Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya menjadi masalah di

negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for

Asthma(GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma

seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah kematian yang terus

meningkat hingga 180.000 orang per tahun (GINA,2012). Data World Health

Organization (WHO) juga menunjukkan data yang serupa bahwa prevalensi asma terus

meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh

dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke

bagian gawat darurat setiap tahunnya (Rengganis, 2008).

Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematiandi Indonesia.

Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga mencatat225.000 orang meninggal

karena asma. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007,

penyakit asma ditemukan sebesar 4% dari 222.000.000 total populasi nasional (Depkes RI.

2007). Sementara itu, menurut RISKESDAS tahun 2013, asma merupakan penyakit tidak

menular (PTM) nomor satu di Indonesia (Depkes RI, 2007). Melihat epidemiologi asma saat

ini, tenaga kesehatan perlu mempelajari lebih dalam lagi tentang penyakit ini sesuai panduan

terbaru.
A. Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak
diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene
hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak
higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis
tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin
T helper (Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis, measless atau
hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut
menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser
kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan
seperti debu rumah dan bulu kucing (Alfven, 2006).
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE
pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2dan Th1.
Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan olehplasenta
untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasentaberhubungan
dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, inimerupakan faktor utama
peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksiantara alergen dan polusi udara yang
cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksiakan menyebabkan peningkatan respons
Th1 dan akan menurunkankecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan
dengan Th 2.12Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada
akhirnyaakan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan
interferongama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk
lebihjelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah (Demoly, 2008).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di
hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelahseseorang
mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel.Pajanan alergen
mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut diatas. Sitokin atau
kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment danaktivasi eosinofil
adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor
(GM-CSF), kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES) (Alan, 2009).
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan asma.
Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang
akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast
dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator
inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-
5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke
paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi),
mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil
berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya
dengan integrin di superfamili immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell
adhesion molecule(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1
(Bussen, 2001).

Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi

Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran
napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti RANTES,eotaksin,
monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-1ά
yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskanmediator inflamasi
seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai salurannapas. Survival
eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkaninflamasi saluran napas
yang persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentangproses inflamasi saluran napas
dapat dilihat pada gambar di bawah (Price, 2005).
Gambar 2. Proses inflamasi pada saluran napas

Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi


yangdimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau
tanpaasma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan
mengapalebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih
belumdiketahui secara pasti (Shaver, 1995)
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi pentingbaik
pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasisel mast
hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efekfisiologis
memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mastterjadi baik di
saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi.Sedangkan kontraksi
otot polos saluran napas bawah lebih berat dalammerespons inflamasi dibanding
saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi,
sehingga perannya pada saluran napasatas dan bawah berbeda. Akibatnya efek
antihistamin lebih bermakna pada rinitisalergi daripada asma (Alan, 1999).
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil
sirkulasimelalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan
sel.Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel denganmelepas
beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dankinins. Hal tersebut
menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melaluipengaruh langsung terhadap
reseptor syaraf dan pembuluh darah pada salurannapas dan juga pada reseptor otot
polos (Peter, 1998)
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan
akanmenyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala
padasaluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea.Sedangkan
gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,hipersekresi kelenjar
mukus, sesak napas, batuk dan mengi (Peter, 1998) Gejala rinitismaupun asma yang
timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit

Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen


disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, responstipe
lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat diawalidengan pajanan
alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4,selanjutnya terjadi
pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5dan GM-CSF
menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yangteraktivasi
mengeluarkan berbagai growth factor, enzim elastase danmetaloproteinase, kemokin
(RANTES, MIP-1ά, eotaksin), mediator lipid dansitokin. Akibatnya terjadi edema
submukosa dan hiperreaktivitas bronkus (Jay, 2000).
Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin
dankemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin
mempunyaiperan dalam patogenesis asma fase lambat. Untuk lebih jelasnya peran
darimasing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam gambar 6
(Sohn, 2008).
Gambar 3. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.

Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini padasaluran
napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikianrespons tipe
lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkanoleh masuknya sel
inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas danpeningkatan reaktifitas
saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi danasma dapat timbul akibat
pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast,limfosit T, sel epitel dan kalau
dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakanjaringan baik pada rinitis maupun
asma dimediasi oleh eosinophil (Kroegel, 1998)
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediatoryang
dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyakcara kerja
biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma danrinitis. Salah
satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan ataumeningkatkan kontraksi
otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluhdarah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim pentingdalam menghasikan leukotrien.
Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien pada reseptornya
(cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermaknapada penderita rinitis dan asma (Alan,
1998).
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih belum
banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama danberhubungan dengan
adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkanproses sekresi eosinofil. Jadi
sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaianutama saluran napas atas dan bawah
adalah sama. Rangkaian utamanya adalahakibat melekatnya sel inflamasi pada
endotel maupun protein matriks melaluimatriks spesifik yang akan menyebabkan
proses inflamasi seperti sekresi leukotriene (Alan, 1999).
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan
refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pastiapakah
airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atauanatomis. Fibrosis
subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapibukan merupakan proses
analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dariperbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin,mediator lipid dan growth factor dan
mampu menyebabkan peningkatan sekresimukus, menyebabkan fibrosis subepitel.
Eosinofil teraktivasi melepaskan proteintoksik yang mengakibatkan kerusakan
jaringan saluran napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic
protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin
(EDN), eosinophil peroxidase dan mediatorlipid (Flood, 2003).
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis
danangiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang
sintesisprotein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4,
IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan
menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast (Flood, 2003).
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF)-
2mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofilmenghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endoteldiaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi sel
epitel,sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat
eosinofilyakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά (Flood, 2003).
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paruadalah
ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.Perbedaan
penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokintinggal dan
mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapatwaktu tinggal sel
inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama padasaluran napas bawah
dibanding atas setelah terpajan antigen (Alan, 1999).
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam halepithelial
shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebihsering terjadi
daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkanzat yang
menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dansitokin yang
akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadipada saluran napas
atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebihbesar daripada atas akan
menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama (Alan, 1999).
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polossaluran
napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari prosesautokrin. Saluran
napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapatperbedaan gejala rinitis
alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapatmenghasilkan RANTES, eotaksin,
GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yangbisa berperan dalam bronkokonstriksi
maupun bronkodilatasi (Alan, 1999).
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen daniritan
lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekulefektor seperti
histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis padahidung dibandingkan
pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapatpersamaan dan juga perbedaan
dalam hal tipe dan peran sel efektor danmediator dalam patogenesis rinitis alergi dan
asma. Hal tersebut akanmenyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan
gejala rinitis alergi dan asma (Alan, 1999).
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi
imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung.
Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi
(fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak
langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang
sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme)
(Kamen, 2006).
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik
(satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkanberbagai efek) dan
redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama).Oleh karena itu efek
antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyatakarena ada kompensasi
sitokin lain. Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada gambar 8 (Kips, 2001)
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Efek
sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptorsitokin
atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatandengan
reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadapkebanyakan sitokin
terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaranyang menimbulkan ekspresi
fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran (Kamen, 2006).
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growthfactor
yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponenjaringan
diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. Secara keseluruhan sitokin dapat
dikelompokkan sebagai (Kips, 2001).
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal growth factor.
B. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti
wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi yang
bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma(GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa berat),
terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan
musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang


menderita penyakit asma(GINA, 2016):

a. Batuk tanpa gejala respirasi lain


b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016)
Fitur diagnosa Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke waktu
dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin
yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat
udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada
dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
selama 4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang paling
sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang tidak
terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing juga bisa
tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran udara yang
sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK,
infeksi saluran nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal(GINA, 2016).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume in on
1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika PEF
dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena
perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat
(GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC
menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio FEV1/FVC normal
adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas
normal tersebut menandakan hambatan aliran udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi paru.
Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari
(variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes reversibilitas.
Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat setelah penggunaan
bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mikrogram salbutamol, atau
peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu ke minggu setelah
diberikan terapi kendali asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS).
Peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai
asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang
mengalami gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan
penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi
dengan bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan nafas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamin,
hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif
untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit
lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan
PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa
penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA,
2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan
menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopik dapat diperiksa
dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE. Skin prick test dengan bahan
yang mudah ditemui di lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan
sensitif jika dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini
tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA,
2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat diperiksa di
beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik dan pada
keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum dipastikan bermanfaat untuk
diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi,
dan meningkata jika terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb
terkait dengan respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016).

C. Penegakkan Diagnosis Pada Kondisi Khusus


1. Pasien hanya dengan gejala batuk
Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang diinduksi
terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome, sinusitis kronik dan
disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant asthma memiliki gejala utama
batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala tersebut terkait dengan hiperresponsivitas.
Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak dan memberat saat malam hari dengan
fungsi paru normal. Untuk pasien ini, penting untuk dicatat variablitis fungsi paru.
Penyakit cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkitis eosinofilik pada
pasien yang batuk, hasil pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan tetapi fungsi
paru dan responsitivitas jalan nafas normal (GINA, 2016).
2. Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan diperberat oleh
adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan kerja, kadang paparan
bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya mendahului asma
beberapa tahun sebelum asma, dan paparan yang berlanjut terkait dengan prognosis
yang lebih buruk (GINA, 2016).
Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat pada
riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan tentang apakah
keluhan membaik jika pasien saati tidak bekerja. Pertanyaan tersebut penting dan
mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti tempat kerja atau pekerjaannya,
yang tentunya akan berpengaruh pada aspek sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini
perujukan ke dokter spesialis penting, dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh
dari tempat kerja perlu dilakukan (GINA, 2016).
3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru,
biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan asma, misalnya
rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara), gangguan pernafasan, gangguan
jantung dan over-training harus disingkirkan (GINA, 2016).
4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai mengenai
riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika pemeriksaan objektif perlu
dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk melakukan uji
provokasi bronkus atau untuk menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan
(GINA, 2016).
5. Orang berusia tua
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi orang tua
tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa sesak nafas adalah
hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas. Keberadaan penyakit
penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan mengi, sesak nafas, dan batuk
yang memberat dengan olahraga atau memberat saat malam juga bisa disebabkan oleh
adanya penyakit jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat, ditambah dengna pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat
membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan
pemeriksaan fungsi jantung dengan ekokardiografi juga dapat membantu. Pada orang
tua dengan riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil, PPOK dan Asthma–
COPD overlap syndrome (ACOS) perlu disingkikan (GINA, 2016).
6. Perokok dan bekas perokok
Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang berusia tua,
pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling bertumpang tindih
(Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global Strategy for Diagnosis,
Management and Prevention of COPD (GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan
gejala respiratorik kronik, paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan
FEV1/FVC paska bronkodilator <0.7. Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200
ml) dapat ditemukan dalam PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan
pada Asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis.
Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena
terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016).
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu dilakukan.
Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas kesehatan tingkat 1 tidak
bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma tergantung pada gejala
dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan
atau menaikkan dosis controller. Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, maka
perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (GINA, 2016).
8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala respiratorik
yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien obes dengan adanya
dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan objektif
untuk menemukan adanay hambatan jalan nafas (GINA, 2016).
9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses penggalian gejala.
Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil, penurunan berat badan,
nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang membedakannya dengan infeksi
kronik paru seberti TBC, HIV/AIDS dan infeksi parasite atau jamur. Variabilitas jalan
nafas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan
terapi SABA atau ICS, atau bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu
kortikosteroid oral (GINA, 2016).
D. Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori usianya(GINA,
2016):
1. Usia 6-11 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Inhalasi benda asing
c. Bronkiektasis
d. Diskinesia silier primer
e. Penyakit jantung kongenital
f. Displasia bronkopulmoner
g. Kistik fibrosis
2. Usia 12-39 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Disfungsi pita suara
c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
d. Bronkiektasis
e. Kistik fibrosis
f. Penyakit jantung kongenital
g. Defisiensi alfa-1 antitripsin
h. Inhalasi benda asing
3. Usia 40 tahun ke atas
a. Disfungsi pita suara
b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
c. PPOK
d. Bronkiektasis
e. Gagal jantung
f. Batuk terkait obat
g. Penyakit parenkim paru
h. Embolisme pulmonary
i. Obstruksi saluran nafas sentral
E. Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma (pengendalian
gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi terutama dalam hal teknik
inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala
dan kualitas hidup yang buruk. Untuk memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru,
terutama FEV1 perlu dinilai. Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta
penilaian faktor risiko untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol Tidak
pasien memiliki : Penuh Sebagian Terkontrol
1. Gejala asma harian
Ya (1 poin)
lebih dari dua kali
Tidak ( 0 poin)
dalam 1 minggu
2. Terbangun di malam Ya (1 poin)
hari karena asma Tidak ( 0 poin)
3. Penggunaaan obat
pelega untuk Tidak terdapat Terdapat 1-2 Terdapat 3-
Ya (1 poin) s at u p u n k ri t eri a k ri t eri a 4 kriteria
mengatasi gejala*
Tidak ( 0 poin)
lebih dari dari dua
kali dalam 1 minggu
4. Keterbatasan aktifitas Ya (1 poin)
fisik karena asma Tidak ( 0 poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak pasien
menggunakannya secara rutin
B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk
• Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala
• Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan penggunaan obat,
kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang sedang dimiliki oleh pasien
Penilaian faktor risiko meliputi:
• Risiko eksaserbasi
• Keterbatasan aliran udara yang menetap
• Efek samping obat
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat dimodifikasi:
• Asma yang tidak terkontrol
• Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat jika >1x200
Bila terdapat
dosis canister/month)
1 atau lebih
• Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS, kepatuhan
faktor risiko
yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat
maka risiko
• Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi
eksaserbasi
• Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor
akan
• Paparan: merokok, paparan allergen
meningkat
• Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
walaupun
• Eosinophilia sputum atau darah
gejala asma
• Kehamilan
terkontrol
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi
• Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
• > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir

Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap


• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
• FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau darah
Faktor risiko efek samping obat
• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi dan/atau potent;
menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat
Alan, R. 1999. Immunobiology ofAsthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and Therapeutic
Options. Am J Respir Crit Care Med: 160: 1778–87
Alfven, T. 2006. A, et al.Allergic diseases and atopic sensitization in children related to
farming and anthroposophiclifestyle – the PARSIFAL study. Allergy 2006; 61: 414–21.
Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-50.
Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.
Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced. Allergy; 63:
251–4.
Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.

Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.

Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med;
167: 199-204.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma Management Reference.
Available at: www.ginasthma.org

Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Available at: www.ginasthma.org

Jay, W.H. 2000. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma. J Clinic


Invest; 105: 1331-2.
Karnen, G.B. 2006. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI.
Kips, J. 2001. Cytokines in asthma. Eur Respir J; 18: 24–33.
Peter, H. 1998. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment.
BMJ; 316: 758-61.
Price, D. 2005. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma related health
care use by adults. Clin Exp Allergy; 35: 282–
Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia Edisi November 2008.

Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokinemRNA in induced sputum from patients with
allergic rhinitis: relationship to airwayhyperresponsivenes. Allergy; 63: 268–73.

Anda mungkin juga menyukai