Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario/Latar Belakang Masalah


Tn. Utuh (40 tahun) tinggal d Mataraman Martapura dengan kondisi kaki
seperti gajah. Saat petugas puskesmas melakukan kunjungan, ternyata Tn. Utuh
menderita penyakit itu sejak 18 bulan yang lalu. Dia juga merasa sakit daerah
lipatan paha kanan, apalagi jika dibawa kerja keras. Dengan perubahan bentuk
tubuhnya itu, maka Tn. Utuh malu untuk bersosialisasi lagi dengan warga sekitar.
Pihak puskesmas pun melaksanakan program pencegahan penyakit agar tidak
meluas ke warga sekitar. Salah satu program tersebut adalah eliminasi filariasis.
Karena itu Ners Eti beserta rekan sekerja mengangkat masalah keperawatan di
komunitas agar warga lebih siap dalam program puskesmas tersebut.

B. Analisis Kasus
1. Klarifikasi/identifikasi istilah
1. Eliminasi Filariasis
2. Filariasis
3. Kumunitas keperawatan

Jawab:
1. Program pemerintah sebagai upaya pemutus penularan filariasis.
Dengan pengobatan masal untuk mencegah kecacatan dan mengurangi
penderita.
Tercapainya keadaan dimana penularan diupayakan sedemikian rendah
mungkin agar tidak terjadi masalah dimasyarakat.
2. Keadaan dimana terinfeksi filarial yang diperantara oleh nyamuk
ditandai dengan penyakit yang disebabkan infeksi metode dari
kelompok filarigae pada kelenjar getah bening.
Gejala klinis akut berupa demam berulang, pembesaran tungkai,
lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa
panas.

1
Gejala klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap
(elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar.
3. Sebuah istilah yang diterapkan dimasyarakat dalam kumunitas diluar
Rumah Sakit yang diberikan oleh profesional.

2. Daftar Masalah
1. Tanda dan gejala filariasis
2. Mengapa kaki Tn. Utuh membesar dan kenapa sakit dilipatan paha.
3. Patofisiologis dan Patogenesis penyakit
4. Prognosis
5. Etiologi dan epidemiologi terutama di Kalimantan Selatan
6. Komlikasi
7. Apakah penyakit Filariasis berbahaya dan bagaimana cara
penularannya
8. Orang yang beresiko
9. Penatalaksanaan dan pencegahan
10. Bagaimana pemeriksaan fisik pada penyakit filariasis
11. Jenis nyamuk apa saja yang menularkan penyakit filariasisis
12. Bagaimana diagnose banding
13. Bagaimana pengobatan Farmakologi dan non farmakologi
14. Stadium dari pembengkakan
15. Masa inkubasi
16. Factor yang mempengaaruhi penyebaran
17. Efek samping farmakologi yang diberikan
18. Masalaah komunitas yang muncul
19. Askep

3. Analisis Masalah
1.
2.
3.

2
4. Prognosis pada kasus-kasus dini dan sedang prognosis baik terutama
bila pasien pindah dari daerah endemic dan pengawasan dengan
pemberian obat serta pemberantasan vector. Pada edema tungkai
prognosis lebih buruk.
5. Etiologi:
Epidemiologi: Gigitan nyamuk yang terinfeksi filariasis kebanyakan
pada daerah subtropis
6. Dapat menyebabkan kecacatan
7. Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam
tubuhnya mengandung larva (L3). Nyamuk sendiri mendapat mikro
filarial karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang
mengandung mikrofolaria. Nyamuk sebagai vector menghisap darah
penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut
terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam
tubuh nyamuk microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya
berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva
3, karenanya diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi.
Didalam tubuh manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya
tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta bekembang
biak.
8.
9. Penatalaksanaan dan pencegahan
a. Pengobatan masal
Menghindari nyamuk dengan kelambu
Menutup ventilasi dengan kasa
Menggunakan semprot nyamuk
b. Pengendalian vektor
c. Masyarakat ikut serta
10. Elisa, ICT, CBC, sampel darah, Tes serologi
11.

3
12. Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23 spesies
nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia,
culex, anopheles, aedes dan armigeres.
13.
14. Pengobatan Farmakologi
a. Akut: DEC+albendazol, Invermektin, albendazol 400mg
b. Kronis: 1. Pengobatan Masal dilakukan di daerah endemis (mf rate >
1%) dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
dikombilansikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun
berturut-turut. 2. Pengobatan Selektif Dilakukan kepada orang yang
mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga yang tinggal serumah
dan berdekatan dengan penderita di daerah.

15
16. masa inkubasi Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga
munculnya gejala klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
17. Faktor yang mempengaruhi :
a. Lingkungan fisik :Iklim, Geografis, Air dan lainnnya,
b. Lingkungan biologik: lingkungan Hayati yang mempengaruhi
penularan; hutan, reservoir, vector
c. lingkungan social – ekonomi budaya : Pengetahuan, sikap dan
perilaku, adat Istiadat, Kebiasaan dsb,
d. Ekonomi: Cara Bertani, Mencari Rotan, Getah Dsb

18.
19
20.

4
4. Pohon masalah

Etiologi

FILARIASIS

PATOFISIOLOGI & PATOGENESIS

MANIFESTASI KLINIS

PENATALAKSANAAN

MEDIS KEPERAWATA
NNnN

5. Sasaran belajar
a. Bagaimanakah pemeriksaan fisik?
b. Diagnosa banding?
c. Pengobatan non farma?
d. Stadium pembengkakan?
e. Efek samping obat?
f. Masalah komunitas yang muncul?
g. Askep?
h. Pemeriksaan penunjang?
i. Klasifikasi filariasis
j. Epidemiologi di kasel
k. Funikulitis?

Jawaban:
11. funikulitis adalah radang saluran sperma, bisa menyebabkan kerusakan pada
testis dan saluran sperma

8. pemeriksaan penunjang:

5
- imunologi dengan ELISA mirip dengan ICT dengan menggunakan antibody
monokronal yang spesifik untuk mendeteksi antigen filaria dalam sirkulasi

- pemeriksaan urin makroskopis, untuk melihat filaria

- tes kartu, sampel darah diambil pada ujung jari pada malam hari

- limpageo terapi, ada cacing dewasa dalam saluran limpe

- Radiodiagnostik, untuk melihat pergerakan cacing dengan USG

- parasitologi, diperiksa sediaan darah tepi, bisa malam dan siang

- deteksi parasit, dengan PCR, untu mengetahui adanya DNA pada parasit

- DEC, finger test

- pemeriksaan CBC, untuk melihat eosinofilia filariasis yang jelas

5. efek samping obat:

- demam, menggigil, sakit kepala, nyeri sendi, mual, muntah

- a. sistemik: demam, menggigil, sakit kepala, nyeri sendi, mual, muntah

b. local: limfademitis, abses, ulserasi, epidimitis, limpadema, funikulitis

sistemik, bisa terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang 2-5 hari lebih
sering terjadi pada penderita mikrofilaremik.

Local, setelah beberapa hari pemberian dosis pertama, hilang setelah beberapa
minggu dan hilang pada gejala klinis.

- obat albendazol, kurang nyaman pada pencernaan, gatal-gatal, perasaan


tidak enak pada mulut

- ivermectin: demam, nyeri sendi, nyeri saluran limfa

- akan lebih berat pada penderita Brugia malayi dosis rendah, diberikan
dengan waktu lama

3. pengobatan non farma:

a. menjaga personal hygiene

b. jika keluar rumah menggunakan alas kaki

c. jika terdapat luka obati dengan antibiotic

6
d. terapi suportif, istirahat, pemberian kompres, pasang drainase, insisi
abses, insisi traktus vaginalis

e. ekstremitas digerakkan secara teratur

4. stadium pembengkakan

10. epidemiologi

Kotabaru menempati posisi pertama, tanah bumbu 23 orang kena, HST 13


orang, tabalong 8 orang, Tapin

2. diagnosa banding

a. lipedema, pembesaran kronik akibat lemak

b. limfangitis bacterial akut, limfadenitis kronik

c. hernia inguinalis, menyerupai hidrokel

d. kiluria(urin seperti susu) karena trauma

e. granuloma inguinalis

f. limfoma maligna

g. scabies

h. leprosy

i. malaria dan penyakit infeksi lainnya

9. klasifikasi filariasis

1. edem pada tungkai yang dapat kembali normal bila tungkai diangkat

2. edem yang irreversible, bila tungkai diangkat

3. edem tungkai tidak dapat kembali normal

4. edem dengan jaringan fibrosis

a. filariasis limfatik, Karena Wuchereria bancrofti

b. filariasis subkutan( jaringan bawah kulit), karena Loa-loa(cacing afrika)

c. filariasis rongga serosa, karena Mansonella parstans

6. masalah komunitas yang muncul:

a. kurang pengetahuan

7
b. kurang personal hygiene dalam masyarakat

c. tidak memprioritaskan eliminasi

d. tidak ada kesamaan persepsi dalam pengeliminasian

e. tidak ada isu tentang eliminasi

f. masyarakat tidak patuh pada pemberian obat

g. masyarakat kurang ikut serta dalam pemeriksaan

peran perawat komunitas:

a. Melakukan pembinaan desa yang salah


b. Sebagai konsultan, memberi askep, melakukan rujukan, penemu dan
peneliti
c. Penghubung antara masyarakat dengan unit kesehatan
1. Pemeriksaan fisik
a. kekuatan otot, massa otot, tekanan darah, neurosensorik integument ada
lesi, bengkak, turgor kulit jelek, nyeri, terdapat garis kemerahan pada
lipatan kulit.
b. Pelebaran kelenjar limfe.

7. askep:

a. Harga diri rendah situasional b.d gangguan citra tubuh

ds: klien mengatakan malu bersosialisasi dengan warga sekitar

do: kondisi kaki kanan membesar seperti kaki gajah

b. Nyeri kronis b.d ketunadayaan fisik kronis


Ds: Tn. Utuh mengatakan merasa sakit didaerah lipatan paha kanan
sejak 18 bulan yang lalu
Do: klien datang dengan kaki kanan membesar seperti kaki gajah
c. Resiko intoleransi aktivitas b.d status fisik kurang bugar

8
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Filariasis
Filariasis adalah suatu penyakit yang sering pada daerah subtropik dan
tropik, disebabkan oleh parasit nematoda pada pembuluh limfe.
(Witagama,dedi.2009). Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular
kronik yang disebabkan sumbatan cacing filaria di kelenjar / saluran getah bening,
menimbulkan gejala klinis akut berupa demam berulang, radang kelenjar / saluran
getah bening, edema dan gejala kronik berupa elefantiasis.
Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada kelenjar getah
bening, Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan
dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.

B. Etiologi Filariasis
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria
Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan
hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah.
infeksi cacing ini menyerang jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam
superfamili Filaroidea, family onchorcercidae.Cacing ini dapat hidup dalam
kelenjar getah bening manusia selama 4 - 6 tahun dan dalam tubuh manusia
cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar
dalam darah terutama malam hari.
Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun diperkotaan.
Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang
diketahui bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia, culex, anopheles, aedes
dan armigeres.
 W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus
 W. bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres
 B. malayi : mansonia spp, an.barbirostris.

9
 B. timori : an. barbirostris.
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies dan
tipenya.Di Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic Secara umum
daur hidup ketiga spesies sama Tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan
keadaan lingkungan habitatnya( Got, sawah, rawa, hutan )
Ciri-ciri cacing dewasa atau makrofilaria :
 Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam sisitem
limfe.
 Ukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm
 Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm
 Berkembang secara ovovivipar
Mikrofilaria :
 Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan ribu
 Mempunyai sarung. 200 – 600 X 8 um
Faktor yang mempengaruhi :
 Lingkungan fisik :Iklim, Geografis, Air dan lainnnya,
 Lingkungan biologik : lingkungan Hayati yang mempengaruhi penularan;
hutan, reservoir, vector
 lingkungan sosial – ekonomi budaya : Pengetahuan, sikap dan perilaku,
adatIstiadat, Kebiasaan dsb,Ekonomi: Cara Bertani, Mencari Rotan,Getah
Dsb.
Daur hidup filariasis
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular (manusia
dan hewan), Parasit , Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan (fisik, biologik
dan sosial ekonomibudaya). Didalam tubuh nyamuk mikrofilaria yang diisap
nyamuk akan berkembang dalam otot nyamuk.Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6
hari menjadi larva L2, 8-10 hari untuk brugia atau 10 – 14 hari untuk wuchereria
akan menjadi larva L3. Larva L3 sangat aktif dan merupakan larva
infektif.ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi tidak seperti
malaria). Manusia merupakan hospes definitive. Hampir semua dapat tertular
terutama pendatang dari daerah non-endemik Beberapa hewan dapat bertindak
sebagai hospes reservoir.Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh

10
manusia melalui gigitan nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah,
larva berubah menjadi stadium 4 yang kemudian bergerak dan menuju pembuluh
dan kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan / 1 tahun kemudian larva ini berubah menjadi
cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di saluran
limfe aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah (inguinal dan
obturator), ekstremitas atas (saluran limfe aksila), dan untuk W.bancrofti
ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki (epididimidis, testis,
korda spermatikus).
Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk
embrionik/mikrofilaria) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari.
Mikrofilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus dinding
pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau terbawa oleh
saluran limfe masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus,
mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam hari antara tengah
malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak
ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan
pembuluh darah paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui,
namun diduga sebagai bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia
pada malam hari, pada saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia.
Diduga pula pH darah yang lebih rendah saat malam hari berperan dalam
terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap
nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva
stadium 2 dan kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 – 12 hari. Cacing
dewasa dapat hidup sampai 20 tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5
tahun.
Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan disebabkan oleh
Onchorcercia spp. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut
juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi
disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp.
Filariasis limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan didaerah endemic

11
sehingga merupakan masalah kesehatan masyarakat utama
dengan penyebab utama W.bancrofti. Pada beberapa tahun belakangan terjadi
peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan (urban lymphatic
filariasis) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita di per-kotaan
akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah tersebut.

C. Epidemiologi Penyakit Filariasis


Parasit ini tersebar luas di daerah tropik dan subtropik, ke utara sampai
Spanyol, ke selatan sampai Brisbane di Australia. Di belahan timur dapat
ditemukan di Afrika, Asia, Jepang, Taiwan, Filipina, Indonesia dan Pasifik
Selatan.
Frekuensi filariasis yang bersifat periodic berhubungan dengan kepadatan
penduduk dan kebersihan. Vector utama penyakit adalah Culex quinquefasciatus,
Aedes, Anopheles atau Mansonia, yang biasanya mengisap darah pada malam
hari.
Data epidemiologi filaria Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan ada
beberapa Kabupaten/Kota sebagai daerah endemis filaria dengan angka kesakitan
atau mikrofilaria rate berkisar antara 1,01% s/d 35,8%. Hasil survey darah jari
program P2 Filaria Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2004 menunjukan bahwa
Kabupaten Tabalong tergolong daerah endemis Filaria. Desa Kambitin adalah
merupakan daerah penempatan transmigran yang berasal dari Flores yang
kemungkinan berasal dari daerah endemis diduga membawa B. timori.
Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang dilakukan di masyarakat
bertujuan untuk mengetahui epidemiologi Filariasis dan sumber penularan di Desa
Kambitin Kecamatan Tanjung Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan
berdasarkan besaran masalah filariasis menurut orang, waktu dan tempat kejadian
dan mengetahui vektor apa yang ada di daerah tersebut.
Pada Survai Parasitologi dengan metode SDJ tidak ditemukan adanya
mikrofilaria,sedang pada kegiatan spot survai entomologi ditemukan 3 spesies
mansonia yaitu Mn. uniformis, Mn. anulata dan Mn. dives serta ditemukan 2
spesis culex yaitu Cx. quinguefasciatus dan Cx. annulirostrix dan 2 spesies
Anopheles (An. barbirostris dan An. nigerimus. Jumlah Nyamuk yang tertangkap

12
selama 2 kali penangkapan sebanyak 84 ekor yang jumlah terbanyak adalah
nyamuk Culex (50%) yang belum dinyatakan sebagai vektor filariasis di wilayah
Kalimantan Selatan. Hasil penelitian yang telah dilakukan dan tidak ditemukan
adanya cacing mikrofilaria. Pengetahuan responden yang berhubungan dengan
filariasis berdasarkan hasil wawancara ternyata diketahui 100% responden tidak
mengetahui tentang filariasis, hasil pengamatan langsung dilapangan tidak
ditemukan warga tanda-tanda penduduk yang mengalami pembesaran menetap
pada tangkal limfedema/elephantiasis, peradangan saluran limfe (limfangitis),
peradangan kelenjar limfe (limfedenitis), dan peradangan saluran dan kelenjar
limfe (adeno limfangistis), dan gejala lain yang menyertainya.

D. Klasifikasi Filariasis
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
a. Tingkat 1.
Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat.
b. Tingkat 2.
Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila
tungkai diangkat.
c. Tingkat 3.
Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal.
d. Tingkat 4.
Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).

E. Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan
dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk – produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh limfa sehingga

13
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran
retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema.
Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen
parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti
IL 1, IL 6, TNF α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang
sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori
dan sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan
produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga
melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan
meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa
untuk membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan
mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan
meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh
limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi
cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis.

F. Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif
yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.
Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan
fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa
bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi
kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan
klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal
dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan
penyumbatan (obstruksi), sehinggaterjadi gangguan fungsi sistem limfatik :
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan
tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan
menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan
kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-

14
luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut
(acute attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran
limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan
(fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah
berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit.
Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan
peradangan akut (acute attack).
4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent
acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:
a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-
sama dengan bakteri, yaitu :
a. Limfangitis, peradangan di saluran limfe.
b. Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe
c. Adeno limfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.
d. Abses
e. Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin)
dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa
lemah dan lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada
di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan
limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi
limfedema.
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau
jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi,
hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue
formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana
pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi
pembengkakan menetap (non pitting).

15
Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu:
1. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
2. Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =
L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar
dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Pada saat
nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan
nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada
malaria dan demam berdarah, seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang
tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif ribuan kali, sedangkan pada penularan
malaria dan demam berdarah seseorang akan sakit dengan sekali gigitan nyamuk
yang infektif .
Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia,
sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap
darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang
menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika
mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria
stadium larva L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,
sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit).
Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan B.
malayi dan B. timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku
menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang
bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada
waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam,
sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria

16
sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari.
Khusus untuk B. malayi tipe sub periodik dan non periodik nyamuk Mansonia
menggigit manusia atau kucing, kera yang mengandung mikrofilaria dalam darah
tepi, maka mikrofilaria masuk kedalam lambung nyamuk menjadi larva infektif.
Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah
endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media
terjadinya penyebaran filariasis antar daerah.

Gambar 1. Siklus filariasis

Keterangan gambar :
1. Pada saat nyamuk menghisap darah, larva filaria stadium 3 masuk
(menginfeksi) ke dalam tubuh manusia melalui kulit atau luka gigitan
nyamuk.
2. Larva berkembang menjadi cacing dewasa di dalam jaringan sub kutaneus.

17
3. Cacing betina berukuran panjang 40 sampai 70 mm dengan diameter 0,5 mm
sedangkan cacing jantan berukuran panjang 30 sampai 34 mm dengan diameter
0,35 sampai 0,43 mm. Hasil perkawinan cacing dewasa menghasilkan
microfilariae yang berukuran 250 sampai 300 µm dengan diameter 6-8 µm dan
memiliki lapisan. microfilariae aktif pada malam hari (periode diurnal). Pada
siang hari, microfilariae dapat ditemukan di darah tepi dan kadang-kadang
dapat ditemukan di paru.
4. Nyamuk menghisap mikrofilariae sehingga masuk ke usus nyamuk.
5. Di dalam usus tengah nyamuk, lapisan pelindung mikrofilariae lepas kemudian
bermigrasi ke otot dada nyamuk.
6. Di dalam otot dada nyamuk, microfilariae berkembang menjadi larva stadium 1
7. Dan semakin berkembang hingga menjadi larva stadium 3
8. Kemudian larva stadium 3 bermigrasi ke alat penghisap nyamuk dan dapat
menular ke manusia lain melalui gigitan nyamuk.

G. Manifestasi Klinis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada
dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheriabancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak
lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B.timori. infeksi W.
bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin,
tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada
saluran kemih dan alat kelamin.
Gejala klinis akut :
 Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat
 Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,
ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
 Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan
 Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah

18
 Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin perempuan dan laki-
laki yang tampak kemerahan dan terasa panas.
Gejalan klinis kronis :
a. Limfedema
Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan,
skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia,
terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku
dan lutut masih normal. 5
b. Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadangkadang
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan
limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh
(vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi
pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri
dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema
skrotum. Ukuran skrotum dapat kadang-kadang normal kadang-kadang
membesar. 3
c. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di
ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga
cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. 4Gejala yang timbul
adalah:
1. Air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak
dan kadang-kadang disertai darah (haematuria).
2. Sukar kencing
3. Kelelahan tubuh
4. Kehilangan berat badan.
d. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya
cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu
atau dua kantung buah pelir, dengan gambaran klinis dan epidemiologis
sebagai berikut:

19
1. Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar
sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
2. Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
3. Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu Chyle
(Chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi
dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan
hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh
dokter Puskesmas yang sudah dilatih.
4. Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti dan dapat
digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.
Komplikasi
a. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena
b. Elephantiasis tungkai
c. Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum,
penis,vulva vagina dan payudara.
d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pda saluran limfe testis
berulang:pecahnya tunika vaginalis.
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antaralapisan
parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan
yang berada di dalam rongga itu memang adadan berada dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
e. Kiluria : kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe
oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam
saluran kemih.

20
f. Stadium pembengkakan

H. Diagnosis
a. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik.
Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun
(Acute and Chronic Disease Rate).Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis
yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda limfadenitis
retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.
b. Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria
pada pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat
dilakukan siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria
secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
c. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar
limfe inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak
(filarial dance sign).Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran
atau albumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanya

21
abnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia
asimtomatik.
d. Diagnosis Immunologi
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,
amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi
dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang
diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan
mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen
merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih
mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal terhadap O.
gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W.
bancrofti di Papua New Guinea.

I. Prognosis
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama nila pasien
pindah dari daerah endemic. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-
kasus lanjut terutama dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk.

J. Pemberatasan
Eliminasi Filariasis
Program Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program prioritas
nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2004 – 2009.
Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan
tujuan khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria
rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan
membatasi kecacatan karena filariasis.

22
Program Eliminasi Filariasis 2010-1014
Program akselerasi eliminasi filariasis diupayakan sampai dengan tahun
2020, dilakukan dengan bertahap lima tahunan yang dimulai tahun 2010-2014.
Program eliminasi filariasis direncanakan sampai dengan 2014 atas dasar
justifikasi:
1) Di daerah endemis dengan angka lebih besar dari 1%, dapat dicegah
penularannya dengan program Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis
(POMP filariasis) setahun sekali, selama minimal lima tahun berturut-turut.
2) Penyebaran kasus dengan manifestasi kronis filariasis di 401 kabupaten/kota
dapat dicegah dan dibatasi dampak kecacatannnya dengan penatalaksanaan kasus
klinis;
3) Minimal 85% dari penduduk berisiko tertular filariasis di daerah yang
teridentifikasi endemis filariasis harus mendapat POMP filariasis.
Tujuan Program akselerasi eliminasi filariasis adalah pada tahun 2014
semua kabupaten/kota endemis wilayah Indonesia Timur telah melakukan POMP
filariasis.Prioritas di Indonesia bagian timur dikarenakan pertimbangan tingginya
prevalensi microfilaria yang tinggi (39%). Kabupaten/kota endemis daerah
Indonesia barat dan tengah juga diharapkan akan melaksanakan POMP filariasis
secara bertahap.
Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun (2010-2014) terdiri
dari lima strategi yaitu:
a. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi
pada masyarakat
b. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional
c. Meningkatkan peran Kepala Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya
d. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang didukung oleh sistem
pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengamanan kejadian ikutan
pasca pengobatan
e. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.
Rencana Kegiatan 2010-2014
Ada dua program pokok kegiatan yaitu: 1) Program akselerasi eliminiasi
filariasis, ketersediaan dan distribusi obat; 2) Progrram penguatan manejemen.

23
Kegiatan pertama mencakup: mempertahankan dan meningkatkan cakupan
pelaksanaan POMP filariasis untuk seluruh penduduk di daerah endemis secara
bertahap dengan target utama tahun 2014 adalah semua pulau di wilayah
Indonesia Timur telah melaksanakannya, meningkatkan pelaksanaan kasus klinis
filariasis dan pasca pengobatan, mengintegrasikan dengan program terkait lain,
serta menjamin ketersediaan dan distribusi obat filariasis. Kegiatan pokok kedua
antara lain mencakup: penguatan program dan sistem kesehatan dan sumber daya
manusia, peningkatan pencatatan dan pelaporan yang tepat waktu, meningkatkan
monitoring dan evaluasi, meningkatkan komitmen dan dukungan pendanaan dan
program melalui advokasi, dan sosialisasi dan mobilisasi, meningkatkan
kesadaran masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, meningkatkan surveilans.
Dasar pelaksanaan Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis):
1. Word Health Assembly Resolution No. 5. 29 Tahun 1997.
2. Komitmen Global WHO Tahun 2000
The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public
Health Problem by the year 2020
3. Komitmen nasional
Program Prioritas PPM & PL th 2002
Pencanangan oleh Menteri Kesehatan RI : 8 April 2002
Tujuan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
1. Tujuan Umum
Filariasis tidak menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat.
2. Tujuan Khusus
Menurunnya Micro Filaria (MF) rate < 1%.
Menurunnya serangan akut pada penderita kasus kronis.
Tidak bertambahnya kasus kronis baru.
Mencegah dan membatasi kecacatan.
Kebijakan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
1. Eliminasi Filariasis merupakan prioritas nasional pemberantasan penyakit
menular.
2. Kegiatan pokok dalam Eliminasi:
Pengobatan massal di daerah endemis.

24
Penatalaksanaan kasus klinis (Mandiri).
3. Satuan lokasi Pengobatan massal (Implementation Unit) adalah
kabupaten/kota.
4. Mencegah penyebaran filariasis antara kabupaten, propinsi dan Negara.
Strategi Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
1. Memutus rantai penularan filariasisà Pengobatan massal di daerah endemis.
2. Mencegah & membatasi kecacatan à penatalaksanaan kasus klinisfilariasis.
3. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara.
4. Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian.
Kegiatan Pokok Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
1. Pemetaan endemis filariasis.
2. Pengobatan massal di daerah endemis.
3. Penatalaksanaan kasus klinis.
4. Surveilans sistim.
Jenis Obat Untuk Pengobatan Massal
1. Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) yang mempunyai reaksi efek
sampingseperti: mual dan pusing.
2. Albendazole.
3. Obat simtomatis: Parasetamol, Antasida, Clorhofeneramin maleat
(CTM),Salep Antibiotika,salep anti jamur dan Amoksisilin.
Metode Pengobatan Massal
1. DEC dosis 6 mg/kg BB.
2. Albendazole 1 tablet 400mg/orang.
3. Parasetamol 500mg, 50mg /kgBB.
4. Dosis tunggal, 1kali/tahun, minimal 5 tahun berturut-turut.
Pentahapan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
1. Penemuan kasus kronis Filariasisà survai cepat.
2. Pemetaan endemisitas kabupaten / kota.
3. Penetapan data dasar praeliminasi untuk sentinel dan spot check site.
4. Pengobatan massal dan tatalaksana kasus.
5. Monitoring dan evaluasi.
6. Sertifikasi eliminasi filariasis.

25
Pendekatan Perluasan Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
1. Pendekatan kepulauan.
Pengobatan massal serentak pulau perpulau.
2. Pendekatan lintas batas.
Mengutamakan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten
/kota yang sedang melaksanakan pengobatan massal.
3. Pendekatan epidemiologi.
Mengutamakan kabupaten/kota yang punya kesamaan geografi, budaya,
mobilitas penduduk kasus kronis filariasis à secara epidemiologi mudah
terjadi penularan.
Pencegahan

1. Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk


a. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu
b. Menggunakan repellent
2. Memberantas nyamuk serta sumber perindukan
3. Meminum obat anti penyakit gajah secara masal
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang
penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta
keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita
dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia
diperiksa darah kapiler jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta
menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan
setelah 5 tahun, dengan melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah
tepi untuk deteksi mikrofilaria.

K. Penatalaksanaan
a.) Medis
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik
untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi
memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan

26
mudah diatasi dengan obat simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai
untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam,
diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan
diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur
kurang dari 2 bulan, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam
keadaan lemah. Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12
hari sebanyak 6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5
mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg
BB selama 2–3 minggu. Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan
mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering
diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan
sempurna. Elephantiasis dan hydrocele memerlukan penanganan ahli bedah.
Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam, sakit kepala,
sakit pada otot dan persendian, mual, muntah, menggigil, urtikaria, gejala asma
bronkial sedangkan gejala local berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus,
funikulitis, epididimitis, orchitis dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi
beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2–5 hari dan lebih
sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal terjadi
beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa
hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala
klinis. Reaksi samping mudah diobati dengan obatsimptomatik.
Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia,
sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total
standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping
Dietilkarbamasin sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maim
diharapkan dapat dikembangkan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/ kurang
memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita.
1. Pengobatan Masal
Dilakukan di daerah endemis (mf >1%) dengan menggunakan obat Diethyl
Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albendazole sekali
setahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan
seperti demam atau pusing dapat diberikan Paracetamol. Pengobatan masal

27
diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia ke atas. Yang ditunda selain usia ≤
2 tahun, wanita hamil, ibu menyusui dan mereka yang menderita penyakit
berat.
2. Pengobatan Selektif
Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga
yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil
survey mikrofilaria < 1% (non endemis)
3. Pengobatan Individual
Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari
sebagai pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian
organ tubuh yang bengkak.

1. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan (NANDA)
1. Nyeri Kronis definisi sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman
emosional yang meningkat dari aktual menjadi potensial kerusakan jaringan
atau menggambarkan suatu isyarat dari adanya kerusakan (International
Association for the Study of Pain);onsetnya tiba-tiba atau perlahan dari
berbagai intensitas dari ringan hingga berat, konstan atau berulang tanpa
antisipasi atau dapat diprediksi akhir dari nyerinya dan durasi > 6 bulan. b.d
Ketidakmampuan fisik yang kronis
Ditandai dengan:
 Perubahan kemampuan dalam melanjutkan kegiatan sebelumnya
 Penurunan interaksi dengan orang lain
 Melaporkan secara verbal dari rasa nyeri
DO: Tn. Utuh malu untuk bersosialisasi dengan warga sekitar
DS: Kx mengatakan “merasa sakit di daerah lipatan paha kanan, apalagi jika
dibawa bekerja keras”
Kx mengatakan “sudah menderita penyakit itu sejak 18 bulan yang lalu”
2. Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan body image

Intervensi:

28
 Mengakui kenormalan perasaan

 Dengarkan keluhan pasien dan tanggapannya mengenai keadaan

 Perhatikan perilaku menarik diri, menganggap diri negative, penolakan/ tidak

terlalu mempersalahkan actual

 Anjurkan pada keluarga terdekat untuk memperlakukan pasien secara normal

 Terima keadaan pasien dan perlihatkan perhatian pada pasien sebagai

individu

NANDA, NOC dan NIC


Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
NANDA
Nyeri Kronis b.d Pengetahuan: Manajemen Nyeri
Ketidakmampuan Manajemen Nyeri (Pengurangan atau
fisik yang kronis (Tingkat pemahaman penurunan rasa nyeri ke
dalam menyampaikan tingkat yang nyaman yang
penyebab, gejala dan bisa diterima oleh pasien)
pengobatan nyeri) - Lakukan pengkajian
- Faktor penyebab dan nyeri secara menyeluruh
yang berkontribusi termasuk lokasi,
dalam menyebabkan karakteristik,
nyeri onset/durasi, frekuensi,
- Tanda dan gejala nyeri kualitas, intensitas atau
- Menggunakan resep obat keparahan dari nyeri dan
yang aman faktor presipitasinya.
- Efek terapeutik - Observasi isyarat
pengobatan nonverbal dari
- Efek samping ketidaknyamanan
pengobatan - Eksplorasi bersama
- Teknik posisi yang pasien faktor yang

29
efektif meningkatkan/
memperburuk nyeri
Kontrol Nyeri (tindakan - Anjurkan pasien untuk
seseorang dalam menggunakan
mengontrol nyeri) pengobatan nyeri yang
- Menjelaskan faktor adekuat
penyebab - Tingkatkan istirahat/
- Melaporkan kontrol tidur yang adekuat untuk
nyeri mengurangi nyeri
- Menggunakan analgesik - Ajarkan untuk
yang dianjurkan menggunakan teknik
- Melaporkan perubahan nonfarmakologi
gejala nyeri kepada ahli (Contohnya relaksasi,
kesehatan pijatan/ massage)
- Kurangi atau eliminasi
Nyeri: Efek yang faktor yang memperberat
mengganggu (Observasi atau meningkatkan
atau laporan adanya pengalaman nyeri
keparahan dari efek yang (Contohnya kelelahan)
mengganggu dari nyeri
kronik dalam kehidupan
sehari-hari)
- Gangguan peran
- Gangguan mobilitas
fisik

Harga diri rendah b.d Setelah dilakukan a. Bantu klien agar


Penyakit perawatan selama realistis, dapat
2x24 jam menerima
diharapkan klien keadaanya
dapat menerima dengan
perubahan menjelaskan

30
dirinya setelah bahwa
diberi penjelasan perubahan
dengan kriteria fisiknya tidak
hasil: akan kembali
1. Klien dapat normal.
menerima b. Ajarkan pada
perubahan klien agar dapat
dirinya selalu menjaga
2. Klien tidak kebersihan
merasa kotor tubuhnya dan
(selalu menjaga latihan otot
kebersihan) tangan dan kaki
3. Klien tidak untuk mencegah
merasa malu kecacatan lebih
- lanjut.
c. Anjurkan klien
agar lebih
mendekatkan
pada Tuhan
YME.

31
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Filariasis adalah kelompok penyakit yang mengenai manusia dan binatang
yang disebabkan oleh parasit kelompok nematode yang disebut filaridae., dimana
cacing dewasanya hidup dalam cairan san saluran limfe, jaringan ikat di bawah
kulit dan dalam rongga badan. Cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria
yang dapat ditemukan dalam darah, hidrokel, kulit sesuai dengan sefat masing-
masing spesiesnya.Penyakit filariasis banayak ditemukan di berbagai negara
tropik dan subtropik, termasuk Indonesia. Prevalensi tidak banyak berbeda
menurut jenis kelamin, usia maupun ras.
Penyakit filariasis dapat disebabkan oleh berbagai macam spesies,
sehingga gambaran klinisnya spesifik untuk masing-masing spesies, misalnya
bentuk limfatik biasnya digunakan sebagai tanda bahwa penyakit tersebut
disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, dimana
parasit dapat menyumbat saluran limfe dengan manifestasi terbentuknya
elefantiasis, sedangkan Loa loa ditandai dengan calabar swelling. Onchocerca
volvulus menyebabkan kebutaan dan pruritus pada kulit.
Diagnosis penyakit ini dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah,
sedangkan bila tidak ditemukan mikrofilaria maka diagnosis dapat berdasarkan
riwayat asal penderita, biopsi kelenjar limfe, dan pemeriksaan serologis.Prinsip
terapi ialah dengan menggunakan kemoterapi untuk membunuh filaria dewasa dan
mikrofilarianya serta mengobati secara simpotomatik terhadap reaksi tubuh yang
timbul akibat cacing yang mati. Dapat juga dilakukan pembedahan.
Pencegahan penularan penyakit ini dapat dilakukan dengan menggunakan obat-
obatan seperti DEC ataupun dengan mengontrol vektor.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun dengan penuh kerjasama.
Diharapkan dengan adanya makalah ini mahasiswa dapat menambah wawasan
mengenai penyakit Filariasis. Selain itu mahasiswa juga mampu memahami

32
secara teoritis mengenai penyakit ini serta mampu mebuat asuhan keperawatan
tentang kasus Filariasis. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
referensi akademik untuk melengkapi bahan pembelajaran dan motivasi
mahasiswa untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang penyakit Filariasis.
Kelompok menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk dapat
memperbaiki penulisan makalah ini selanjutnya.

33
DAFTAR PUSAKA

Notoatmodjo S, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Rineka Cipta, 1997.

Depkes RI, Epidemiologi Filariasis,Jakarta:Ditjen PP & PL, 2006.

Depkes RI, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis, Jakarta: Ditjen PP


&PL, 2006.

Depkes RI, Pedoman Promosi Kesehatan Dalam Eliminasi Filariasis,


JakartaDitjenPP & PL, 2006.

Riyanto H. Penyakit Kaki Gajah dan Kita.Edisi 109/Tahun Gemari XI/, 2010.

Kurniawan L. Filariasis-Aspek Klinis, Diagnosis, Pengobatan dan


Pemberantasannya.Cermin Dunia Kedokteran; 96, 1994.

Anonymous.Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di


Indonesia. Jakarta: Subdit Filariasis &Schistomiasis DirektoratP2B2,
DITJEN PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia , 2010.

Brooker Chris. Ensiklopedia keperawatan. Jakarta: EGC, 2005.

Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-2011.


2009. United States of America: Mosby Elsevier.

Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. Nursing Outcome Classification


(NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier, 2009

Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. Nursing Interventions Classification


(NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier, 2009

34

Anda mungkin juga menyukai