HIV/AIDS
A. Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV
ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia,
dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam
golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi
dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch,
Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik
akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan
infeksi oportunistik (Zein, 2006).
AIDS adalah bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon
imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan
dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas
yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention, 2005).
B. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV.
Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen
viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang
kuat terhadap limfosit T.
C. Klasifikasi
Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS
(kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita
AIDS (Zuya Urahman, 2009).
1. Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih, keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori klinis B dan C.
a. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
b. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized
Limpanodenophaty).
c. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang
menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
2. Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
a. Angiomatosis Baksilaris
b. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap
terapi.
c. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
d. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5° C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
e. Leukoplakial yang berambut
f. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu
dermaton saraf.
g. Idiopatik Trombositopenik Purpura
h. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii
3. Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
a. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
b. Kanker serviks inpasif
c. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
d. Kriptokokosis ekstrapulmoner
e. Kriptosporidosis internal kronis
f. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
g. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
h. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
i. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
j. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
k. Isoproasis intestinal yang kronis
l. Sarkoma Kaposi
m. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
n. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
o. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
p. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
q. Pneumonia Pneumocystic Cranii
r. Pneumonia Rekuren
s. Leukoenselophaty multifokal progresiva
t. Septikemia salmonella yang rekuren
u. Toksoplamosis otak
v. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)
Menurut WHO infeksi HIV pada orang dewasa dapat diklarifikasikan sebagai
berikut :
IV histoplasmosis.
10. Kandidiasis di esophagus,trakea,
bronkus dan paru.
13.Tuberkulosisdiluar paru.
14.Limfoma.
15.Sarkoma Kaposi
16.Ensefalopati HIV
D. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat
pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu
antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi
dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu,
dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA.
DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat
mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak
dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4
helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan
limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi
limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai
sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
E. Manifestasi Klinik
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) yaitu :
1. Gejala mayor :
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor :
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala
klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase yaitu :
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun,
demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.
Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan mengikut
fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy
, mucocutaneous ulceration,, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala
ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit,
faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan
hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita
HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien
dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada HIV/Aids adalah sebagai berikut :
1. Neurologik
Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS
dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon
verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis
spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian. Meningitis
kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk,
mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan
dengan analisis cairan serebospinal.
3. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk,
nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis,
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus,
virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
4. Dermatologik.
Lesi Kulit StafilokokusVirus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,
infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks
akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan
plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga
dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering
dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
5. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan.
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan
reaksi-reaksi obat.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian.
Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
2. Serologis
a. Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi
bukan merupakan diagnosa
b. Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
c. Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
d. Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
e. T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke
T4 ) mengindikasikan supresi imun.
f. P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV )
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
g. Kadar Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal
h. Reaksi rantai polymerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
i. Tes PHS
Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif.
3. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf), dilakukan dengan biopsy pada
waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
4. Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun
akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes
positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah
dan memudahkan evaluasi diagnostic.
H. Penatalaksanaan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency
Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak
terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human
Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.