Anda di halaman 1dari 12

PERTUSIS

D
I
S
U
S
U
S
U
N
Oleh :
KELOMPOK 2
1. ADE PURNAMA 5. HOTNI SARA SIMORANGKIR
2. BUCHORI SIHOMBING 6. MARULI G SAGALA
3. KIKA MELANI 7. NATALIA DESNIATI FAU
4. DWI OKTAVIA LUMBANTORUAN 8. REGI OGANTA PANJAITAN

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2017
DAFTAR ISI

Judul......................................................................................................................................... i
Kata Pengantar.........................................................................................................................ii
Daftar Isi………….................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
1,1 Latar Belakang................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 2
2.1 Pengertian………………...................................................................................................2
2.2 Etiologi…………………………………….…....………...................................................2
2.3 Manisfestasi klinis………………………….……………………………………………..2
2.4 Cara penularan……………………………….…………………………………………....3
2.5 Patofisiologis…………………………………..…………………………………..............3
2.6 Komplikasi……………………………………..….……………………………................4
2.7 Uji laboratorium Diagnostik..................................................................................................4
2.8 Pengobatan dan perawatan…………………………...…………………………………....5
2.9 Pencegahan...........................................................................................................................5

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................7

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………….......7
3.2 Saran…………………………………………………………………………………...…..7

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 8


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin,


angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak
dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar
20% dari jumlah penduduk total.

Pertussis (batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi tenggorokan
dengan bakteri ”Bordatella Pertussis”. Penyakit batuk rejan / juga dikenal sebagai ”Pertussis”
atau dalam bahasa Inggris ”Whooping Cough” adalah satu penyakit yang menular. Pertussis bisa
ditularkan melalui udara. Gejala awalnya mirip dengan infeksi saluran nafas atau lainnya yaitu
pilek dengan lendir cair dan jernih, mata merah dan berair, batuk ringan, demam ringan. Pada
stadium ini, kuman paling mudah menular. Setelah 1-2 minggu, timbullah stadium kedua dimana
frekuensi dan derajat batuk bertambah. Stadium penyembuhan terjadi 2-4 minggu kemudian,
namun batuk bisa menetap hingga lebih dari 1 bulan.

Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. 90% kasus ini terjadi
dinegara berkembang. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh Bakterium Bordetella namun tidak
jarang diakibatkan oleh Bordetella Parapertussis. Pertussis dikenal dengan batuk serius yang
diakhiri bunyi apabila anak-anak bernafas. Ia juga disertasi dengan selema, bersin dan demam
yang tidak begitu panas. Selain menyerang anak-anak batuk pertussis juga menyerang bayi
berusia dibawah 1 tahun, ini disebabkan karena ia belum mendapatkan vaksin. Untuk itu anak-
anak diberi vaksin DPT yang diberikan pada 2 bulan, 3 bulan dan akhirnya 5 bulan dari dosis
tambahan pada usia 18 bulan. Vaksin ini berkisar selama 5 tahun. Penyakit ini lama-kelamaan
dapat menyebabkan kematian. Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah
dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk.
Untuk itulah saya menyusun makalah yang berjudul ”Penyakit Pertusis”.
1.2 Rumusan msalah
1. Apa definisi pertusis?
2. Bagaimana etiologi terjadinya pertusis?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari pertusis?
4. Bagaimana cara penularan dari pertussis?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis?
6. Koplikasi apa saja yang terjadi pada pertussis?
7. Apa saja Uji Laboratorium Diagnostik untuk Peyakit pertusis?
8. Bagaimana pengobatan dan perawatan dari pertusis?
9. Bagaimana pencegahan dari pertussis?
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular
dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan
paroksismal disertai nada yang meninggi. Penyakit saluran nafas ini disebabkan
oleh Bordetella pertusis, nama lain penyakit ini adalah tussis quirita, whooping coagh, batuk
rejan. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun
1670. Dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu
sebutan untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”.
Penyakit ini menimbulkan Serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan
inspirasi berbising dan juga dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking.

B. ETIOLOGI
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif,
tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan
ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000)
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:

1. Berbentuk batang (coccobacilus).


2. Tidak dapat bergerak.
3. Bersifat gram negatif.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul.
5. Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10ºC).
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
7. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap
penicillin.
B.pertusis menghasilkan toksin dan substansi yang mengiritasi permukaan sel,
menyebabkan batuk dan limfositosis yang nyata. Kemudian, mungkin terjadi nekrosis
bagian epitelium dan infiltrasi polimorfonuklear dengan inflamasi peribronkhial dan
pneumonia interstitial.
C. MANIFESTASI KLINIK
Masa tunas 7 – 14 hari. Penyakit ini dapat berlangsung selama 6 minggu atau lebih dan
terbagi dalam 3 stadium :
a) Stadium kataralis
Stadium ini berlangsung 1 – 2 minggu ditandai dengan adanya batuk-batuk ringan,
terutama pada malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam ringan.Stadium ini
menyerupai influenza.
b) Stadium spasmodic
Berlangsung selama 2 – 4 minggu, batuk semakin berat sehingga pasien gelisah dengan
muka merah dan sianotik. Batuk terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Serangan
batuk panjang dan tidak ada inspirasi di antaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan
nafas panjang dan dalam berbunyi melengking). Sering diakhiri muntah disertai sputum
kental.Anak-anak dapat sempat terberak-berak dan terkencing-kencing. Akibat tekanan
saat batuk dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis. Tampak keringat,
pembuluh darah leher dan muka lebar.
c) Stadium konvalesensi
Berlangsung selama 2 minggu sampai sembuh.Jumlah dan beratnya serangan batuk
berkurang, muntah berkurang, dan nafsu makan timbul kembali.

D. CARA PENULARAN
Cara penularan pertusis, melalui:
 Droplet infection
 Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi

Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan
ludah penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan
alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan,
orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3
minggu setelah batuk dimulai.
E. PATOFISIOLOGI
Bordella merupakan kokobasili gram negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara
aerobik pada agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan
dengan faktor tikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk
menyerap bahan-bahan berbahaya.
Bordella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat iklase,
dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor
demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel
lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP
terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin,
disfungsi leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP
menyebabkan limfositisis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit
agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran
tunggal dalam patogenesis.

F. KOMPLIKASI
a) Alat Pernafasan
Bronchitis, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfissema, bronkiektasis dan
bronkopneumonia yang disebabkan infeksi sekunder, misalnya karena streptokokkus
hemolitik, pneumukokkus, stafilokokkus, dll.
b) Saluran Pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolaps rectum atau hernia,
ulkus pada ujung lidah dan stomatitis.
c) Sistem Saraf Pusat
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-
muntah.Kejang berat bisa terjadi karena penyebab anoksia. Kadang-kadang terdapat
kongesti dan edema otak, serta dapat pula terjadi perdarahan otak
G. UJI LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Ada beberapa cara pemeriksaan penyakit pertusis di laboratorium yaitu:
a) Spesimen
Pencucian nasal dengan larutan saline adalah spesimen yang dipilih. Usapan nasofaring
atau droplet yang dikeluarkan dari batuk ke dalam “cawan batuk” yang dipegang di depan
mulut pasien selama batuk paroksimal kadang-kadang digunakan tetapi tidak sebagus
pencucian nasal dengan larutan saline.
b) Uji Antibodi Flouresens (FA) Lagsung
Reagen FA dapat digunakan untuk memeriksa usapan neosafaring.Walaupun demikian
hasil positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi.Sensitivitasnya sekitar 50%. Uji FA
paling berguna dalam mengidentifikasi B.pertusis setelah biakan pada madia solid
b) Biakan
Cairan hasil pencucian nasal dengan saline dibiakkan pada agar medium solid. Antibiotik
di dalam media cenderung untuk menghambat flora respirasi yang lain tetapi
memungkinkan pertumbuhan B.pertusi. organisme diidentifikasi dengan pewarnaan
immunofluoresens atau dengan aglutinasi slide menggunakan antiserum spesifik.
c) Reaksi Rantai Polimerase
PCR adalah metode yang paling sensitif untuk mendiagnosis pertusis.Primer
untuk B.pertusis harus tercakup.Jika memungkinkan, uji PCR harus dapat menggantikan
biakan dan uji flouresens antibodi langsung.
d) Serologi
Uji serologi pada pasien mempunyai peran yang tidak begitu penting dalam membuat
diagnosis karena peningkatan aglutinasi atau presipitasi antibodi tidak terjadi sampai
minggu ketiga perjalanan penyakit.Serum tungal denga titer antibodi yang tinggi dapat
berguna dalam mendiagnosis penyakit batuk lama, satu dari durasi beberapa minggu.

H. PENGOBATAN DAN PERAWATAN


B.pertusis sensitif terhadap beberapa antimikroba in vitro.Pemberian eritromisin selama
fase kataral penyakit membantu menghilangkan organisme dan dapat bersifat
profilaksis.Pengobatan setelah awitan fase paroksimal jarang merubah fase klinis
penyakit.Inhalasi oksigen dan sedasi dapat mencegah kerusakan pada otak akibat anoksia.
I. PENGOBATAN
a) Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis
dari
Nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika
diberikan terlambat.
b) Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk,
mengatur hidrasi dan nutrisi
c) Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
d) Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
e) Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat
walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
f) Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.

J. PERAWATAN
a) Pembersihan jalan nafas.
b) Pemberian oksigen terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.
c) Pemberian makanan dan obat hindari makanan yang sulit ditelan dan makanan bentuk
cair.
d) Pemberian terapi suportif :
 Dengan memberikan lingkungan perawatan yang tenang,atasi dehidrasi berikan
nutrisi.
 Bila pasien muntah-muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral

K. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secara pasif:
a) Secara aktif
Dengan pemberian imunisasi DPT dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DPT tidak
boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DPT-1 deberikan pada
umur 2 bulan,DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DPT
selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DPT-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DPT-5 pada
saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan
DPT. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DPT diberika pada awal
sekolah dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS). Beberapa penelitian
menyatakan bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan
hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4
minggu.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
1. Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
2. Riwayat kejang
3. Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan
kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.
b) Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis.
Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara :
 Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan
anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-
kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk
paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
 Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi,
atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau
setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
 Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang
terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular
dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan
paroksismal disertai nada yang meninggi.
b. Penyakit pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis.
c. Penyakit pertusis dapat dicegah dengan cara pemberian imunisasi DPT

B. Saran
Imunisasi sangat penting di berikan pada bayi karena dapat meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap PD3I, jadi sebaiknya bayi harus diberikan Lima Imunisasi Dasar Lengkap
(LIDL) tanpa ada yang terlewat.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Manjoer. 2000. “Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II”. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 1997. “Perawat Anak Sakit.” Jakarta: EGC.
Suryadi. 2010. “Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2”. Jakarta: CV Sagung Seto
Shehab, Ziad M. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc.
2000.Chapter 42.h: 693-699.
Garna, Harry, Azhali M.S, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung,
Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.

Anda mungkin juga menyukai