Anda di halaman 1dari 2

TEKTONIKA INDONESIA

(ARCHINESIA VOL. 6 – CRAFTMANSHIP IN INDONESIA)

Ketukangan salah satunya mencakup material. Pada pameran arsitektur di la Biennale di Venezia,
paviliun Indonesia bertema “Ketukangan : Kesadaran Material”. Ketukangan dinilai sebagai inti dari
praktik arsitektur di Indonesia karena aspek tersebut melekat dalam keseharian. “Ketukangan” diartikan
sebagai sebuah nilai, lebih dari sekedar aktivitas bertukang. Di Indonesia, yang ragam arsitektur
tradisionalnya sangat banyak, sesuai dengan jumlah etnisnya, “ketukangan” sejatinya telah ada dalam
kehidupan masyarakat sejak lampau. Namun, tradisi bertukang secara tradisional berangsur-angsur
tergerus oleh metode pembangunan baru yang dating dari luar Indonesia. Material dalam ketukangan
Indonesia meliputi batu, beton, bata, kayu, bambu.

Ketukangan bata di Indonesia sudah ada sejak Indonesia masih terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan
maritime. Jauh sebelum aksi pengimporan batu bata Belanda oleh Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) pada abad ke-17 untuk membangun benteng dan Bandar dagang di berbagai pelabuhan, keahlian
bertukang bata di Nusantara dapat dikatakan telah mencapai level canggih.

Bukti otentiknya masih berdiri kokoh hingga kini, salah satunya gerbang menuju tempat tingal raja
Majapahit (abad 14 – 15 M) di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Catatan Ma Hua ketika
berkunjung ke Majapahit pada tahun 1433 menyatakan bahwa gerbang yang merupakan akses masuk
dari dinding setinggi sembilan meter yang mengelilingi kediaman raja tersebut serupa dengan gerbang
candi-candi Hindu, hanya saja seluruhnya terbuat dari bata.

Henry Maclaine Pont juga mengapresiasi budaya ketukangan bata. Ia membangun relief bata di atas
altar Gereja Pohsarang (1936). Metode pembangunan relief tersebut menerapkan cara tradisional;
pasangan bata direkatkan dengan campuran air, kapur dan gula pengganti semen. Tradisi ketukangan
lokal di Pohsarang seolah menjadi anomali di tengah penuturan cerita tentang arus pembangunan
gedung-gedung bata ala Belanda. Bangunan Belanda memanfaatkan bata dengan cara yang sangat
berbeda dibanding bangunan tradisional, yaitu sebagai pengisi dinding yang kemudian ditutup plester,
sementara struktur bangunan terbuat dari beton.

Bata yang selama berabad-abad terjaga dalam tradisi, hadir sebagai produk massal dengan dimensi
presisi yang sudah ditetapkan, yaitu 22 X 10.5 X 6.7 cm.

Bangunan bata versi Belanda mensubtitusi bangunan dari kayu dan bambu karena dianggap sebagai
‘bangunan baik’ dan lebih higienis. Bata menjadi material wajib untuk permukiman penduduk . Menurut
Serat Balewarna (1919) yang menilai bata lebih baik dari kayu dan bambu mulai dari segi fungsional
sampai estetika. Bata, beton, dan semen menjadi paket material yang ideal untuk membangun
infrastruktur hingga ke pelosok.

Bata saat ini memiliki banyak diversifikasi produk, seperti bata bakar. Namun, riset lebih jauh
menemukan keterangan bahwa bata bakar tidak cocok dan tidak efisien diaplikasian di beberapa lokasi.
Dan sebagai penggantinya dari campuran kapur (lime) dan cadas (batuan vulkanik), yang kemudian
popular dengan sebutan batako. Dibanding bata, bobot batako lebih ringan dan ongkos produksinya
lebih murah.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penyebaran beton digambarkan terakselerasi berkat
melimpahnya sumber daya : material yang didatangkan langsung dari Eropa (bata, semen besi tulangan,
dan peralatan) serta arsitek-arsitek muda dari Belandan dengan pengetahuan keteknikan mereka. Hal
tersebut segera direspons oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mendirikan pabrik semen pertama di
Hindia Belanda sekaligus di Asia Tenggara pada 1910, bernama NV Nederlandsch Indisch Portlad Cement
Maatschaapij (NV NIPCM) di Padang. Yang menjadi titik tolak penting dimulainya pembangunan dengan
teknologi dan langgam arsitektur Eropa di Indonesia dan di Asia Tenggara.

Di samping digunakan untuk keperluan politik luar negeri Soekarno, beton juga kiat dieksplorasi oleh
para praktisi. Beton juga memiliki ‘image’ tanpa beban simbolik, kasual dan penuh kesegaran, yang
terwujud pada arsitektur Jengki. Pada dekade selanjutnya beton tidak lagi hanya sebatas struktur,
namun juga sebagai elemen estetik didalam sebuah ruang yang eksklusif. Bangunan seperti Hilton
Executive Club oleh konsultan arsitektur Atelier Enam :Yuswadi Saliya dan Kiki Darmawan tahun 1975,
karya-karya Tan Tjiang Ay dan Andra Matin merupakan karya yang mengekspos beton sebagai atraksi
arsitektur. Disini disadari bahwa adanya dualisme penggunaan beton di Indonesia; meskipun telah
mengadopsi teknologi dan produk pabrikasi, keterampilan tangan tukang lokal masih berperan besar
untuk menentukan kesuksesan karya arsitek Indonesia.

Kayu material pokok dalam arsitektur tradisional, saat ini turun tahta menjadi material pencetak beton.
Secara urutan pekerjaan, tampak bahwa pern bambu dan kayu bergeser dari posisinya sebagai material
utama menjadi material pembantu pembuatan beton.

Baja dan besi merupakan materual muda di dunia arsitektur dan konstruksi Indonesia. Kedatangan besi
dan baja ke Nusantara banyak dipengaruhi oleh campur tangan pemerintah Hindia Belanda yang pada
masa itu (1830 – 1870), menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Korelasi langsung antara
tanam paksa dan pemanfaatan besi secara ekstensif adalah pembangunan jalur transportasi: rel kereta
api. Bentangan rel-rel besi tersebut mutlak dibutuhkan untuk mengangkut hasil kebun dan tambang ke
pelabuhan-pelabuhan, untuk kemudian diekspor ke Eropa.

Pada masa peralihan abad 19 ke abad 20, stasiun kereta api merupakan representasi kemewahan yang
tak tertandingi bagi masyarakat di Hindia Belanda. Label ‘barang mewah’ kemudian melekat pada
keseluruhan elemen yang ada dalam stasiun, mulai dari aktivitas hingga material pembentuknya, yang
tidak lain adalah besi Eropa. Citra mewah tersebut menggiring pada pemanfaatan besi tuang (cast iron)
sebagai material bangunan-bangunan istimewa, contohnya sebagai tiang-tiang penyokong beberapa
bangsal di Kraton Yogyakarta dan ornamen di rumah-rumah pejabat tinggi. Besi tuang kemudian
tergantikan oleh baja yang jauh lebih kuat, namun jauh lebih ringan dari besi. Kekuatan itu diperoleh
dari proses permurnian bijih besi dan penambahan karbon. Baja pun menyebar pesat dari Eropa ke
seluruh dunia berkat ditemukannya proses Bessemer pada pertengahan abad ke-19.

Menurut Achmad D. Tardiyana, “Ketukangan” sangat penting untuk dipahami di dunia arsitektur
Indonesia, karena wacana ini jarang diungkap. Arsitektur tidak hanya tentang visual dan estetika, tetapi
ada hal lain yaitu bagaimana arsitektur terwujud, sensitivitas terhadap penggunaan material serta relasi
dengan pihak-pihak selanjutnya yang bertugas mengeksekusi desain.

Anda mungkin juga menyukai