KELOMPOK 10
HARTON K1A115126
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
MODUL : PILEK MENAHUN
TUJUAN PEMBELAJARAN
Seorang laki-laki umut 15 tahun datang ke puskesmas denga riwayat menderita pilek
selama kira-kira 1 tahun. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang
dirasakan berasal dari belakang hidung. Pada waktu kecil ia sering menderita sesak napas.
C. Pertanyaan-pertanyaan penting
a. Menjelaskan dasar histologi, anatomi, dan fisiologi dari THT
b. Menjelaskan patomekanisme penyakit-penyakit dengan gejala pilek
c. Menjelaskan mekanisme dasar alegi tipe I pada organ THT
d. Menjelaskan gejala dan tanda akibat reaksi alergi tipe I pada organ THT
e. Apa saja penyakit tipe I pada organ THT
f. Apa hubungan RPD dan RPS?
g. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin pada kasus ini?
D. Jawaban pertanyaan
1. Dasar histologi, anatomi, faal dari Hidung dan Tenggorokan
a. Anatomi
1. Hidung dan Sinus paranasalis
Cavum nasi adalah rongga yang dimulai pada nostril (apertura nasalis
anterior = nares anterior ) dan berakhir pada nares posterior (=choanae).
Terbagi dua oleh septum nasi yang terletak pada linea mediana.
Septum nasi merupakan dinding medial dari cavum nasi yang dibentuk
oleh vomer dibagian posterior –inferior, lamina perpendicularis ossis
ethmoidalis dibagian postero-superior dan cartilago septalis yang berada di
bagian anterior diantara kedua tulang yang disebut tadi.
Septum nasi dapat terdorong ke salah satu sisi, dinamakan deviasi
septum nasi, sehingga menimbulkan gangguan respirasi.
Dinding lateral pada nasal memiliki permukaan tidak rata dan dibentuk
oleh bagian inferior dari lamina cribriformis, yaitu bagian yang merupakan
sentral dari atap cavum nasi, dari sini melanjutkan dari ke arah caudo-
anterior sampai pada vestibulum nasi ke arah caudo-posterior sampai pada
naso-pharynx. Pada dinding ini terdapat tiga penonjolan yang disebut
dengan conchae nasales. Concha nasalis superior et media adalah bagian
dari os ethmoidale sedangkan concha nasalis inferior adalah suatu tulang
tersendiri.
Sinus Paranasalis
Sinus paranasal merupakan salah satu organ yang sulit dideskripsik
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada 4 pasang sinus
para nasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus
ethmoidale, sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga didalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Sinus maxilla merupakan sinus paranasal yangterbesar. Saat lahir sinus
maxilla bervolume 6-8 mL, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maximal, yaitu 15 mL saat dewasa.
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasa dari sel-sel receccus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid.
Sinus Etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap
paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya dibagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
setinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm dibagian anterior dan 1,5 cm dibagian
posterior.
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid dibelakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 mL.
2. Tenggorokan
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna
vertebra, terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari
tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan
minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian.
Rongga mulut terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus
faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh
sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus
fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel
skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah
vestibulum oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi
seri dan berasal prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik
palatum durum dan palatum mole, dibentuk olehgabungan dari
prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah
belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut.
Lidah bagian depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan
dipersarafi oleh nervus lingualis dengan cabang kordatimpani dari
saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar
submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga
lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial
yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur
tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah
depan saraf-saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf
lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.
A. Vaskularisasi
B. Persarafan
1) Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya
adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus
faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius,
konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara
tuba eustachius. 9
2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga
mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang
terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum.9
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut
terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring,
serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring
bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan
gangguan n.vagus.9
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior.
Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas
yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.9
c. Tonsil
3) Telinga
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai
membran tympani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari
tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan
elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk
huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di
sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua
pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua
pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-
kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut,
kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami
modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler
yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat
berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak
telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.
Gambar 4 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan
Frontal Telinga
b. Telinga Tengah
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas
disebut Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars
Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar
ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu
lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit
serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian
dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut umbo. Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan
radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa
kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis
searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis
itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-
depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane
timpani.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang
pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan . Prosesus longus
maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada
lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan.
Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan
stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus, inkus, dan stapes
diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang
disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius
termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah.
Gambar 5 : Membran Timpani 1,2,3
c. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa
dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Koklea
Vestibulum
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang
juga berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen
ovale) yang berhubungan dengan membrane timpani, tempat melekatnya
telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum, terdapat gelembung-
gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-gelembung
sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus
utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang
berakhir pada suatu lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian
belakang os piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus endolimfatikus.
Saluran ini buntu.
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-
sel penunjang yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula
sakkuli. Sedangkan pada utrikulus, dinamakan macula utrikuli.
Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak
lurus satu sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran
yang terbenam dalam perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan
dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis
semisirkularis horizontalis (lateralis).
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa
crania media dan tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan,
eminentia arkuata. Kanalis semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis
semi sirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar dari kedua kanalis
semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada vestibulum
sebagai krus komunis.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis
semisirkularis ossea. Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf.
Didalam kanalis semisirkularis membranasea terdapat endolimf. Pada tempat
melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-sel persepsi. Bagian ini
dinamakan ampulla.
b. Fisiologi
1. Hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara
inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi
penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang
berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu
sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi,
memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi
saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6
mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan
bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu
(1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring
udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut
membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.
2. Tenggorokan
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan,
resonasi suara dan untuk artikulasi.8
a) Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan
makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport
makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui
esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah.
Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot
supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik
berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi.
Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong
makanan kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi
otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui
introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi
dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat,
menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.9
b) Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari
otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa
pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan
penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine
bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa
ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring
yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh
kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan
ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.9
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap
pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan
tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum.
3. Telinga
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi
oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui
udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut menggetarkan membran
timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui
membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.
c. Histologi
1. Hidung
a) Histologi mukosa6
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total
volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa
respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir
(mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana
basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan
media dan lapisan kelenjar profunda.
Gambar 9 :gambaranhistologimukosahidung
b) Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel
skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat
di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia
pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini
merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus,
sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal
dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan
sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka
inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi
sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan.
Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1
cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total
permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior
kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.
Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile.
Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara
2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu
sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial.
Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah
permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah
satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid
sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali
lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery
stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan
demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang
perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan
seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya
sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu
sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria.
ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan
dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya.
Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan
dengan bahan elastis yang diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2
μm dan diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak
bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak
bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai
300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan
merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel,
yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu
pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan
demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga
kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng.
c) Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat,
merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar
seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut
lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua
adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus
oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini
merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang
menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein
serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat
berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di
dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya
mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan
dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada
temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang
terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur
interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan
pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang
dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka
ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat
mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama
sekali (Sakakura 1994).
d) Membrana basalis
e) Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis.
Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang
kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak
sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria
ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar,
kelenjar, pembuluh darah dan saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa
hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel
toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang
tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing.
Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
f) Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme
mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut
partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah
nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung.
Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan
gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan.
Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong
gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim
(muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri.
Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan
ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada
sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut
dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus
kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing
yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia
dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia
yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh.
Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang
terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan
menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan
inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang,
silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke
dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti
spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan
silia bertambah secara progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah
ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai
bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan
silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20
mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila
akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan
etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui
anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah
nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid
akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui
posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari
rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
g) Pemeriksaan fungsi mukosiliar
Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat
diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak
larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau
gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid
sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human
serum albumin, teflon, bismuth trioxide.
Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang
disebut uji sakarin. Uji ini telah dilakukan oleh Anderson dan kawan
pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak dipakai untuk
pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik.
Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak
menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk
dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan
1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita
diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit
sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin
diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat
dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin.
Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring.
Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit
(1994) mendapatkan waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12
menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu transportasi
mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan
nilai rata-rata adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian
mendapatkan nilai normal pada kontrol adalah 7,61 menit untuk wanita
dan 9,08 menit untuk pria.
Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi
alergi fase lambat (RAFL). RAFC berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan
alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen, sedangkan RAFL
berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8 jam pertama.
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup bersama
inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi
sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell atau APC) diproses menjadi
peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan molekul HLA
(Human Leucocyte Antigen) kelas II membentuk kompleks MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL
4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit
atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi (pecahnya dinding
sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediator) terutama histamin. Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4
(LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang
disebut reaksi alergi fase cepat.
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet akan mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain seperti hidung tersumbat
akibat vasodilatasi sinusoid.
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan
berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Patogenesis Asma
Inflamasi jalan nafas pada asma alergi telah
diketahui dengan baik. Terdapat beberapa langkah pada evolusi inflamasi jalan napas.
Dimulai dari sensitisasi primer diikuti penentuan fenotipe alergi dari respons imun yang
akhirnya terlokalisasi di jalan napas. Terjadinya pajanan yang berulang akan mengaktivasi sel
yang sudah tersensitisasi memproduksi mediator yang menimbulkan spasme bronkus dan
inflamasi kronik. Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta
rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik
yang menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi
pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang
saling bekerja sama tersebut yang akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada orkestrasi
proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th sebagai regulator penghasil sitokin yang
dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan
tampak kerusakan epitel serta sebukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan
mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertropi otot polos.
Alergi adalah penyakit atau kelainan yang tidak menular tetapi kecenderungan
seseorang mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik (keturunan)
dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi terjadi karena adanya zat yang
menimbulkan reaksi yang disebut alergen. Alergen dapat masuk dalam tubuh melalui
saluran nafas (inhalan), pencernaan (ingestan), suntikan (injektan) atau yang menempel
pada kulit (kontaktan).
Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya menurut Cell dan
Coombs pada tahun 1968, yaitu: Tipe I, Tipe II, Tipe III dan Tipe IV. Tipe I, II dan III
tergantung pada interaksi antara antigen dan antibodi hormonal yang cenderung disebut
reaksi tipe cepat. Reaksi tipe IV membutuhkan waktu yang cukup lama maka disebut
reaksi tipe lambat (Roitt, 2003). Alergi tipe I antara lain alergi makanan, asma,
rhinitis, dan dermatitis atopi.
1. Fase Sensitisasi
Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat
ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan
bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka
gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda
tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang
dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang
senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).
Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan,
atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah
mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh
mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan
sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa
minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.
2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat
sensitifitasnya terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti
kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang
diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan
ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain
mastosit, sel basofil juga berperan.
Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil
mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen
spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul
reseptor yang mekanisme bisa berupa:
1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE
2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE
3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor
Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE
atau reseptornya. Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen
dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan
reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat
mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin.
Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan
perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti
masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi
tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat
degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu,
aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan
mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.
3. Fase Efektor
Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang
dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang
dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.
Gambar 10 : Mekanisme dasar alergi Tipe I
Sumber Gambar : www.google.com/alergitipeI
4. Gejala dan tanda akibat reaksi alergi tipe I pada organ THT
Pada keadaan normal, mekaniame pertahanan tubuh baik humoral maupun
sekunder tergantung pada aktifasi sel B san sel T.
Aktifasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan
suatu keadaan imunopatologik yang di sebut reaksi hipersensitifitas
Menurut Gell dan Coomb's, reaksi hepersensitifitas dibagi menjadi 4 tipe :
1.Tipe I hipersensitif anafilaktik
2.Tipe II hipersensitif sitotoksik
3.Tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imum
4.Tipe IV hiperaensitif cell-mediated
Untuk terjadi suatu reaksi seluler yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel
mast atau sel basofil dengan alergen yang bersangkutan. Proses aktifasi sel mast
terjadi nila IgE atau reseptor spesifik lain pada permukaan sel mengikat
anafilatoksin,antigen lengkap atau kompleks hapten protein.Proses aktifasi ini
akan memperbesar berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi
pada penyakit rhinisitis alergi. sedangkam reaksi anafilaktoid terjadi melalui
degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
RINITIS ALERGI MUSIMAN
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat
konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan
biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa. Berat ringannya gejala
penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergatung pada banyaknya alergen di udara.
Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.
Rinitis alergi musiman ini merupakan suatu rinokonjuntivitas. Oleh karena itu
gejala klinik yang tampak ialah gejala hidung dan gejala mata. Gejala mata ialah mata
merah, gatal disertai lakrimasi. Gejala mata ini merupakan gejala predominan.
Gejala hidung berupa hidung gatal yang disertai dengan bersin yang
paroksismal, adanya sumbatan hidung, rinore yang cair dan banyak, serta kadang-
kadang disertai rasa gatal di palatum.
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim,
jadi dapat ditemuka sepanjang tahun.
Pada rinitis alergi terdapat kerusakan jaringan tipe 1. Sel plasma pada jeringan
mukosa dan submukosa hidung dan saluran napas banyak memproduksi Ig E. Pada
reaksi antigen-antibodi (Ig E), terjadi pelepasam zat-zat mediator yang berperan
utama ialah histamin, yang mempunyai efek dilatasi pada pembuluh darah kecil,
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari pembuluh darah. Efek
histamin pada saraf sensoris adalah meningkatkan sekresi kelenjar dan bersin. Secara
klinis tampak gejala rinore, hidung tersumbat dan sering bersin.
6,. Apa Hubungan Riwayat penyakit Dahulu dan riwayat penyakit sekarang pada pasien?
Ada, karena pada penderita rhinitis alergik, penderita mengalami hidung tersumbat
berat. Hidung yang tersumbat inilah yang menyebabkan sesak nafas. Kemudian gejala
yang timbul pada tahun tahun berikutnya adalah pilek yang berlangsung kira-kira satu
tahun. (Patofisiologi Vol. 1 Edisi 6)
Pada rhinitis alergik sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. (Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT FK UI,
2007)
Sesak nafas sewaktu kecil bisa berpengaruh terhadap pilek menahu.Asama bisa
memyebabkan hypersensitifitas mukosa pada saluran nafas yang berakibat pada
permukaan struktur sel yang ada pada mukosa saluran nafas termasuk mukosa
hidung.Selain itu reseptor hisrltamine pada mokusa hidung sama dengan yang ada di
saluran nafas.Reseptor histami kemungkinan masih ada di hidung. Saat terpapar oleh
allergen terjadilah rhinitis alergi.
Selain itu pilek menahun dapat berpengaruh pada sesak nafas. Akibat peradangam
saluran nafas dapat menyempit akibat bronkokonstriksi yang dipicu oleh histamin,
prostaglandin, dan leukotrin selain itu saluran nafas juga dapat terisi cairan lendir
(sputum) yang berasal dari peningkatan sekresi kelenjar mukosa sehingga
menghambat inspirasi dan ekskresi.
7,. Apa hubungan umur dan jenis kelain pada kasus ini?
Penyakit ini dapat timbul pada semua golongan umur, tetapi frekuensi terbanyak ialah
pada anak-anak dan remaja. Frekuensi kejadian ini akan berkurang dengan
bertambahnya umur. Faktr herediter sangat berperan dalam penyakit ini. Jenis
kelamin, golongan etnik dan suku bangsa tidak berpengaruh.
Komplikasi
1. Polip hidung
2. Otitis media terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal.
DAFTAR PUSTAKA
1.