Anda di halaman 1dari 5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

2.1.1. Pengertian Batubara

Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat yang terdapat di alam dengan


komposisi yang cukup kompleks. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat
ditengarai berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, pollen, damar, dan
lain-lain.

Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan


(dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik
sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.

Pada dasarnya terdapat dua jenis material yang membentuk batubara, yaitu:

Combustible Material, yaitu bahan atau material yang dapat dibakar/ dioksidasi oleh
oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari karbon padat (Fixed Carbon), senyawa
hidrokarbon, total Sulfur, senyawa Hidrogen, dan beberapa senyawa lainnya dalam
jumlah kecil.

Non Combustible Material, yaitu hahan atau material yang tidak dapat
dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umurnnya terdiri dan senyawa
anorganik (Si02, A1203, Fe203, Ti02, Mn304, CaO, MgO, Na20, K20 dan senyawa
logam lainnya dalam jumlah kecil) yang akan membentuk abu dalam batubara.
Kandungan non combustible material ini umumnya tidak diingini karena akan
mengurangi nilai bakarnya.

Pada proses pembentukan batubara, dengan bantuan faktor fisika dan kimia alam,
cellulosa (C49H7O44) yang berasal dan tanaman akan mengalami perubahan menjadi
Lignite (C70H5O25), Subbituminous (C75H5O20), Bituminous (C80H5O15) atau
Anthracite (C94H3O3).

Untuk proses pembatubaraan fase lanjut dengan waktu yang cukup lama atau dengan
bantuan pemanasan, maka unsur senyawa karbon padat yang terbentuk akan bertambah
sehingga grade batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase ini unsur Hidrogen yang
terikat pada molekul air yang terbentuk akan menjadi semakin sedikit.

Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya
cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya
dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin,
dll. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi bergantung pada spesies dari
tumbuhan penyusunnya.

Sebagai salah satu bahan galian dari alam, batubara mempunyai heterogenitas, dan
kompleksitas yang tinggi.

Beberapa pakar telah mencoba memberikan definisi batubara yaitu:

 Spackman (1958): Batubara adalah suatu benda padat karbonan berkomposisi


maseral tertentu.
 The lnternational Hand Book of Coal Petrography (1963) : Batubara adalah
batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tanaman dalam
variasi tingkat pengawetan, diikat oleh proses kompaksi dan terkubur dalam
cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi, dari dangkal sampai dalam.
 Thiessen (1974) : Batubara adalah suatu benda padat yang kompleks, terdiri dari
bermacam-macam unsur kimia atau merupakan benda padat organik yang sangat
rumit.
 Achmad Prijono, dkk. (1992) : Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon padat
yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh temperatur serta tekanan yang berlangsung sangat lama.

Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu : Batubara adalah
berupa sedimen organik bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tumbuh-
tumbuhan yang telah mengalami pembusukan secara biokimia, kimia dan fisika dalam
kondisi bebas oksigen yang berlangsung pada tekanan serta temperatur tertentu pada
kurun waktu yang sangat lama.

Batubara akan dengan mudah ditemukan di daerah pengendapannya, karena biasanya


tersingkap di permukaan tanah, di alur sungai dan di tebing akibat proses endogen seperti
tektonik, pengangkatan dan penurunan cekungan, perlipatan, patahan dan proses eksogen
seperti pelapukan, erosi dan transportasi.

Berdasarkan batubara yang tersingkap ini kemudian berkembang teknik dan strategi
eksplorasi batubara untuk mengetahui lebih detail dan lebih pasti keberadaan batubara
baik secara horizontal maupun vertikal, ketebalan, kemiringan, kemenerusan, perkiraan
cadangan dan mutunya.

2.1.2. Batubara di Sumatera Selatan

Sumber batubara di Sumsel cukup besar sekitar 22,24 miliar ton (48% dari total
sumber daya batubara di Indonesia) tersebar di 8 kabupaten yaitu Kab. Musi Banyuasin,
Banyuasin, Lahat, Musi Rawas, OKU, OKU Timur, OKI, Muara Enim dan Kota
Prabumulih. Kualitas batubara Sumsel umumnya rendah, jenis lignit hingga
subbituminous (5000-6500kkal/kg). Jenis batubara ini cocok untuk bahan bakar PLTU
Mulut Tambang. Saat ini sedang direncanakan pembangunan PLTU 2X100 MW di
Banjarsari Kab. Lahat, dilakukan kajian PLTU 800 MW di Sungai Malam Kab. Musi
Rawas dan PLTU 4X100 MW Bangko Selatan di Kab. Muara Enim serta beberapam
proyek lainnya. Kebutuhan energy listrik di Sumsel cukup besar mencapai 1.500 MW
menjelang tahun 2020, sedangkan pada waktu yang sama dapat terjadi krisis listrik yang
hampir merata di Sumatera dan Jawa. Potensi PLTU Mulut Tambang memiliki prospek
yang menjanjikan yaitu berapapun potensi PLTU yang akan dibangun di Sumsel akan
dapat dipasarkan/diserap oleh kebutuhan listrik di Sumatera (interkoneksi Sumatera) dan
Jawa (interkoneksi Sumatera-Jawa) bahkan diekspor di Negara Malaysia (interkoneksi
Sumatera-Malaysia). Iklim investasi ini dapat menarik calon investor yang berminat
dalam penambangan batubara di Sumsel sekaligus membangun usaha pertambangan
untuk ekspor/domestik.

2.2. Geologi Daerah Telitian

Secara regional lokasi penelitian berada pada sebagian kecil dalam Cekungan
Sumatera Selatan yang secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan
Tersier berarah baratlaut-tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di
sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah
tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah baratlaut yang
memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Blake
(1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan
busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara
Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera
India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat
daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan
Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah
tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Stratigrafi daerah cekungan Sumatra Selatan secara umum dapat dikenal satu
megacycle (daur besar) yang terdiri dari suatu transgresi dan diikuti regresi. Formasi yang
terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa (Formasi
Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan
selama fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai),
sedangkan Formasi Lemat dan older Lemat diendapkan sebelum fase transgresi utama.

Secara lebih rinci geologi regional Kabupaten Ogan Ilir secara tatanan stratigrafi
termasuk dalam sub cekungan Palembang, dan merupakan bagian dari cekungan
Sumatera Selatan yang terbentuk pada Zaman Tersier, hingga diakhiri dengan endapan
Holosen. Stratigrafi Regional Kabupaten Ogan Ilir dari tua ke muda terdiri atas endapan
gunung api, endapan sedimen dan endapan permukaan antara lain Formasi Muara Enim
(TMPM), Formasi Kasai (QTK) dan endapan permukaan (Qs dan Qa).

 Formasi Muaraenim (Umur: Miosen Akhir-Pliosen) ; batuan penyusun yang ada pada
formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Batas bawah dari
Formasi Middle Palembang di bagian selatan cekungan berupa lapisan batubara yang
biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah serta ketebalan lapisan-lapisan batubara
menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini. Ketebalan formasi berkisar antara
1500–2500 kaki (sekitar 450-750 m). De Coster (1974) menafsirkan formasi ini
berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian
dasar), delta plain dan lingkungan non marine.
 Formasi Kasai (Umur: Pliosen) ; formasi ini merupakan formasi yang paling muda di
Cekungan Sumatra Selatan. Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-
Pleistosen dan dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan Tiga puluh.
Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan
lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga
Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
 Endapan Permukaan ; merupakan endapan aluvium yang terdiri atas kerakal, pasir,
lumpur dan lempung. Diperkirakan umur endapan ini adalah Holosen.

Anda mungkin juga menyukai