Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit hepatitis A merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang di dunia, termasuk di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

Menurut data WHO (2013) sebanyak 1,4 juta pasien di dunia mengalami
penyakit hepatitis A tiap tahunnya.

Hepatitis A di Indonesia muncul dalam kejadian luar biasa (KLB). Pada


tahun 2010 tercatat 6 kejadian luar biasa dengan jumlah penderita 279,
sedangkan tahun 2011 tercatat 9 kejadian luar biasa dengan jumlah penderita
550. Tahun 2012 bulan Juni, telah terjadi 4 kejadian luar biasa dengan jumlah
penderita 204 (Kemenkes, 2012).

Tahun 2012, hepatitis A juga ditemukan di Kabupaten Banyumas


sebanyak 30 kasus, dengan sebagian besar penderita adalah pelajar dan
mahasiswa (Marantika, 2013).

Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) pada


Tahun 2011–2012 terdapat beberapa daerah yang melaporkan kejadian luar
biasa (KLB) hepatitis A antara lain Jember, Sidoarjo, Tasikmalaya, Depok,
Lampung Timur, Bogor, dan Bandung. Kelompok masyarakat yang terkena
KLB hepatitis A mayoritas terjadi pada pelajar dan mahasiswa.

Data dari klinik asrama dan Biro Hukum, Promosi, dan Humas IPB
menyebutkan sebanyak 28 orang diduga menderita penyakit Hepatitis A.
Penderita adalah mahasiswa yang tinggal di asrama dan rumah kost di sekitar
kampus IPB Dramaga Bogor. Adapun gejala terbanyak yang diderita adalah
demam, mual, muntah, dan air kencing berwarna kuning seperti teh
(Kemenkes RI, 2015).
2

Peningkatan prevalensi dan distribusi kasus hepatitis A selama tahun


2010–2012 di Indonesia, mengakibatkan Indonesia termasuk negara dengan
status Endemis Hepatitis (Kemenkes RI, 2014).

Jika Hepatitis A ini tidak segera ditangani dan diobati, maka dapat
menyebabkan peradangan pada hati yang bisa berujung pada kematian. Selain
itu Hepatitis A juga dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB), status
kesehatan dan tingkat prestasi belajar menurun terutama dikalangan remaja
atau pelajar (Wijayanti, 2014).
Penerapan pola hidup bersih dan sehat di kalangan pelajar sangatlah sulit,
terkadang walaupun mengetahui arti hidup bersih dan sehat, tetapi mereka
tetap mengabaikannya, dan seolah-olah tidak tahu tentang arti hidup bersih
dan sehat. Misalnya, walaupun mereka tahu jajanan yang menurut kriteria
bersih tetapi mereka tetap membeli jajanan sembarang yang dainggap mereka
bahwa jajanan itu enak untuk dimakan. Padahal hal tersebut merupakan salah
satu faktor risiko untuk tertularnya penyakit Hepatitis A. Fakta tersebut
menggambarkan bahwa remaja di Indonesia kurang peduli terhadap perilaku
hidup bersih dan sehat sebagai cara pencegahan Hepatitis A (Wijayanti, 2014).

Hepatitis A mulai diidentifikasi pada tahun 1973 sebagai penyakit infeksi


karena sifatnya yang sangat menular. Sumber penularan umumnya terjadi
karena pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang
tercemar, sanitasi yang buruk dan personal hygiene yang rendah (Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI, 2014).

Hepatitis A dalam tindakan pencegahannya, dapat melalui kebersihan


lingkungan terutama terhadap makanan dan minuman serta melakukan
perilaku hidup bersih dan sehat (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI,
2014).

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau


objek yang berkaitan dengan sakit penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
3

Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) ada 3 faktor


yang mempengaruhi perilaku individu maupun kelompok yaitu faktor
presdisposing factor, enabling factor, dan reinforcing factor.

Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) mencakup


pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya, persepsi, beberapa karakteristik
individu, misalnya umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
Faktor pendukung (enabling factor) mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Faktor pendorong
(reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat perubahan mencakup
orang tua, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Yanti tahun 2012 dengan judul


“Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Pencegahan Hepatitis B
Pada Mahasiswa Keperawatan Fikkes Di Unimus” dengan menggunakan
metode cross sectional dan teknik pengambilan sampel adalah accidental
sampling, serta uji statistik yang di gunakan adalah uji Spearman Rank.

Hasil penelitian diperoleh lebih dari 50% memiliki perilaku yang baik
dalam upaya pencegahan hepatitis B. Hal tersebut dapat dikarenakan faktor-
faktor yang mendukung terjadinya perilaku tersebut. Faktor tersebut dapat
berupa pengetahuan tentang perilaku pencegahan hepatitis B yang mereka
peroleh saat perkuliahan atau informasi dari luar seperti buku-buku atau
internet dan pengalaman praktik yang sudah pernah dilakukan (Yanti, 2012).

Selain itu sikap juga merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku


seseorang. Dalam hal ini lingkungan juga dapat mempengaruhi sikap
seseorang, dimana lingkungan mahasiswa yang mendukung akan
mengarahkan sikap yang positif dan perwujudan perilaku yang baik, begitu
pula sebaliknya. Lingkungan yang ada pada mahasiswa Keperawatan Fikkes
di Unimus khususnya, sangat mendukung terjadinya perilaku baik dalam
upaya pencegahan hepatitis B (Yanti, 2012).
4

Penelitian sebelumnya juga dilakukan Ratnajuwita tahun 2013 dengan


judul “Pengetahuan, Sikap Terhadap Perilaku Pencegahan Transmisi Hepatitis
B Saat Melayani Kontrasepsi Implan Pada Bidan Desa Di Puskesmas
Kabupaten Puworejo 2013” dengan metode cross sectional dan teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, serta uji statistik
yang digunakan adalah uji chi square.

Hasil penelitian dengan variabel independen mencakup faktor


pengetahuan, sikap dan karakteristik responden (pendidikan, umur dan lama
kerja) adalah tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku pencegahan,
tidak ada hubungan pendidikan dengan perilaku pencegahan, tidak ada
hubungan antara lama kerja dengan perilaku pencegahan, tidak ada hubungan
antara lama kerja dengan perilaku pencegahan, ada hubungan antara
pengetahuan dengan perilaku pencegahan, serta tidak ada hubungan antara
sikap dengan perilaku pencegahan (Ratnajuwita, 2013).

Berdasarkan permasalahan perilaku pencegahan hepatitis dari hasil


penelitian sebelumnya, peneliti melakukan survei awal pada tanggal 19 Mei
2017 di Puskesmas Moch Ramdhan. Dari hasil pendataan, ditemukannya
kasus hepatitis A pada salah satu wilayah kerja Puskesmas Moch Ramdhan
yaitu pada kelurahan Ciaeteul Kecamatan Regol.

Terdapat 9 penderita hepatitis A yang masing-masing tersebar pada RW


01 yaitu 4 orang (usia 7 tahun-23 tahun), RW 02 yaitu 3 orang (usia 15 tahun-
52 tahun), RW 04 yaitu 1 orang (usia 5 tahun) dan RW 05 yaitu 1 orang (usia
16 tahun). Dan pada tanggal 8 Juni 2017, status penderita hepatitis A menjadi
15 orang dengan ditemukannya penambahan 6 penderita hepatitis A di RW 09
(usia 16-22 tahun) Ciateul Kecamatan Regol Bandung (Laporan Bulanan
2017, Puskesmas Moch Ramdhan).

Dari hasil laporan, kejadian hepatitis A belum pernah terjadi selama 2


tahun terakhir ini di wilayah Puskesmas Moch Ramdhan (Laporan Tahun
2015-2016, Puskesmas Moch Ramdhan).
5

Puskesmas Moch Ramdhan adalah salah satu Puskesmas Jejaring dari


UPT Puskesmas Pasundan sejak tahun 2008 yang terletak di Kelurahan
Ciateul Kecamatan Regol. Memiliki 3 wilayah kerja yaitu Kelurahan Ciateul,
Kelurahan Cigereleng dan Kelurahan Ciseureuh dengan batasan wilayah kerja
sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Pungkur dan Balong Gede,
sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Nyengseret dan Kelurahan
Karasak, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Wates dan sebelah
Timur berbatasan dengan Kelurahan Ancol dan Kelurahan Pasirluyu. Adapun
kelurahan Ciateul terdiri dari 9 RW yang memiliki 2084 KK yang
sebagiannya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang (Laporan Tahun
2016, Puskesmas Moch Ramdhan).

Penyakit hepatitis A dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial


karena lamanya masa penyembuhan dengan rasa lelah yang dapat
berlangsung selama beberapa bulan seiring dengan penyembuhan di dalam
hati. Penyakit ini juga tidak memiliki pengobatan spesifik yang dapat
mengurangi lama penyakit, sehingga dalam penatalaksana hepatitis A,
tindakan pencegahan adalah yang paling diutamakan (Kemenkes, 2012).

Pencegahan termasuk ke dalam bentuk perilaku, dengan melakukan


perilaku pencegahan hepatitis A seperti imunisasi, tidak mengkonsumsi
makanan dan minuman secara bersama dan mencuci tangan pakai sabun,
maka seseorang dapat terhindar dari penyakit hepatitis A (Sakti, 2012).

Pengetahuan menjadi titik awal dalam membangun sebuah kesadaran,


pelajar dan mahasiswa menjadi agen yang efektif untuk membantu
menyebarkan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran akan hepatitis A.
Pelajar dan mahasiswa diharapkan menjadi agen perubahan karena usia,
kualifikasi pendidikan dan budaya mempunyai pengaruh dalam pengetahuan
dan kesadaran hepatitis subjek (Pathmanathan dkk, 2014).

Jumlah kasus hepatitis A di Kelurahan Ciateul terbanyak ditemukan di


RW 09 pada kelompok usia remaja sebagai pelajar dan mahasiswa dengan
usia 12 tahun-22 tahun (Laporan Bulanan Puskesmas Moch Ramdhan, 2017).
6

Menurut sasoka, dkk (2012) dalam penelitiannya tentang “Hubungan


Antara Higiene Perseorangan Dengan Kejadian Hepatitis A Pada
Pelajar/Mahasiswa Di Kecamatan Sumbersari” menyatakan bahwa,
pelajar/mahasiswa yang menderita hepatitis A mayoritas memiliki higyene
perseorangan yang buruk.
Sikap mahasiswa dalam menjaga kebersihan dan kesehatan dirinya
dinilai kurang terutama untuk pencegahan terhadap hepatitis A. Higiene
perseorangan dalam rangka mencegah agar tidak tertular hepatitis A antara
lain seperti perilaku cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
menggunakan sabun, perilaku sering bertukar alat makan dengan teman, dan
kebiasaan minum air tanpa dimasak, sering bergantian menggunakan botol
minum atau gelas dengan teman serta memiliki teman sekamar atau sekelas
yang lebih dulu menderita hepatitis A. Perilaku ini dapat menjadi penyebab
pelajar/mahasiswa terkena hepatitis A.

Berdasarkan hal tersebut maka tema penelitian ini ingin


mengindentifikasi faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku remaja
(predisposing factor) dalam pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul
Kecamatan Regol, diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan faktor
faktor yang mungkin bisa dijadikan bahan masukan untuk melakukan promosi
kesehatan terhadap upaya pencegahan penyakit hepatitis A.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini sebagai berikut: “adakah pengaruh faktor
predisposisi terhadap perilaku remaja dalam pencegahan hepatitis A di RW 09
Ciateul kecamatan Regol Bandung ?”.
7

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku
remaja terhadap pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul Kecamatan
Regol Bandung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik remaja mencakup usia dan
pendidikan di RW 09 Ciateul.
b. Mengetahui pengaruh usia dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
c. Mengetahui pengaruh pendidikan dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
d. Mengetahui pengaruh pengetahuan dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
e. Mengetahui pengaruh sikap dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Manfaat penelitian bagi puskesmas Moch Ramdhan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan bagi puskesmas untuk meningkatkan kebijakan dalam
mencegah terjadinya hepatitis A.
b. Manfaat penelitian bagi STIK Immanuel Bandung
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang
pengetahuan kesehatan terutama tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku terhadap pencegahan hepatitis A.

c. Manfaat untuk peneliti selanjutnya


8

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai data awal dalam
melakukan penelitian selanjutnya serta dapat digunakan untuk
pengembangan dalam mengaplikasikan penelitian tentang faktor-
faktor yang memepengaruhi perilaku remaja terhadap pencegahan
hepatitis A.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai pengembangan studi kesehatan
masyarakat dalam tema, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku remaja
terhadap pencegahan hepatitis A, serta menjadi pembelajaran dalam upaya
meningkatkan pelayanan promosi kesehatan di masyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
9

A. Hepatitis

1. Pengertian hepatitis A
Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatis A dan
merupakan penyakit endemis di beberapa negara berkembang.
Hepatitis A merupakan jenis hepatitis yang ringan, bersifat akut,
sembuh spontan tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi
kronik ( Patogenis, 2013).
Hepatitis A merupakan infeksi virus hepatitis A (VHA) yang bersifat
akut. Secara global dan di Indonesia, hepatitis A merupakan penyakit
hati paling banyak dilaporkan (Kapita Selekta Kedokteran, 2014).
2. Penyebab hepatitis A
Penyebab penyakit hepatitis A adalah virus hepatitis A (Patofisiologi,
2013).
3. Cara penularan
Penyakit hepatitis A menular melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi virus hepatitis A (fecal-oral) (Patofisiologi, 2013).
4. Gejala penyakit hepatitis A
Gejala dapat berupa demam tiba-tiba, hilang napsu makan, mual, muntah,
penyakit kuning (kulit dan mata menjadi kuning), air kencing (urin)
berwarna tua, tinja pucat. Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium,
yaitu:
a. Fase pre-ikterik
Dengan keluhan yang tidak khas ini, sering terjadi diduga sebagai
penderita influenza, gastritis maupun arthtitis.Terdapat gejala demam
ringan, nafsu makan hilang, mual-mual, nyeri dan rasa tidak enak di
perut. Diikuti urine berwarna9 gelap yang mengandung bilirubin
(biasanya tidak ada dalam urine), ikterus yang semakin meningkat dan
pembesaran hati ringan dan sering terasa nyeri.
b. Fase ikterik
10

Fase ini pada awalnya disadari oleh penderita, biasanya setelah


demam turun penderita menyadari bahwa urine berwarna kuning pekat
seperti air teh, ataupun tanpa disadari orang lain yang melihat sklera
dan kulit berwarna kekuning-kuningan. Pada fase ini (ikterik)
kuningnya akan meningkat, menetap, kemudian menurun secara
perlahan-lahan, hal ini bisa berlangsung sekitar 10-14 hari. Pada
stadium ini keluhan sudah mulai berkurang dan pasien merasa lebih
baik.
c. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan dimulai dengan menghilangya sisa gejala, ikterus
mulai menghilang, oenderita meras segar kembali walupun mungkin
masih terasa cepat lelah. Umumnya masa penyembuhan secara klinis
dan biokimiawi memerlukan waktu sekitar 6 bulan.
5. Pencegahan hepatitis A
Beberapah cara yang dilakukan untuk mencegah penyakit hepatitis A,
yaitu (Sakti, 2012):
a. Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga
bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau
hanya sakit ringan. Orang yang dekat dengan penderita mungkin
memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi hepatitis A bisa
dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi
dengan waksin hepatitis B (Twinrix) atau bentuk kombinasi dengan
vaksin hepatitis B (Twinrix). Imunisasi hepatitis A bisa dilakukan
ddilakukan dua kali, yaitu vaksinasi dasar dan booster yang dilakukan
6-12 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A dianjurkan bagi orang
yang potensial terinfeksi seperti penghuni asarama dan mereka yang
sering jajan di luar rumah. Selama 2 minggu setelah gejala pertama
atau 1 minggu setelah penyakit kuning muncul, penderita disarankan
untuk di isolasi.
11

b. Tidak menggunakan alat makan atau minum seperti sedotan, gelas,


dan piring secara bersama atau bergantian.
c. Menggunakan air minum dan makanan yang bebas dari kontaminasi.
d. Cuci tangan pakai sabun
Cuci tangan pakai sabun merupakan salah satu cara untuk
menurunkan penyebaran penyakit seperti ISPA, diare, Flu burung dan
hepatitis A. Hal ini penting diketahui masyarakat agar dapat
meningkatkan kesadaran untuk melakukan praktk cuci tangan pakai
sabun dalam kehidupan sehari-hari.
Waktu cuci tangan pakai sabun yang harus diperhatikan yaitu
(Kemenkes, 2011):
1) Sebelum makan
2) Sebelum menghidangkan makanan
3) Sebelum memberikan makanan bayi/balita
4) Sesudah buang air besar/kecil
5) Sesudah memegang hewan
Pada kondisi tertentu misalnya di sekolah, cuci tangan pakai sabun
dapat saja dilakukan pada saat (Kemenkes, 2011):
a) Setelah bermain/berolahraga
b) Setelah bersin
c) Setelah mengucek mata
d) Setelah membuang ingus
e) Setalah memegang alat tulis
f) Setalah gotong royong/ bekerja
Cara cuci tangan yang benar, yaitu (Kemenkes, 2011):
a) Mulailah mencuci tangan dengan air mengalir
b) Gunakan sabun dan gosok sampai berbusa
c) Lakukan tujuh langkah mencuci tangan dengan benar (menggosok
telapak tangan, punggung tangan, anatar jari dan bawah kuku)
selama 20 detik.
d) Bilas sampai bersih dan keringkan dengan lap bersih.
12

B. Perilaku

1. Pengertian
Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Skinner dalam
Notoatmodjo (2005), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku itu
terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni : stimulus
merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor eksternal), dan
respons merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor
internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik
lingkungan fisik , maupun non fisik dalam bentuk sosial budaya, ekonomi,
politik, dan sebagainya.
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005), bentuk respons terhadap
stimulus dalam perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (Dua) bentuk, yaitu :
a. Perilaku tertutup (Covert Behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih
belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons
seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk
Unobservable Behavior atau atau Covert Behavior yang dapat diukur
adalah pengetahuan dan sikap.
b. Perilaku terbuka (Overt Behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila
respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik
ini dapat diamati orang lain dari luar atau Observable Behavior.
2. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah respons seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan,
makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dari batasan ini, perilaku
kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi 2 (Dua) kelompok,
yakni :
13

a. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat adalah
perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari dari penyakit dan
penyebab penyakit atau masalah atau penyebab masalah kesehatan
(perilaku preventif/pencegahan), dan perilaku dalam mengupayakan
meningkatnya kesehatan (perilaku promotif) (Notoatmodjo, 2010).
b. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya.
Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang atau
anaknya bila sakit atauterkena masalah kesehatan untuk memperoleh
kesembuhan atau terlepasnya dari masalah kesehatan tersebut
(Notoatmodjo, 2010).

Becker dalam Notoatmodjo (2010) membuat klasifikasi lain tentang


perilaku kesehatan yaitu :
a. Perilaku sehat (Healthy Behavior) adalah Perilaku-perilaku atau
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan
b. Perilaku sakit (Ilness Behavior) adalah berkaitan dengan tindakan atau
kegiatan seseorang yang sakit atau terkena masalah kesehatan untuk
mencari penyembuhan atau untuk mengatasi masalah kesehatan yang
lainnya.
c. Perilaku peran orang sakit dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit
mempunyai peran (Roles), yang mencakup hak-haknya (Rights), dan
kewajiban sebagai orang sakit (Obligation). Hakdan kewajiban ini
harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama
keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit
(The sick role).
3. Domain Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007), meskipun perilaku adalah bentuk respons
atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang),
namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik
atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti
14

meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap


orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus
yang berbeda disebut determinan perilaku. Faktor determinan perilaku itu
ditentukan atau dipengaruhi oleh perilaku (individu, keluarga, kelompok
atau masyarakat) itu sendiri. Untuk membedakan determinan perilaku,
Notoatmodjo (2007) membaginya menjadi 2 (Dua) bagian, yaitu:
a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang
bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial
budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
4. Determinan Perilaku
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi
karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal
ataupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia
sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti
pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Beberapa teori yang telah dicoba untuk
mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang
memengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan, antara lain teori Lawrence Green dan WHO (World Health
Organization).
5. Teori Lawrence Green
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor,
yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu
sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 (tiga) faktor, yakni :
a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing Faktors),
Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya,
persepsi, beberapa karakteristik individu, misalnya umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sebagainya.
15

b. Faktor-faktor pendukung (Enabling Faktors)


Faktor pendukung mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
c. Faktor-faktor pendorong (Reinforcing Factors)
Faktor pendorong (reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat
perubahan mencakup orang tua, tokoh masyarakat dan petugas
kesehatanlingkungan (Notoatmodjo, 2007).
6. Perilaku terhadap sakit dan penyakit
Perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan penyakit
yang bersifat respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun
eksternal (dari luar dirinya), baik respons pasif (pengetahuan, persepsi, dan
sikap), maupun aktif (praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit
dan penyakit. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit sesuai
dengan tingkatan-tingkatan pemberian pelayanan kesehatan yang
menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan pencegahan penyakit, yaitu:
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan (health promotion
behavior)
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)
c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)
d. Perilaku pemulihankesehatan (health rehabilitation behavior)

7. Perilaku Pencegahan Penyakit


Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi
yang dapat bersifat sederhana maupunbersifat kompleks. Pada manusia
khususnya dan pada berbagai spesies hewan umumnya memang terdapat
bentuk – bentuk perilaku instinktif (species–specific behavior)yang
didasari oleh kodrat untuk mempertahankan kehidupan. Salah satu
karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat
diferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapatmenimbulkan lebih dari
16

satu respon yang berbeda dan beberapa stimulusyang berbeda dapat saja
menimbulkan satu respon yang sama.
Lewin (1951,dalam buku Azwar, 2007) merumuskan suatu model
hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi
karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi
berbagai variabel seperti motif, nilai – nilai, sifat kpribadian dan sikap
yang saling berinteraksi pula dengan faktor – faktor lingkung dalam
menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam
menentukan perilaku, bahkan kadang – kadang kekuatannya lebih besar
dari pada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi
perilaku lebih kompleks. Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa
sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan
yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada 3 hal yaitu :
a. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap
yang spesifik terhadap sesuatu.
b. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma –
norma subjektif (subjective norms)yaitu keyakinan kita mengenai apa
yang orang lain inginkan agar kita perbuat.
c. Sikap terhadapsuatu perilaku bersama norma–norma subjektif
membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu. Secara
sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan
suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia
percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Dalam teori
perilaku terencana keyakinan–keyakinan berpengaruh pada sikap
terhadap perilaku tertentu, pada norma–norma subjektif dan pada
kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan
menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan
menentukan apakahperilaku yang bersangkutandilakukan atau tidak
(Azwar, 2007).
Menurut Leavel dan Clark yang disebut pencegahan adalah segala
kegiatan yang dilakukan baik langsung maupun tidak langsung untuk
17

mencegah suatu masalah kesehatan atau penyakit. Pencegahan


berhubungan dengan masalah kesehatan atau penyakityang spesifik
dan meliputi perilaku menghindar (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan
pencegahan penyakit menurut Leavel dan Clark ada 5 tingkatan yaitu
(Notoatmodjo, 2007):
a. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
1) Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun kuantitas.
2) Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan.
3) Peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat antara
lain pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja yang hamil
diluar nikah, yang terkena penyakit infeksi akibat seks bebas
dan Pelayanan Keluarga Berencana.
b. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit tertentu
(Spesific Protection).
1) Memberikan imunisasi pada golongan yang rentan untuk
mencegah terhadap penyakit – penyakit tertentu.
2) Isolasi terhadap penyakit menular.
3) Perlindungan terhadap keamanan kecelakaan di tempat-tempat
umum dan ditempat kerja.
4) Perlindungan terhadap bahan–bahan yang bersifat
karsinogenik, bahan-bahan racun maupun alergi.
c. Menggunakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan
tepat (Early Diagnosis and Promotion).
1) Mencari kasus sedini mungkin.
2) Melakukan pemeriksaan umum secara rutin.
3) Pengawasan selektif terhadap penyakit tertentu misalnya
kusta,TBC, kanker serviks.
4) Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita.
5) Mencari orang-orang yang pernah berhubungan dengan
penderita berpenyakit menular.
18

6) Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan


kasus.
d. Pembatasan kecacatan (Dissability Limitation)
1) Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjut agar
terarah dan tidak menimbulkan komplikasi.
2) Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.
3) Perbaikan fasilitas kesehatan bagi pengunjung untuk
dimungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.
e. Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)
1) Mengembangkan lembaga – lembaga rehablitasi dengan
mengikutsertakan masyarakat.
2) Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali
dengan memberi dukungan moral, setidaknya bagi yang
bersangkutan untuk bertahan.
3) Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga
setiap penderita yang telah cacat mampu mempertahankan diri.
4) Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutannya harus tetap
dilakukan seseorang setelah ia sembuh dari suatu penyakit.
8. Pengukuran perilaku
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tindakan, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telahdilakukan beberapa jam,
hari atau belan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara
langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden
(Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian, observasi merupakan prosedur
yang berencana, yang antar lain meliputi melihat, mendengar dan
mencatat sejumlah aktivitas tertentu atau situasi tertentu yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti (Notoatmotdjo, 2012)
Jenis pengukuran observasi dibedakan menjdai dua, yaitu terstruktur dan
tidak terstruktur (Nursalam, 2008).
a. Terstruktur
19

Observasi terstruktur adalah observasi yang telah dirancang secara


sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana
tempatnya. Dalam melaukan pengamatan penelitian menggunakan
istrumen peneliti yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya
(Sugiyono, 2012).
b. Tidak terstruktur
Observasi tidak terstruktut adalah observasi yang tidak dipersiapkan
secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Dalam
melakukan pengamatan penelitian tidakmenggunakan instrumen yang
telah baku, tapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan (Sugiyono,
2012).
Pengukuran perilaku manusia dapat dikategorikan menjadi tiga
(Azwar, 2012) yaitu:
a. Baik : jika skor jawaban x ≥ (µ+1.0σ)
b. Cukup : jika skor jawaban (µ+1.0σ) ≤x<(µ+1.0σ)
c. Kurang: jika skor jawaban x < (µ+1.0σ)
Keterangan :
µ : 1/2 (X maks+Xmin) x total item petanyaan
σ : 1/6 (Imaks-Imin)
Xmaks : skor tertinggi pada 1 item pertanyaan
Xmin : skor terendah pada 1 item pertanyaan
Imaks : jumlah total skor tertinggi
Imin : jumlah total skor terendah

C. Usia

1. Pengertian

Umur adalah bilangan tahun terhitung sejak lahir sampai dengan tahun
terakhir seseorang melakukan aktifitas. Umur seseorangdemikian besarnya
dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap danperilaku. Semakin lanjut
20

umurnya semakin lebih bertanggung jawab, lebih tertib, lebih bermoral dan
lebih berbakti dari pada usia muda (Notoatmodjo, 2003).

2. Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009):


a. Masa balita = 0 – 5 tahun
b. Masa kanak-kanak = 5 – 11 tahun
c. Masa remaja Awal = 12 – 1 6 tahun
d. Masa remaja Akhir = 17 – 25 tahun
e. Masa dewasa Awal = 26- 35 tahun
f. Masa dewasa Akhir = 36- 45 tahun
g. Masa Lansia Awal = 46- 55 tahun
h. Masa Lansia Akhir = 56 – 65 tahun
i. Masa Manula = 65 – sampai atas

D. Pendidikan

1. Pengertian
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Notoatmodjo,
2003). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara
(UU No 20 Tahun 2003). Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007)
pendidikan adalah ilmu yang mempelajari serta memproses perubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang. Usaha mendewasakan
manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan proses dan cara.
21

2. Menurut UU RI no 20 tahun 2003, ditinjau dari sudut tingkatannya jalur


pendidikan terdiri dari :
a. Pendidikan Dasar:
1) SD / MI
2) SMP / MTS
b. Pendidikan Menengah:
1) SMU dan Kejuruan
2) Madrasah Aliyah
c. Pendidikan Tinggi:
1) Akademi
2) Institut
3) Sekolah Tinggi
4) Universitas
Pendidikan yang tinggi dipandang perlu karena tingkat pendidikan yang
tinggi dapat meningkatkan taraf hidup dan membuat keputusan yang
menyangkut masalah kesehatan. Seseorang yang lulus dari perguruan
tinggi akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan mampu berperilaku
hidup sehat bila dibandingkan dengan yang memiliki pendidikan rendah.
Semakin tinggi pendidikan seorang maka ia semakin mampu mandiri
dengan sesuatu yang menyangkut diri mereka sendiri. Semakin tinggi
pendidikan akan mudah menerima hal – hal yang baru dan mudah
menyesuaikan diri dengan masalah – masalah baru (Widyastuti, 2009,
p.161).

E. Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi bila seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
22

terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran,


penciuman, perabaan dan pengecapan. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo S, 2011).
2. Proses Tingkat Pengetahuan
Menurut Kholid (2014), tingkat pengetahuan seseorang secara rinci terdiri
dari:
a. Tahu
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(Recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, mengumpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks
atau situasi yang lainnya.

d. Analisa
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis
23

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau


menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun simulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau suatu objek.
3. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Kholid (2014), berbagai macam cara yang telah digunakan untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu:
a. Cara tradisional atau non-ilmiah
1) Cara coba salah
Coba salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan
dalam memecahkan dan apabila kemungkinan tersebut tidak
berhasil, maka akan dicoba dengan kemungkinan lain.
2) Cara kekuasaan atau otoritas
Prinsip dari cara ini adalah orang lain menerima pendapat yang
dikemukakan oleh orang yang mempunyai aktivitas tanpa terlebih
dulu menguji atau membuktikan kebenaran baik berdasarkan
fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini
disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut
menganggap bahwa apa yang dikemukakan adalah benar.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan
dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh
dalam memecahkan masalah di masa lalu.
4) Melalui jalan pikiran
Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah
menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun
24

deduksi. Induksi adalah proses pembuatan kesimpulan melaului


pernyataan-pernyataan khusus pada umumnya. Deduksi adalah
proses pembuatan kesimpulan dari pernyataan umum ke khusus.
b. Cara modern atau ilmiah
Dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan cara mengadakan
observasi langsung dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap
semua fakta sehubungan dengan objek penelitiannya.
4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Wawan
& Dwi (2012), yakni:
a. Faktor internal
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaannya. Pada umunya semakin
tinggi pendidikan seseorang semakin muda menerima informasi.
2) Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Pekerjaan
bukanlah sumber kesenangan akan tetapi lebih banyak merupakan
cara mencari nafkah, menyita waktu, berulang dan banyak
tantangan.
3) Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung saat lahir sampai
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.
b. Faktor eksternal
1) Faktor lingkungan
25

Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar


manusia pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dan
perilaku orang atau kelompok.
2) Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat dipengaruhi
dari sikap dalam menerima informasi.
5. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan, dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ukur
dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan telinga
(Notoatmodjo, 2011).
a. Baik, jika menjawab benar >75%
b. Cukup, jika menjawab 56%-75%
c. Kurang, jika menjawab benar <56% (Riyanto, 2011) .

F. Sikap

1. Pengertian sikap
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari sesorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsir terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian
reaksi terhadap stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,
2011).
Sikap adalah keteraturan dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi)
dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di
lingkungan sekitarnya. Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif.
Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya reaksi indivdual. Respon evaluatif
26

berarti bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap timbulnya didasari


oleh proses evaluasi alam diri individu yang memberi kesimpulan
terhadap stimulus dalam bentuk nilai buruk-baik, positif - negatif,
menyenangkan - tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal
sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2015).

Menurut Sarwono (1993, dalam Kholid, 2014) bahwa sikap tidaklah sama
dengan perilaku, sebab sering kali terjadi bahwa seseorang
memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap
seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang
objek tertentu.
2. Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954, dalam Notoatmodjo, 2013) menjelaskan
bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu:
a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinanan
emosi memegang peranan penting.
3. Tingkatan-tingkatan sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan-tingkatan
berdasarkan intensitasnya, yakni:
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap.
c) Menghargai (valuing)
27

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu


masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat
responden (Notoatmodjo, 2010).
4. Pembentuk sikap
Dalam interaksi sosial, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu
terhadap berbagai objek psikoligis yang dihadapi. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2015), yakni:
a) Pengalaman pribadi
Untuk menjadi dasar pembentuk sikap, pengalaman pribadi haruslah
meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi
yang melibatkan faktor emosional. Middlebrook (1974, alam Azwar,
2015), mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali
terhadap suatu objek, psikologis cenderung akan membentuk sikap
negatif terhadap objek tersebut.
b) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umunya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konfirmis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Seseorang yang dianggap penting yaitu seseorang yang diharapkan
persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seseorang
yang tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang berarti khusus
bagi kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap.
c) Pengaruh kebudayaan
28

Kebudayaan telah menanamkan gaaris pengaruh sikap kita terhadap


berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya, karena kebudayaan pula yang memberi corak
pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok
masyarakat asuhannya.
d) Media massa
Penyampaian informasi sebagai tugas pokok, media massa membawa
pesan-pesan yang berisi sugesti yang mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal yang memeberikan
landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
Pesan-pesan sugesti yang membawa informasi tersebut, apabila cukup
kuat, akan memebrikan dasar afektif dalam menilai suatu hal
sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e) Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan oleh
keduanya meletakan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri
individu. Pemahaman akan baik dan buruk, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
f) Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi
sebagai suatu penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap sementara
dan segera berlalu setelah frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
5. Pengukuran sikap
Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku
manusia adalah masalah pengungkapan (assesment) atau pengukuran
(measurement) sikap (Azwar, 2015).
29

Sax (1980, dalam azwar, 2015) menunjukan beberapa karakteristik


(dimensi) sikap, yakni:
a) Arah
Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilih pada dua arah
kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak, apakah mendukung atau
tidak mendukung terhadap suatu objek. Orang yang setuju,
mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti
memiliki sikap yang arahnya positif, sebaliknya mereka yang tidak
mendukung dikatakan sebagai sikap yang arahnya negatif.
b) Intensitas
Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap
terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arah mungkin tidak
berbeda.
c) Keluasan
Sikap juga memiliki keluasan, maksudnya kesetujuan atau ketidak
setujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek
yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat mencakup banyak
aspek yang ada pada objek sikap.
d) Konsistensi
Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian
antara pernyataan sikap yag dikemukakan dengan responnya
terhadap suatu objek sikap. Konsistensi sikap diperlihatkan oleh
kesesuaian sikap antar waktu.
e) Spontanitas
Karakteristik sikap yang terakhir adalah spontanitas, yaitu
menyangkut sejauh mana kesiapan individu untuk menyatakan
sikap secara spontan.

Metode pengungkapan sikap secara hirostorik menurut Azwar (2015),


yakni:
a) Observasi perilaku
30

Untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat


memeperhatikan perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu
indikator sikap individu.
b) Penanyaan langsung
Asusmsi yang mendasari metode penanyaan langsung guna
pengungkapan sikap, yakni:
1) Asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tau
mengenai dirinya sendiri.
2) Asumsi keterus terangan bahwa manusia akan mengemukakan
secara terbuka apa yang dirasakannya.
Cara pengungkapan sikap dengan penanyaan langsung memiliki
keterbatasan dan kelemahan yang mendasar. Metode ini
menghasilkan ukuran yang valid hanya apabila situasi dan
kondisinya memungkinkan kebebebasan berpendapat tanpa
tekanan psikologis maupun fisik.
c) Pengungkapan langsung
Suatu revisi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan
langsung secara tertulis yang dapat dilakukan dengan
menggunakan item ganda. Masalah utama dalam pengukuran
dengan item tunggal adalah masalah relibialitas hasilnya. Item
tunggal terlalu terbuka terhadap sumber eror pengukuran.
d) Skala sikap
Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self-report yang
hingga kini yang dapat paling diandalkan adalah dengan
menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
oleh individu yang disebut sebagai skala sikap. Dari respon
subjek pada setiap pernyataan kemudian dapat disimpulkan
mengenai arah dan intensitas sikap seseorang.
Menurut Hidayat (2009), skala Likert digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, persepsi seseorang tentang gejala atau masalah
yang ada di masyarakat atau yang dialaminya. Beberapa bentuk
31

jawaban pertanyaan atau pernyataan yang masuk dalam kategori


skala Likert adalah sebagai berikut:
a) Pernyataan sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak
setuju.
Pernyataan positif Nilai Pernyataan negatif Nilai
Sangat setuju : SS 4 Sangat setuju : SS 1
Setuju :S 3 Setuju :S 2
Tidak setuju : TS 2 Tidak setuju : TS 3
Sangat tidak setuju: STS 1 Sangat tidak setuju: STS 4

b) Pernyataan sangat penting, penting, tidak penting dan sangat


tidak penting.
Pernyataan positif Nilai Pernyataan negatif Nilai
Sangat penting : SP 4 Sangat penting : SP 1
Penting :P 3 Penting :P 2
Tidak penting : TP 2 Tidak penting : TP 3
Sangat tidak penting : 1 Sangat tidak penting : 4
STP STP

c) Pernyataan sangat puas, puas, tidak puas dan sangat tidak


puas.
Pernyataan positif Nilai Pernyataan negatif Nilai
Sangat puas : SP 4 Sangat puas : SP 1
Puas :P 3 Puas :P 2
Tidak puas : TP 2 Tidak puas : TP 3
Sangat tidak puas : STP 1 Sangat tidak puas : STP 4

Cara interpretasi dapat berdasarkan persentasi sebagai berikut


(Hidayat, 2009):
a) Angka : 0 – 25 % : Sangat tidak setuju (sangat tidak baik).
b) Angka : 26 – 50% : Tidak setuju (tidak baik)
32

c) Angka : 51 – 75% : Setuju (baik)


d) Angka : 76 – 100% : Sangat setuju (sangat baik).
1) Pengukuran terselubung
Meteode pengukuran terselubung sebenarnya berorientasi kembali
ke metode observasi perilaku, akan tetapi sebagai objek
pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang disadari atau sengaja
dilakukan oleh seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang
terjadi diluar kendali orang yang bersangkutan.

G. Konsep Remaja

1. Pengertian Remaja
Remaja berasal dari kata latin yaitu adolescentia yang berarti remaja
primitif. Istilah adolescense merupakan sebuah perkembangan menuju
dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual (Ardayani,
2012). Menurut WHO dalam Sarwono (2012), remaja adalah suatu usia
ketika individu mulai menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai mencapai kematangan seksual, mengalami perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi
peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif
lebih mandiri, menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, serta
individu tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang
lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.

Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan
tidak mantap. Di samping itu, masa remaja adalah masa yang rawan oleh
pengaruh-pengaruh negatif. Masa remaja adalah masa yang baik untuk
mengembangkan potensi positif yang mereka miliki seperti bakat,
kemampuan dan minat. Selain itu, masa ini adalah masa pencarian nilai-
nilai hidup (Willis, 2014).
2. Usia dan tahap-tahap remaja
33

Sa’id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga fase sesuai tingkatan
umur yang dilalui oleh remaja. Menurut Sa’id, setiap fase memiliki
keistimewaannya tersendiri. Ketiga fase tingkatan umur remaja tersebut
antara lain:
a. Remaja Awal (early adolescence)
Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap
ini, remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya
remaja awal berada di masa sekolah menengah pertama (SMP).
Keistimewaan yang terjadi pada fase ini adalah remaja awal berubah
fisiknya dalam kurun waktu yang singkat. Remaja juga mulai tertarik
kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.
b. Remaja Pertengahan (middle adolescence)
Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada
pula yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja
berada pada rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah
berada pada masa sekolah menengah atas (SMA). Keistimewaan dari
fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik remaja, sehingga
fisiknya sudah menyerupai orang dewasa. Remaja yang masuk pada
tahap ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja akan
senang jika banyak teman yang menyukainya.

c. Remaja Akhir (late adolescence)


Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap
ini, remaja telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia
ini umumnya tengah berada pada usia pendidikan di perguruan tinggi,
atau bagi remaja yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka
bekerja dan mulai membantu menafkahi anggota keluarga.
Keistimewaan pada fase ini adalah seorang remaja selain dari segi fisik
sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga sudah
menganut nilai-nilai orang dewasa.
3. Perubahan tubuh selama masa remaja
34

a. Perubahan eksternal
1) Tinggi
Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi yang matang antara
usia 17 dan 18 tahun, rata-rata anak laki-laki sesudahnya.
2) Berat
Perubahan berat badan mengikuti jadwal yang sama dengan
perubahan tinggi berat badan sekarang tersebar dibagian-bagian
tubuh yang tadinya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak
mengandung lemak sama sekali.
3) Proporsi tubuh
Berbagai anggota tubuh, lambat laun mencapai perbandingan
tubuh yang baik misalnya badan melebar dan memanjang sehingga
anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang.
4) Organ seksual
Pada laki-laki dan perempuan, organ seksual mencapai ukuran
dewasa pada periode remaja akhir, namun fungsinya belum
matang sampai dengan beberapa tahun kemudian.
5) Karakteristik seks sekunder
Karakteristik seks sekunder utama mengalami perkembangan pada
level dewasa pada periode remaja akhir.
b. Perubahan internal
1) Sistem pencernaan
Perut lebih panjang dan tidak lagi berbentuk pipa, usus bertambah
panjang dan bertambah besar, otot-otot di perut dan dinding usus
menjadi lebih tebal dan kuat, hati bertambah berat dan
kerongkongan bertambah panjang.
2) Sistem peredaran darah
Jantung tubuh pesat selama masa remaja pasa usia 17 – 18 tahun
berat 12 kali lipat pada waktu lahir. Panjang dan tebal dinding
pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan
bilamana jantung sudah matang.
35

3) Sistem pernafasan
Kapasitas paru-paru anak perempuan hampir matang pada usia 17
tahun, anak laki-laki mencapai tingkat kematangan beberapa tahun
kemudian.
4) Sistem endokrin
Kegiatan gonad yang meningkat pada puber menyebabkan
ketidakseimbangan sementara dari seluruh sistem endokrin pada
awal masa puber.
5) Jaringan tubuh
Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia 18 tahun.
Jaringan selain tulang terus berkembang sampai akhir masa remaja
atau masa dewasa (Ardayani, 2012).
4. Tugas-tugas perkembangan remaja
Adapun tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut:
a. Menerima keadaan dan penampilan diri, serta menggunakan tubuhnya
secara efektif
b. Belajar berperan sesuai jenis kelamin (sebagai pria dan wanita)
c. Mencapai relasi yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya,
baik sejenis maupun lawan jenis
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
e. Mencapai kemandirian secara emosional terhadap orang tua dan orang
dewasa lainnya
f. Mempersiapkan karir dan kemandirian secara ekonomis
g. Menyiapkan diri (fisik dan psikis) dalam menghadapi perkawinan dan
kehidupan keluarga
h. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual untuk
hidup bermasyarakat dan untuk masa depan
i. Mencapai nilai kedewasaan (Ardayani, 2012).
5. Tujuan perkembangan remaja
a. Perkembangan pribadi
36

1) Keterampilan kognitif dan nonkognitif yang dibutuhkan agar dapat


mandiri secara ekonomi amupun mandiri dalam bidang pekerjaan
tertentu
2) Kecakapan dalam mengelola dan mengatasi masalah pribadi
secara efektif
3) Kecakapan sebagai seorang pengguna kekayaan kultural dan
peradaban bangsa
4) Kecakapan untuk dapat terkait dalam suatu keterlibatan yang
intensif pada suatu kegiatan.
b. Perkembangan sosial
1) Pengalaman bersama pribadi yang berbeda dengan dirinya baik
dalam kelas sosial, subkultural maupun usia
2) Pengalaman dimana tindakannya dapat berpengaruh pada orang
lain
3) Kegiatan yang saling tergantung yang diarahkan pada tujuan
bersama (Ardayani, 2012).

6. Permasalahan remaja
a. Masalah sosial pada remaja
Dengan dimulainya masa puber terjadilah perubahan-perubahan sikap
sosial, kemunduran minat terhadap aktivitas kelompok dan
kecenderungan untuk menyendiri. Pada masa puber kemajuan
perubahan meningkat, serta sikap dan perilaku sosial semakin
meningkat ke arah anti sosial, yaitu penolakan terhadap beberapa
karakteristik sosial (Hurlock, 2013). Perilaku anti sosial bergantung
pada faktor lingkungan. Karena anak sudah mulai dewasa, tidak hanya
ukuran tubuh tetapi juga bentuk tubuh, para orang tua beranggapan
sudah tiba saatnya bagi anak untuk membuang semua hal yang
kekanak-kanakan dan memikul tanggung jawab kedewasaan.
37

Akibatnya, tugas dan tanggung jawab baru diberikan kepada anak


pada saat mereka belum siap memikulnya. Kemungkinan besar hal ini
menimbulkan perasaaan tersiksa yang mengakibatkan timbulnya sikap
dan perilaku antisosial. Selain itu anak dengan pematangan seksual
terlalu cepat juga menunjukan perilaku fase negatif (Hurlock, 2013).
b. Masalah mental dan emosional pada remaja
Masalah mental emosional dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
menghambat, merintangi, atau mempersulit seseorang dalam usahanya
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalaman–
pengalamannya (Soraya, 2012).
Jenis–jenis masalah aktual kesehatan mental remaja saat ini meliputi
(IDAI, 2013):
1) Perubahan psikoseksual
2) Pengaruh teman sebaya
3) Perilaku beresiko tinggi
4) Kegagalan pembentukan identitas diri
5) Gangguan perkembangan moral
6) Stres di masa remaja.
Masalah mental emosional pada anak dan remaja dibagi menjadi dua
kategori, yaitu internalisasi dan eksternalisasi (Putri dkk, 2014).
Gambaran masalah mental emosional internalisasi:
1) Temperamen bingung atau cemas
2) Khawatir berlebihan
3) Pemikiran pesimistis
4) Perilaku menarik diri
5) Kesulitan menjalin hubungan dengan teman sebaya (terisolasi,
menolak, bullied).

Gambaran masalah mental emosional eksternalisasi:


1) Temperamen Sulit
2) Ketidakmampuan memecahkan masalah
38

3) Gangguan perhatian, hiperaktifitas


4) Perilaku bertentangan (tidak suka ditegur/diberi masukan positif
5) Tidak mau ikut aturan

Perilaku agresif penelitian oleh Kaltiala-Heino, menemukan bahwa


masalah internalisasi dan eksternalisasi lebih tinggi pada remaja yang
mengalami pubertas dini dibandingkan dengan mereka yang
mengalami pubertas terlambat ( > 15 tahun ). Hal ini terjadi karena
proses pubertas melibatkan perubahan biologis, psikologis, dan sosial
yang berkontribusi pada timbulnya masalah mental emosional remaja
( Soraya, 2012).

H. Teori faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku pencegahan


hepatitis A
1. Faktor yang mendukung terjadinya perilaku pencegahan hepatitis dapat
berupa pengetahuan tentang perilaku pencegahan hepatitis A yang mereka
peroleh saat perkuliahan atau informasi dari luar seperti buku-buku atau
internet dan pengalaman praktik yang sudah pernah dilakukan. Selain itu
sikap juga merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang.
2. Teori WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang
itu berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok yaitu,
pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan
referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat
mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat. Pemikiran dan
perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan,
dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (kesehatan)
(Notoatmodjo, 2003).
39

I. Kerangka Teori

Skema 2.1
Kerangka Teori PenelitianFaktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perilaku Remaja Terhadap Pencegahan Hepatitis A

Predisposing factor:
-Umur
-Pendidikan
-Pengetahuan
-Sikap

Enabling factor: Perilaku Remaja

Terhadap Pencegahan
-Fasilitas kesehatan
Hepatitis A
40

Reinforcing factor:
-Orang tua
-Tokoh Masyarakat
-Petugas kesehatan

Keterangan :

= Variabel yang tidak diteliti

= Variabel yang akan diteliti

Sumber: Notoatmodjo (2007), Notoatmodjo (2011), Kholid (2014), Wawan


& Dwi (2012), Azwar (2015), Notoadmodjo (2013), Hidayat
BAB Hurlock
(2009), Ardayani (2012), III (2013), IDAI (2013), Sakti
Aniko (2012),Kemenkes (2011),
METODE PENELITIAN

A. Defenisi Konseptual
1. Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatis A dan
merupakan penyakit endemis di beberapa negara berkembang. Hepatitis
A merupakan jenis hepatitis yang ringan, bersifat akut, sembuh spontan
tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik ( Patogenis,
2013).
2. Skinner dalam Notoatmodjo (2005), merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
RI (2012).
dari luar).
41

3. Umur adalah bilangan tahun terhitung sejak lahir sampai dengan tahun
terakhir seseorang melakukan aktifitas (Notoatmodjo, 2003).
4. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
5. Remaja berasal dari kata latin yaitu adolescentia yang berarti remaja
primitif. Istilah adolescense merupakan sebuah perkembangan menuju
dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual (Ardayani,
2012).
6. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi bila seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo S,
2011). 41
7. Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari sesorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat


langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsir terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian
reaksi terhadap stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,
2011).

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Penelitian
kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel
tertentu. Analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk
42

menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2013). Penelitian ini


menggunakan pendekatan desain cross sectional. Desain cross sectional ialah
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor
risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2014).

C. Kerangka Konsep Penelitian

Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent

Predisposing factor:
-Umur Perilaku Remaja Terhadap
-Pendidikan Pencegahan Hepatitis A
-Pengetahuan
-Sikap
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent variable)
Menurut Sugiyono (2014), variabel bebas adalah merupakan variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah umur, pendidikan, pengetahuan dan sikap remaja.
2. Variabel terikat (dependent variable) menurut Sugiyono (2014) adalah
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku
remaja terhadap pencegahan hepatitis A.

E. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2017). Hipotesis dari penelitian ini adalah:
43

1. Hipotesis Nol (Ho)


a. Ho : Tidak ada pengaruh umur dengan perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
b. Ho : Tidak ada pengaruh pendidikan dengan perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
c. Ho : Tidak ada pengaruh pengetahuan dengan perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
d. Ho : Tidak ada pengaruh sikap dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 0 Ciateul.

2. Hipotesis Alternatif (Ha)


a. Ha : Ada pengaruh umur dalam perilaku remaja terhadap pencegahan
hepatitis A di RW 09 Ciateul.
b. Ha : Ada pengaruh pendidikan dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.
c. Ha : Ada pengaruh pengetahuan dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciatuel.
d. Ha : Ada pengaruh sikap dalam perilaku remaja terhadap
pencegahan hepatitis A di RW 09 Ciateul.

F. Defenisi Operasional
Tabel 3.1

Defenisi Operasional
No Variabel Defenisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel
Independent:
1. Umur Umur Kuesioner Remaja awal: Ordinal
responden 12-15 tahun.
merupakan
usia
responden Remaja
dari awal
44

kelahiran pertengahan: 15-


sampai pada
18 tahun.
saat penelitian
ini dilakukan.
Remaja akhir:
18-21 tahun

Pendidikan Tingkat Kuesioner Nominal


2. pendidikan 1) Pendidikan
yang pernah dasar
diikuti oleh
responden 2) Pendidikan
secara formal. menangah
3) Pendidikan
tinggi.

Ordinal
Pengetahuan Kemampuan Kuesioner 1) Baik bila
3. responden hasilnya lebih
dalam dari 75%
menjawab 2) Cukup baik
pertanyaan bila hasilnya
dengan benar. 56-75%
3) Kurang baik
bila hasilnya
kurang dari
56%.

Ordinal
Sikap Respon positif Kuesioner 1) Sangat baik
4. atau negatif bila hasilnya
sebagai 76-100%
perilaku yang 2) Baik bila
disetujui. hasilnya 51-
75%
45

3) Tidak baik
bila hasilnya
26-50%.

Variabel 1)
Dependent: 2)
1.P Perilaku Respon atau Kuesioner 1) Baik: skor Ordinal
remaja reaksi jawaban x≥
terhadap responden (µ+1.0σ)
pencegahan terhadap 2) Cukup: skor
hepatitis A pencegahan jawaban
P hepatitis A. (µ+1.0σ)≤x<
(µ+1.0σ)
3) Kurang: skor
jawaban x<
(µ+1.0σ)

G. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2014). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja
di RW 09 Ciateul yang terbagi dalam 4 RT yaitu berjumlah 91 orang.
2. Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2014). Teknik pengambilan sampel menggunakan
Total Sampling yaitu semua populasi berjumlah 91 orang. Dengan kriteria
inklusi yaitu remaja berusia 12-21 tahun, berdomisili di RW 09 Ciatuel
Kecamatan Regol Bandung dan bersedia menjadi responden dalam
penelitian ini.
H. Instrumen Penelitian
46

Instrumen merupakan alat untuk mengukur, mengobservasi atau dokumentasi


yang dapat menghasilkan data kuantitatif. Instrumen digunakan untuk
mengukur variabel yang diteliti (Sugiyono, 2013).
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni:
1. Umur remaja diperoleh dari pengisian informed consent kuesioner.
2. Pendidikan remaja diperoleh dari pengisian informed consent kuesioner.
3. Pengetahuan remaja dalam pencegahan terhadap hepatitis adalah
pengetahuan remaja tentang pengertian hepatitis, penyebab terjadinya
hepatitis dan pencegahan terhadap hepatitis. Instrumen penelitian yang
akan digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari 15 pertanyaan.
Pertanyaan yang akan disampaikan dalam kuisioner ini yaitu dengan
pertanyaan tertutup karena, dengan pertanyaan tertutup lebih dapat
dengan mudah dinilai pengetahuan dari responden sesuai dengan kriteria
hasil pengukuran pengetahuan yang telah ditentukan dan tingkat
pengetahuan yang dicapai yaitu tahu dan memahami. Dalam kuisioner
terdapat soal pilihan ganda (multiple choice). Responden diminta untuk
menjawab pertanyaan dengan memberikan tanda silang (X) terhadap
jawaban yang dianggap benar. Untuk jawaban benar diberi nilai 1 dan
untuk jawaban salah diberi nilai 0. Adapun hasil ukur yaitu baik jika
menjawab benar >75%, cukup jika menjawab 56%-75% dan kurang jika
menjawab benar <56% (Riyanto, 2011).
4. Sikap remaja tentang pencegahan terhadap hepatitis A adalah reaksi atau
respon positif yaitu sangat setuju (4), setuju (3), tidak setuju (2) sangat
tidak setuju (1) dan respon negatif yaitu sangat setuju (1), setuju (2), tidak
setuju (3) sangat tidak setuju (4) tentang pencegahan terhadap kejadian
hepatits A. Sikap remaja akan diukur melalui kuesioner dengan 15
pernyataan (pernyataan positif dan negatif) dengan menggunakan skala
Likert yaitu skala untuk mengukur sikap seorang tentang gejala atau
masalah yang ada di masyarakat atau yang dialaminya (Hidayat, 2009).
Untuk mengukur sikap, digunakan kuisioner dengan pernyataan-
pernyataan yang akan dijawab oleh responden dengan memberikan tanda
47

ceklis (√) pada kolom yang telah disediakan. Yang termasuk dalam
kategori sikap adalah hasil ukur sangat tidak setuju (0 – 25 %), tidak
setuju (26 – 50%), setuju (51 – 75%), sangat setuju (76–100%) (Hidayat,
2009).

Alat ukur atau instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai standar
adalah alat ukur yang telah melalui uji validitas dan uji reliabilitas
(Hidayat, 2009).
a. Uji validitas
Uji validitas adalah ketepatan atau kecermatan pengukuran. Valid
artinya alat tersebut mengukur apa yang ingin diukur. Kuisioner
dikatakan valid apabila pertanyaan pada suatu kuisioner mampu
mengungkap sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner tersebut
(Riyanto, 2011).
Uji validitas dilakukan pada remaja di RW 08 Ciateul kecamatan
Regol Bandung dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Peneliti
melakukan uji validitas di RW 08 karena memiliki karakteristik
penderita hepatitis A terbanyak yaitu pada remaja.
Uji validitas pada penelitian ini menggunakan rumus “peason product
moment”.Untuk mengetahui apakah nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan
tersebut signifikan, maka perlu dilihat r tabel dan r hitung. Dikatakan
valid apabila r hitung ≥ r tabel (0,361) dan dikatakan tidak valid jika r
hitung ≤ r tabel (0,361) dengan tingkat kemaknaan 5 % (0,05).
(Riyanto,2011).
Rumus Pearson Product Moment :

𝑛 (∑𝑋𝑌) – (∑𝑋). (∑𝑌)


𝑟𝑥𝑦 =
√[𝑛. ∑𝑋² − (∑𝑋)²]. [𝑛. ∑𝑌² − (∑𝑌)²]

Keterangan :
𝑟𝑥𝑦 : Koefisien Korelasi
∑𝑋 : Jumlah skor item
48

∑𝑌 : jumlah total seluruh pertanyaan


n : Jumlah responden uji coba

b. Uji reliabilitas
Uji reliabilitas artinya kestabilan pengukuran, alat yang dilakukan
reliable jika digunakan berulang-ulang nilai sama. Sedangkan
pertanyaan dikatakan reliable jika jawaban seseorang terhadap
pertanyaan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Bila terdapat
pertanyaan yang tidak reliabilitas maka pertanyaan tersebut akan diedit
(diperbaiki) dan dipakai untuk penelitian (Riyanto, 2011).
Rumus uji reliabilitas yaitu dengan menggunakan rumus Cronbah’s
Alpha sebagai berikut:

Rumus Cronbah’s Alpah:

rii= k Ʃσ b 2
1-
k–1 σ2 t

Keterangan:
rii = Reliabilitas instrumen
k = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
Ʃσ b 2 = Jumlah varian butir
σ2 t = Jumlah varian total
Uji keputusan
Bila nilai Cronbah’s Alpa ≥ konstanta (0,6), maka pertanyaan reliabel
Bila nilai Cronbah’s Alpa < konstanta (0,6), maka pertanyaan reliabel
(Riyanto, 2011).

I. Prosedur Pengumpulan Data


49

Data adalah bentuk jamak dari datum yaitu keterangan atau informasi yang
1. Data primer
a. Usia
Data tentang usia diperoleh melalui pengisian informed consent
kuesioner.
b. Pendidikan
Data tentang pendidikan diperoleh melalui pengisian informed
consent kuesioner.
c. Pengetahuan
Data pengetahuan diperoleh dari hasil pengukuran kuesioner.
d. Sikap
Data pengetahuan diperoleh dari hasil pengukuran kuesioner.

2. Data sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data usia
remaja yang diperoleh dari RT 1-4 pada RW O9 Ciateul Kecamatan
Regol Badung.

J. Teknik Pengolahan dan Analisa Data


1. Teknik Pengolahan Data
Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu data harus diolah dengan
tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang
diperoleh dipergunakan untuk peroses pengambilan keputusan, terutama
dalam pengujian hipotesis (Notoatmodjo, 2012). Dalam proses
pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,
diantaranya :
a. Editing data
Adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan.Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
50

b. Coding data
Merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori.Pemberian kode ini sangat penting
bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.Biasanya
dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu
buku (code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti
suatu kode dari suatu variabel.
c. Entry data
Setelah data terisi penuh dan benar serta sudah melewati
pengkodean, langkah selanjutnya adalah peneliti memperoses data
agar yang sudah dientry dapat dianalisis. Pemerosesan dilakukan
dengan cara mengentri data dari lembar cheklis ke program
komputer.
d. Cleaning data
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,
kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
e. Tabulasi data
Tabulasi data adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga
memudahkan dalam penjumlahan data dan disajikan dalam bentuk
tulisan (Notoatmodjo, 2012).

2. Analisa Data
Analisi data ini menggunakan program SPSS 17,0. Analisis yang
dilakukan adalah sebagai berikut
a. Analisa univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2014). Analisis
dalam penelitian ini adalah variabel independent (bebas) yaitu umur,
pendidikan, pengetahuan dan sikap remaja serta variabel dependent
(terikat) yaitu perilaku remaja terhadap pencegahan hepatitis A. Untuk
51

analisis univariat, peneliti menggunakan rumus mean dalam distribusi


frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel
b. Analisa bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yan dilakukan untuk mengetahui
keterkaitan kedua variabel (Riyanto, 2013). Analisis dalam penelitian
ini adalah mengetahui pengaruh variabel independent (umur,
pendidikan, pengetahuan dan sikap) terhadap variabel dependent
(perilaku remaja terhadap pencegahan hepatitis A). Untuk analisis
bivariat, peneliti menggunakan uji korelasi spearman rank.

K. Prosedur Penelitian
Menurut Riyanto (2013), prosedur penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Menemukan tempat dan masalah yang akan diteliti
b. Membuat judul berdasarkan masalah
c. Mengirimkan surat kepada RW untuk meminta izin mendapatkan data
d. Melakukan studi pendahuluan dengan wawancara
e. Membuat rancangan terhadap proposal penelitian
f. Menyusun proposal dan mengikuti bimbingan atau konsultasi.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Meminta perizinan puskesmas Moch Ramdhan sebagai puskesmas
yang memiliki wilayah pelayanan kesehatan terhadap kelurahan
Ciateul
b. Melaksanakan penelitian
c. Melaksanakan pengolahan data dan anilisis data yang terkumpul
d. Membuat kesimpulan dan saran
3. Tahap Akhir
a. Penyusunan laporan penelitian
b. Penyajian hasil penelitian
52

c. Perbaikan penelitian.

L. Etika Penelitian
1. Persetujuan (Informed Consent)
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan subjek penelitian
dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi subjek
penelitian yang diberikan sebelum penelitian dilakukan. Tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian serta mengetahui dampaknya.
2. Tanpa nama (Anonimity)
Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dalam instrument
pengumpulan data yang diisi oleh responden. Lembaran tersebut
hanya akan diberi nomor atau kode tertentu.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Merupakan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi
maupun masalah - masalah lainnya. Semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok
data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
4. Perlakuan adil (Fair Treatment)
Merupakan jaminan yang diberikan kepada subjek agar diperlakukan
secara adil baik sebelum, selama dan sesudah keikut sertaannya dalam
penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak
bersedia sebagai responden atau responden boleh mengundurkan diri.

M. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di RW 09 Ciateul kecamatan Regol
Bandung, Provinsi Jawa Barat.
2. Waktu penelitian
53

Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Juli - Agustus 2017. Untuk
penjelasan waktu penelitian yang lebih lengkap dapat dilihat pada tabel
3.6.

Anda mungkin juga menyukai