PENDAHULUAN
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya menjadi masalah di
negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for
Asthma(GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma
seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah kematian yang terus
meningkat hingga 180.000 orang per tahun (GINA,2012). Data World Health
Organization (WHO) juga menunjukkan data yang serupa bahwa prevalensi asma terus
meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh
dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematiandi Indonesia.
Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga mencatat225.000 orang meninggal
karena asma. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007,
penyakit asma ditemukan sebesar 4% dari 222.000.000 total populasi nasional (Depkes RI.
2007). Sementara itu, menurut RISKESDAS tahun 2013, asma merupakan penyakit tidak
menular (PTM) nomor satu di Indonesia (Depkes RI, 2007). Melihat epidemiologi asma saat
ini, tenaga kesehatan perlu mempelajari lebih dalam lagi tentang penyakit ini sesuai panduan
terbaru.
A. Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak
diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene
hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak
higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis
tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin
T helper (Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis, measless atau
hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut
menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser
kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan
seperti debu rumah dan bulu kucing (Alfven, 2006).
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE
pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2dan Th1.
Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan olehplasenta
untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasentaberhubungan
dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, inimerupakan faktor utama
peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksiantara alergen dan polusi udara yang
cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksiakan menyebabkan peningkatan respons
Th1 dan akan menurunkankecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan
dengan Th 2.12Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada
akhirnyaakan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan
interferongama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk
lebihjelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah (Demoly, 2008).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di
hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelahseseorang
mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel.Pajanan alergen
mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut diatas. Sitokin atau
kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment danaktivasi eosinofil
adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor
(GM-CSF), kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES) (Alan, 2009).
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan asma.
Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang
akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast
dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator
inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-
5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke
paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi),
mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil
berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya
dengan integrin di superfamili immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell
adhesion molecule(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1
(Bussen, 2001).
Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran
napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti RANTES,eotaksin,
monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-1ά
yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskanmediator inflamasi
seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai salurannapas. Survival
eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkaninflamasi saluran napas
yang persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentangproses inflamasi saluran napas
dapat dilihat pada gambar di bawah (Price, 2005).
Gambar 2. Proses inflamasi pada saluran napas
Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini padasaluran
napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikianrespons tipe
lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkanoleh masuknya sel
inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas danpeningkatan reaktifitas
saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi danasma dapat timbul akibat
pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast,limfosit T, sel epitel dan kalau
dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakanjaringan baik pada rinitis maupun
asma dimediasi oleh eosinophil (Kroegel, 1998)
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediatoryang
dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyakcara kerja
biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma danrinitis. Salah
satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan ataumeningkatkan kontraksi
otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluhdarah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim pentingdalam menghasikan leukotrien.
Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien pada reseptornya
(cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermaknapada penderita rinitis dan asma (Alan,
1998).
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih belum
banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama danberhubungan dengan
adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkanproses sekresi eosinofil. Jadi
sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaianutama saluran napas atas dan bawah
adalah sama. Rangkaian utamanya adalahakibat melekatnya sel inflamasi pada
endotel maupun protein matriks melaluimatriks spesifik yang akan menyebabkan
proses inflamasi seperti sekresi leukotriene (Alan, 1999).
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan
refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pastiapakah
airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atauanatomis. Fibrosis
subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapibukan merupakan proses
analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dariperbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin,mediator lipid dan growth factor dan
mampu menyebabkan peningkatan sekresimukus, menyebabkan fibrosis subepitel.
Eosinofil teraktivasi melepaskan proteintoksik yang mengakibatkan kerusakan
jaringan saluran napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic
protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin
(EDN), eosinophil peroxidase dan mediatorlipid (Flood, 2003).
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis
danangiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang
sintesisprotein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4,
IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan
menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast (Flood, 2003).
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF)-
2mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofilmenghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endoteldiaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi sel
epitel,sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat
eosinofilyakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά (Flood, 2003).
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paruadalah
ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.Perbedaan
penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokintinggal dan
mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapatwaktu tinggal sel
inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama padasaluran napas bawah
dibanding atas setelah terpajan antigen (Alan, 1999).
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam halepithelial
shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebihsering terjadi
daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkanzat yang
menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dansitokin yang
akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadipada saluran napas
atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebihbesar daripada atas akan
menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama (Alan, 1999).
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polossaluran
napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari prosesautokrin. Saluran
napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapatperbedaan gejala rinitis
alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapatmenghasilkan RANTES, eotaksin,
GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yangbisa berperan dalam bronkokonstriksi
maupun bronkodilatasi (Alan, 1999).
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen daniritan
lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekulefektor seperti
histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis padahidung dibandingkan
pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapatpersamaan dan juga perbedaan
dalam hal tipe dan peran sel efektor danmediator dalam patogenesis rinitis alergi dan
asma. Hal tersebut akanmenyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan
gejala rinitis alergi dan asma (Alan, 1999).
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi
imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung.
Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi
(fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak
langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang
sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme)
(Kamen, 2006).
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik
(satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkanberbagai efek) dan
redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama).Oleh karena itu efek
antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyatakarena ada kompensasi
sitokin lain. Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada gambar 8 (Kips, 2001)
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Efek
sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptorsitokin
atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatandengan
reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadapkebanyakan sitokin
terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaranyang menimbulkan ekspresi
fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran (Kamen, 2006).
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growthfactor
yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponenjaringan
diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. Secara keseluruhan sitokin dapat
dikelompokkan sebagai (Kips, 2001).
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal growth factor.
B. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti
wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi yang
bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma(GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa berat),
terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan
musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang paling
sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang tidak
terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing juga bisa
tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran udara yang
sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK,
infeksi saluran nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal(GINA, 2016).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume in on
1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika PEF
dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena
perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat
(GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC
menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio FEV1/FVC normal
adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas
normal tersebut menandakan hambatan aliran udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi paru.
Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari
(variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes reversibilitas.
Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat setelah penggunaan
bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mikrogram salbutamol, atau
peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu ke minggu setelah
diberikan terapi kendali asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS).
Peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai
asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang
mengalami gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan
penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi
dengan bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan nafas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamin,
hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif
untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit
lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan
PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa
penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA,
2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan
menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopik dapat diperiksa
dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE. Skin prick test dengan bahan
yang mudah ditemui di lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan
sensitif jika dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini
tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA,
2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat diperiksa di
beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik dan pada
keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum dipastikan bermanfaat untuk
diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi,
dan meningkata jika terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb
terkait dengan respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016).
Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med;
167: 199-204.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma Management Reference.
Available at: www.ginasthma.org
Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Available at: www.ginasthma.org
Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokinemRNA in induced sputum from patients with
allergic rhinitis: relationship to airwayhyperresponsivenes. Allergy; 63: 268–73.