Kesehatan reproduksi dapat didefinisikan sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental,
sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi-fungsi dan proses reproduksi, bukan hanya terbebas dari suatu penyakit ataupun kecacatan. Pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan hal yang penting dan sebaiknya dilakukan sejak dini yaitu pada usia remaja. Remaja adalah periode dalam kehidupan dimana terjadi masa peralihan dari masa kanak ke masa dewasa.(WHO, 2014) Sebagai fase peralihan yang berjalan natural, remaja mencoba berbagai perilaku yang kadang merupakan perilaku berisiko (Lestary dan Sugihani, 2011) Menurut World Health Organization (WHO) remaja adalah penduduk yang berusia 10-19 tahun, tidak jauh berbeda di Indonesia dimana menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, remaja berusia 10-18 tahun. (Pratiwi, 2013 dan WHO, 2014). Menurut survei penduduk tahun 2000, di Indonesia, remaja usia 15-19 tahun berjumlah sekitar 22,3 juta, dimana sebagian besar tidak memiliki pengetahuan mengenai masalah reproduksi yang sehat secara benar dan bertanggungjawab. Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh IA Purbono pada tahun 2017 terhadap siswa salah satu SMP di Jakarta yang menunjukkan tingkat pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi masih belum cukup baik. Dilaporkan dalam Survei lain tentang Kesehatan Remaja Republik Indonesia tahun 2007 bahwa pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi masih rendah. Pengetahuan remaja perempuan terhadap menstruasi sebagai tanda akhil balig perempuan relatif tinggi, namun remaja laki-laki masih rendah. Remaja laki-laki yang mengetahui mimpi basah sebagai tanda akhil balig laki-laki sekitar 29%, sedangkan yang tidak tahu sekitar 10%, pada remaja wanita mengetahui mimpi basah 16% sebagai tanda akhil balig laki-laki dan 11% menyatakan tidak tahu. Sementara yang mengetahui sebatas ciri fisik pada akhil balik laki-laki sejumlah 61% pada kelompok remaja laki- laki dan 73% pada remaja perempuan. Modernisasi, globalisasi, teknologi dan informasi serta berbagai faktor lain turut mempengaruhi perubahan perilaku kehidupan remaja yang kemudian berpengaruh pada perilaku kehidupan kesehatan reproduksi mereka. Rendahnya pengetahuan terhadap ciri reproduksi dapat menyebabkan remaja memiliki perilaku berisiko. (IDAI, 2011). Peningkatan perhatian pada kesehatan remaja akan mempengaruhi status kesehatan pada fase hidup setelahnya. Sebagai contoh, banyak dari penyakit tidak menular pada usia dewasa berawal dari kebiasaan yang kurang sehat yang terkadang dimulai sejak remaja seperti konsumsi tembakau, alkohol, pola makan tidak sehat ataupun aktivitas fisik yang kurang.(WHO, 2012) Perilaku berisiko ini mengacu pada semua yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian dan adaptasi sosial dari remaja. Menurut definisi Departemen Kesehatan Republik Indonesia seperti dikutip dalam sebuah jurnal; remaja berisiko adalah remaja yang pernah melakukan perilaku berisiko bagi kesehatan seperti merokok, konsumsi alkohol, penyalahgunaan narkoba, dan melakukan hubungan seksual pranikah. (Lestary dan Sugihani, 2011)