Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti
rotasi (Memutar) tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya
terasa berputar atau badan yang berputar. Keluhan yang paling sering dijumpai
dalam praktek. Vertigo berasal dari bahasa latin “Vertere” yaitu memutar. Vertigo
termasuk ke dalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing,
pening, sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti berjungkir balik.1

Vertigo paling sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional


Vertigo (BPPV). Menutur penelitian pasien yang datang dengan keluhan pusing
berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit ini sering
disertai penyakit lainnya.1

Vertigo bukan suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari penyakit


yang letak lesi dan penyebabnya berbeda-beda oleh karena itu pada setiap
penderita vertigo harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan
terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak lesi dan penyebabnya.1

Pusing dan vertigo merupakan gejala yang sering dijumpai di semua


bidang kedokteran. Pekerjaan menangani pasien dengan pusing dapat menjadi
pekerjaan yang menjengkelkan penting untuk menyampaikan masalah pasien
dengan cara sistematis untuk menentukan penyebab yang mungkin dan
memberikan terapi yang tepat. Hal ini dimulai dengan anamnesis terperinci diikuti
dengan pemeriksaan fisik dan evaluasi terarah.2

1
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Anatomi Alat Keseimbangan

Gambar 1. Anatomi telinga

A. Telinga Bagian Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga (Meatus


Acusticus Externus) dan selaput gendang telinga membran timpani
yang merupakan dinding pemisah antara liang telinga dan telinga
tengah.4

Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Liang
telinga berbentuk seperti huruf S. Pada 1/3 proksimal memiliki
kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka tulang.3

Pada sepertiga luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar


serumen (Modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.3

2
Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar
serumen.3

B. Telinga Bagian Tengah

Telinga bagian tengah berfungsi menghantarkan bunyi atau


bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan ruang telinga
dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi oleh
foramen ovale dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga
terdapat bagian-bagian sebagai berikut:

 Membran Timpani
Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi.
Setiap ada gelombang bunyi yang memasuki lorong telinga akan
mengenai membran timpani, selanjutnya membran timpani akan
menggelembung ke arah dalam menuju ke telinga tengah dan akan
menyentuh tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan
stapes. Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan gelombang
bunyi tersebut ke telinga bagian dalam.3
 Tulang-tulang pendengaran
Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (Tulang
martil), incus (Tulang landasan) dan stapes (Tulang sanggurdi).
Tulang pendengaran pada telinga tengah saling berhubungan.
Ketiga tulang tersebut membentuk rangkaian tulang yang melintang
pada telinga tengah dan menyatu dengan membran timpani.3

3
Gambar 2. Membran timpani
 Tuba auditiva eustachius
Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran
penghubung antara rongga telinga tengah dengan nasofaring.
Adanya saluran eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan
tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. Biasanya pipa ini
terbuka secara periodik pada waktu menelan, mengunyah, dan
menguap. Apabila pipa ini tidak cukup terbuka didalam waktu lama,
udara ditelinga akan diresorpsi sehingga tekanan ditelinga tengah
menurun dan terbentuk cairan disana.4

4
Gambar 3. Telinga tengah

C. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (Rumah siput) yang berupa


dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.3

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap


dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang
koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani disebelah
bawah dan skala media (Duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli
dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endo
limfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissneijs membrane) sedangkan skala
media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti.3

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang


disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut

5
yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti
yang membentuk organ corti.3

Gambar 4. Organ pendengaran dan keseimbangan

2.2 Fisiologi Alat Keseimbangan

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan


disekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di
labirin, organ visual dan propioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor
sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan
posisi tubuh pada saat itu.3

Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang
merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum
labirin tulang. Pada tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang
didalamnya terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri
dari tiga kanalis semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran
yang berhubungan dengan utrikulus, disebut ampula. Didalamnya terdapat
krista ampularis yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan
seluruhnya ditutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula.3

6
Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan
perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut
akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel
berubah, sehingga ion kalsium akan masuk kedalam sel yang menyebabkan
terjadinya proses depolarisasi dan akan merangsang pelepasan
neurotransmitter eksitator yang selanjutnya akan meneruskan impuls
sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak. Sewaktu
berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi.3

Organ vestibuler berfungsi sebagai transduster yang mengubah


energi mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa didalam
kanalis semisirkularis menjadi energi biolistik, sehingga dapat memberi
informasi mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau
percepatan sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai
semua gerak tubuh yang sedang berlangsung.3

Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain,


sehingga kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh
bersangkutan. Gejala yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan
muntah. Pada jantung berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit
reaksinya berupa keringat dingin.3

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Vertigo

Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh
seperti rotasi (Memutar) tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat
sekelilingnya terasa berputar atau badan yang berputar. Keluhan yang paling
sering dijumpai dalam praktek. Vertigo berasal dari bahasa latin “Vertere”
yaitu memutar. Keadaan ini sering disusul dengan muntah-muntah,
berkeringat dan kolaps, tetapi tidak pernah kehilangan kesadaran.1,4,6

3.2 Penyebab

Beberapa kelainan telinga tengah dapat menyebabkan vertigo ialah:

 Penyakit meniere
 Benign Paroxysmal Positional Vertigo
 Trauma telinga
 Vertigo akibat obat
 Vestibular neuritis
 Labirinitis4

3.3 Klasifikasi

Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Vertigo perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus
cranialis vestibulocochlear (N. VIII).

8
2. Vertigo sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau
cerebellum.7

Sesuai kejadiannya, vertigo ada beberapa macam yaitu, vertigo


spontan, vertigo posisi dan vertigo kalori.3

Dikatakan vertigo spontan bila vertigo timbul tanpa pemberian


rangsangan. Rangsangan timbul dari penyakitnya sendiri, misalnya pada
penyakit meniere oleh sebab tekanan endolimfa yang meninggi.3

Dalam vertigo posisi, vertigo timbul disebabkan oleh perubahan


posisi kepala. Vertigo timbul karena perangsangan pada kupula kanalis
semisirkularis oleh debris atau pada kelainan servikal. Yang dimaksud
sebagai debris ialah kotoran yang menempel pada kupula kanalis
semisirkularis.3

Pada pemeriksaan kalori juga dirasakan adanya vertigo, vertigo ini


disebut vertigo kalori. Vertigo kalori ini penting dinyatakan pada pasien
sewaktu tes kalori, supaya ia dapat membandingkan perasaan vertigo ini
dengan serangan yang pernah dialaminya. Bila sama, maka keluhan
vertigonya adalah betul, sedangkan bila ternyata berbeda, maka keluhan
vertigo sebelumnya patut diragukan.3

3.4 Patofisiologi

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat


keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi
tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf
pusat.

Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut:

1. Teori rangsang berlebihan (Overstimulation)

9
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.1
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus,
vestibulum dan proprioseptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan
sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons
yang dapat berupa nistagmus (Usaha koreksi bola mata), ataksia atau
sulit berjalan (Gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang,
berputar (berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang
berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan
sentral sebagai penyebab.1
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut
teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu,
sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai
dengan pola 3 gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-
ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak
lagi timbul gejala.1
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom
sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul
jika sistem simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem
parasimpatis mulai berperan.1
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan
teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan

10
neurotransmitter tertentu dalam pengaruhi sistem saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.1
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau
peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang
terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan 4 stres yang akan memicu sekresi CRF (Corticotropin
Releasing Factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering
timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan
saraf parasimpatis.1

3.5 Gejala Klinis

Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa


gejala primer, sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer
diakibatkan oleh gangguan pada sensorium. Gejala primer berupa vertigo,
impulsion, oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai
sensasi berputar. Vertigo dapat horizontal, vetikal atau rotasi. Vertigo
horizontal berupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh disfungsi dari
telinga dalam. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya
merasakan sensasi pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan komponen
lambat. Vertigo vertikal jarang terjadi, jika sementara biasanya disebabkan
oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya berasal dari sentral dan disertai
dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas. Vertigo rotasi
merupakan jenis yang paling jarang ditemukan. Jika sementara biasanya

11
disebabkan BPPV namun jika menetap disebabkan oleh sentral dan biasanya
disertai dengan rotator nistagmus.7

Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya


dideskripsikan sebagai sensasi didorong atau diangkat. Sensasi impulse
mengindikasi disfungsi apparatus otolitik pada telinga dalam atau proses
sentral sinyal otolit.7

Oscilopsia ilusi pergerakan dunia yang dirovokasi dengan


pergerakan kepala, pasien dengan bilateral vestibular loss akan takut untuk
membuka kedua matanya. Sedangkan pasien dengan unilateral vestibular
loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika pasien menoleh pada sisi
telinga yang mengalami gangguan.7

Ataksia adalah ketidakstabilan berjalan, biasanya universal pada


pasien dengan vertigo otologik dan sentral. Gejala pendengaran biasanya
berupa tinnitus, pengurangan pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di
telinga. Gejala sekunder meliputi mual, gejala otonom, kelelahan, sakit
kepala, dan sensitivitas visual.7

3.6 Diagnosis

1. Anamnesa

Vertigo bukan suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari


penyakit yang letak lesi dan penyebabnya berbeda-beda oleh karena itu
pada setiap penderita vertigo harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo,
letak lesi dan penyebabnya.1

Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang,


berputar, tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu
diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo.
Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan. Profil

12
waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul,
paroksismal, kronik progresif atau membaik. Beberapa penyakit
tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik. Apakah juga ada
gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi
alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti
streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria, dan lain-lain yang
diketahui ototoksik atau vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik
seperti anemia, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru
dan kemungkinan trauma akustik.1

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik akan mempersempit diagnosis banding dan


memastikan kembali informasi yang didapat dari anamnesis.
Pemeriksaan telinga, struktur neurologi terkait, dan pemeriksaan saraf
kranial, diindikasikan bagi pasien dengan pusing menetap yang
konsisten dengan disfungsi vestibular. Anamnesis yang mengarahkan
diagnosis bandingnya kepada penyebab sistemik memerlukan
pemeriksaan medis secara lengkap.2

Test Fungsi Vestibuler

1. Dix-Hallpike Manuever
Perhatikan adanya nistagmus, lakukan uji ini ke kanan dan
ke kiri. Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita
dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya
menggantung 450 di bawah garis horizontal, kemudian kepalanya
dimiringkan 450 ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan
hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat membedakan
apakah lesinya perifer atau sentral.1,7
Perifer (Benign positional vertigo) adalah vertigo dan
nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam
waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila

13
tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral adalah tidak ada
periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1
menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-
fatigue).1,7

Gambar 5. Dix-hallpike manuever


2. Tes Kalori
Tes kalori adalah metode yang sangat lazim untuk menguji
sistem vestibuler dan merupakan komponen utama uji
elektronistagmografi (ENG). Penderita berbaring dengan kepala
fleksi 300, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi
vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (300)
dan air hangat (440) masing-masing selama 40 detik dan jarak
setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya
sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut
(normal 90-150 detik).1,2,7
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau
directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis
adalah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah
rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional
preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah
nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis

14
menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan
directional preponderance menunjukkan lesi sentral.1,7
3. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan
tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan
demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.1,3,7

Tes Fungsi Pendengaran

a. Tes Garpu Tala


Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli
perseptif, dengan tes Rinne, Weber, dan Schwabach. Pada tuli
konduktif, tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke telinga yang
tuli, dan Schwabach memendek.1
b. Audiometri
Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Ludness
Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay.
Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi acies visus,
okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran dan
fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan
ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan
serebelar (tremor, gangguan cara berjalan).1

3. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan


pemeriksaan lain sesuai indikasi.
 Foto rontgen tengkorak, leher, stenvers (pada neurinoma akustik).
 Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi
(EMG), Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP).
 Pencitraan CT-Scan, arteriografi, Magnetic Resonance Imaging
(MRI).1

15
3.7 Penatalaksanaan Vertigo
Pengobatan pasien vertigo mencakup banyak aspek. Tujuan
pengobatan vertigo, selain kausal (jika ditemukan penyebabnya), ialah
untuk memperbaiki ketidakseimbangan vestibular melalui modulasi
transmisi saraf.1,2
a. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti
vertigo juga memiliki aktivitas antikolinergik di susunan saraf pusat.
Mungkin sifat antikolinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya
sebagai obat anti vertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah
sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini
memberikan dampak yang positif.2,7

Beberapa antihistamin yang digunakan adalah :

1. Betahistin
Senyawa betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping betahistin ialah gangguan
di lambung, rasa tidak enak, dan sesekali muncul rash di kulit.
- Betahistin Mesylate (Merislon)
Dosis 6 – 12 mg, 3 kali sehari peroral.
- Betahistin HCl (Betaserc)
Dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi
dalam beberapa dosis.7

2. Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini adalah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan

16
dengan dosis 25 – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping
ialah mengantuk.2,7

3. Difenhidramin HCl (Benadryl)


Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25
mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga
diberikan parenteral. Efek samping ialah mengantuk.2,7

b. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium
Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan.
Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular
mengandung banyak terowongan kalsium. Namun antagonis kalsium
sering mempunyai khasiat lain seperti antikolinergik dan antihistamin.
Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam mengatasi vertigo
belum diketahui.
- Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi
respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah
15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari. Efek samping ialah
rasa mengantuk (sedasi), rasa capek, diare atau konstipasi, mulut
rasa kering dan rash di kulit.7

c. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo.
Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat
efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun
kurang berkhasiat terhadap vertigo.7

17
- Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati
vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan
dosis 12,5 mg – 25 mg, 4 kali sehari per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering
dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek samping
ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat Fenotiazine lainnya.
- Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat
dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral. Dosis
yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek
samping ialah sedasi (mengantuk).7

d. Obat simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah
satunya obat simpatomimetik yang dapat menekan vertigo ialah efedrin.
Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 – 25 mg, 4 kali
sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat
anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar
(palpitasi), dan menjadi gelisah.7

e. Obat penenang minor


Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan. Efek samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi
kabur.
- Lorazepam
Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg.
- Diazepam
Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg.7

18
f. Obat anti kolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.
- Skopolamin
Skopolamin dapat dikombinasikan dengan fenotiazine atau efedrin
dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg
– 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari.2,7

g. Terapi fisik Brand-Darrof


Ada beberapa macam latihan fisik, salah satunya adalah latihan Brand-
Darrof.1,7

Keterangan gambar :
1. Ambil posisi duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai
tergantung, lalu tutup kedua mata.
2. Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan tahan
selama 30 detik, kemudian balik posisi duduk.
3. Setelah 30 detik, arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke
sisi kiri tahan selama 30 detik, kemudian balik posisi duduk. Dapat
dilakukan berulang kali pada pagi dan petang hari sampai tidak
timbul vertigo lagi.1,7

19
BAB IV
KESIMPULAN

Vertigo adalah perasaan yang abnormal mengenai adanya gerakan


penderita terhadap sekitarnya atau terhadap penderita, tiba-tiba semuanya terasa
berputar atau bergerak naik turun di hadapannya. Vertigo dapat dianggap sebagai
suatu perasaan hilang keseimbangan yang di sebabkan karena alat keseimbangan
kedua belah sisi tidak dapat memelihara keseimbangan tubuh.
Vertigo bukan suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari penyakit
yang penyebabnya berbeda-beda, oleh karena itu pada setiap penderita vertigo
harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk
menentukan bentuk vertigo dan penyebabnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Akbar, Muhammad. 2013. Diagnosis Vertigo. Makassar : FK Hasanuddin


Makassar.
2. Lucente, Frank, dkk. 2011. Ilmu THT Esensial Edisi 5. Jakarta : EGC.
3. Arsyad Soepardi, Efiaty, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
4. Keel, Zakboek, Neus, dkk. 2009. Buku Saku Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorok Edisi 12. Jakarta : EGC.
5. Thaller, Seth R, dkk. 1997. Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6.
Jakarta : EGC.
6. Halmagyi, GM. 2005. Diagnosis and Management of Vertigo. Journal
BJMP2010;3(4):a351.
7. Repository USU. 2012. VERTIGO. Journal :
http://repository.usu.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/56037/Chapt
er%20II.pdf?sequence=4. diakses 15 September 2017.

21

Anda mungkin juga menyukai