Anda di halaman 1dari 26

SNAKE BITE

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Program Internship Dokter Indonesia

Pembimbing

dr.H. Dani Farid Abdullah Sp.PD

Disusun oleh:
Dhani Akbar N, dr.

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD KABUPATEN TASIKMALAYA
SINGAPARNA MEDICAL CITRAUTAMA (SMC)
Jl. Raya Singaparna KM 20 Kabupaten Tasikmalaya

PERIODE NOVEMBER 2015 OKTOBER 2016


IDENTITAS PASIEN

Nama penderita : Tn. M Ruangan : Arafah


Jenis kelamin : Pria No.Cat.Med : 16004030
Pekerjaan :- Umur : 37 tahun
Alamat keluarga : Sukarame Agama : Islam

Dikirim oleh :-
Tanggal dirawat : 10 Maret 2016
Tanggal pulang : 14 Maret 2016

ANAMNESA (Auto/Hetero)

KELUHAN UTAMA : Digigit ular

ANAMNESA KHUSUS :

+ 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit penderita tergigit ular berwarna

hijau di kelingking kaki sebelah kiri dan ular bentuk kepala segitiga saat sedang

berjalan malam hari di sawah. Keluhan disertai baal pada bekas gigitan, Mual (+),

muntah (+), perdarahan di tempat gigitan (+) , bengkak (+), pembesaran nnll

ketiak (-), berdebar-debar (-), gringgingen (-), lemah anggota tubuh (-), kencing

berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-), perdarahan konjungtiva (-),

kelumpuhan otot-otot mata (-).


ANAMNESA TAMBAHAN

a. Gizi : kualitas : cukup


kwantitas : cukup

b. Penyakit menular : tidak ada


c. Penyakit turunan : tidak ada
d. Ketagihan : tidak ada
e. Penyakit venerik : tidak ada

STATUS PRAESEN
I. KESAN UMUM :
a. Keadaan Umum
Kesadaran : compos mentis
Watak : gelisah
Kesan sakit : sakit berat
Pergerakan : tidak terbatas
Tidur : terlentang dengan 1 bantal
Tinggi badan :-
Berat badan :-
Keadaan gizi
Gizi kulit : cukup
Gizi otot : cukup
Umur yang ditaksir : Sesuai
Kulit : Turgor kembali cepat, sianosis (-), anemis (-), ikterik (-)
b. Keadaan Sirkulasi
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100x/menit, regular, equal, isi cukup
Suhu : 36,2 C
Sianosis : tidak ada
Keringat dingin : tidak ada
c. Keadaan Pernafasan
Tipe : Torakoabdominal
Frekuensi : 20x/menit
Corak : normal
Hawa/bau napas : feotor hepatikum (-)
Bunyi nafas : tidak ada
II. PEMERIKSAAN KHUSUS :
a. Kepala
1.Tengkorak
Inspeksi : simetris
Palpasi : tidak ada kelainan
2.Muka
Inspeksi : simetris
Palpasi : tidak ada kelainan
3. Mata
Letak : simetris
Kelopak mata : ptosis+/+
Kornea : sulit dinlai
Refleks kornea : suli dinilai
Pupil : sulit dinilai
Sklera : sulit dinilai
Konjungtiva :anemis-/-
Iris : sulit dinilai
Pergerakan : sulit dinilai
Reaksi cahaya : direk +/+, indirek +/+
Visus : tidak dilakukan pemeriksaan
Funduskopi : tidak dilakukan pemeriksaan
4. Telinga
Inspeksi : simetris
Palpasi : tidak ada kelainan
Pendengaran : tidak ada kelainan
5. Hidung
Inspeksi : pernafasan cuping hidung tidak ada
Sumbatan : tidak ada
Ingus : tidak ada
6. Bibir
Sianosis : tidak ada
Kheilitis : tidak ada
Stomatitis angularis : tidak ada
Rhagaden : tidak ada
Perleche : tidak ada
7. Gigi dan gusi : tidak ada kelainan
8. Lidah : tidak ada kelainan
Besar : tidak ada kelainan
Pergerakan : terbatas
Bentuk : tidak ada kelainan
Permukaan : tidak ada kelainan
9. Rongga mulut
Selaput lendir : tidak ada
Hiperemis : tidak ada
Lichen : tidak ada
Aphtea : tidak ada
Bercak : tidak ada
10. Rongga leher
Selaput lender : tidak ada kelainan
Dinding belakang pharynx : tidak ada kelainan
Tonsil : T1-T1 tenang

b. Leher

1. Inspeksi

Trakea : tidak ada deviasi


Kelenjar tiroid : tidak terlihat adanya pembesaran
Pembesaran vena : tidak ada
Pulsasi vena leher : tidak ada
2. Palpasi
Tekanan vena jugular : 5+2 cmH20, tidak meningkat
Kelenjar getah bening : tidak teraba membesar
Kelenjar tiroid : tidak teraba membesar
Tumor : tidak ada
Otot leher : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : tidak ada

c. ketiak
1.. Inspeksi
Rambut ketiak : tidak mudah dicabut
Tumor : tidak ada
2. Palpasi
Kelenjar getah bening : tidak teraba membesar
Tumor : Tidak ada

d. Pemeriksaan Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
Bentuk umum : simetris kanan = kiri
frontal dan sagital : frontal < sagital
Sudut epigastrium : < 90
Sela iga : tidak ada pelebaran
Pergerakan : simetris kanan = kiri
Muskulatur : tidak ada kelainan
Kulit : tidak ada kelainan
Tumor : tidak ada
Ictus cordis : tidak terlihat
Pulsasi lain : tidak ada
Pelebaran vena : tidak ada
Spider nevi : tidak ada
Ginekomastia : tidak ada
2. Palpasi
Kulit : tidak ada kelainan
Muskulatur : tidak ada kelainan
Mammae : tidak ada kelainan
Sela iga : tidak ada pelebaran
Ginekomastia : tidak ada
Paru-paru kanan kiri
Pergerakan : simetris
Vocal fremitus : simetris kanan = kiri
Ictus cordis
Lokalisasi : ICS V linea midclavicularis kiri
Intensitas : tidak kuat angkat
Pelebaran : tidak ada
Thrill : tidak ada
3. Perkusi
Paru-paru kanan kiri
Suara perkusi : simetris kanan = kiri sonor
Batas paru hepar : ICS V linea midclavicularis dextra
Peranjakan : 1 sela iga (2 cm)
Jantung
Batas atas : ICS II linea sternalis kiri
Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis kiri
4. Auskultasi
Paru-paru kanan kiri
Suara pernafasan pokok: kanan = kiri VBS
Suara tambahan : rh -/- ; wheezing -/-
Vocal resonansi : simetris kanan = kiri
Jantung
Irama : regular
Bunyi jantung pokok : M1>M2, P1<P2
T1>T2, A1<A2, A2>P2
Bunyi jantung tambahan: tidak ada
Bising jantung : tidak ada
Bising gesek jantung : tidak ada

Thorax belakang
1. Inspeksi
Bentuk : simetris
Pergerakan : simetris kanan = kiri
Kulit : tidak ada kelainan
Muskulatur : tidak ada kelainan
2. Palpasi kanan kiri
Sela iga : tidak ada pelebaran
Muskulatur : tidak ada kelainan
Vocal fremitus : simetris kanan = kiri
3. Perkusi Kanan Kiri
Batas bawah : vert Th. X
Peranjakan :
4. Auskultasi Kanan Kiri
Suara pernapasan: vesikular kanna= kiri
Suara tambahan : rh -/- ; wheezing -/-
Vocal resonansi : simetris kanan = kiri

e. Abdomen

1. Inspeksi
Bentuk : cembung
Otot dinding perut : tidak ada kelainan
Kulit : tidak ada kelainan
Pergerakan waktu nafas : normal
Pergerakan usus : tidak terlihat
Pulsasi : tidak ada
Venektasi : tidak ada
Caput medusae : tidak ada
2. Palpasi
Dinding perut : lembut
Nyeri tekan lokal : ada a/r epigastrium
Nyeri tekan difus : minimal
Nyeri tekan lepas : tidak ada
Defence muscular : tidak ada
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Tumor/massa : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba, nyeri tekan tidak ada

3. Perkusi
Suara perkusi : timpani
4. Auskultasi
Bising usus : normal
Bruit : tidak ada
Lain-lain :-
f. CVA : nyeri ketok tidak ada

g. Lipat paha : tidak dilakukan pemeriksaan

h. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

i. Sakrum : tidak dilakukan pemeriksaan

j. Rectum dan anus : tidak dilakukan pemeriksaan

k. Ekstremitas :
5 5
5 5

l. Sendi-sendi

1.Inspeksi

Kelainan bentuk : tidak ada

Tanda radang : tidak ada

Lain-lain : tidak ada

2.Palpasi

Nyeri tekan : tidak ada

Fluktuasi : tidak ada

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 10 Maret 2016


Hasil Nilai Normal
Darah rutin
Hb 13,7 mg/dl 14 18
Lekosit 10300/mm3 4000 10 000
Trombosit 245000/mm3 150 000 - 450 000
Hematokrit 42% 40 50
Eritrosit 4,7 juta/mm3 4,5 6,0
Ureum 26 15 - 39
Kreatinin 0,96 0,9 -1,3
Natrium 135 136 -145
Kalium 3,6 3,0 - 5,2
Chlorida 98 96-108
DIAGNOSA KERJA
Snake Bite
TINDAKAN / PENGOBATAN
IVFD NacCl 0,9% 30 gtt/m
Ciprofloxacin 2 x 400 mg iv
Drip 2 vial SABU dalam Nacl 500 cc
Ranitidin 2x1 amp

Follow up pasien

Tanggal Perjalanan penyakit Perintah/pengobatan


Hari 2 S : Penurunan kesadaran,sulit Ivfd Asering 20
perawatan membuka mata sulit menelan, sesak, tpm
nyer dan baal pada bekas gigitan NGT/DC
O : TD : 110/ 70 mmhg Mestinon 3x1/2 tab
11 Maret 2016 ABU
Kesadaran : Somnolen
ATS
Kepala: mata CA-/-;SI-/- Ranitidine 2x1
Thorax: Vbs+/+,Rh-/-,Wh-/- amp iv

Status Neurologi:
Kekuatan Motorik
5 5
5 5
Refleks Fisiologi(+)
Refleks Patologis (-)
A : Snake biet dengan keterlibatan
Susp Neuromuskular
Tanggal Perjalanan penyakit Perintah/pengobatan
Hari 3 S : mata masih sulit membuka, sulit Ivfd Asering 20
perawatan menelan, nyeri dan baal pada bekas tpm
gigitan Mestinon 3x1/2 tab
O : TD : 110/70 mmhg Ranitidine 2x 1
12 Maret 2016 amp
Kesadaran : CM
Kepala: mata CA-/-,SI-/-
Thorax: Vbs+/+,Rh-/-,Wh-/-
Status neurologi :
Kekuatan Motorik
5 5
5 5
Reflek fisiologis: (+)
Reflek Patologis (-)
A:Snake bite dengan keterlibatan Susp
Neuromuskular

Tanggal Perjalanan penyakit Perintah/pengobatan


Hari 4 S : mata masih sulit membuka, nyeri Ivfd Asering 20
perawatan dan baal di kaki dirasakan berkurang tpm
O : TD : 110/70 mmhg Mestinon 3x1/2 tab
Ranitidine 2x 1
13 Maret 2016 Kesadaran : CM amp
Status neurologi :
Kekuatan Motorik
5 5
5 5
Reflek fisiologis: (+)
Reflek Patologis (-)
A:Snake bite dengan keterlibatan Susp
Neuromuskular

Tanggal Perjalanan penyakit Perintah/pengobatan


Hari 5 S : tidak ada keluhan Ivfd Asering 20
perawatan O : TD : 110/70 mmhg tpm
Mestinon 3x1/2 tab
Kesadaran : CM Ranitidine 2x 1
14 Maret 2016 Kepala: mata CA-/-,SI-/-, mata pupil amp
isokor BLPL
Thorax: Vbs+/+,Rh-/-,Wh-/- Amoxicilin tablet
3x500 mg
Status neurologi : Paracetamol 3x500
Kekuatan Motorik mg tablet
Neurofa 1x1 tablet
5 5
5 5
Reflek fisiologis: (+)
Reflek Patologis (-)
A:Snake bite dengan keterlibatan Susp
Neuromuskular
TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering

dijumpai di Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan ular

di Indonesia. Sebagai perbandingan, antara tahun 1999 sampai tahun 2001

terdapat 19.335 kedatangan ke rumah sakit di Malaysia karena bisa gigitan

binatang.1 Sebagian besar diantaranuya disebabkan oleh gigitan ular. Kasus

gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar 45.000 kasus,

namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.1-3 Selama 3 tahun

terakhir, the American Association of Poison Control Centers melaporkan bahwa

dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan gigitan ular berbisa.2

Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan biasanya terjadi pada

anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus yang tidak atau terlambat

mendapatkan anti bisa ular.2,3 Pasien korban gigitan ular berbisa 15% sampai

40% akan meninggalkan gejala sisa. Menurut catatan medik RSCM, kejadian

kasus gigitan ular berbisa selama 5 tahun terakhir (1998 2002) sebanyak 37

pasien. Pada umumnya korban gigitan ular adalah lakilaki dengan usia antara 17

sampai tahun, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas

berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain dengan ular.1,2 Waktu gigitan

biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih sering terjadi pada ekstremitas.

Malik dkk,5 pada tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban gigitan ular,
mendapatkan tempat gigitan pada tungkai atau kaki (83,3%) dan lengan atau

tangan (17,7%).2

Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya termasuk ular berbisa.

Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular laut),

Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae). Kasus gigitan ular berbisa

95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae. Ular jenis Crotalidae

disebut juga Viperidae atau pit vipers karena kepala berbentuk triangular, pupil

matanya elips, serta terdapat lubang antara hidung dan mata. Lubang tersebut pada

jenis pit viper berfungsi sebagai organ sensoris terhadap panas. Pit viper mudah

dikenal dari taringnya yang cukup panjang, sekitar 3-4 cm. Jenis ular berbisa dari

famili Elapidae misalnya coral snake mempunyai kepala kecil dan bulat, dengan

pupil bulat dan taring lebih kecil sekitar 1-3 mm. Coral snake mudah

diidentifikasi karena warnanya terang, misalnya belang hitam dan merah atau

kuning. Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa

spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun,

beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan

dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa

adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas

gigitan terdapat bekas taring.


Gambar 1 : Ular Elapidae Gambar 2 : Ular viperidae

Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular
berbisa dengan bekas taring

Patofisiologi

Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan

protein.1,6 Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari

spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan

temperatur.2 Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan

protein yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding


pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma.2

Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada

pada tubuh korban.2 Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil

reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya

Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan

rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya

keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan

berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi

hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan

kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada

kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan

fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili

Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan,

kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini

mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ. Bisa ular dari famili

Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai

dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter pada neuromuscular

junction. Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring

ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.


KLASIFIKASI

MANIFESTASI KLINIS

1.Elapidae

Cobra biasanya menyebabkan nyeri dan bengkak pada daerah yang digigit
yang berlanjut menjadi gejala neurologik seperti ptosis, ophtalmoplegia,
disfagi, afasia dan paralisa pernapasan.
Gambar 4 Nekrosis dari gigitan ular cobra

Gambar 5 : Ptosis karena gigitan cobra


Ular laut dapat menyebabkan efek lokal yang minimal gejala

muskuloskeletal Seperti myalgia, kaku kuduk, dan paresis yang akan berlanjut

menjadi myoglobinuria dan gagal ginjal. Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak

menimbulkan nyeri hebat. Namun demikian tidak adanya gejala lokal atau

minimal, tidak berarti gejala yang lebih serius tidak akan terjadi. Gejala yang

serius lebih jarang terjadi dan biasanya gejala berkembang dalam 12 jam. Bisa

yang bersifat neurotoksik, mempunyai dapat sangat cepat dalam beberapa jam,

mulai dari perasaan mengantuk sampai kelumpuhan nervus kranialis, kelemahan

otot dan kematian karena gagal napas.

2. Viperidae

Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi penjendalan darah

namun menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell viper

mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade pembekuan darah.

Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah. Yang kemudian

didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system fibrinolitik tubuh

jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau consumption coagulopathy.

Efek racun viper yang lain menyebabkan efek lokal yang hebat seperti nyeri,

bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan kecenderungan perdarahan sistemik


Gambar 6 Bula karena gigitan ular viper

Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada

tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa

menit, bisa akan menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis.

Pada kasus berat dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik

berupa mual, muntah, kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Pasien

jarang mengalami syok, edem generalisata atau aritmia jantung, tetapi perdarahan

sering terjadi. Boyer LV dkk, melaporkan bahwa dari 38 korban gigitan ular

Viperidae, 29 (76%) mengalami koagulopati, dengan 20 (53%) terdapat beberapa

kelainan komponen koagulopati (misalnya hipofibrinogenemia dan

trombositopenia). Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan

jumlah neutrofil, limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta

penurunan jumlah fibrinogen. Kadar kreatinin kinase serum normal pada hari

pertama dan kedua setelah perawatan. Mioglobin plasma dan kadar kreatinin

mempunyai korelasi yang kuat.12 Pada pemeriksaan urinalisis dapat terjadi

proteinuria (83%), serta hematuria mikroskopik (50,9%). Hemoglobinuria dan


mioglobinuria umumnya dapat dideteksi dan dapat terjadi leukosituria (56,4%).12

Penelitian Ramachandram S dkk,14 pada tahun 1995 mendapatkan kadar Hb dan

leukosit normal pada semua pasien, 3% terjadi trombositopenia (< 75.000/L).

Kadar ureum darah meningkat pada pasien dengan gejala gagal ginjal. Natrium,

kalium, klorida, calsium, serta glukosa darah masih dalam batas normal pada

semua pasien. Hasil EEG abnormal ditemukan pada 96% dan berhubungan

dengan ukuran ular, tetapi tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di

lokasi gigitan, adanya manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal.14

Perubahan EEG segera terjadi setelah gigitan dan akan kembali normal dalam 1-2

minggu.14 Pada pemeriksaan EKG, umumnya terjadi kelainan seperti bradikardia

dan inversi septal gelombang T. Hasil EKG yang abnormal termasuk tanda-tanda

utama gejala gigitan ular berbisa, selain perdarahan, koagulopati dan paralisis.

DIAGNOSIS

Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi

ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit

sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh

tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak

berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang

ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi

klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis.


TERAPI

Terapi yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di tempat gigitan dan

di rumah sakit. Tata laksana di tempat gigitan termasuk mengurangi atau

mencegah penyebaran racun dengan cara menekan tempat gigitan dan imobilisasi

ekstremitas. Selain itu diusahakan transportasi yang cepat untuk membawa pasien

ke rumah sakit terdekat, pasien tidak diberikan makan atau minum. Saat ini eksisi

dan penghisapan bisa tidak dianjurkan bila dalam 45 menit pasien dapat sampai di

rumah sakit. Di rumah sakit diagnosis harus ditegakkan dan segera pasien

dipasang dua jalur intravena untuk memasukkan cairan infus dan jalur yang lain

disiapkan untuk keadaan darurat. Segera dilakukan pemeriksaan laboratorium

seperti darah perifer lengkap, PT, APTT, fibrinogen, elektrolit, urinalisis dan

kadar ureum serta kreatinin darah. Pasien diberikan suntikan toksoid tetanus dan

dipertimbangkan pemberian serum anti bisa ular. Pengukuran pada tempat gigitan

perlu dinilai untuk mengetahui progresivitasnya. Kadang perlu dilakukan eksisi

dan penghisapan bisa pada saat luka dibersihkan. Saat ini masih diperdebatkan

tentang tindakan operasi (fasciotomy) pada pasien gigitan ular berbisa.

Fasciotomy dilakukan bila ada edem yang makin luas dan terjadi compartment

syndrome (keadaan iskemik berat pada tungkai yang mengalami revaskularisasi

dan menimbulkan edem, disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan

keadaan hiperemia). Pada semua kasus gigitan ular, perlu diberikan antibiotik

spektrum luas dan kortikosteroid, meskipun pemberian kortikosteroid masih

diperdebatkan.
Di Amerika hanya terdapat 3 anti bisa yang diproduksi dan disetujui oleh

FDA, yaitu antivenom polyvalen crotalidae, antivenon untuk coral snake

(Elapidae) dan antivenon untuk black widow spider. Semua anti bisa ular adalah

derivat serum binatang, tersering berasal dari serum kuda, berupa imunoglobulin

yang mengikat secara langsung dan menetralkan protein dari bisa. Produk hewan

ini bila terpapar pada pasien dalam jumlah besar dapat menyebabkan reaksi

hipersensitifitas tipe cepat dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat

terjadi pada 20-25% pasien, bahkan dapat terjadi kematian karena hipotensi dan

bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi pada 50-75% pasien dengan

gejala serum sickness seperti demam, ruam yang difus, urtikaria, artralgia,

hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa hari.4 Reaksi yang paling sering

terjadi adalah urtikaria, namun efek samping yang serius jarang terjadi. Pemberian

anti bisa ular harus dilakukan di rumah sakit yang tersedia alat-alat resusitasi.

Penggunaan adrenalin, steroid dan antihistamin dapat mengurangi reaksi yang

terjadi akibat anti bisa antara 12,5-30%. Profilaksis yang hanya menggunakan

promethazine tidak dapat mencegah reaksi yang cepat. Anak-anak lebih sering

memerlukan jumlah data anti bisa yang banyak oleh karena kecilnya rasio antara

volume tubuh dan bisa ular yang terdistribusi.

antibiotik masih kontroversi, namun Blaylock tahun 1999 dari

penelitiannya mendapatkan 18 diantara 20 pasien mempunyai biakan darah positif

bakteria gram negatif aerob.


PROGNOSIS

Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat,

sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.

Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan

mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu

memerlukan skin graft.


DAFTAR PUSTAKA

1. Suchai Suteparuk MD. Bites and Stings in Thailand. Divison of

Toxicology Chulalongkorn University

2. Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-

East Asia Region, World Health Organization, 2005.

3. Venomous Snake Bite. University of Florida

4. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J

Med, 2002; 347:347-56

5. Roberts JR, Otten EJ. Snakes. Dalam: Goldfrank LR, Flomenbaum

NE, Lewin NA, Weisman RS, Howland MA, penyunting. Toxicologic

emergencies. Edisi ke-4. Connecticut: Prentice Hall International

Inc, 1990. h. 789-99.

Anda mungkin juga menyukai