Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik
dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata
lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan
curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan
oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu
antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis


adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-
bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya
menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1,
asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan
fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat


disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000
penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin
dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden
anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-
3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka
kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada
tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa


sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada
perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi
sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi
anafilaksis jarang terjadi.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep medis dari syok anafilaktik ?

2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien syok anafilaktik ?

3. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui


bagaimana konsep medis dari anafilaktik yang meliputi devenisi syok
anafilaktik, etiologi, phatofisiologi, manifestasi klinis sampai
penatalaksanaan gawat darurat pada pasien syok anafilaktik.

4. Manfaat

Penulisan makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah


keperawatan kegawatdaruratan. Manfaat dari penulisan ini adalah melatih
mahasiswa dalam meningkatkan pengetahuan dalam penatalaksanaan pada
pasien gawat darurat dalam hal ini pasien yang mengalami syok
anafilaktik (keracunan). Juga sebagai bahan pembelajaran dalam
menuliskan asuhan keperawatan dalam hal ini pasien syok anafilaktik.
BAB II

KONSEP MEDIS

1. Devenisi

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik
dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata
lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang


diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai
dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini
disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera
setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik
merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada
sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok
anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang
berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan
gejala utama obstruksi saluran napas.

2. Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat


disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000
penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin
dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden
anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-
3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka
kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada
tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa


sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada
perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi
sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi
anafilaksis jarang terjadi.

3. Faktor Predisposisi dan Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis


adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-
bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya
menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1,
asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan
fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

4. Phatofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam


hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis
melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4,
IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut
kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari


membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin
(PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang
kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF)
berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi
dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan


terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung
menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi
penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.

Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis


5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik


terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi
beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi
moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen;
serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat,


tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan,
anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat
ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak
dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan
gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat
sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk
dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat
mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-
gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan
yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.
Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan


dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler,
respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem
saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada
fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan
kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas
dan sakit perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang


berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu
daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak.
Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak
tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan
rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang
akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam
hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret,
edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema,
edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan
diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru


menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal,
gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa
mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi
stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema
terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila
saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.
Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan


kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf
pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat,
keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.
Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan
penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR,
yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan
kandungan elektrolit pada urine.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya


nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala
yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema
intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah
atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat
iskemia atau infark usus.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,


gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi
supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan
status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan
piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak,
disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu


menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengbatan serta
mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal
atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym
Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas
darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses
lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

7. Penatalaksanaan

1) Tindakan

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan


alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang
paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan
kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan


circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan
kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan
napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar
lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera
memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas
spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

2) Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama


untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah,
melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung.
Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan
mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah
meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat
terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya.
Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos
bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam
waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha,


ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama
pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang
cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan
syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk
orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat
diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali


pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam
nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat
kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler
yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi
intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan
dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa
menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan
selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada
kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita


anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin,
kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna
untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator
dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada
keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk
AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin
harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang
juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara
pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon


keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana
akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat
untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis
berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif
setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt
diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6
mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan


aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti
dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang
diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator
aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2
yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan,


dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml
epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai
dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan,
atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara
infus dengan dextrosa 5%.

3) Terapi Cairan

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur


intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau


dextran juga bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan
isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan
resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna
untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

4) Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok


anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang
tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi
dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam
berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang
perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital
sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler.
Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark
miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang
telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit.2,9,12

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis


8. Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah


kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.
Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan
antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan
sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari


reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi
tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit
paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-
obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta
interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi
anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

9. Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan


syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan
anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu
menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang
mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat
alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu


diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti
penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan
reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi
60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila


pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun
intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-
benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering
menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari
makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama
adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi
anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pada pengkajian pasien keracunan atau dikenal dengan istilah keracunan


maka ada beberapa pengkajian yang harus dilakukan di antaranya,
pengkajian identitas diri pasien,

 Pengkajian Identitas Diri


Pada pengkajian identitas diri meliputi Nama, Usia, Jenis Kelamin,
alamat, agama, tanggal MRS, No. MR, diagnosa medis dan data pre
hospital meliputi cara tiba ke RS, TTV, tindakan pengobatan yang
telah dilakukan.
Pengkajian Keluhan Utama
Pengkajian Primer
Airway ; Paten
Tidak Paten / Gurgling, Snoring, Stridor
Breating ; Efektif
Tidak Efektif /
Circulation ;

Exprouse ;

Pengkajian Sekunder
Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat Kesehatan Lalu
Riwayat Kesehatan Keluarga

Pengkajian Head To Toe


Kepala ; Inspeksi Dan Palpasi
Rambut, Wajah, Mata, Hidung, Telinga, Mulut
leher ; Inspeksi Dan Palpasi
Adanya Nyeri Dan Vena Jugularis
Thoraks ; Inspeksi Paru Dan Jantung
Bentuk, Jumlah Pernafasan, Pola Nafas,
Pengembangan Dada, Pulsasi/ Getaran Dari Nadi

Palpasi Paru Dan Jantung


Adanya Nyeri, Krepitasi Dan Iktus Cordix

Auskultasi paru dan jantung


adanya bunyi nafas dan bunyi jantung abnormal, serta

Perkusi paru dan jantung


adanaya bunyi sonor, pekak, dan bunyi lainnya
Abdomen ; inspeksi bentuk dan adanya kelainan

Palpasi adanya nyeri dan distensi


Auskultasi suara peristaltik dan jumlah
Perkusi adanya timpani
extremitas ; inspeksi dan palpasi
inspeksi ; warna
palpasi ; nyeri, krepitasi, edema, pulse

2. Diagnosa

Anda mungkin juga menyukai