Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita
berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita
capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada dosen serta
teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun
materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam hal isi makalah. Oleh karena itu, kami meminta maaf kepada dosen
serta teman-teman sekalian, yang kadangkala juga kami hanya menuruti egoisme
pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun
untuk lebih menyempurnakan makalah-makalah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-
mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-
teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau
sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Pekanbaru, Maret 2018


Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, pemerintah senantiasa
dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mengemban kewajiban
ini, pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam
berbagai bentuk baik berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur. Di
sisi lain, pemerintah juga memerlukan barang dan jasa itu dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan.1
Istilah pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pemerintah
pada umumnya disebut Procurement. Pola hubungan para pihak dalam
Procurement melibatkan pihak pengguna (pembeli) dan pihak penyedia (penjual).
Pembeli atau pengguna barang dan jasa adalah pihak yang membutuhkan barang
dan jasa. Pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau memberi tugas kepada
pihak penyedia untuk memasok, membuat barang atau melaksanakan pekerjaan
tertentu2
Tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean
Government) adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan
terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya
melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip Good
Governance and Clean Government, maka Pemerintah harus melaksanakan
prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta
mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak
(independen), serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para
pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.3

1
Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian_Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang
dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009, hlm.1.
2
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke IV, Kencana Prenada MediaGroup,
Jakarta, 2008,Hal. 35.
3
Penjelasan Umum Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah

2
Pengadaan merupakan bentuk implementasi penyelenggaraan Negara
dibidang anggaran. Sistem pengadaan dibuat dalam rangka memudahkan
pemerintah melakukan belanja anggaran dengan lebih efisien, efektif, dan
ekonomis. Sementara disisi lain efisiensi (mencapai harga pasar) akan dicapai
apabila proses pengadaan dilakukan secara transparan, diikuti dengan jumlah
peserta yang cukup banyak, dan mengedepankan proses persaingan yang sehat.
Aspek penting dalam Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan pemerintah
adalah dalam hal pertanggungjawaban keuangan. Hukum tentang keuangan
negara saat ini belum secara implisit menegaskan batasan tanggung jawab pihak-
pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa pemerintah. Tidak banyak
literatur yang membahas hukum tentang keuangan Negara saat ini. Hukum
tentang keuangan negara mulai dikembangkan pada akhir abad kedua puluh
tatkala negara telah ikut mengatur kepentingan warganya. Perbedaan mendasar
antara keuangan negara dan hukum tentang keuangan negara adalah bahwa
hukum tentang keuangan Negara membicarakan aspek hukum yang terkait dengan
keuangan negara, sementara keuangan negara hanya membicarakan aspek teknis
terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Artinya dapat dikatakan bahwa
perbedaan mendasar keduanya adalah pada aspek tataran yuridis.
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban
keuangan negara digunakan Instructie en verdure bepalingen voor de Algemeene
Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 Nomor 320. Peraturan perundang-undangan
tersebut tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi
dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan
Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan
tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.4
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka yang
menjadi fokus permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah:
B. Perumusan Masalah

4
Disarikan dari Penjelasan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

3
Bagaimana implementasi hukum serta pertanggungjawabannya
tentang Keuangan Negara dalam Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan
instansi pemerintah dalam konsep Good Governance.
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Hukum dalam Pengadaan
Barang/Jasa di Lingkungan Instansi Pemerintah

1. Konsep Keuangan Negara Dan Pengelolaannya


Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi
Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan
hukum yang kuat dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Pengelolaan Keuangan Negara tak pernah luput dari pemberitaan media
massa dewasa ini, baik dari segi positif yakni peningkatan pendapatan dari sektor
pajak dan non-pajak, maupun pemberitaan dari segi negatif yakni terkait
penyimpangan pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara atau lebih
lazim di sebut sebagai tindak pidana korupsi. Kondisi demikian disebabkan oleh
banyaknya persepsi atau pemahaman perihal konsep pengelolaan Keuangan
Negara tersebut, baik dari segi pejabat publik sebagai pengelola Keuangan Negara
maupun dari sundut pandang penegak hukum dan masyarakat secara umum.
Akibatnya perkeliruan pun tak terhindarkan.
Proses pengadaan barang dan jasa tersebut harus berdasarkan pada prinsip-
prinsip pengadaan yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 Perpres No. 54
Tahun 2010 sebagai berikut:
1. Efisiensi, berarti pengadaan barang dan jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas
dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana

4
yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas
maksimum.
2. Efektif, berarti pengadaan barang dan jasa harus sesuai dengan kebutuhan
dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat sebesar-
besarnya.
3. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan
barang dan jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia
barang dan jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
4. Terbuka, berarti pengadaan barang dan jasa dapat diikuti oleh semua
penyedia barang dan jasa yang memenuhi persyaratan atau kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.
5. Bersaing, berarti pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui
persaingan sehat antara penyedia barang dan jasa yang setara dan
memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang dan jasa yang
ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu
terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang dan jasa.
6. Adil atau tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan sama bagi
semua calon penyedia barang dan jasa dan tidak mengarah untuk memberi
keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional.
7. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang
terkait dengan pengadaan barang dan jasa sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.5
a. Definisi Keuangan Negara
Definisi Keuangan Negara menurut Undang-Undang No. 17 Tahun
2003 adalah35 “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

5
Croom, S.R., Brandon-Jones, A. (2007),”Impact of E-Procurement: Experiences from
Immplementation in the UK Public Sector”, Journal of Purchasing & Supply, page 294.

5
kewajiban tersebut.” Dengan demikian pengertian Keuangan Negara diatas
meliputi hal-hal sebagai berikut:6
1) Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2) Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3) Penerimaan negara;

4) Pengeluaran negara;

5) Penerimaan daerah;

6) Pengeluaran daerah;

7) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau


oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara:7
8) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka penyelenggaran tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum;
9) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.
b. Tanggung Jawab Hukum Tentang Keuangan Negara Dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
Proses pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di instansi pemerintah
melibatkan beberapa pihak, baik internal instansi tersebut maupun
eksternal, yakni penyedia barang/jasa yang nantinya akan melaksanakan
kewajiban penyediaan barang/jasa sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

6
Panayiotou, N.A., Gayaialis, S.P., Tatsiopoulos, I.P. (2004) An E-Procurement System for
Governmental Purchasing, International Journal of Production Economics,Vol. 90, page 79.
7
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

6
Masing-masing pihak tersebut memiliki kewajiban pemenuhan
tanggung jawab berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut
yang akhirnya dapat melahirkan batasan tanggung jawab hukum,
khususnya hukum tentang Keuangan Negara.8
2. Para Pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Sebagaimana individu melakukan usaha guna memenuhi kebutuhan
dan kepentingan pribadinya, pemerintah juga dituntut untuk memenuhi
kebutuhan publik secara permanen dan konstan. Seperti halnya individu
melakukan hubungan kontraktual dalam memenuhi kebutuhannya maka
pemerintah pun melaksanakan hal yang sama. Pola kontraktualisasi ini
digunakan oleh pemerintah sebagai salah satu cara dalam melaksanakan
fungsinya disamping tindakan-tindakan sepihak (unilateral acts) yang
didasarkan pada kewenangan dan perintah (authority and command).9
Didalam badan hukum mengenai badan hukum kita mengenal
perbedaan antara badan hukum dan organ-organnya. Badan hukum adalah
pendukung hak-hak kebendaan (harta kekayaan). Badan hukum
melakukan perbuatan hukum melalui organ-organ yang mewakilinya.
Perbedaan badan hukum dengan organ berjalan paralel dengan perbedaan
antara badan umum (openbaar lichaam) dengan organ pemerintahan.
Pararelitas perbedaan itu kurang lebih tampak ketika menyangkut
hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan dari badan umum
(yang digunakan oleh organ pemerintahan).10
Pengaturan perihal para pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa
pemerintah melibatkan badan hukum privat dan publik. Perbedaan badan
hukum publik dan privat terletak dalam dua hal, yaitu segi

8
Jimly Ashiddiqie, Etika Birokrasi, Penegakan Hukum, dan ‘Good Governance’. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka HUT Ke-31 KORPRI, di Jakarta, 4 November
2002, hlm. 1
9
George Langrod, Administrative Contracts (A Comparative Study), The American Journal of
Comparative Law, Vol.IV, Number III, Summer 1995, p.325-326, dalam Yohanes Sogar
Simamora, op.cit., hlm. 77
10
Dahlan Thaib, Transparansi dan Pertanggungjawaban Tindakan Pemerintah, Dalam
Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 2007, Badan Pembinaan Hukum dan Hak asasi Manusia
RI, Jakarta, 2007, hlm. 118

7
pembentukannya atau cara terjadinya dan dari segi fungsinya. Apabila
suatu badan dibentuk dengan Undang-Undang dan didirikan dalam rangka
menjalankan fungsi pelayanan kepentingan umum maka badan yang
bersangkutan merupakan badan publik.11
BAB III
PEMBAHASAN

A. BATASAN TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM


PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Tindakan yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara mewakili
pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual merupakan tindakan
keperdataan. Dalam hal kontrak itu didahului dengan atau dituangkan
dalam suatu keputusan, maka keputusan yang dimaksud bukan merupakan
keputusan tata usaha negara yang menjadi kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara.
Hal-hal yang menyangkut pembentukan, pelaksanaan, perubahan dan
atau pemutusan perjanjian, sekalipun tertuang dalam bentuk keputusan
harus dinilai sebagai perbuatan hukum keperdataan. Keputusan yang
demikian inilah yang menurut teori melebur dipahami sebagai keputusan
yang melebur ke dalam tindakan keperdataan.

B. Para pihak bertanggung jawab berdasarkan wewenang yang tertulis


dalam peraturan termasuk didalamnya bertanggung jawab atas
setiap produk hukum yang dihasilkan dari pelimpahan wewenang
yang dimilikinya
Dengan demikian, tidak setiap perbuatan hukum yang dilakukan
salah satu pihak dalam sebuah organisasi Pengadaan Barang/Jasa
pemerintah memiliki tanggung jawab renteng terhadap pihak lainnya. Oleh
karena itu, tidak serta merta Menteri sebagai PA ikut memikul tanggung

11
Rustini Wiriaatmadja, Bahan Kuliah Hukum Administrasi Lanjutan, Pada Program Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 2011, hlm. 122.

8
jawab dalam proses Pengadaan Barang/Jasa karena secara atributif
Menteri sebagai PA tidak lagi memikul tanggung jawab hukum. Terlebih
dalam hal terjadi penyimpangan pengadaan, sangat tidak tepat jika
tanggung jawab renteng dibebankan kepada pihak lain diluar organisasi
Pengadaan Barang/Jasa seperti organ struktural dan organ fungsional
dalam institusi pemerintahan.
Menteri selaku PA dapat memikul tanggung jawab apabila
diamanahkan dengan peraturan perundangan. Sebagai contoh :
Untuk pengadaan yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah), apabila PPK dan/atau panitia/pejabat pengadaan
tidak sependapat dengan keputusan Menteri, maka: (1) penetapan
pemenang lelang atau keputusan lain diserahkan kepada Menteri dan
panitia/pejabat pengadaan dan PPK tidak perlu melakukan perubahan
berita acara evaluasi; (2) keputusan bersifat final.12
Apabila PPK tidak bersedia menerbitkan SPPBJ karena tidak
sependapat atas penetapan pemenang, maka diserahkan kepada PA/KPA
untuk diputuskan dengan ketentuan : (1) apabila sependapat dengan PPK,
dilakukan evaluasi ulang atau pelelangan dinyatakan gagal; (2) apabila
sependapat dengan ULP, PA/KPA memutuskan penetapan pemenang oleh
ULP bersifat final dan PA/KPA memerintahkan PPK untuk mengeluarkan
SPPBJ.13
Tanggung jawab renteng dalam hal terjadi penyimpangan dalam
Pengadaan Barang/Jasa terjadi apabila dapat dibuktikan terjadi
persekongkolan antara para pihak dalam organisasi pengadaan maupun
persekongkolan dengan pihak lain diluar organisasi pengadaan. Atau
dalam kondisi masing-masing pejabat terbukti melakukan kesalahan

12
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, hlm. 97 dalam
Ridwan HR, Op.Cit., hlm. 73.
13
Pasal 11 ayat (2) Perpres Nomor 54 Tahun 2010

9
pribadi atas keputusan yang dibuatnya sehingga menimbulkan kerugian
bagi pihak penyedia barang/jasa.14

BAB IV
PENUTUP
A .Kesimpulan
Pengertian tentang Keuangan Negara dalam arti sempit yakni ditinjau dari
pengurusan dan/atau pengelolaan serta pertanggungjawaban sebagaimana diatur
antara lain pada ICW, Undang-Undang tentang APBN dan Undang-Undang
tentang Perbendaharaan Negara. Pertanggungjawaban secara horizontal tampak
pada pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada
DPR, sedangkan secara vertikal merupakan pertanggungjawaban keuangan yang
dilakukan oleh otorisator atau ordonator dari setiap Kementerian atau Lembaga
Negara non-Kementerian yang menguasai bagian anggaran. Pelaksanaan Belanja
Negara terbesar diimplementasikan dalam bentuk Pengadaan Barang/Jasa untuk
menyediakan kebutuhan warga negara dalam berbagai bentuk, baik berupa
barang, jasa maupun infrastruktur. Implementasi hukum tentang Keuangan
Negara dalam Pengadaan Barang/Jasa dilakukan dalam 4 (empat) tahap/fase
perkembangan menyangkut proses pengadaan itu sendiri.
B. Saran
Terdapat pengertian Keuangan Negara dalam arti luas yang diungkapkan
beberapa ahli hukum dan dicantumkan dalam peraturan perundangundangan
membuat distorsi terhadap filosofi atas pengertian Keuangan Negara yang telah
diletakan pembuat Undang-Undang Dasar terdahulu. Hal ini berdampak pada
implementasi hukum tentang Keuangan Negara dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah atas ruang lingkup keberlakuan peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya. Oleh karena itu, demi terciptanya peraturan di
bidang Keuangan Negara yang tepat dan tersinergi dengan peraturan lainnya maka
sudah saatnya Pemerintah kembali melakukan penyelarasan atas peraturan yang

14
Konsultan Pengadaan Barang dan Jasa, Handoko, 2009, www.yogyakarya.com, diakses 13
Juli 2015.

10
telah ada dan mempercepat revisi Undang-Undang Keuangan Negara serta
harmonisasi terkait peraturan Pengadaan Barang/Jasa di BUMN.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht,


hlm. 97 dalam Ridwan HR, Op.Cit., hlm. 73.
Dahlan Thaib, Transparansi dan Pertanggungjawaban Tindakan Pemerintah,
Dalam Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 2007, Badan Pembinaan Hukum
dan Hak asasi Manusia RI, Jakarta, 2007, hlm. 118
Rustini Wiriaatmadja, Bahan Kuliah Hukum Administrasi Lanjutan, Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 2011, hlm. 122.
Jimly Ashiddiqie, Etika Birokrasi, Penegakan Hukum, dan ‘Good Governance’.
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka HUT Ke-31
KORPRI, di Jakarta, 4 November 2002, hlm. 1

Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian_Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan


Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009,
hlm.1.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke IV, Kencana Prenada
MediaGroup, Jakarta, 2008,Hal. 35.
B. JURNAL/WESLO
George Langrod, Administrative Contracts (A Comparative Study), The American
Journal of Comparative Law, Vol.IV, Number III, Summer 1995, p.325-326,
dalam Yohanes Sogar Simamora, op.cit., hlm. 77
Croom, S.R., Brandon-Jones, A. (2007),”Impact of E-Procurement:
Experiences from Immplementation in the UK Public Sector”, Journal of
Purchasing & Supply, page 294.

11
Panayiotou, N.A., Gayaialis, S.P., Tatsiopoulos, I.P. (2004) An E-Procurement
System for Governmental Purchasing, International Journal of Production
Economics,Vol. 90, page 79.
D. UNDANG-UNDANG / PASAL
Penjelasan Umum Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
Disarikan dari Penjelasan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
Pasal 11 ayat (2) Perpres Nomor 54 Tahun 2010
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
E.WEB
Konsultan Pengadaan Barang dan Jasa, Handoko, 2009, www.yogyakarya.com,
diakses 13 Juli 2015.EB

12

Anda mungkin juga menyukai