Anda di halaman 1dari 13

Morbus Hansen

Leopold Karsa Prapaskalis

102013309

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat Tlp : 5666952

leopold.karsa@ymail.com

Pendahuluan
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari Bahasa india kushta, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata kusta disebut dalam kitab injil, terjemahan dari
bahasa Hebrew Zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.
Penyakit Kusta bukan hanya memperburuk estetika seseorang tetapi juga dapat
menyebabkan seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di Indonesia sendiri kasus Kusta
masih cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti di Maluku,
Papua, dan juga di Pulau Jawa.1
Dalam skenario ini diketahui beberapa ciri yang mengarahkan masalah ini kepada
penyakit kusta atau lepra. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dijelaskan mengenai
penyakit kusta atau lepra tersebut dengan beberapa penyakit lain yang mungkin sama
gejala klinisnya dengan kusta tersebut.

Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hal-hal yang
ditanyakan dalam anamnesis adalah berupa keluhan utama, riwayat penyakit sekarang
(RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), profil penderita dan riwayat medik keluarga.
Keluhan utama mencerminkan masalah sebagaimana yang diidentifikasikan oleh
penderita. Riwayat penyakit sekarang mengalir sesuai dengan keluhan utama untuk
menyelidiki lebih lanjut mengenai keluhan utama. Riwayat penyakit dahulu ditanyakan
untuk mengetahui apakah pasien sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit, penyakit-

1
penyakit jangka lama yang memerlukan pengobatan yang ekstensif, dan riwayat trauma
berat. Profil penderita untuk memperkenalkan masalah-masalah yang sangat pribadi dan
sensitif, yang bukan merupakan kebiasaan penderita untuk mendiskusikannya dengan
orang yang tidak dikenal. Riwayat medik keluarga untuk membentuk genogram (pohon
keluarga) dari kesehatan dan penyakit, dan pencarian terhadap pola familial rekuren yang
umum. Hal ini berguna untuk survey terhadap pola-pola penyakit.2

Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital (TTV) adalah nadi, pernapasan, suhu, dan tekanan darah. Semuanya
harus diukur dalam setiap pemeriksaan yang lengkap dan dalam banyak pertemuan
singkat. Mereka vital karena mengandung ukuran-ukuran klinis kuantitatif yang sangat
besar nilainya.2
Nadi merupakan refleksi perifer dari kerja jantung dan penjalaran gelombang dari
proksimal ke distal. Kecepatan nadi normal pada dewasa yang sehat berkisar dari 50-100
denyut/menit. Kecepatan pernapasan normal adalah 12-18 kali/menit. Suhu tubuh
manusia secara fisiologis rata-rata adalah 37oC (98,6oF). tekanan darah normal pada
kebanyakan orang dewasa sehat berkisar antara 90/50 dengan 140/90. Pemeriksaan tanda-
tanda vital didapati adanya peningkatan suhu 39oC, tekanan darah yaitu 120/80, denyut
nadi 80 kali/menit dan pernapasan 18 kali/menit.2
Pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan dalam konteks pemeriksaan fisik umum.
Hal ini terutama untuk sistem kardiovaskular dan musculoskeletal. Hal-hal berikut
penting dinilai pada penyakit vascular sistem saraf yaitu, nadi, tekanan darah, murmur
dan bruit (jantung, karotis, kranial, atau spinal).3
Pada sistem muskuloskeletal, sangat penting untuk memeriksa tulang tengkorak,
tulang belakang dan deformitas sendi. Berbagai komponen pemeriksaan neurologis yang
harus diskrining pada setiap pasien yaitu, tingkat kesadaran, fungsi kognitif, cara
berbicara, saraf kranial, leher dan batang tubuh, ekstremitas (motorik dan sensorik), dan
pola berjalan.3
Detil-detil yang diperlukan untuk setiap bagian akan terlihat saat anamnesis. Jadi,
pada banyak konsultasi rawat jalan standar, tingkat kesadaran dan fungsi kognitif dinilai
dari kemampuan pasien untuk mengemukakan riwayat penyakitnya secara koheren. Akan
tetapi pada keadaan gawat darurat, pasien tidak sadar misalnya karena kecelakaaan, atau

2
pasien dengan penurunan kesadaran di bangsal umum rumah sakit, maka aspek-aspek ini
memerlukan penilaian lebih lanjut yang mendetil.3
Kusta terkenal sebagai penyakit yang ditakuti karena dapat menyebabkan deformitas
atau cacat tubuh. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat berbentuk
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Jika secara inspeksi mirip penyakit lain, ada
tidaknya anastesia sangat banyak membantu dalam penentuan diagnosis, meskipun tidak
selalu jelas. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap
rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan jika masih belum jelas dengan kedua cara
tersebut maka dapat dilakukan pengujian terhadap suhu, yaitu panas dan dingin dengan
menggunakan dua tabung reaksi. 1
Untuk mengetahui adanya kerusakan saraf otonom dapat dilihat pada ada atau
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat juga tidak, yang dipertegas
dengan pen tinta (Tanda Gunawan). Cara menggoresnya dari tengah lesi kearah kulit
normal. Bila ada gangguan maka goresan pada kulit yang normal akan lebih tebal
dibandingkan dengan goresan pada bagian tengah lesi. Dapat juga diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi sulit menentukan
pada orang yang memiliki kulit berambut sedikit. Gangguan fungsi motoris dapat
diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). 1

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menguatkan atau menunjang dan
menyingkirkan working diagnosis dan differential diagnosis.4
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan basil tahan asam (BTA) Ziehl Neelson. Pertama-
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih
dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.1
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut
Ridley. Seperti tertera di bawah ini:

3
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel


dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid.
Tipe lepromatosa terdapat area sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur–
unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.1
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis
merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan
terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan
ML dipstick.1
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap M.leprae. 0,1
ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian disuntikan
intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi fernandez), dapat
juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat
indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita bereaksi terhadap M.leprae, yaitu
memberikan respon imun tipe lambat. Sementara itu, Reaksi Mitsuda bernilai seperti
dibawah ini:

0: Papul berdiameter 3mm atau kurang

+1 : Papul berdiameter 4-6mm

+2 : Papul berdiameter 7-10mm

+3 : Papul berdiameter lebih dari 10mm

4
Diagnosis
Lepra atau kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah
Mycobacterium leprae (M.leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama lalu kulit dan ulkosa traktus respiratorius bagian atas dan dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat. Lepra dikenal juga dengan nama Morbus Hansen. 1
Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis
dan subtropik, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Semakin rendah sosial
ekonominya semakin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat
membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M.leprae yang
mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) pada berbagai suku
bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda. 1
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat mengandung
banyak M.leprae yang berasal dari traktus respiratoris atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi yang pertama. Dapat menyerang semua umur, dan anak-anak
lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi didapatkan pada kelompok umur
antara 25-35 tahun. 1
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat di biakkan
dalam media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm,
tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.1
M.leprae sebenarnya memiliki patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menyebabkan
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas
infeksinya. 1
Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Bila
kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh maka dapat timbul gejala klinis

5
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis kea rah
tuberkoloid, dan sebaliknya bila SIS rendah maka gambarannya adalah lepromatosa.
Kusta dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe indeterminate (tidak termasuk spectrum) dan tipe
determinate. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk yaitu: 1
1.TT :Tuberkuloid polar (stabil)
2.Ti :Tuberkuloid indefinite
3.BT :Borderline lepromatous
4.BB :Mid Borderline
5.BL :Borderline lepromatous
6.Li :Lepromatous indefinite
7.LL :Lepromatosa polar (stabil)

Lepra tipe Indeterminate (I)


Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian
menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20
sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia
dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian
besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang
menjadi salah satu tipe determinate.5

Lepra tipe Determinate

1. Lepra tipe Tuberkuloid (TT)


Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebut
dapat berupa bercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta
hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut (alopesia). Kadang kala ditemukan penebalan
saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n.
auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif,
sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya
imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.5

6
2. Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil
dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit.
Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas.
Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra
BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.1
3. Lepra tipe Mid Boderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat
berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi
serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punchedout). Hasil
pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+
dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidak stabil.1
4. Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau bercak-bercak
eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda
dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat. Kelainan saraf ringan. Hasil
pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis
4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.5
5. Lepra tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah
banyak, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta
batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang
pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada
stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya cairan hidung yang
bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan
penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.
Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu
mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari tangan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis
dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan,
menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul
suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan
ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan
indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.5

7
Menurut WHO (1981) kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang
termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling
dengan indeks bakteri lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT
dengan indeks bakteri kurang dari 2+.1
Mengenai saraf perifer yang perlu diketahui adalah pembesaran, konsistensi, ada atau
tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya
lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. 1
Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
antara lain kontraktur sendi dan mutilasi tangan dan kaki. 1
Kerusakan saraf juga terjadi pada penderita lepra. Gejala yang ditunjukan dari
kerusakan N.ulnaris adalah anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interosesus serta kedua
otot lumbrikalis medial. Gejala pada kerusakan N.medianus, meliputi anastesia pada
ujung jari pada bagian anterior ibu jari; telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu
jari, clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur, serta atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikalis lateral. 1
Gejala kerusakan dari N.radialis antara lain anastesia dorsum manus dan ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tak mampu ekstensi jari-jari atau
pergelangan tangan. Gejala kerusakan N.poplitea lateralis antara lain anastesia tungkai
bawah bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot
peroneus. Gejala kerusakan pada N.tibialis posterior meliputi anastesia telapak
kaki, claws toes, paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. 1
Kerusakan pada mata juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis dan bulu mata, juga mendesak jaringan lainnya. Sekunder terjadi akibat
kerusakan N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbikularis palpebrarum sebagian
atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus kehilangan ekpresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan pada bagian-bagian mata
lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.

8
Terakhir, jika terjadi kerusakan pada N.trigeminus, pasien akan mengalami anastesia
kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, selain itu juga akan terjadi atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateral. 1

Diferential diagnosis
Leucoderma atau yang dalam dunia medis dikenal sebagai Vitiligo adalah kelainan
kulit kronis yang menyebabkan depigmentasi kulit. Hal ini menyebabkan perubahan
warna pada bagian kulit yang disebabkan penurunan bertahap melanin dari lapisan dermal
atau dikarenakan kerusakan fungsi dari sel-sel melanosit. Awalnya penderita mungkin
tidak menyadari atau mengabaikan perubahan warna karena hanya bercak putih sedikit
saja, tapi seiring denan berjalannya waktu, perubahan warna mulai membesar dan bahkan
bertambah banyak. Depigmentasi kulit biasanya terjadi di dekat mulut, mata, hidung, jari,
kuku, alat keelamin dan umbilikus. Michael Jackson adalah salah satu penderita
Leucoderrma (Vitiligo). 6
Tanda-tanda klinis yang dapat dilihat adalah timbulnya bercak putih pada kulit yang
makin lama makin membesar, rambut beruban lebih awal, kehilangan rambut, rambut di
bagian yang terdapat becak berubah menjadi putih, peka terhadap dingin, dan pasien
mungkin sering menderita perubahan suasana hati atau depresi. Penyebab umum
leucoderma bisa disebabkan penyakit lambung kronis atau akut, kekurangan kalsium,
kondisi kulit inflamasi, luka bakar, stres yang berlebihan, penurunan fungsi hati,
mengenakan pakaian ketat, mengenakan sarung tangan ketat, atau menggunakan tato pada
kulit. 6
Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor disebabkan Malassezia furfur adalah
penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif,
berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama
meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai
atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. Orang awam biasa menyebutnya
dengan panu. 1
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di
badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur
sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat
dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan

9
biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia
berpenyakit tersebut. 1
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan
berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh
toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Penyakit ini
sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari
infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor mempengaruhi infeksi, yaitu faktor
herediter, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan
malnutrisi. 1

Penatalaksanaan
DDS (Dapson)
DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat berupa tablet
warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat bakteriostatik yaitu
menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis: dewasa 100 mg/hari, anak-
anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa anemia hemolitik. 1
Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap obat
ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakah obat harus
distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau makan, mual,
muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala vertigo, penglihatan
kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan. 1

Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10mg/kg berat badan, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap
minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. 1
Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai
obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama
terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson dan Hastings. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit. 1

10
Klofazimin (laprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari,
atau 3 antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis
lebih yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu. Resistensi
pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982. 1
Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada
sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah
dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat
warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit. Pigmentasi
bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping
lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia,
dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. 1
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila
bekerja dengan benda tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi
matanya. 1
Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan
memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu
member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan
dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik
(kejiwaan). 1
Pengobatan MDT (multi drug treatment) berguna untuk mengatasi resistensi Dapson
yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat,
menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta
tersebut (WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin
Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT(Release From
Treatment). Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan
ROM.1

11
Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang
menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif. Gejala
yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL, bisa berubah
menjadi tipe LL apabila mengalami rekasi downgading (imunitas menurun) atau justru
menjadi tipe TT apabila mengalami upgrading (imunitas meningkat), kedua reaksi
tersebut disebut sebagai rekasi lepra tipe 1.1
Sementara itu dapat juga muncul reaksi lepra tipe 2 yaitu ENL (eritema nodosum
leprosum) yang timbul pada tipe TT dan LL. Pada reaksi ini, imunitas humoral menurun
sehingga terjadi reaksi dengan antigen yang banyak dilepas dan kemudian mengaktifkan
komplemen. Pasien dapat mengalami ini pada saat menerima terapi Dapson. Gejalanya
dapat berupa maligna, demam, sampai menggigil. Selain itu, infiltrat pada lesi juga dapat
bertambah. 1
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini
membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,
oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary
amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

Kesimpulan
Lepra atau kusta merupakan salah satu penyakit yang menakutkan. Bukan hanya
dikarenakan dapat menyebabkan cacat fisik, tetapi juga dapat menyebabkan gangguan
psikis pada pasien akibat cacat tersebut. Dengan demikian kusta harus segera dideteksi
agar dapat segera diobati untuk mengurangi resiko cacat tersebut.

Daftar pustaka
1) Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed. VI.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.h.73-88.
2) Willms JL, Schneiderman H. Diagnosis fisik : evaluasi diagnosis dan fungsi di
bangsal. Jakarta:EGC;2005.h.9-13,30-1.
3) Ginsberg L. lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta:Erlangga;2007.h.6-7.

12
4) Sudiono H, Iskandar I. Penuntun patologi klinik. Jakarta:FK Ukrida;2007.h.2.
5) Amirudin D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-
68.
6) Sharma S.K. Miracles of urin therapy. New Delhi: Diamond Pocket
Books; 2005.h.104.

13

Anda mungkin juga menyukai