung pada bagian otak mana
yang terkena. Penurunan bisa berkisar dari sangat ringan sehingga tidak
jelas tanpa pengujian khusus, sampai parah sehingga tidak bisa hidup
secara mandiri
Demensia terkait HIV (HAD) didiagnosis ketika ada bukti adanya
penurunan tajam pada fungsi setidaknya dua domain kognitif yang terpisah,
beserta bukti fungsional Kerusakan yang mempengaruhi aktivitas
kehidupan sehari-hari dan perawatan diri. Menurut definisi, harus ada bukti
penurunan signifikan dari kemampuan premorbid (Benea, Petrescu, &
Moroti-Constantinescu, 2012).
Pasien dengan demensia terkait HIV (HAD) sering menunjukkan
gangguan kemampuan motorik bahkan saat fungsi kognitif lainnya relatif
utuh (sacktor, et al., 1996). Mereka bisa hadir: perlambatan psikomotor,
koordinasi buruk, tremor, gangguan kemampuan motorik halus ( tulisan
tangan, menggunakan kancing dll). Kehadiran masalah motorik bersama
dengan masalah kognitif lainnya merupakan salah satu faktor kunci yang
menderita AIDS-demensia dari penyakit Alzheimer dan penyakit terkait
demensia (cohen, et al., 2001).
3.4 Diagnosa
3.4.1 Biomarker HIV yang berhubungan dengan penyakit CNS
Analisis CSF sangat penting dalam mengesampingkan etiologi
alternatif. Pengujian berguna untuk diferensial Diagnosis meliputi: opening
pressure, kultur (terutama jamur dan mikobakteri), jumlah sel, protein,
antigen kriptokokus, VDRL untuk tes reaksi berantai neurosifilis dan
19
polimerase untuk toksoplasma, sitomegalovirus, virus Epstein Barr, virus
John Cunningham, dan virus herpes.
Profil CSF pasien dengan HAND seringkali tidak dapat dibedakan
dari orang yang terinfeksi HIV individu tanpa gangguan kognitif. Kelainan
nonspesifik mungkin termasuk protein total tinggi ringan dan pleocytosis
mononuklear ringan. Hampir semua pasien dengan HAD memiliki kadar
protein tinggi. Leukositosis CSF lebih besar dari 50 sel/μL tidak mungkin
disebabkan oleh HIV saja, terutama bila CD4 di bawah 200 sel/μL.
Pleocytosis polimorfonuklear tidak mungkin terjadi dengan HAD dan
meningkatkan kemungkinan meningitis bakteri atau ventriculitis
sitomegalovirus (De Gans J., 1989).
β-2-mikroglobulin (rantai cahaya HLA I yang diekspresikan di
permukaan semua sel berinti kecuali neuron) menghasilkan peningkatan
konsentrasi di CSF pada kondisi inflamasi dan limfoproliferatif. CSF β-2-
mikroglobulin berkorelasi dengan baik dengan tingkat keparahan HAD dan
tingkat penurunan dengan keberhasilan pengobatan HIV.
Neopterin (produk metabolisme guanosin trifosfat, yang terutama
diproduksi oleh monosit aktif, makrofag, dan mikroglia) menunjukkan
konsentrasi CSF yang tinggi pada pasien dengan infeksi SSP oportunistik
dan juga . Konsentrasi CSF berkorelasi dengan tingkat keparahan dan
penurunan HAD dengan terapi antiretroviral. Dalam satu studi setelah 2
tahun penekanan virologi, hanya 55% yang memiliki tingkat neoperin CSF
normal.
Neurofilamen-Light (elemen struktural utama neuron mielinitas
besar) menunjukkan tingkat CSF secara signifikan namun secara
nonspesifik meningkat pada HAD dan meningkat dengan gangguan ART
(Mellgren A., 2007)
RNA HIV
Tingkat viral load HIV Plasma tidak spesifik atau sensitif terhadap
HAD. Pada pasien yang diobati dengan ART, tingkat viral load plasma tidak
terdeteksi tampaknya terjadi lebih sering di HAD karena alasan yang tidak
jelas. RNA HIV CSF juga tidak spesifik, dengan tingkat yang meningkat
20
pada pasien HAD, asimtomatik dan orang-orang dengan infeksi
oportunistik. Sebelum ART, viral load CSF yang lebih tinggi berkorelasi
dengan nilai neuropsikologis yang lebih rendah pada subjek dengan
penyakit yang lebih lanjut. HAD dapat terjadi tanpa adanya viral load HIV
yang meningkat di CSF. Penjelasan yang mungkin untuk situasi ini adalah:
sisa defisit meskipun ART; adanya kondisi perancu seperti hepatitis C atau
penyalahgunaan zat atau aktivasi kekebalan otonom sebagai respons
terhadap infeksi HIV awal (Sevigny JJ., 2004).
3.4.2 Neuroimaging
HAD adalah diagnostik pengecualian. Computed tomography (CT)
dan magnetic resonance imaging (MRI) studi otak dapat mendukung
diagnosis HIV ensefalopati (HIVE) dan menyingkirkan infeksi oportunistik
atau neoplasma terkait HIV.
CT scan menunjukkan atrofi korteks difus, pembesaran ventrikel,
dan hipotensi pada substansia alba pada tahap selanjutnya. Kalsifikasi
ganglia basalis terlihat pada orang dewasa namun lebih sering terjadi pada
anak-anak. Biasanya pemeriksaan tomografi komputer menawarkan hasil
normal pada ANI dan MND.
MRI: Bila infeksi menjadi gejala klinis, temuan MRI yang paling
umum adalah atrofi umum di daerah kortikal dan subkortikal otak. Lebih
khusus lagi, daerah ini meliputi materi putih frontal dan ganglia basalis,
dengan modifikasi di area ini menjadi lebih menonjol pada tahap HAD yang
paling maju. Caudate nucleus atrophy adalah temuan umum. Temuan
pencitraan umum lainnya, walaupun bukan fitur MRI penentu tentang HIVE,
adalah adanya gambar hiperintar tertimbang T2 dalam materi putih SSP
(kelainan sinyal white matter WMSA) (Valcour VG., 2007)
21
Gambar 3.8 HIVE. MRI (T2-w FLAIR) sisi transversal: sinyal simetris pada
substansia alba subkortikal dan pada area paraventrikular (INBI Matei
Bals collection, courtesy of Dr. M. Mardarescu)
Gambar 3.9 HIVE. MRI (T2-w) sisi transversal : sinyal simetris pada subkortikal
paraventrikular substansia alba, utamanya pada area posterior parietal (INBI
Matei Balscollection, courtesy of Dr. M. Mardarescu)
Gambar 3.10 HIVE. MRI (T2-w FLAIR) sisi koronal : sinyal simetris pada
substansia alba paraventricular, utamanya pada area posterior parietal
(INBI Matei Bals collection, courtesy of Dr. R. Draghicenoiu)
22
Gambar 3.11 HIVE. MRI (T2-w FLAIR) sisi koronal : ventriculomegali
ringan dengan hipersinyal linear paraventricular dan sinyal tinggi pada
substansia alba subkortikal (INBI Matei Bals collection, courtesy of Dr. R.
Draghicenoiu)
23
lanjut penyakit ini diamati hipometabolisme untuk substansi grisea kortikal
dan subkortikal. Penggunaan ligan PET baru [11C] -PK11195 mungkin
memberi jendela ke daerah aktif proses peradangan pada infeksi HIV.
Pemindaian PET juga berguna untuk menyingkirkan limfoma SSP, yang
menunjukkan peningkatan serapan, sedangkan lesi pada HAND tidak. Ada
beberapa modalitas pencitraan MRI lainnya yang telah digunakan untuk
meneliti efek CNS terkait HIV: perfusi MRI, pencitraan transfer magnetis,
dan pencitraan peningkatan kualitas pasca-kontraksi tetapi studi yang
tersedia terbatas (O’Doherty MJ., 1997).
24
• depresi terus-menerus
Alat skrining
• International HIV Dementia Scale (IHDS)
Metode Penilaian:
Pengujian Neuropsikologis Komprehensif: Setidaknya 5 kemampuan
kognitif; Setidaknya 2 tes per kemampuan Teknik skrining neuropsikiatrik
yang paling banyak diterima adalah Skala Demensia HIV Internasional
(IHDS), walaupun skala ini tidak cukup sensitif untuk penilaian gangguan
kognitif dini. Skala terdiri dari 4 subset yang menargetkan memori (Recall,
registration), kecepatan psikomotor, kemampuan konstruktivis, dan
konsentrasi. Pasien dengan tes skrining negatif mungkin memerlukan
pengujian neuropsikologis yang lebih mendalam (Valcour V, et al., 2011)
25
konsentrasi dan
berpikir?
3. Mengingat memori
Minta pasien untuk mengingat empat huruf sebelumnya. Untuk huruf
yang tidak diingat, berikan petunjuk seperti berikut : hewan (anjing), pakaian
26
(topi), sayur (kacang), warna (merah). Berikan 1 poin untuk tiap kata yang
langsung diingat. Beri 0,5 poin untuk kata yang sebelumnya sekali salah
diingat. Maksimum 4 poin.
Total skor demensia HIV Internasional : Jumlah skor dari 3 poin. Nilai
skor maksimum yang memungkinkan yaitu 12 poin.
Pasien dengan skor ≤ 10 harus dievaluasi lebih jauh dengan
kemungkinan demensia (Sacktor NC, et al., 2005)
2. Tuberkulosis
27
Tuberkulosis melibatkan SSP dalam beberapa cara termasuk
meningitis, abses serebral, tuberkulosis dan stroke akibat vasospasme dan
trombosis. Selain presentasi khas seperti sindrom meningitis, kasus
dengan ciri atipikal mungkin dilakukan. Karena SSP dan TB Paru dapat
memiliki onset simultan, radiografi dada dapat memberikan bukti
pendukung. Neuroradiologi memainkan peran penting dalam diagnosis dan
penampilannya berbeda bentuknya:
- Tuberkulosis intraparenchymal tampak sebagai beberapa lesi
kurang dari 1 cm itu mendominasi pada antarmuka substansia grisea
dan daerah periventrikular; lesi memiliki sedikit efek massa atau
edema. CT menunjukkan lesi dengan buruk namun menunjukkan
adanya arachnoiditis basilar, edema serebral, infark dan keberadaan
dan jalur hidrosefalus. Tuberkuloma yang disembuhkan dapat
mengapur atau berkembang ke daerah encephalomalacia.
- Abses tuberkulosis berukuran lebih besar dibandingkan dengan
tuberkulosis, yang berperan sebagai massa lokal soliter dengan efek
massa dan edema; peningkatan cincin biasanya tipis dan seragam.
- Meningitis tuberkulosis - meningitis basilar adalah bentuk yang
paling sering dan dipandang sebagai penebalan dan peningkatan
leptomeningeal yang melibatkan daerah suprasellar. Hidrosefalus
adalah temuan umum dan hubungannya dengan meningitis basilar
pada CT dan gambaran klinis yang kompatibel sangat menandakan
meningitis tuberkulosis (Cristina Loredana, et al.,2012).
3. CMV ensefalitis
CMV reaktivasi pada pasien HIV muncul di bawah 50 CD4 T tingkat
(sebagai infeksi oportunistik) dan dapat menyebabkan manifestasi mata
(retinitis, vitritis), neurologis (ensefalitis), paru (pneumonitis), keterlibatan
aparatus pencernaan (ulkus esofagus dan kolitis); hepato-splenomegali,
pembesaran kelenjar getah bening dan demam (Cristina Loredana, et al.,2012).
4. Cryptococcosis
28
Criptococcosis adalah infeksi ragi oportunistik dengan Cryptococcus
neoformans, muncul akhir-akhir ini selama infeksi HIV, di bawah 100/mmc
limfosit CD4. Ini adalah penyakit terdefinisi AIDS. Keterlibatan SSP adalah
manifestasi yang paling sering terjadi (meningoencephalitis, kriptokokus
langka) (Cristina Loredana, et al.,2012).
B. Neurosifilis
Bentuk awal mempengaruhi meningens, CSF dan pembuluh darah
sedangkan bentuk akhir mempengaruhi otak dan sumsum tulang belakang.
Akibatnya, gambaran klinis untuk meningitis simtomatik terdiri dari sakit
kepala, mual, muntah dan leher kaku yang berhubungan dengan gangguan
penglihatan; untuk sifilis meningovaskular, presentasi khasnya mirip
dengan stroke iskemik dengan onset akut atau kronis pada orang muda
(Cristina Loredana, et al.,2012).
C. Neurotoksisitas HAART
Ada banyak komplikasi SSP pada pasien HIV, mulai dari sindrom
kejiwaan sampai kejang dan gangguan kognitif. Dalam beberapa kasus,
komplikasi neuro psikiatrik dapat dikaitkan dengan obat antiretroviral,
terutama yang menembus SSP. Bagi klinisi, penting untuk membedakan
antara gejala yang terkait dengan komplikasi SSP terhadap infeksi HIV dan
efek samping dari ART. ARV yang paling sering dikaitkan dengan
komplikasi neuro psikiatri adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI) dan NNRTI (Cristina Loredana, et al.,2012).
D. Penyebab Neoplastik
Limfoma SSP primer (PCNSL) adalah penyebab paling umum kedua
dari massa intrakranial setelah toksoplasmosis. Ada banyak kemungkinan
gejala yang muncul tergantung pada lokasi dan tingkat tumor. Secara
umum, setengah dari pasien hadir dengan defisit neurologis fokal (kejang,
afasia, hemiparesis dan kelemahan lokal) dan separuh lainnya hadir
dengan gejala non fokal seperti lesu, sakit kepala, kehilangan memori,
29
perubahan status mental dan perubahan kepribadian (Cristina Loredana, et
al.,2012).
E. Ensefalopati reversibel
Keluhan gangguan kognitif dapat dikaitkan dengan koeksistensi
kondisi medis lainnya atau penyalahgunaan zat. Oleh karena itu, kita harus
memeriksa disfungsi tiroid, anemia karena kekurangan vitamin B12, sirosis
hati (ensefalopati portal), gagal ginjal (uremia), infeksi (sepsis), intoksikasi
(alkoholisme, obat-obatan terlarang) (Cristina Loredana, et al.,2012).
3.6 Tatalaksana
Prinsip terapi HIV adalah mencegah komplikasi dan memperpanjang
kualitas hidup. Terapi utamanya yaitu antiretrovirus (ARV) yang sangat aktif
(HAART). HAART - terdiri dari beberapa obat antiretroviral dari kelas yang
berbeda yang menghentikan replikasi HIV dengan bertindak dalam
beberapa poin penting dalam siklus hidupnya. Selain menekan replikasi
30
virus, HAART mengurangi dan memulihkan fungsi kekebalan tubuh,
meningkatkan jumlah CD4 (Cristina Loredana, et al.,2012)
Pengenalan HAART sejak tahun 1996 telah menyebabkan
perbaikan besar dalam morbiditas medis dan harapan hidup pada pasien
HIV. Prevalensi dari infeksi oportunistik menurun secara nyata dan
mencegah perkembangan AIDS atau setidaknya menunda
perkembanganya. Selain itu peningkatan signifikan dalam hasil neurologis
dengan penurunan yang berarti pada kejadian HAD (HIV Assosiated
Demensia) (Sacktor N., 2001)
Sebelum adanya HAART prevalensi oportunistik diperkirakan sekitar
16% pada kasus AIDS, sedangkan setelah adanya HAART diperkiraan
kurang dari 5%. Namun, HAART saja tidak bisa menghilangkan HAND (HIV
Neurokognitif Disorder), apalagi studi tentang pengobatan pasien HAND
menunjukkan nilai yang tetap dari ringan hingga sedang dari gangguan
neurokognitif, hal ini menunjukkan bahwa etiologi HAND dapat bersifat
multifaktorial. Penjelasan yang mungkin untuk pengamatan ini adalah
penekanan sisa virus di SSP karena penetrasi beberapa obat antiretroviral
yang buruk, adanya strain virus yang resistan terhadap obat dan kepatuhan
terhadap obat yang buruk. Faktor-faktor lain yang terlibat bukan terkait HIV
kemungkinan terdiri dari neurotoksisitas antiretroviral dan penyakit yang
ada bersamaan seperti penyakit serebrovaskular (Heaton RK., 2010)
Rekomendasi terbaru untuk memulai atau mengganti ART
didasarkan pada parameter seperti jumlah CD4 dan jumlah virus dalam
plasma, tidak pada status infeksi di SSP. Meski begitu, pengobatan optimal
untuk HAND belum ditetapkan, beberapa penelitian telah dilakukan
menunjukkan bahwa antiretroviral dengan penetrasi CNS yang baik
mungkin mempengaruhi kognisi secara positif. Penetrasi yang lebih baik di
SSP, diperkirakan dengan skor CPE (CNS penetration effectiveness) ini
terkait dengan jumlah virus dalam CSF yang lebih rendah. Berdasarkan
konsentrasi di CSF, sifat obat dan hasil studi klinis, masing-masing
antiretroviral diberi skor CPE, mulai dari 1 (penetrasi rendah) sampai 2 -3
31
(intermediate) dan 4 (best penetrasi / efektivitas) (Cristina Loredana, et
al.,2012).
- Skor CPE 1:
Tenofovir, Zalcitabine, Nelfinavir, Ritonavir, Saquinavir / Ritonavir,
Saquinavir, Tipranavir / Ritonavir, Enfuvirtide
- Skor CPE 2:
Didanosine, Lamivudine, Stavudine, Etravirine, Atazanavir /
Ritonavir, Atazanavir, Fosamprenavir
- Skor CPE 3 :
Abacavir, Emtricitabine, Delavirdine, Efavirenz, Indinavir, Darunavir
/ Ritonavir, Fosamprenavir / Ritonavir, Lopinavir / Ritonavir,
Maraviroc, Raltegravir
- Skor CPE 4 :
Zidovudine, Nevirapine, Indinavir / Ritonavir
Peringkat CPE kemudian dihitung dengan menambahkan nilai untuk
setiap obat antiretroviral di regimen, menurut skor kelompok CHARTER
direvisi pada tahun 2010. Sebaliknya, ada penelitian yang gagal
mengidentifikasi hubungan antara skor CPE yang tinggi dan hasil kognitif
yang lebih baik. Temuan kontroversial ini memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Untuk saat ini, pada pasien yang tidak melakukan pengobatan dokter
harus mempertimbangkan untuk memulai regimen antiretroviral di mana
setidaknya 2 obat menembus SSP. Juga untuk kategori pasien ini, risiko
antiretroviral resistensi harus dipertimbangkan (jika terjadi kegagalan
virologi sebelumnya). Jika pasien sudah mlakukan pengobatan, mengubah
regimen yang ada dengan obat-obatan yang memiliki penetrasi SSP yang
lebih baik bisa jadi solusinya. Walaupun bisa diganti kapan saja,
pengecekan strain virus HIV pada CSF harus tetap dilakukan sebelum
mengganti terapi (Cristina Loredana, et al.,2012).
Mengenai terapi adjuvant, percobaan berfokus pada kemungkinan
mekanisme patologi neurologis. Satu penelitian menguji minocycline, yang
mungkin memiliki anti-inflamasi, efek antioksidan dan anti apoptosis.
32
Sellegiline merupakan senyawa uji lainnya karena kemampuannya untuk
memblokir kematian sel apoptosis pada infe ksi otak kronis HIV (Sacktor N.,
2000)
Tidak ada pengobatan tunggal yang dapat menyembuhkan
komplikasi neurologi terkait AIDS. Beberapa kelainan membutuhkan terapi
secara giat sementara lainnya diobati sesuai gejala.Nyeri neuropati
umumnya sulit dikendalikan. Jaringan yang meradang dapat menekan
saraf, dan menyebabkan nyeri. Peradangan dan kondisi otoimun yang
mengakibatkan neuropati mungkin dapat diobati dengan kortikosteroid, dan
tindakan misalnya plasmaferesis (atau cuci darah) dapat membebaskan
darah dari unsur berbahaya yang menyebabkan peradangan. Pilihan
pengobatan untuk neuropsikiatri terkait AIDS dan HIV atau kelainan psikotik
termasuk antidepresan dan antikejang. Psikostimulan mungkin juga
memperbaiki gejala depresi dan melawan kelesuan. Obat anti demensia
mungkin menghilangkan kebingungan dan memperlambat penurunan
mental, dan benzodiazepin dapat diresepkan untuk mengobati kecemasan.
Terapi psikologis juga dapat menolong beberapa pasien (National Institute
of Neurological Disorder and Stroke., 2008).
Terapi antiretroviral (HAART) dipakai untuk mengobati demensia
kompleks terkait AIDS, miopati vakuolar, PML, dan ensefalitis CMV. HAART
mengkombinasikan sedikitnya tiga jenis obat untuk mengurangi jumlah
virus yang beredar dalam darah dan mungkin juga menunda permulaan
beberapa infeksi. Beberapa pilihan pengobatan saraf terkait AIDS termasuk
terapi fisik dan rehabilitasi, terapi radiasi dan/atau kemoterapi untuk
membunuh atau memperkecil tumor ganas di otak yang dapat disebabkan
oleh HIV, obat antijamur atau antimalaria untuk melawan infeksi bakteri
tertentu yang terkait dengan kelainan, dan penisilin untuk mengobati
neurosifilis saraf (National Institute of Neurological Disorder and Stroke.,
2008).
3.7 Prognosis
33
Komplikasi ensefalitis pada HIV memiliki tingkat kematian sebesar
50%. Namun Prognosis secara menyeluruh untuk individu dengan AIDS
dalam beberapa tahun terakhir telah meningkat secara signifikan karena
adanya penatalaksanaan dan obat baru. Dokter yang menangani di bidang
AIDS seringkali gagal untuk menyadari komplikasi neurologis dari AIDS.
Mereka yang diperkirakan memiliki komplikasi neurologis harus
didiskusikan lebih lanjut.
BAB IV
KESIMPULAN
34
dan dinilai menggunakan skor efektifitas penetrasi cerebral (CPE).
Pengobatan pertama dengan minimal menggunakan 2 regimen yang dapat
menembus SSP dengan skor CPE yang baik, sedangkan yang sudah
pernah menggunakan anti retroviral harus dipertimbangkan resistensi obat
anti retroviral. Terapi adjuvant digunakan sebagai pendamping terapi utama
dan berfungsi sebagai anti inflamasi, neuroprotektif dan anti apoptosis.
Terapi simtomatis juga perlu dilakukan seperti penggunaan antikejang, anti
nyeri, plasmaferesis (atau cuci darah) dapat membebaskan darah dari
unsur berbahaya yang menyebabkan peradangan, anti demensia mungkin
menghilangkan kebingungan dan memperlambat penurunan mental, dan
benzodiazepin dapat diresepkan untuk mengobati kecemasan. Terapi fisik
dan rehabilitas juga sangat penting dilakukan untuk memperbaiki kualitas
hidup pada pasien.
35
DAFTAR PUSTAKAKA
36
Dismukes. (1998 ). Cryptococcal meningitis in patients with AIDS. J Infect
Dis. 624-8.
Erlich, K. S. (2011, November). Varicella-Zoster-Virus and HIV. Retrieved
from HIV In Site Knowledge Base Chapter.
Ernst T, Chang L, Jovicich J et al: Abnormal brain activation on functional
MRI in cognitively asymptomatic HIV patients. Neurology
2002;59(9):1343-1349
Guire, M., Barhite, Hollander, & Miles. (1995). JC virus DNA in
cerebrospinal fluid of human immunodeficiency virus-infected
patients; predictive value for progressive multifocal
leukoencephalopathy. 395-9.
Hawley, Schaefer, Schulz, & Muller. (1983). Cytomegalovirus Encephalitis
in acquired immunodeficiency syndrome.
Heaton RK,Clifford DB,Franklin DR,et al. HIV-associated neurocognitive
disorders persist in the era of potent antiretroviral therapy:
CHARTER Study. Neurology 2010;75:2087-2096
Hinkin CH , Hardy DJ , Mason KI , et al . Medication adherence in HIV-
infected adults: effect of patient age, cognitive status and substance
. AIDS 2004 ; 18 : S19 – S25
Holtzman, D.M., Kaku, D.A., So Y.T., (1989). New-onset seizures
associated with human immunodeficiency virus infection: causation
and clinical features in 100 cases. 87(2):173-7.
Isselbacher, Braunwald, wilson, Martin, Fauci, Kasper. (2000). Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harisson Ed 13 Vol.4. Jakarta. EGC
Kaul, Garden & Lipton (2001). Pathways to neuronal injury and apoptosis in
HIVassociated dementia. Nature 410, 988-994.
Levy, Bredesen, & Rosenblum. (1985). Neurological manifestations of the
acquired immunodeficiency syndrom (AIDS) : experience at UCSF
and review of the literature. J Neurosurg. 475-95.
Lukehart, Hook, zander, B., Collier, Critchlow, & Handsfield. (1988).
Invasion of the central nervous system by Treponema pallidum :
implications for diagnosis and treatment.
37
Mardjono, M., & Sidharta, P. (2010). Neurologi Klinis Dasar.
McGuire, D. (2003). Neurologic Manifestation Of HIV. Retrieved from HIV
In Site Knowledge Base Chapter.
Mellgren A, Price RW, Hagberg L, Rosengren L, Brew BJ, Gisslen M.
Antiretroviral treatment reduces increased CSF neurofilame nt
protein (NFL) in HIV-1 infection. Neurology 2007;69:1536–1541.
Morgan EE , Woods SP , Scott JC , et al . Predictive validity of
demographically adjusted normative standards for the HIV dementia
scale . J Clin Exp Neuropsychol 2007 ; 20 : 1 – 8
Munteanu D, Arama V, Mihailescu R et al. Inflammatory markers and
metabolic syndrome in HIV-positive adults undergoing highly active
antiretroviral therapy 21th ECCMID& 27th ECC 2011: P 2189
National Institute of Neurological Disorder and Stroke; 2008; Neurological
Complications of AIDS Fact Sheet;
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-
Education/Fact-Sheets/Neurological-Complications-AIDS-Fact-
Sheet
O’Doherty MJ , Barrington SF , Campbell M , Lowe J , Bradbeer CS . PET
scanning and the human immunodeficiency virus-positive patient J
Nucl Med1997; 38 (10) : 1575 – 1583
Osborn AG, Salzman KL, Katzman G et al. Diagnosting Imaging Brain
2004;8: 560-640. 1st ed. Salt Lake City: Amirsys; ISBN: 0-7216-
2905-9
Sacktor N, Lyles RH, Skolasky R, Kleeberger C, Selnes OA, Miller EN,et al.
HIVassociated neurologic disease incidence changes: multicenter
AIDS Cohort Study, 1990-1998. Neurology 2001;56:257-260
Sacktor N, Schifitto G, Mc Dermott MP, Marder K, Mc Arthur JC, Kierbutz
K. Transdermal selegilinein HIV-associated cognitive impairment:
pilot, placebocontrolled study. Neurology.2000;54:233-235
Sacktor NC; Wong M; Nakasujja N; Skolasky RL; Selnes OA; Musisi S;
Robertson K; McArthur JC; Ronald A; Katabira E. AIDS
2005;19(13):1367-74.
38
Sacktor, N., Bacellar H., Hoover D et al. (1996). Psychomotor slowing in
HIV infection: a predictor of dementia, AIDS and death. 2(6): 404-
410.
Sellati, Wilkinson, Sheffield, Koup, Radolf, & Norgard. (2000). Virulent
Treponema Pallidum, lipoprotein, and synthetic lipopeptides induce
ccr5 on human monocytes and enchance their susceptibility to
infection by human immunodeficeincy virus type 1.
Sevigny JJ , Albert SM , McDermott MP , et al . Evaluation of HIV RNA and
markers of immune activation as predictors of HIV-associated
dementia . Neurology 2004 ; 63 (11) : 2084 –2090
Snider, Simpson, Nielsen, Gold, Metroka, & Posner. (1983). Neurological
complications of acquired immune deficiency syndrome: analysis of
50 patients. Ann Neurol. 403-18.
UNAIDS, Review of data from People Living with HIV Stigma Index surveys
conducted in more than 65 countries, 2016.
Valcour V, Paul R, Chiao S, Wendelken LA, Miller B. Screening for cognitive
impairment in human immunodeficiency virus. Clin Infect Dis. Oct
2011;53(8):836-42
Valcour V, Sithinamsuwan P, Letendre S, Ances B: Pathogenesis of HIV in
the Central Nervous System. CurrHIV/AIDS Rep. 2011;8 : 54-61
Valcour VG, Sithinamsuwan P, Nidhinandana S, Thitivichianlert S, Ratto-
Kim S, Apateerapong W, Shiramizu BT, Desouza MS, Chitpatima
ST, Watt G, Chuenchitra T, Robertson KR, Paul RH, McArthur JC,
Kim JH, Shikuma CM: Neuropsychological abnormalities in patients
with dementia in CRF 01_AE HIV-1 infection.Neurology
2007;68(7):525-527
World Health Organization; Overview of HIV/AIDS; November 2016
http://www.who.int/features/qa/71/en/
World Health Organization; WHO CASE DEFINITIONS OF HIV FOR
SURVEILLANCE AND REVISED CLINICAL STAGING AND
IMMUNOLOGICAL CLASSIFICATION OF HIV-RELATED DISEASE
IN ADULTS AND CHILDREN; 2006; www.who.int/hiv
39
Wu Y , Storey P , Cohen BA , Epstein LG , Edelman RR , Ragin AB .
Diffusion alterations in corpus callosum of patients with HIV . AJNR
Am J Neuroradiol 2006 ; 27 (3) : 656 –660
Xia C, Luo D, Yu X, Jiang S, Liu S. HIV-associated dementia in the era of
highly active antiretroviral therapy (HAART). Microbes and Infection
13 (2011) 419-25
40