Anda di halaman 1dari 12

CASE REPORT SESSION

EVALUASI PRA OPERATIF

Disusun oleh:
Nadia Syifa
Selvi Puspa Sari
Wa’el Jaidi

Preseptor:
Ardi Zulfariansyah, dr., Sp.An, KIC., M.Kes

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
BAB I
STATUS PASIEN PRE OPERASI

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. E
Usia : 70 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SLTA
Alamat : Tasikmalaya
Tanggal pemeriksaan : 06 April 2018
Anamnesis
Keluhan Utama:
Perdarahan dari area kemaluan dan nyeri area pinggul.
2 tahun SMRS, pasien mengeluhkan keputihan yang banyak dengan konsistensi kental
dan berbau, 2 bulan setelah gejala awal, keputihan semakin banyak dan disertai
perdarahan. Pasien juga mengeluhkan area pinggul yang sering terasa nyeri semenjak
muncul perdarahan dari vagina. Pasien berobat ke RSUD Tasikmalaya dan
mendapatkan surat rujukan ke poli obgyn RSHS.
Riwayat operasi (-), penyakit pernah diderita (-), asma (-), alergi (-), diabetes (-),
hipertensi (-), merokok (-), gastritis (-), angina (-), kejang (-)

1.2 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80
Nadi : 89 x/ menit
RR : 20 x/ menit
Suhu : tidak diukur
Skala nyeri : 0/10
SpO2 : 99%
Tinggi badan : 144 cm
Berat badan : 40 kg
Jalan napas :
Mallampati II
Buka mulut >3 jari
Gigi Komplit
Gigi palsu (+)
Leher mobile
Paru : Kesan normal
Jantung : Kesan normal
Abdomen : Kesan normal
Ekstremitas : Kesan normal
Lain-lain : Tidak ada
ASA : II

1.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium
◦ Hb : 13,1/41,3/ 8,82/ 154.000
◦ PT : 13,7/ 1,07/ 30,50
◦ Ur : 24/ 0,4
EKG : Sinus rhytm HR 68 x/ menit
Rontgen: cor pulmo tidak ada kelainan
Lain-lain : TFP restriktif sedang
Hasil Konsultasi Bagian Lain
IPD: Tidak ada kontra indikasi
Diagnosis Kerja
Ca servix stadium I B
Tatalaksana
Radikal Histerektomi

1.4 Planning Anestesi


Preoperatif
Puasa mulai : Pre OP 6 jam
Premedikasi : Tidak ada
Lain-lain : Sesuai H-1
Intraoperatif
Anestesi Umum
Post operatif
Rencana penanganan nyeri : Analgetik IV
Perawatan pasca operatif : Ruangan
Surat Ijin Anestesi : Ya
Edukasi : Ya
Produk darah bila diperlukan : Ya, sesuai TS obgyn

1.5 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Evaluasi dan Penatalaksanaan Pra Operasi
Komponen utama dalam evaluasi adalah Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Tujuan:
 Mengurangi risiko pasien dan morbiditas selama berlangsungnya operasi.
 Mengidentifikasi pasien dengan prognosis buruk yang kemungkinan meninggal
sesaat sesudah/ ketika operasi tanpa meningkatkan kualitas hidup
 Menentukan Rencana Anestesi
Pendekatan Pra Operasi
 Anamnesis
 Indikasi operasi
 Riwayat anestesi dan operasi
 Riwayat penyakit, alergi dan atopik di keluarga
 Riwayat penggunaan obat, termasuk obat herbal
2.2 Perencanaan Tindakan Anestesi
Dalam tahap perencanaan dilakukan perancangan hal-hal sebagai berikut:
 Berdasarkan teknik operasi yang dipilih, apakah diperlukan anestesi umum, lokal,
ataupun regional?
 Apakah puasa diperlukan sebagai persiapan Anestesi?
 Metode anestesi yang dilakukan, IV, IM, Inhalasi, atau Kombinasi?
 Obat Anestesi yang dipilih? Disesuaikan dengan karakteristik individual pasien.
 Perawatan pasca operasi, apakah di ICU, CICU, HICU, PICU, dll? dan perencanaan
follow up lainnya.
2.3 Pendekatan Sistem Organ

2.3.1 Jalan Napas

Airway : Evakuasi jalan nafas meliputi kemampuan untuk memflesikan leher dan
mengektensikan kepala dan pemeriksaan rongga mulut.
Kesulitan Jalan Napas

Kesulitan jalan napas (difficult airway) didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis
dimana dokter atau tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan terampil mengalami
kesulitan

saat melakukan ventilasi dengan mask, intubasi atau keduanya diakibatkan oleh faktor-faktor
penyulit.

Untuk memperkirakan adanya kesulitan jalan napas dapat dilakukan dengan pemeriksaan
berikut, yang disingkat menjadi LEMON:

(1) Look externally: melihat adanya tanda-tanda yang diketahui dapat menyebabkan
kesulitan dalam intubasi atau ventilasi, seperti spine injury, trauma maksilofasial ata
mandibular, obesitas atau variasi anatomy (leher pendek, dagu mundur)
(2) Evaluate the 3-3-2 rule
a. 3 – jari membuka mulut
b. 3 - Fingers Hypomental Distance (3 jari diantara ujung dagu sampai tulang
hyoid)
c. 2 – jari diantara puncak kartilago tiroid sampai dengan dasar mandibula
(3) Mallampati classification
Saat intubasi, hipofaring harus dapat cukup terlihat. Pasien membuka mulut secara
penuh dan menjulurkan lidah sejauh mungkin, kemudian pemeriksa menilai derajat
terlihatnya hipofaring.
(4) Obstruction: menilai adanya kondisi yang menyebabkan obstruksi jalan napas, seperti
epiglotitis, abses paratonsilar atau trauma
(5) Neck mobility: dengan cara meminta pasien untuk fleksikan kepala sehingga dagu
bertemu dengan dada, lalu ekstensi kepala sampai melihat ke arah langit-langit.
Dengan trauma pada leher atau menggunakan collar neck akan kesulitan untuk fleksi
dan ekstensi leher.
2.3.2 Pulmonary System

Anamnesa

 Sejarah merokok
 Sesak nafas
 Batuk
 Gangguan suara nafas (wheezing, stridor, snoring, sleep apnea)
 ISPA

Pemeriksaan Fisik

 Jumlah nafas, ekrusi dada, bantuan otot pernafasan tambahan, warna kuku,
kemampuan berjalan dan berbicara tanpa gangguan atau terputus-putus, auskultasi
suara nafas.

2.3.3 Neurologic System


Kemampuan pasien untuk menjawab pertanyaan untuk memastikan tidak adanya
gangguan status mental, kita dapat menyingkirkan kemungkinan Tekanan Tinggi Intra Kranial
(TTIK), gangguan neuromuscular, ataupun nerve Injuries.

2.3.4 Cardiovascular System


 Riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.
 Penyakit jantung yang tidak stabil, seperti Miokardial Infark, Kongesti jantung,
Disrithmia jantung.
 Auskultasi suara jantung (murmur), bruits, dan peripheral pulse.
2.3.5 Endocrine System
 Riwayat Diabetes Mellitus (DM) yang meningkatkan risiko Coronary Artery Disease
(CAD)
 Pasien dengan riwayat penggunaan kortikosteroid jangka panjang.

2.4 Klasifikasi ASA


Untuk menentukan Resiko Relatif terhadap Anestesi American Society of Anesthesiologist
(ASA) membuat kriteria:

2.5 Tes Laboratorium Pra Operasi dan Tes penunjang


 Complete Blood Count (CBC) dan Hemoglobin
 Elektrolit
 Glukosa darah
 EKG
 Tes Koagulasi
 BUN/Creatinine
 Tes fungsi hati
 X-Ray
 Albumin
 Tes Fungsi Paru
 Tes lain dapat dilakukan sesuai indikasi yang ada

2.6 Medikasi Pra Operasi


2.6.1 Tujuan Pramedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
 Menghilangkan rasa khawatir
 Memberikan ketenangan (sedative)
 Membuat amnesia
 Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
3. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
4. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
 Mencegah mual dan muntah pasca bedah
2.6.2 Faktor yang mempengaruhi pemilihan obat dalam prosedur anestesi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan obat diantaranya :
 Usia dan berat badan pasien
 Status ASA pasien
 Tingkat kecemasan
 Toleransi pemakaian obat depressan
 Riwayat alergi obat
 Paisen elektif atau pasien emergensi
 Pasien rawat jalan atau rawat inap
2.7 Puasa Preoperasi
Puasa preoperatif pada pasien yang akan menjalani operasi bersifat elektif merupakan
suatu keharusan sebelum tindakan operatif, hal ini berguna untuk mengurangi volume dan
keasaman lambung serta mengurangi risiko regurgitasi atau aspirasi yang lebih dikenal
dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi terutama pada saat induksi.
Sewaktu dilakukan induksi anestesi, refleks batuk dan menelan akan dihambat,
sedangkan makanan di dalam lambung meningkatkan risiko aspirasi. Isi lambung sangatlah
asam dengan pH sekitar 1,5–3,5, regurgitasi sekitar 50 mL dari asam lambung dapat
menyebabkan iritasi serta inflamasi di paru-paru dan dapat mengganggu pertukaran gas
sehingga pada akhirnya mengakibatkan kematian.
Puasa preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi
volumelambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Sebuah panduan
mempuasakan pasien sebelum operasi elektif diperkenalkan oleh Lister sejak tahun 1883.
Tindakan ini kemudian dibakukan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) sejak tahun
1999 untuk mempuasakan pasien dari makanan padat maupun cair, tetapi puasa yang
berlebihan dapat menyebabkan komplikasi perioperatif yang berbahaya.
Kebiasaan mempuasakan pasien (nill per os) yang dimulai tengah malam sebelum
operasi
merupakan kebiasaan yang dilakukan sejak lama ketika Mendelson melaporkan banyak
kejadian aspirasi pada pasien obstetrik yang menjalani teknik anestesi umum. Akan tetapi,
berdasarkan hasil riset-riset terbaru kejadian aspirasi pneumonia adalah hal yang jarang
terjadi pada era anestesi modern sehingga mempuasakan pasien mulai tengah malam
menjadi tidak perlu, bahkan dapat berdampak buruk pada pasien. Mulai tahun 1999 American
Society of Anesthesiologists membuat panduan puasa preoperatif yang lebih liberal.
Puasa preoperatif yang disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan padat dan 2
jam untuk air putih.
Namun, pada praktiknya instruksi puasa yang sering diterima pasien adalah puasa sejak
tengah malam tanpa melihat jadwal operasinya sehingga puasa preoperatif pada pasien
operasi elektif cenderung lebih lama daripada yang disarankan.
Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi pasien preoperatif serta
pascaoperatif. Puasa preoperatif yang lama menyebabkan resistensi insulin sehingga
memengaruhi kenaikan gula darah, terutama jika lebih dari yang dianjurkan 6–8 jam dan
sering kali selama 10–16 jam. Puasa mulai tengah malam juga mengakibatkan berbagai
tingkatan dehidrasi bergantung pada durasi puasa.
Efek samping puasa yang terlalu lama termasuk rasa haus, lapar, sakit kepala, rasa
tidak nyaman, dehidrasi, hipovolemia, dan hipoglikemia. Respons metabolik terhadap
pembedahan dan trauma akan mengakibatkan peningkatan laju metabolisme dan keadaan
hipermetabolisme.
Insidensi hipoglikemia pada pasien geriatri yang berpuasa 8–14 jam sebesar 17,6–32,4%;
sedangkan pada pediatrik jarang terjadi. Puasa yang terlalu lama pada pasien pediatrik
usia 6 bulan–6 tahun dapat menyebabkan hipotensi saat induksi dibanding dengan anak yang
mendapatkan minum dekstrose 5% 3–4 jam sebelum induksi.
Puasa minum preoperatif juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian delirium pascaoperasi saat di ruang pemulihan (11%) maupun di bangsal
(4,2%) selain pemberian analgesia selama operasi.
Panduan puasa preoperatif yang diterapkan di berbagai negara diperbolehkan minum clear
fluids sampai dengan 2 jam sebelum operasi. Pemberian minuman kaya karbohidrat 2 jam
sebelum operasi ternyata tidak meningkatkan volume gaster atau meningkatkan keasaman,
tetapi pemberian ini terbatas pada pasien yang tidak memiliki gangguan motilitas usus
seperti gastroparesis, obstruktif mekanis, gastroesofageal refluks, dan morbid obese.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon. Airway and ventilatory management. Dalam: Advance


Trauma Life Support. Edisi ke-9.
Hartanto Budi, Suwarman, Ruli Herman Sitanggang. Hubungan antara Durasi Puasa
Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi pada Pasien Operasi Elektif di Rumah Sakit
Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi Preoperatif. 2016;4(2): 87-94

Anda mungkin juga menyukai