Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

ACQUIRED PROTHROMBIN COMPLEX DEFICIENCY

Disusun dan dajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Program Internship Dokter Indonesia

Pembimbing :
dr. Dewi Patriani, Sp.A, MSc

Penyusun :
dr Dhani Akbar Nugraha

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD KABUPATEN TASIKMALAYA
SINGAPARNA MEDICAL CITRAUTAMA (SMC)
Jl. Raya Singaparna KM 20 Kabupaten Tasikmalaya

PERIODE NOVEMBER 2015 – OKTOBER 2016


BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) disebut juga sebagai Hemorrhagic


Disease of the Newborn (HDN), dahulu lebih dikenal dengan Acquired Prothrombin Complex
Deficiency (APCD). PDVK adalah perdarahan spontan atau akibat trauma yang disebabkan
karena penurunan aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan
X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi lain, kadar fibrinogen, dan jumlah trombosit, masih
dalam batas normal. Kelainan ini akan segera membaik dengan pemberian vitamin K. 1

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Towsend pada tahun 1894 sebagai perdarahan
dar berbagai tempat pada bayi sehat tanpa trauma,asfiksia, ataupun infeksi pada hari pertama
sampai kelima kehidupan. Hubungan antara defisiensi vitamin K dengan adanya perdarahan
spontan diperhatikan pertama kali oleh Dam pada tahun 1929, sedangkan hubungan antara
defisiensi vitamin K dengan HDN dikemukakan pertama kali oleh Brinkhous dkk pada tahun
1937. 2

The American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 1961 memberi batasan pada
HDN sebagai suatu penyakit perdarahan yang terjadi pada hari-hari pertama kehidupan yang
disebabkan oleh kekurangan vitamin K dan ditandai oleh kekurangan protrombin, prokonvertin
dan mungkin juga faktor-faktor lain. Batasan awal berubah menjadi Vitamin K Dependent
Bleeding (VKDB)/ atau perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK). 2

Angka kejadian HDN pada bayi yang tidak mendapat vitamin K profilaksis diberbagai
Negara dilaporkan berbeda-beda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian HDN lebih
sering didapatkan pada bayi-bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) dibandingkan dengan yang
mendapat susu formula. Angka kejadian HDN berkisar antara 1 tiap 200 sampai tiap 400
kelahiran pada bayi-bayi yang tidak mendapat vitamin K profilaksis. 2

2
Survey di Jepang menemukan kasus ini pada 1:4.500 bayi, 81% diantaranya ditemukan
komplikasi perdarahan intracranial. Angka kejadian ini juga menurun setelah diperkenalkannya
pemberian profilaksis vitamin K pada semua bayi baru lahir. 2

Di Thailand angka kesakitan bayi karena perdarahan akibat defisiensi vitamin K1 berkisar
1:1.200 sampai 1:1.400 kelahiran hidup. Angka tersebut dapat turun menjadi 10:100.000
kelahiran hidup dengan pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Data PDVK secara
nasionl di Indonesia belum tersedia. 2

Proses hemostasis merupakan mekanisme yang kompleks, terdiri dari empat fase yaitu
fase vaskular (terjadi reaksi lokal pembuluh darah), fase trombosit (timbul aktifitas trombosit),
fase plasma (terjadi interaksi beberapa faktor koagulasi spesifik yang beredar di dalam darah)
dan fase fibrinolisis (proses lisis bekuan darah). Bila salah satu dari keempat proses ini
terganggu, maka akan timbul gangguan hemostasis dengan manifestasi klinis perdarahan,
misalnya pada defisiensi kompleks protrombin (faktor II,VII, IX dan X). Defisiensi kompleks
protrombin dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin K dan penyakit hati. 3

Gangguan pada proses pembekuan darah, dapat berupa kelainan yang diturunkan secara
genetik atau kelainan yang didapat. Gangguan pembekuan yang didapat bisa disebabkan oleh
adanya gangguan faktor koagulasi karena kekurangan faktor pembekuan yang tergantung
vitamin K, penyakit hati, percepatan penghancuran faktor koagulasi dan inhibitor koagulasi.
Salah satu diantaranya adalah defisiensi kompleks protrombin yaitu kekurangan faktor-faktor
koagulasi faktor II, VII, IX dan X. 3

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Anamnesis
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada hari Kamis, 14 Juli 2016 pukul
13.30 WIB di Ruang ICU.
Keluhan Utama :
Os datang ke IGD RSUD Kabupaten Tasikmalaya dengan keluhan kejang sejak 5 jam
SMRS.
Keluhan Tambahan :
Keluhan disertai penurunan kesadaran, tubuh sebelah kanan kurang aktif

Riwayat Penyakit Sekarang :


Bayi Z, usia 2 bulan datang ke IGD RSUD Kabupaten Tasikmlaya dengan keluhan
kejang sejak 5 jam SMRS, kejang terjadi sebanyak 2x, kejang pertama terjadi kurang lebih
selama 15 menit. Menurut ibu pasien kejang tersebut seperti ‘kelojotan’ dan matanya melirik
kearah atas. Setelah kejang berhenti pasien juga terlihat kejang yang hanya berupa gerakan
menghentak pada tubuh sebelah kiri saja. Ibu pasien mengaku setelah kejang yang pertama tiba-
tiba mata anaknya yang sebelah kanan tidak bisa membuka, dan anaknya mulai tidak menangis.
Keluhan disertai penurunan kesadaran. Ibu pasien juga mengaku setelah itu leher anaknya dan
tubuhnya menjadi kaku, seerta tubuh kanannya kurang aktif. Keluhan tidak disertai muntah yang
menyemprot.. Keluhan kejang tersebut tidak disertai dengan demam. Keluhan seperti mimisan
dan buang air berwarna kehitaman disangkal. Pasien juga terlihat sangat pucat. Pasien belum
diberikan obat apapun untun meringankan kejangnya. Riwayat keluarga menderita kejang
disangkal. Keluhan juga disertai BAB cair lebih dari 5x. Gangguan BAK disangkal. Riwayat
trauma kepala disangkal.

4
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Operasi - Morbili -
Kesan : Os belum pernah menderita sakit lain maupun sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Tidak rutin periksa ke
dokter/bidan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah Sakit
Penolong persalinan Bidan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I :-
Psikomotor
Mengangkat kepala :-
Tengkurap :-
Duduk : -
Berdiri :-
Berjalan :-

5
Bicara :-
Kesan :-

Riwayat Makanan :
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
0-2 ASI - - -
2-4 - - - -
4-6 - - - -
6-8 - - - -
8-10 - - - -
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik

Riwayat Imunisasi :
Ibu pasien mengatakan riwayat imunisasi pasien lengkap, namun ayah pasien tidak mengetahui
percis waktu dan tempat dilakukan imunisasi pada pasien.

Riwayat Keluarga :
Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik

II. Pemeriksaan fisik


 Keadaan umum : Tampak sakit berat
 Tanda Vital
- Kesadaran : somnolen
- Frekuensi nadi : 132x/menit
- Tekanan darah : Tidak dihitung
- Frekuensi pernapasan : 32x/menit
- Suhu tubuh : 36,1˚C

 Data antropometri

6
- Berat badan : 4,4 kg
- Panjang badan : tidak dilakukan pengukuran
- Status gizi menurut CDC :
o BB/U = 4,4/2 x 100% = 25%
o Kesan = gizi kurang
 Kepala
- Bentuk : Normocephali
Ubun-ubun besar menonjol.
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
cukup baik
- Mata : Conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil anisokor,
Pemeriksaan Reflex cahaya tidak dilakukan, lakrimasi
+/+, ptosis +/-
- Telinga : Normotia, serumen -/-
- Hidung : Septum deviasi (-), sekret -/- warna kehijauan, nafas cuping hidung -/-
- Mulut : Sianosis (-) ,Bibir tampak kering (-), faring hiperemis (-),
 Wajah :
 Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar
 Thorax
Paru-paru
- Inspeksi : pergerakan napas cepat, pergerakan otot bantu pernapasan (+),
abdominotorakal
- Palpasi :
- Perkusi : sonor pada kedua paru
- Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi -/- wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
- Palpasi : Teraba iktus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea
midklavikula kiri
- Perkusi
Batas kanan : Sela iga V linea parasternalis kanan.

7
Batas kiri : Sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.
Batas atas : Sela iga II linea parasternal kiri.
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Perut datar,
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : Supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba
membesar
- Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
 Kulit : Ikterik (-), petechie (-),
 Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (+),
edema (-), CRT < 2”
III. Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-
Lasegue : tidak dilakukan pemeriksaan
Kernig : tidak dilakukan pemeriksaan
Brudzinski II : -/-
2. Nervus Kranialis
N. I : Tidak valid dinilai
N. II
Acies visus : Tidak dilakukan
Visus campus : Tidak dilakukan
Lihat warna : Tidak dilakukan
Funduskopi : Tidak dilakukan
N. III, N. IV, dan N. VI
Kedudukan bola mata : Ortoposisi +/+
Gerak bola mata : sulit dinilai
Ptosis : +/-
Exophtalmus : -/-

8
Nystagmus : -/-
Pupil
Bentuk : Bulat, anisokor
Reflex cahaya langsung : tidak dilakukan pemeiksaan
Reflex cahaya tidak langsung : tidak dilakukan pemeriksaan
N. V
Cabang motorik : Tidak valid dinilai
Cabang sensorik
Ophtalmikus : Tidak valid dinilai
Maksilaris : Tidak valid dinilai
Mandibularis : Tidak valid dinilai
N. VII
Motorik orbitofrontalis : Tidak valid dinilai
Motorik orbikularis okuli : Tidak valid dinilai
Lipatan nasolabial : Tidak valid dinilai
Pengecapan lidah : Tidak dilakukan
N. VIII
Nistagmus : Tidak dilakukan
Koklearis : Tuli konduktif : Tidak dilakukan
Tuli perseptif : Tidak dilakukan
Tinnitus : Tidak dilakukan

N. IX dan N. X
Arkus faring simetris, uvula ditengah
N. XI
Mengangkat bahu : Tidak dilakukan
Menoleh : tidak baik/ tidak baik
N. XII
Pergerakkan lidah : Simetris, tidak ada deviasi
Atrofi :-
Fasikulasi :-

9
Tremor :-
a. Sistem Motorik
Ekstremitas atas proksimal-distal : Tidak Bergerak aktifbergerak namun lemah
Ekstremitas bawah proksimal-distal : Bergerak namun lemah
b. Gerakan Involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
: -/-
c. Trofik : Eutrofi +/+
d. Tonus : Normotonus +/+
e. Sistem Sensorik
Propioseptif : Tidak dapat dinilai
Eksterioseptif : Tidak dapat dinilai
f. Fungsi Serebelar
Ataxia : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : Tidak dilakukan
Jari-jari : Tidak dilakukan
Jari-hidung : Tidak dilakukan
Tumit-lutut : Tidak dilakukan
Rebound phenomenon : Tidak dilakukan
g. Fungsi Luhur
Astereognosia : Tidak dilakukan
Apraxia : Tidak dilakukan
Afasia : Tidak dapat dinilai
h. Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi keringat : Baik

10
i. Refleks :
Pemeriksaan Kanan Kiri
Bicep + +
Tricep + +
Patella + +
Achilles + +
Hoffmann-Tromner Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Babinsky - -
Rooting +
Grasp +

IV. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 13/7/2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit 19.800 /μL 4000-10000
Eritrosit 1,1 juta/uL 4-5
Hemoglobin 3,9 g/dL 12-16
Hematokrit 11 % 35-45
Trombosit 522 ribu/ μL 150-450 ribu/ μL
KIMIA KLINIK
GDS 99 mg/dl < 150
ELEKTROLIT
Natrium 130 136-155
Kalium 4,7 3,0-5,2
Klorida 101 96-108

11
Tanggal 14/7/2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 12700/μl 4000-10000
Hb 14,6 g/dl 12-16
Ht 47 % 35-45
Trombosit 310 ribu/ μl 229-553
Eritrosit 4,9 juta/ uL 4-5

Pemeriksaan USG kepala Bayi (19/07/2016)

Kesan : perdarahan subarachnoid region frontalis

12
Bayi Z, usia 2 bulan datang ke IGD RSUD Kabupaten Tasikmlaya dengan keluhan
kejang sejak 5 jam SMRS, kejang terjadi sebanyak 2x, kejang pertama terjadi kurang lebih
selama 15 menit. Menurut ibu pasien kejang tersebut seperti ‘kelojotan’ dan matanya melirik
kearah atas. Setelah kejang berhenti pasien juga terlihat kejang yang hanya berupa gerakan
menghentak pada tubuh sebelah kiri saja. Ibu pasien mengaku setelah kejang yang pertama tiba-
tiba mata anaknya yang sebelah kanan tidak bisa membuka, dan anaknya mulai tidak menangis.
Keluhan disertai penurunan kesadaran. Ibu pasien juga mengaku setelah itu leher anaknya dan
tubuhnya menjadi kaku, seerta tubuh kanannya kurang aktif. Keluhan tidak disertai muntah yang
menyemprot.. Keluhan kejang tersebut tidak disertai dengan demam. Keluhan seperti mimisan
dan buang air berwarna kehitaman disangkal. Pasien juga terlihat sangat pucat. Pasien belum
diberikan obat apapun untun meringankan kejangnya. Riwayat keluarga menderita kejang
disangkal. Keluhan juga disertai BAB cair lebih dari 5x. Gangguan BAK disangkal. Riwayat
trauma kepala disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keaadaran umum pasien tampak sakit berat, kesadaran
somnolen, takikardi, mata konjungtiva anemis +/+, ptosis +/-, akral atas dan bawah dingin, leher
kaku, kelemahan otot tubuh sebelah kanan. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 13 juli 2016,
eritrosit 1,1 juta/μL, hemoglobin 3,9 g/dl, hematokrit 11 %.

V. Diagnosis Kerja
 Perdarahan intracranial ec APCD

VI. Penatalaksanaan
Non medikamentosa :
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien
2. Rawat inap di ruang ICU dengan monitor
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Oksigenasi 1 liter/menit

Medikamentosa :

13
1. Tatalaksana cairan
Line 1 :
KAEN 3B 8 TPM mikro
Line 2;
Jalur transfusi
2. Vitamin K 1x1mg IV (selama 3 hari)
3. Fenitoin 2x 15 mg iv
4. Manitol 20% 10ml/8jam
5. Ceftriaxone 2 x 110 mg IV
6. Tranfusi :
PRC : ΔHb x BB x 3 = (12-3,9) x 4,4 kg x 3
= 100 cc
7. Premedikasi dexamethasone 2 mg IV sebelum transfusi

VII. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam

FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
14/7/2016  Anemia  Somnolen Perdarahan  Diit: mulai
Perawatan  Kejang (-)  N: 150x/menit intrakranial e.c intake Susu
hari II  S: 360C APCD Formula per
 RR: 28x/menit OGT 8x20 cc
 Ubun-ubun  Cairan
cembung intravena:
 Mata I Kaen 3B
konjungtiva II NaCl( post
anemis +/+, transfuse)
ptosis +/-  Injek Vit K 1
 Paru SN mg IM

14
vesicular +/+, rh selama 3 hari
-/-, wh -/-  Manitol 20%
 Hemiparase 10 ml/ 8 jam
dextra  Fenitoin 2x15
mg IV
 Ceftriaxone
inj 2x 125 mg
IV
 Vit K1
1x1mg (hari
ke 2)
Saran : USG
kepala bayi
15/07/2016  Kejang (-)  Somnolen Perdarahan  Diit:
Perawatan  Demam (-)  N: 130x/menit intrakranial e.c intake
hari II  Anemia (-)  S: 360C APCD Susu
 RR: 28x/menit Formula
 Ubun-ubun agak per OGT
cembung 8x25 cc
 Mata  Cairan
konjungtiva intravena:
anemis -/-, ptosis IVFD Kaen 3B
+/-
 Paru SN  Injek Vit
vesicular +/+, rh K 1 mg
-/-, wh -/- IM
 Hemiparase  Manitol
dextra 20% 10
ml/ 8 jam
 Fenitoin
2x15 mg
IV
 Ceftriaxo
ne inj 2x
125 mg
IV

16/07/2016  Kejang (-)  Somnolen Perdarahan  Diit:


Perawatan  N: 138x/menit intrakranial e.c intake
hari III  S: 36,40C APCD Susu

15
 RR: 28x/menit Formula
 Mata per OGT
konjungtiva 8x25 cc
anemis -/-, ptosis Cairan
+/- intravena:
 Paru SN IVFD Kaen 3B
vesicular +/+, rh  Injek Vit
-/-, wh -/- K 1 mg
 Hemiparase IM stop
dextra  Manitol
20%
tapering
off 10 ml/
12 jam
 Fenitoin
2x15 mg
IV
 Ceftriaxo
ne inj 2x
125 mg
IV

17/07/2016  Kejang (-)  Somnolen  Diit: susu
Perawatan  N: 121x/menit Formula per
hari IV  S: 35,60C OGT 8x25 cc
 RR: 32x/menit  Cairan
 Ubun-ubun agak intravena:
cembung IVFD Kaen 3B
 Mata 8tpm/mikro
konjungtiva  Manitol 20%
anemis -/-, ptosis tapering off
+/-, Paru SN 10 ml/ 24 jam
vesicular +/+, rh  Fenitoin 2x15
-/-, wh -/- mg IV
 Hemiparase  Ceftriaxone
dextra inj 2x 125 mg
IV

18/07/2016  Kejang (+)  Somnolen Perdarahan  Diit:


Perawatan 3x dalam ½  N: 140x/menit intrakranial e.c puasakan

16
hari V jam lamanya  S: 35,60C APCD  Cairan
10 detik  RR: 32x/menit intravena:
 Ubun-ubun agak IVFD Kaen 3B
cembung 8tpm/mikro
 Mata  Manitol stop
konjungtiva  Fenitoin 2x20
anemis -/-, ptosis mg IV
+/-, Paru SN  Ceftriaxone
vesicular +/+, rh inj 2x 125 mg
-/-, wh -/- IV
 Hemiparase  Diazepam 1
dextra mg IV bila
kejang
19/07/2016 Kejang (-)  Compos mentis Perdarahan  Diit:
Perawatan  N: 140x/menit intrakranial e.c apabila
hari VI  S: 35,60C APCD dengan bias
 RR: 32x/menit perbaikan intake per
 Ubun-ubun agak oral OGT
cembung dilepas
 Mata  Cairan
konjungtiva intravena:
anemis -/-, ptosis IVFD Kaen 3B
-/-, Paru SN 8tpm/mikro
vesicular +/+, rh  Fenitoin 2x20
-/-, wh -/- mg IV
 Ceftriaxone
inj 2x 125 mg
IV
 Diazepam 1
mg IV bila
kejang
 Edukasi hasil
USG kepala
bayi

20/07/2016 Kejang (-)  Compos mentis Perdarahan  Diit:


Perawatan  N: 140x/menit intrakranial e.c ASI/SF
hari VII  S: 35,60C APCD dengan ad lib
perbaikan  Cairan

17
 RR: 32x/menit intravena:
 Ubun-ubun IVFD Kaen 3B
normal 8tpm/mikro
 Mata  Fenitoin 2x20
konjungtiva mg IV
anemis -/-, ptosis  Ceftriaxone
-/-, Paru SN inj 2x 125 mg
vesicular +/+, rh IV
-/-, wh -/-  Diazepam 1
 Hemiparase mg IV bila
dextra kejang

21/07/2016 Tidak ada  Compos mentis Perdarahan  Rencana


Perawatan keluhan  N: 120x/menit intrakranial e.c BLPL
hari VIII  S: 35,60C APCD dengan  Diit: ASI/SF
 RR: 32x/menit perbaikan ad lib
 Ubun-ubun agak  Cefixim 2
cembung x20 mg PO
 Mata  Fenitoin 2x
konjungtiva 20 mg PO
anemis -/-, ptosis
-/-, Paru SN
vesicular +/+, rh
-/-, wh -/-

18
BAB III
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini diagnosis perdarahan intracranial ec Aqcuired Prothrombin Complex


Deficiency dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
pasien bayi berusia 2 bulan datang dengan keluhan kejang sejak 5 jam SMRS, tanpa disertai
demam terjadi mendadak, terus menerus sampai sampai kerumah sakit. Ibu Pasien mengaku
anaknya baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Setelah kejang pertama mata kanan
anaknya mulai tidak bisa terbuka dan lehernya menjadi kaku sehingga pasien tidak dapat
menoleh ke kiri. Keluhan tidak disertai dengan mimisan ataupun pendarahan dari tempat lainnya.
Dari riwayat sakit di atas, diagnosis dapat diarahkan ke penyakit APCD. Keadaan khusus yang
dikenal sebagai Hemorragic Disease of the Newborn (HDN), merupakan suatu keadaaan akibat
kekurangan vitamin K (APCD) pada masa neonatus. Terdapat penurunan kadar faktor II, VII,
IX, dan X yang merupakan faktor pembekuan darah yang tergantung kepada vitamin K dalam
derajat sedang pada semua neonatus yang berumur 48-72 jam dan kadar faktor-faktor tersebut
secara berangsur-angsur akan kembali normal pada umur 7-10 hari. Keadaan transien ini
mungkin diakibatkan karena kurangnya vitamin K pada ibu dan tidak adanya flora normal usus
yang bertanggung jawab terhadap sintesis vitamin K. Manifestasi perdarahan karena defisiensi
vitamin K tidak spesifik dan bervariasi mulai dari memar ringan sampai ekimosis generalisata,
pucat, perdarahan kulit, gastrointestinal, vagina sampai perdarahan intracranial yang dapat
mengancam jiwa. Perdarahan dapat terjadi spontan atau akibat terutama trauma lahir seperti
hematoma sefal. Pada kebanyakan kasus perdarahan terjadi dikulit, mata, hidung, dan saluran
cerna. Perdarahan dikulit sering berupa purpura, ekimosis, atau perdarahan melalui bekas
tusukan jarum suntik. Tempat perdarahan lain yaitu umbilicus, sirkumsisi. Manifestasi
perdarahan pada neonatus sedikit berbeda dari anak yang lebih besar dan dewasa. Pada neonatus
perdarahan dapat timbul dalam bentuk perdarahan discalp, hematoma sefal yang besar,
perdarahan intracranial, perdarahan tali pusat, perdarahan pada bekas sirkumsisi, oozing pada
bekas suntikan dan kadang-kadang perdarahan gastrointestinal.

Perdarahan intracranial merupakan komplikasi tersering 63%, 80-100% berupa


perdarahan subdural dan subaraknoid. Pada perdarahan intracranial didapatkan gejala

19
peningkatan tekanan intracranial (TIK) bahkan kadang-kadang tidak menunjukkan gejala
ataupun tanda. Pada sebagian besar kasus (60%) didapatkan sakit kepala, muntah, ubun-ubun
besar menonjol, pucat dan kejang. Gejala lain yang ditemukan adalah fotofobia, edema papil,
penurunan kesadaran, perubahan tekanan nadi, pupil anisokor serta kelainan neurologis fokal.
Pemeriksaan laboratorium Hb 3,9 g/dL, ini menunjukan adanya anemia akibat proses
pendarahan. hematokrit 11%, dan hasil USG kepala adanya pendarahan pada bagian sub
arachnoid
Pada pasien ini juga terdapat defisit neurologis yang dapat memperkuat diagnosis telah
terjadi pendarahan intrakranial akibat dari kekurangan vitamin K. Pada perawatan hari ke 2 dan
ke 3 pasien sudah menunjukan perbaikan dengan pemberian vitamin K sebanyak 1x1mg sealam
3 hari, leher yang saat awal kaku pada hari itu sudah mulai membaik dan dapat menoleh ke kiri,
ptosisnya juga mulai membaik walaupun belum sempurna kembali ke normal.Ubun-ubun masih
menonjol menunjukan masih adanya proses peningkatan TIK dan adanya edema dari korteks
serebri. Pada perawatan hari ke 5 pasien kembali kejang selama 15 menit didukung oleh keadaan
faktor intrakranial dan peningkatan TIK.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) disebut juga sebagai Hemorrhagic
Disease of the Newborn (HDN), dahulu lebih dikenal dengan Acquired Prothrombin Complex
Deficiency (APCD). PDVK adalah perdarahan spontan atau akibat trauma yang disebabkan
karena penurunan aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan
X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi lain, kadar fibrinogen, dan jumlah trombosit, masih
dalam batas normal. Kelainan ini akan segera membaik dengan pemberian vitamin K.

20
II.2 DEFISIENSI VITAMIN K

Vitamin K merupakan salah satu vitamin larut dalam lemak, yang diperlukan dalam
sintesis protein tergantung vitamin K (Vitamin K – dependent protein ) atau GIa. Vitamin K
diperlukan sintesis prokoagulan faktor II, VII, IX dan X (kompleks protrombin) serta protein C
dan S yang berperan sebagai antikoagulan (menghambat proses pembekuan). Molekul-molekul
faktor II, VII, IX dan X pertama kali disintesis dalam sel hati dan disimpan dalam bentuk
prekursor tidak aktif. Molekul yang dikenal sebagai descarboxy proteins ini disebut PIVKA
(Proteins Induced by Vitamin K Absence). Vitamin K diperlukan untuk konversi prekursor tidak
aktif menjadi faktor pembekuan yang aktif. Proses konversi ini terjadi pada tahap postribosomal,
dimana radikal karboksil dengan vitamin K sebagai katalis akan menempel pada residu asam
glutamate dari precursor molekul untuk membentuk (-carboxyglutamic acids yang mampu
Ca2+.
mengikat Faktor pembekuan (faktor II, VII, IX, X) yang memiliki kemampuan mengikat
Ca2+ ini memegang peranan dalam mekanisme hemostasis fase plasma. Kekurangan vitamin K
dapat menimbulkan gangguan dari proses koagulasi sehingga menyebabkan kecenderungan
terjadinya perdarahan atau dikenal dengan Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB).3

Gambar 2 menunjukkan terjadinya fase karbosilaksi dalam siklus metabolisme vitamin


K. Pada kondisi defisiensi vitamin K, rantai polipeptida dari faktor koagulasi tergantung vitamin
K tetap terbentuk normal, namun fase karboksilasi (proses gamma karboksilasi dari amino
terminal glutamic acid) tidak terjadi. Sehingga bentuk akarboksi dari faktor II, VII, IX dan X
tidak mampu berikatan dengan ion kalsium dan tidak dapat berubah menjadi bentuk aktif yang
diperlukan dalam proses koagulasi.3

21
Angka kejadian VKDB berkisar antara 1:200 sampai 1:400 kelahiran bayi yang tidak
mendapat vitamin K profilaksis. Di Amerika Serikat, frekuensi VKDB dilaporkan bervariasi
antara 0,25-1,5% pada tahun 1961, dan menurun menjadi 0-0,44% pada 10 tahun terakhir dengan
adanya program pemberian profilaksis vitamin K.7,13,15 Di Jepang, insidens VKDB mencapai 20
– 25 per 100.000 kelahiran.16 Danielsson pada tahun 2004 melaporkan bahwa insidens VKDB di
Hanoi Vietnam sangat tinggi, sebesar 116 per 100.000 kelahiran.17 Angka kematian akibat
VKDB di Asia mencapai 1:1200 sampai 1:1400 kelahiran.2,18 Angka kejadian tersebut ditemukan
lebih tinggi, mencapai 1:500 kelahiran, di daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis
vitamin K secara rutin pada bayi baru lahir.2

Di Indonesia, data mengenai VKDB secara nasional belum tersedia. Hingga tahun 2004
didapatkan 21 kasus di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr Sardjito Yogyakarta dan 8 kasus di RSU
Dr Soetomo Surabaya.2

II. 3 ETIOLOGI 3

Secara umum gangguan pembekuan darah masa anak disebabkan oleh beberapa keadaan
seperti pada tabel 1.

22
Keadaan yang berhubungan dengan defisiensi faktor pembekuan yang bergantung pada
vitamin K adalah :

a. Prematuritas

b. Kadar faktor pembekuan yang tergantung pada vitamin K pada waktu lahir berbanding
lurus dengan umur kehamilan dan berat pada waktu lahir. Pada bayi premature fungsi hati
masih belum matang dan respon terhadap vitamin K subnormal.

c. Asupan makanan yang tidak adekuat

23
d. Terlambatnya kolonisasi kuman

e. Komplikasi obstetrik dan perinatal

f. Kekurangan vitamin K pada ibu

Suatu keadaan khusus yang dikenal sebagai Hemorragic Disease of the Newborn (HDN),
merupakan suatu keadaaan akibat kekurangan vitamin K pada masa neonatus. Terdapat
penurunan kadar faktor II, VII, IX, dan X yang merupakan faktor pembekuan darah yang
tergantung kepada vitamin K dalam derajat sedang pada semua neonatus yang berumur 48-72
jam dan kadar faktor-faktor tersebut secara berangsur-angsur akan kembali normal pada umur 7-
10 hari. Keadaan transien ini mungkin diakibatkan karena kurangnya vitamin K pada ibu dan
tidak adanya flora normal usus yang bertanggung jawab terhadap sintesis vitamin K.

Pada keadaan obstruksi biliaris baik intrahepatik maupun ekstrahepatik akan terjadi
kekurangan vitamin K karena tidak adanya garam empedu pada usus yang diperlukan untuk
absorpsi vitamin K, terutama vitamin K1 dan K2. Obstruksi yang komplit akan mengakibatkan
gangguan proses pembekuan dan perdarahan setelah 2-4 minggu. Sindrom malabsorpsi serta
gangguan saluran cerna kronis dapat menyebabkan kekurangan vitamin K akibat berkurangnya
absorpsi vitamin K.

Pemberian antibiotik yang lama menyebabkan penurunan produksi vitamin K dengan cara
menghambat sintesis vitamin K2 oleh bakteri atau dapat juga secara langsung mempengaruhi
reaksi karboksilase. Kekurangan vitamin K dapat juga disebabkan penggunaan obat kolestiramin
yang efek kerjanya mengikat garam empedu sehingga akan mengurangu absorpsi vitamin K yang
memerlukan garam empedu pada proses absorpsinya

II. 4 PATOFISIOLOGI 2

Semua neonatus dalam 48-72 jam setelah kelahiran secara fisiologis mengalami
penurunan kadar faktor koagulasi yang bergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X) sekitar
50%, kadar-kadar faktor tersebut secara berangsur akan kembali normal dalam usia 7-10 hari.
Keadaan transien ini mungkin diakibatkan oleh kurangnya vitamin K ibu dan tidak adanya flora

24
normal usus yang bertanggungjawab terhadap sintesis vitamin K sehingga cadangan vitamin K
pada bayi baru lahir rendah.

Diantara neonatus (lebih sering pada bayi premature dibanding yang cukup bula) ada
yang mengalami defisiensi ini lebih berat dan lebih lama sehingga mekanisme hemostasis fase
plasma terganggu dan timbul perdarahan spontan.

II.5 PROSES KOAGULASI 2

Proses koagulasi atau kaskade pembekuan darah terdiri dari jalur intrinsik dan jalur
ekstrinsik. Jalur intrinsik dimulai saat darah mengenai permukaan sel endotelial, sedangkan jalur
ekstrinsik dimulai dengan pelepasan tissue factor (Faktor III) pada tempat terjadinya luka.

Jalur pembekuan darah intrinsik memerlukan faktor VIII, IX, X, XI dan XII, dibantu
dengan protein prekalikrein, high-molecular weight kininogen (HMWK), ion kalsium dan
fosfolipid dari trombosit. Jalur ini dimulai ketika prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor XII
bersentuhan dengan permukaan sel endotelial, yang disebut dengan fase kontak.

Adanya fase kontak ini menyebabkan konversi dari prekalikrein menjadi kalikrein, yang
kemudian mengaktifkan faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa memacu proses pembekuan
melalui aktivasi faktor XI, IX, X dan II (protrombin) secara berurutan (Gambar 1).

Aktifasi faktor Xa memerlukan bantuan dari tenase complex, terdiri dari ion Ca, faktor
VIIIa, IXa dan X, yang terdapat pada permukaan sel trombosit. Faktor VIIIa pada proses
koagulasi bersifat seperti reseptor terhadap faktor IXa dan X. Aktifasi faktor VIII menjadi faktor
VIIIa dipicu oleh terbentuknya trombin, akan tetapi makin tinggi kadar trombin, malah akan
memecah faktor VIIIa menjadi bentuk inaktif.

Jalur ekstrinsik dimulai pada tempat terjadinya luka dengan melepaskan tissue factor
(TF). TF merupakan suatu lipoprotein yang terdapat pada permukaan sel, adanya kontak dengan
plasma akan memulai terjadinya proses koagulasi. TF akan berikatan dengan faktor VIIa akan
mempercepat aktifasi faktor X menjadi faktor Xa sama seperti proses pada jalur intrinsik.
Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja dari trombin dan faktor Xa. Faktor VIIa dan TF ternyata

25
juga mampu mengaktifkan faktor IX, sehingga membentuk hubungan antara jalur ekstrinsik dan
intrinsik.1,5

Selanjutnya faktor Xa akan mengaktifkan protombin (faktor II) menjadi trombin (faktor
IIa). Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan bantuan kompleks
protrombinase yang terdiri dari fosfolipid sel trombosit, ion Ca, faktor V dan Xa. Faktor V
merupakan kofaktor dalam pembentukan kompleks protrombinase. Seperti faktor VIII, Faktor V
teraktifasi menjadi faktor Va dipicu oleh adanya trombin. Selain itu trombin juga mengubah
faktor XIII menjadi faktor XIIIa yang akan membantu pembentukan cross-linked fibrin polymer
yang lebih kuat.

26
II.6 FAKTOR RESIKO 2,3

Faktor resiko yang dapat menyebabkan timbulnya VKDB antara lain obat-obatan yang
mengganggu metabolisme vitamin K, yang diminum ibu selama kehamilan, seperti
antikonvulsan (karbamasepin, fenitoin, fenobarbital), antibiotika (sefalosporin),
antituberkulostatik (INH, rifampicin) dan antikoagulan (warfarin).

Faktor resiko lain adalah kurangnya sintesis vitamin K oleh bakteri usus karena
pemakaian antibiotika berlebihan, gangguan fungsi hati (kolestasis), kurangnya asupan vitamin
K pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, serta malabsorbsi vitamin K akibat kelainan usus
maupun akibat diare.2

Kadar vitamin K pada ASI < 5 mg/ml, jauh lebih rendah dibandingkan dengan susu
formula yaitu sekitar 50 - 60 mg/ml. Selain itu pada usus bayi yang mendapat susu formula,
mengandung bakteri bacteriodes fragilis yang mampu memproduksi vitamin K. Sedangkan pada
bayi dengan ASI eksklusif, ususnya mengandung bakteri Lactobacillus yang tidak dapat
memproduksi vitamin K.2

II.7 PERKEMBANGAN HEMOSTASIS SELAMA MASA ANAK 3

Sistem koagulasi pada neonatus masih imatur sehingga pada saat lahir kadar protein
koagulasi lebih rendah. Kadar dari sistem prokoagulasi seperti protein prekalikrein, HMWK,
faktor V, XI dan XII serta faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (II, VII, IX, X) pada bayi
cukup bulan lebih rendah 15 – 20% dibandingkan dewasa dan lebih rendah lagi pada bayi kurang
bulan. Kadar inhibitor koagulasi seperti antitrombin, protein C dan S juga lebih rendah 50% dari
normal. Sedangkan kadar faktor VIII, faktor von Willebrand dan fibrinogen setara dengan
dewasa.

Kadar protein prokoagulasi ini secara bertahap akan meningkat dan dapat mencapai kadar
yang sama dengan dewasa pada usia 6 bulan. Kadar faktor koagulasi\ yang tergantung vitamin K
berangsur kembali ke normal pada usia 7-10 hari. Cadangan vitamin K pada bayi baru lahir
rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya vitamin K ibu serta tidak adanya cadangan flora
normal usus yang mampu mensintesis vitamin K.

27
Selain itu kadar inhibitor koagulasi juga meningkat dalam 3 – 6 bulan pertama kehidupan
kecuali protein C yang masih rendah sampai usia belasan tahun.2 Meskipun kadar beberapa
protein koagulasi lebih rendah, pemeriksaan prothrombin time (PT) dan activated partial
thromboplastin time (aPTT) tidak jauh berbeda dibandingkan dengan anak dan dewasa. Namun
didapatkan pemanjangan pemeriksaan bleeding time terutama pada usia < 10 tahun, sehingga
interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secara hati-hati.

II. 8 MANIFESTASI KLINIS DAN LABORATORIUM 2,3

Manifestasi perdarahan karena defisiensi vitamin K tidak spesifik dan bervariasi mulai
dari memar ringan sampai ekimosis generalisata, pucat, perdarahan kulit, gastrointestinal, vagina
sampai perdarahan intracranial yang dapat mengancam jiwa. Perdarahan dapat terjadi spontan
atau akibat terutama trauma lahir seperti hematoma sefal. Pada kebanyakan kasus perdarahan
terjadi dikulit, mata, hidung, dan saluran cerna. Perdarahan dikulit sering berupa purpura,
ekimosis, atau perdarahan melalui bekas tusukan jarum suntik. Tempat perdarahan lain yaitu
umbilicus, sirkumsisi. Manifestasi perdarahan pada neonatus sedikit berbeda dari anak yang
lebih besar dan dewasa. Pada neonatus perdarahan dapat timbul dalam bentuk perdarahan
discalp, hematoma sefal yang besar, perdarahan intracranial, perdarahan tali pusat, perdarahan
pada bekas sirkumsisi, oozing pada bekas suntikan dan kadang-kadang perdarahan
gastrointestinal.

Perdarahan intracranial merupakan komplikasi tersering 63%, 80-100% berupa


perdarahan subdural dan subaraknoid. Pada perdarahan intracranial didapatkan gejala
peningkatan tekanan intracranial (TIK) bahkan kadang-kadang tidak menunjukkan gejala
ataupun tanda. Pada sebagian besar kasus (60%) didapatkan sakit kepala, muntah, ubun-ubun
besar menonjol, pucat dan kejang. Gejala lain yang ditemukan adalah fotofobia, edema papil,
penurunan kesadaran, perubahan tekanan nadi, pupil anisokor serta kelainan neurologis fokal

Pada HDN terdapat 3 macam bentuk klinis yaitu : bentuk dini, klasik, lambat. Pada
pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya kekurangan vitamin K, meliputi
pemeriksaan : waktu perdarahan, waktu pembekuan, PTT, PT, TT (thrombin time), jumlah
trombosit, kadar hemoglobin, morfologi darah tepi. Pemeriksaan faktor-faktor pembekuan darah
bergantung kepada vitamin K, fibrinogen, faktor V dan VII dapat pula dilakukan.

28
II.9 GANGGUAN KOAGULASI PADA PENYAKIT HATI 2,3

Meskipun kelainan hati yang mendasari berbeda, patofisiologi terjadinya abnormalitas


hemostasis pada penyakit hati hampir sama baik pada neonatus, anak maupun dewasa. Hati
adalah organ yang penting untuk sintesis faktor-faktor koagulasi (fibrinogen, prekalikrein,
HMWK, II, V, VII, IX,X, XI, XII dan XIII), sintesis plasminogen, regulator koagulasi
(antitrombin III, protein C dan S) dan inhibitor fibrinolisis. Hati juga berperan dalam pemecahan
faktor – faktor koagulasi maupun fibrinolisis yang aktif dari sirkulasi.

Gangguan fungsi hati dapat menyebabkan gangguan sintesis protein faktor koagulasi.
Selain itu hati merupakan tempat reaksi karboksilasi post ribosom dari protein yang tergantung
vitamin K sehingga pada gangguan fungsi hepar penggunaan vitamin K akan terganggu pula.

Gangguan fungsi hati dapat disebabkan oleh imaturitas, infeksi, hipoksia, sindrom Reye,
sirosis dan lain-lain.

Manifestasi perdarahan dan gambaran laboratorium tergantung pada berat ringannya


kerusakan hati. Perdarahan spontan jarang terjadi, pada umumnya terjadi perdarahan di bawah
kulit yang timbul akibat prosedur yang invasif. Pada sirosis hepatis dapat terjadi perdarahan dari
gaster dan varises esofagus yang dapat mengancam jiwa Pemeriksaan PT memanjang pertama
kali dikarenakan kadar faktor VII menurun paling awal, jika kerusakan hepar terus berlanjut akan
diikuti dengan pemanjangan PTT.

Penatalaksanaan utama adalah untuk penyakit primer yang mendasarinya. Penanganan


abnormalitas koagulasi pada penyakit hati tergantung pada gejala klinis yang terjadi serta tempat
timbulnya perdarahan (misalnya perdarahan GIT, perdarahan tempat bekas biopsi). FFP dapat
diberikan dengan dosis 10 – 15 ml/kg berat badan karena mengandung semua faktor - faktor
koagulasi yang dibutuhkan. Kriopresipitat 1 kantung / 5 kg berat badan diberikan untuk
mengatasi hipofibrinogenemia. Pemberian konsentrat kompleks protrombin yang mengandung
faktor II, VII, IX dan X dengan konsentrasi tinggi, dapat dipertimbangkan pada kondisi tertentu

29
misalnya untuk persiapan biopsi hati atau pada keadaan dimana perdarahan sudah tidak dapat
diatasi dengan terapi di atas.

Pada penyakit hati juga terjadi defisiensi faktor – faktor koagulasi tergantung vitamin K,
maka pemberian vitamin K mampu mengoreksi koagulopati yang terjadi. Vitamin K1 diberikan
secara oral, subkutan atau intravena (tidak secara intramuskular) dengan dosis 1 mg (untuk bayi),
2 – 3 mg (untuk anak) dan 5 – 10 mg (untuk dewasa).

Prognosis kelainan ini tergantung pada penyakit primer yang mendasarinya dan
pemberian terapi yang adekuat dalam mengatasi perdarahannya.

II. 10 KLASIFIKASI 2,3

Tabel 2 menunjukkan klasifikasi VKDB pada anak berdasarkan etiologi dan onset
terjadinya menjadi 4 kelompok yaitu VKDB dini, VKDB klasik, VKDB lambat atau acquired
prothrombin complex deficiency (APCD) dan Secondary prothrombin complex (PC) deficiency

30
II. 11 DIAGNOSIS 2,3

Pendekatan diagnosis VKDB melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.


Anamnesis dilakukan untuk mencari informasi tentang onset perdarahan, lokasi perdarahan, pola
pemberian makanan (ASI atau susu formula), serta riwayat pemberian obat-obatan antikoagulan
pada ibu selama kehamilan. Anamnesis untuk menyingkirkan kemungkinan lain dengan
pemeriksaan atas keadaan umum dan lokasi fisik perdarahan pada tempat-tempat tertentu seperti
saluran cerna berupa hematemesis atau melena, dari hidung, kulit kepala, tali pusat atau bekas
sirkumsisi.

Penting untuk diketahui adalah jika ditemukan neonatus dengan keadaan umum baik
tetapi ada perdarahan segar dari mulut atau feses berdarah maka harus dibedakan apakah itu
darah ibu yang tertelan pada saat persalinan atau memang perdarahan saluran cerna. Cara
membedakannya dengan melakukan uji Apt, warna merah muda menunjukkan darah bayi
sedangkan warna kuning kecoklatan menunjukkan darah ibu.

Pemeriksaan fisik ditujukan untuk melihat keadaan umum bayi, lokasi dan bentuk
perdarahan pada tempat-tempat tertentu seperti GIT, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan
lain sebagainya. Pada bayi/anak yang menderita kekurangan vitamin K biasanya keadaan umum
penderita baik, tidak tampak sakit.

Pada pemeriksaan laboratorium dari gangguan pembekuan darah karena kekurangan


vitamin K menunjukkan :

a. Penurunan aktifitas faktor II, VII, IX, dan X

b. Waktu pembekuan memanjang

c. Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang

d. (TT) dan masa perdarahan normal

e. Jumlah trombosit, waktu perdarahan, fibrinogen, faktor V dan VIII, fragilitas kapiler
serta retraksi bekuan normal

f. Faktor koagulasi lain normal sesuai dengan usia

31
Pemeriksaan lain seperti USG, CT Scan atau MRI dapat dilakukan untuk melihat lokasi
perdarahan misalnya jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial. Selain itu respon yang baik
terhadap pemberian vitamin K memperkuat diagnosis VKDB.

VKDB harus dibedakan dengan gangguan hemostasis lain baik yang didapat maupun yang
bersifat kongenital. Diantaranya gangguan fungsi hati juga dapat menyebabkan gangguan
sintesis faktor-faktor pembekuan darah, sehingga memberikan manifestasi klinis perdarahan.

II.12 DIAGNOSIS BANDING 2,3

Gangguan pembekuan darah akibat kekurangan vitamin K merupakan salah satu dari
penyakit gangguan pembekuan darah yang didapat, sehingga harus dibedakan dengan penyakit
lain yang dapat mengakibatkan gangguan pembekuan darah. Terdapat banyak penyebab
gangguan pembekuan darah. Terdapat banyak penyebab ganguan pembekuan darah yang
didapat, tetapi pada bayi dan anak kelainan tersering yang perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding sebelum kita mendiagnosis suatu kelainan pembekuan darah akibat
kekurangan vitamin K adalah penyakit hati dan DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation ).

Ketiga keadaan tersebut dapat dibedakan berdasarkan informasi yang didapat dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium. Kadang-kadang pada saat yang sama
terjadi 2 keadaan misalnya defisiensi vitamin K disertai penyakit hati atau penyakit hati dan DIC.

Pada penyakit hati, gangguan koagulasi terjadi terutama pada penyakit hati yang berat,
dicari kearah kemungkinan etiologi dan manifestasi kelainan penyakit hatinya seperti ikterik,
tanda-tanda gagal hati, dan sebagainya. Pada DIC hampir selalu ada penyebab primernya dan
penderita sering dalam keadaan sakit berat. Informasi diperkuat dengan melihat hasil
laboratorium seperti tampak pada table 3.

32
II.13 PENCEGAHAN VKDB 2

Dapat dilakukan dengan pemberian vitamin K Profilaksis. Ada tiga bentuk vitamin K, yaitu :

1. Vitamin K1 (phylloquinone), terdapat dalam sayuran hijau


2. Vitamin K2 (menaquinone), disintesis oleh flora usus normal
3. Vitamin K3 (menadione), vitamin K sintetis yang sekarang jarang diberikan karena
dilaporkan dapat menyebabkan anemia hemolitik.

Pemberian vitamin K per oral sama efektifnya dibandingkan pemberian intramuskular dalam
mencegah terjadinya VKDB klasik, namun tidak efektif dalam mencegah timbulnya VKDB
lambat.2 Amerika Serikat merekomendasikan penggunaan phytonadione, suatu sintesis analog
vitamin K1 yang larut dalam lemak, diberikan secara i.m.13

Thailand sejak tahun 1988 merekomendasikan pemberian vitamin K 2 mg per oral untuk
bayi normal dan 0,5 – 1 mg i.m untuk bayi prematur atau tidak sehat. Ternyata mampu
menurunkan angka kejadian VKDB dari 30 – 70 menjadi 4 – 7 per 100.000 kelahiran. Sejak
tahun 1999 Vitamin K 1 mg i.m harus diberikan pada semua bayi baru lahir dan diberikan
bersama imunisasi rutin.11

Kanada sejak tahun 1997 merekomendasikan pemberian vitamin K1 intramuskular 0,5


mg (untuk bayi < 1500 g) dan 1 mg (untuk bayi > 1500 g) diberikan dalam waktu 6 jam setelah
lahir. Untuk orang tua yang menolak pemberian secara i.m, vitamin K1 diberikan per oral
dengan dosis 2 mg segera setelah minum, diulang pada usia 2 – 4 minggu dan 6-8 minggu.

33
AAP pada tahun 2003 merekomendasikan pemberian vitamin K pada semua bayi baru
lahir dengan dosis tunggal 0,5 – 1 mg i.m.15 Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003
mengajukan rekomendasi untuk pemberian vitamin K1 pada semua bayi baru lahir dengan dosis
1 mg i.m (dosis tunggal) atau secara per oral 3 kali @ 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3 –
7 hari dan umur 1 – 2 tahun.21

Untuk ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan harus mendapat profilaksis
vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg i.m pada 24 jam sebelum melahirkan.
Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg i.m dan diulang 24 jam kemudian.

Meskipun ada penelitian yang melaporkan hubungan antara pemberian vitamin K i.m
dengan meningkatnya angka kejadian kanker pada anak, namun penelitian terbaru yang
dilakukan oleh McKinney pada tahun 1998 tidak membuktikan adanya peningkatan resiko
terjadinya kanker pada anak yang mendapatkan profilaksis vitamin K i.m.

II. 14 PENATALAKSANAAN 2,3

Secara garis besar penatalaksanaan VKDB dibagi atas penatalaksanaan antenatal untuk
mencegah terjadinya penyakit ini dan penatalaksanaan setelah bayi lahir untuk mencegah dan
mengobati bila terjadi perdarahan.

A. Pemberian vitamin K profilaksis

Hasil penelitian terakhir menunjukkan, bahwa dalam mencegah terjadinya VKDB bentuk
klasik pemberian vitamin K peroral sama efektif, lebih murah dan lebih aman daripada
pemberian secara intramuscular (IM), namun untuk mencegah VKDB bentuk lambat pemberian
vitamin K oral tidak seefektif IM. Efikasi profilaksis oral meningkat dengan pemberian berulang
3 kali dibanding dengan dosis 2 mg daripada dosis 1 mg, pemberian vitamin K oral yang
diberikan tiap hari atau tiap minggu sama efektifnya dengan profilaksis vitamin K IM.

AAP mengatakan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efikasi, keamanan,
bioavailabilitas dan dosis optimal vitamin K oral sediaan baru untuk mencegah VKDB lambat.
Cara pemberian oral merupakan alternative pada kasus-kasus bila orangtua pasien menolak cara

34
pemberian IM untuk melindungi bayi mereka karena injeksi. Disamping itu untuk keamanan,
bayi yang ditolong oleh dukun bayi sebaiknya diberikan secara oral.

Cara pemberian vitamin K secara IM lebih disukai dengan alas an sebagai berikut:

a. Absorpsi vitamin K1 oral tidak sebaik vitamin K1 IM, terutama pada bayi diare

b. Beberapa dosis vitamin K1 oral diperlukan selama beberapa minggu, sebagai


konsekuensinya tingkat kepatuhan orangtua pasien dapat merupakan masalah

c. Kemungkinan terdapat asupan vitamin K1 oral yang tidak adekuat karena absorpsinya
atau ada regurgitasi

d. Efektifitas vitamin K1 oral belum diakui secara penuh

Sampai saat ini tidak ada cukup bukti yang mendukung hubungan profilaksis vitamin K dengan
insidens kanker pada anak dikemudian hari.

Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan RI (2003) mengajukan


rekomendasi sebagai berikut:

a. Semua bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis vitamin K1

b. Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin K1

c. Cara pemberian vitamin K1 adalah secara IM atau oral

d. Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir adalah:

- IM, 1 mg dosis tunggal atau

- Oral, 3 kali @ 2 mg, diberikan pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari, dan pada
saat bayi berumur 1-2 tahun

e. Untuk bayi baru lahir yang ditolong oleh dukun bayi maka diwajib pemberian profilaksis
vitamin K1 secara oral

35
f. Kebijakan ini harus dikoordinasikan bersama Direktorat Pelayanan Farmasi dan Peralatan
dalam penyediaan vitamin K1 dosis 2 mg/tablet yang dikemas dalam bentuk strip 3 tablet
atau kelipatannya.

g. Profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir dijadikan sebagai program nasional

B. Pengobatan defisiensi vitamin K

Bayi yang dicurigai mengalami VKDB harus segera mendapat pengobatan vitamin K1
dengan dosis 1 – 2 mg/hari selama 1 – 3 hari.Vitamin K1 tidak boleh diberikan secara
intramuskular karena akan membentuk hematoma yang besar, sebaiknya pemberian dilakukan
secara subkutan karena absorbsinya cepat, dan efeknya hanya sedikit lebih lambat duibanding
dengan cara pemberian sistemik. Pemberian secara intravena harus diperti.mbangkan dengan
seksama karena dapat memberikan reaksi anafilaksis, meskipun jarang terjadi.

Selain itu pemberian fresh frozen plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada bayi dengan
perdarahan yang luas dengan dosis 10 – 15 ml/kg, mampu meningkatkan kadar faktor koagulasi
tergantung vitamin K sampai 0,1 – 0,2 unit/ml. Respon pengobatan diharapkan terjadi dalam
waktu 4 – 6 jam, ditandai dengan berhentinya perdarahan dan pemeriksaan faal hemostasis yang
membaik. Pada bayi cukup bulan, jika tidak didapatkan perbaikan dalam 24 jam maka harus
dipikirkan kelainan yang lain misalnya penyakit hati.

II.12 PROGNOSIS

Prognosis VKDB ringan pada umumnya baik, setelah mendapat vitamin K1 akan
membaik dalam waktu 24 jam. Angka kematian pada VKDB dengan manifestasi perdarahan
berat seperti intrakranial, intratorakal dan intraabdominal sangat tinggi. Pada perdarahan
intrakranial angka kematian dapat mencapai 25% dan kecacatan permanen mencapai 50 – 65%.

Angka kematian kasus di Amerika Serikat telah menurun pada tahun-tahun ini sampai
tingkat rendah pada semua kelompok umur, terutama karena keadaan sosial ekonomi membaik.10

36
DAFTAR PUSTAKA

1. William W. Current Pediatric Diagnosis & Treatment. 21st edition. USA: MacGraw-Hill
Education. 2012.
2. Prof. DR. dr. Sudigdo Sastroasmoro Perdarahan Akibat Defisiensi Vitamin K, Buku
Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak 2007: 279-281
3. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Gangguan Pembekuan Darah. Didapat: Defisiensi Vitamin
K. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku
Ajar Hematologi-onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2005:182-96.
4. Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of the Newborn Dalam: Permono B,
Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar Hematologi-onkologi
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2005:197-206

37

Anda mungkin juga menyukai