Anda di halaman 1dari 123

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


1.1.1 Epidemiologi dan Permasalahan TB
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya
penanggulangan TB telah dilaksanakan di banyak negara sejak
tahun 1995.
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global
diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus
diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta kematian karena
TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian
320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB
Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6
juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah
usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun
2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per
100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per
100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV
positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case
Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak
129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan
prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%.
Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang
berasal dari 1,9% kasus TBRO dari kasus baru TB dan ada 12%
kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang. Penyebab utama
yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:

Pedoman Pelayanan TB DOTS.1


1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini
diakibatkan karena masih kurangnya komitmen pelaksana
pelayanan, pengambil kebijakan, dan pendanaan untuk
operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes
yang belum menerapkan layanan TB sesuai dengan standar
pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan
kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak
baku, tidak dilakukan pemantauan pengobatan, tidak
dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor
dalam penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB
khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti daerah kumuh di
perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat
seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik
dalam penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan
pengobatan, pencatatan dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh
terhadap risiko terjadinya TB secara signifikan seperti HIV,
gizi buruk, diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain yang
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang
akan meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya
tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi,
papan, sandang dan pangan yang tidak memadai yang
berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TB.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.2


Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah
berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di
tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka
prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000
penduduk, pada tahun 2015 - 21 - menjadi 647 per 100.000
penduduk. Dari semua indikator MDG’s untuk TB di Indonesia
saat ini baru target penurunan angka insidens yang sudah
tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi
supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030
yang akan datang.
1.1.2 Pathogenesis dan Penularan TB
1. Kuman Penyebab TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat
beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis,
M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa
menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai
MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB.
Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 –
0,6 mikron.
b. Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl
Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam
pemeriksaan dibawah mikroskop.
c. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain
Lowenstein Jensen, Ogawa.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.3


d. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup
dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai
minus 70°C.
e. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar
ultra violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet,
sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa
menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan mati
dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
f. Kuman dapat bersifat dorman.
2. Penularan TB
a. Sumber Penularan TB Sumber penularan adalah pasien TB
terutama pasien yang mengandung kuman TB dalam
dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila
seseorang menghirup udara yang mengandung percikan
dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman
sebanyak 0-3500 M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin
dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000
M.tuberculosis.
b. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan
perjalanan alamiah penyakit.Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal
dunia, sebagai berikut:
- Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
o Jumlah kasus menular di masyarakat.
o Peluang kontak dengan kasus menular.
o Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
o Intensitas batuk sumber penularan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.4


o Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
o Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
- Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14
minggu setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total
namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung
dari daya tahun tubuh manusia.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah
bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.
- Faktor Risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung
dari:
o Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup
o Lamanya waktu sejak terinfeksi
o Usia seseorang yang terinfeksi
o Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang
dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya
infeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB).
o Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB,
10% diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun
pada seorang dengan HIV positif akan
meningkatkan kejadian TB. Orang dengan HIV
berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula
- Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TB:
o Akibat dari keterlambatan diagnosis
o Pengobatan tidak adekuat.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.5


o Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau
penyakit penyerta.
o Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50%
diantaranya akan meninggal dan risiko ini
meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu
pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh
TB
Pada saat ini penanggulangan TB dengan strategi DOTS di
RS baru berkisar 20% dengan kualitas yang sangat
bervariasi.Ekspansi strategi DOTS di RS masih merupakan
tantangan besar bagi Indonesia dalam mengendalikan
tuberculosis.
Adapun strategi DOTS terdiri dari :
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya
3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar semua kasus TB,
dengan penatalaksanaan kasus secara tepat, termasuk
pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberculosis ( OAT ) yang
bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan

Hasil survey dan monitoring evaluasi yang dilakukan oleh


Tim TB external Monitoring Mission pada tahun 2005
menunjukkan angka penemuan kasus TB di RS cukup tinggi
tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah dengan angka putus
obat yang masih tinggi. Pada tahun 2009 telah dilakukan asesmen
terhadap RS tingkat propinsi di Indonesia ( jumlah RS 18 )
menunjukkan hanya 17% yang telah melakukan strategi DOTS
dengan hasil optimal, 44% RS sedang dan 39% kurang. Dari hasil

Pedoman Pelayanan TB DOTS.6


asesmen juga menunjukkan hubungan yang erat antara komitmen
direktur dengan keberhasilan penyelenggaraan DOTS di RS.Saat
ini sebagian besar strategi DOTS belum menjadi komitmen
manajemen di RS yang disebabkan sosialisasi yang kurang
optimal.

1.2 Tujuan Pedoman


1.2.1 Tujuan Umum
Meningkatkan mutu pelayanan tuberculosis di RS Nahdlatul Ulama
Banyuwangi

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Sebagai pedoman dalam program penanggulangan TB di RS
Nahdlatul Ulama Banyuwangi dengan strategi DOTS
2. Sebagai indikator mutu penerapan standar pelayanan di RS
Nahdlatul Ulama Banyuwangidalam program penanggulangan
TB melalui akreditasi.
3. Sebagai salah satu alat ukur kinerja RS Nahdlatul Ulama
Banyuwangidalam penanggulangan TB melalui indikator
Standar Pelayanan Minimal RS Nahdlatul Ulama Banyuwangi.
1.3 Ruang Lingkup Pelayanan
Ruang lingkup program penanggulangan TB meliputi
1.3.1 TIM DOTS
1.3.2 Instalasi Rawat Jalan
1.3.3 Instalasi Rawat Inap
1.3.4 Instalasi Farmasi
1.3.5 Instalsi Rekam medik
1.3.6 Instalasi gizi
1.3.7. IGD
1.3.8 Unit Laboratorium
1.3.9 Unit Radiologi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.7


Pelayanan DOTS rumah sakit Nahdlatul Ulama Banyuwangi
dimana merupakan rumah sakit tipe D, mampu menangani sebagai
berikut :
1. Pelayanan di Poli DOTS sebagai tata laksana dan pencegahan TB,
meliputi :
a. Penemuan kasus Tuberculosis
b. Diagnosis Tuberkulosis
c. Klasifikasi penyakit dan type pasien
d. Pengobatan Tuberkulosis
e. Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus, yaitu:
- Kehamilan
- Ibu menyusui bayinya
- Pasien TB pengguna kontrasepsi
- Pasien TB dengan hepatitis
- Pasien TB dengan kelainan hati kronik
- Pasien TB dengan gagal ginjal
- Pasien TB dengan Diabetes Mellitus
- Pasien Tb yang perlu mendapatkan tambahan Kortikosteroid
- Indiksai Operasi
f. Pengawasan menelan obat
g. Pemantaun dan hasil pengobatan Tuberkulosis
2. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
a. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
b. Hasil pengobatan Pasien TB BTA positif
c. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya
d. Pencegahan Tuberkulosis
3. Manajemen Program TB
4. Perencanaan program Tuberkulosis
5. Monitoring dan Evaluasi ProgramTuberkulosis
6. Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
7. Siklus manajemen logistik
8. Jenis logistik program ( logistik OAT dan Logistik non OAT )

Pedoman Pelayanan TB DOTS.8


9. Manajemen logistik program (perencanaan, pengadaan,
pemyimpanan, distribusi, penggunaan, dukungan manajemen )
10. Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
11. Standar ketenagaan
12. Pelatihan
13. Promosi program Tuberkulosis
14. Pengendalian TB Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium
b. Pemantapan mutu Laboratorium TB
c. Keamanan dan keselamatan kerja di rumah sakit
d. Publik – Private Mix ( Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan
Kesehatan )
e. Kolaborasi TB – HIV
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
g. Manajemen TB Resisten Obat
h. Jejaring Penatalaksanaan
i. pasien
j. Jejaring internal
k. Jejaring Eksternal

1.4 Batasan Operasional


1.4.1 Pengertian
Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit
adalah Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit DOTS Merupakan strategi
penanggulangan Tuberkulosis di Rumah Sakit melalui pengobatan
jangka pendek dengan pengawasan langsung.
1.4.2 Kriteria Rumah Sakit DOTS
1. Kriteria Umum Rumah Sakit DOTS
a.Falsafah dan tujuan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.9


Setiap pelayanan TB dengan strategi DOTS bagi pasien TB
harus berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan
oleh Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional.
b.Administrasi dan Pengelolaan
Direktur berfungsi sebagai Administrator yang berfungsi
sebagai pembuat kebijakan, membentuk TIM DOTS, dan
sebagai pengawas dalam pencatatan dan pelaporan
c.Staf dan pimpinan
Pimpinan RS membentuk TIM DOTS sebagai wadah khusus
dalam pengelolaan pasien TB di RS, pembentukan ini bersifat
fungsional dan ditetapkan melalui surat keputusan direktur
RS.
2. Fasilitas dan peralatan
a.Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB Unit DOTS
yang berfungsi sebagai pusat pelayanan TB di RS
b.Ruangan tersebut harus memnuhi persyaratan Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi ( PPI – TB ) di RS
c.Tersedia peralatan untuk melekukan pelayanan medis TB
d.Tersedia sarana bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien
TB dan keluarga
e.Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan
pemeriksaan mikroskopik dahak
3.Kebijakan dan Prosedur
a.Ada kebijakan/ prosedur tertulis yang harus menjadi acuan
pokok bagi semua staf medik.
b.Ada kebijakan/prosedur tentang jejaring internal dan
eksternal dalam pelayanan pasien
c.Ada kebijakan/ prosedur tentang pengobatan TB
d.Ada kebijakan/ prosedur tentang OAT, ketersediaan obat,
bila terjadi kekosongan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.10


e.Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang pelayanan TB di
Rawat Jalan, Rawat inap,UGD.
f.Ada kebijakan untuk menentukan standar pelayanan
minimal, pemenuhan standar pencegahan dan
pengendalian infeksi TB di RS dan sebagai lahan
pendidikan pelatihan dan penelitian terkait TB
g. Ada kebijakan/ prosedur tentang diagnosa TB
h. Ada kebijakan/ prosedur tentang memfollow up pasien TB.
I. Ada kebijakan/ prosedur tentang menggunakan formulir
TB dan kegunaannya.
j Ada kebijakan/ prosedur tentang menetapkan klasifikasi
pasien dan tipe pasien TB.

k. Ada kebijakan/ prosedur tentang mekanisme rujukan dan


pindahan

l. Ada kebijakan/ prosedur tentang cara mengeluarkan dahak.


m. Ada kebijakan/ prosedur tentang Pelacakan pasien
mangkir tuberclosis.
n. Ada kebijakan/ prosedur tentang pencatatan dan pelaporan
pasien TB.
o. Ada kebijakan/ prosedur tentang penemuan pasien TB
anak dirawat inap.
p. Ada kebijakan/ prosedur tentang penilaian resiko HIV pada
pasien TB.
q. Ada kebijakan/ prosedur tentang rujuk/pindah pengobatan
pasien faswe awal.
r. Ada kebijakan/ prosedur tentang rujuk/pindah pengobatan
pasien faswe lanjutan.
s. . Ada kebijakan/ prosedur tentang mengidentifikasi suspek
TB MDR (Multy Drug Resisten).
t. . Ada kebijakan/ prosedur tentang pewarnaan ziehl neelsen.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.11


4. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Ada analisa kebutuhan pelatihan teknis dan pendidikan dalam
rangka pengembangan pelayanan medis TB di RS yang di buat
secara periodic

5. Evaluasi dan pengendalian mutu


a.Ada program /kegiatan mutu pelayanan medis TB
b.Ada pertemuan berkala TIM DOTS
c.Ada laporan data serta analisa pelayanan medis TB RS.
d.Ada laporan dan hasil evaluasi jejaring internal dan eksternal
e.Ada rencana tindak lanjut dari hasil evaluasi.
6. Kriteria khusus Sumber Daya Manusia Rumah Sakit Nahdlatul
Ulama Banyuwangimemiliki tim DOTS yang minimal
meliputi:
- 1 orang dokter Spesialis Penyakit Dalam
- 1 orang dokter umum
- 6 orang perawat
- 1 orang petugas laboratorium
- 1 orang petugas farmasi
- 1 orang petugas Rekam medik
- 1 orang petugas Gizi
Ke dua belas petugas diatas harus bersertifikat Pelatihan
Pelayanan Tuberkulosis Dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit.
7. Strategi
Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian
eliminasi nasional TB meliputi:
a. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program

Pedoman Pelayanan TB DOTS.12


b. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM
(publicprivate mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-
DM, MTBS, PAL, dan lain sebagainya
- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran
diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau
Case holding
- Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka
Cakupan Layanan Semesta (health universal coverage).
c. Pengendalian faktor risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB
- Memaksimalkan penemuan TB secara dini,
mempertahankan cakupan dan keberhasilan pengobatan
yang tinggi.
d. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di
pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di
daerah
e.Peningkatan kemandirian masyarakat dalam
penanggulangan TB
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga
dan masyarakat
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan
kasus, dan dukungan pengobatan TB

Pedoman Pelayanan TB DOTS.13


- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di
upaya kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat
f.Penguatan manajemen program (health system
strenghtening)
- SDM
- Logistik
- Regulasi dan pembiayaan
- Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
- Penelitian dan pengembangan inovasi program

1.5 Landasan Hukum


1.5.1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan ( Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5063 )
1.5.2 Undang-undang Republik Indonesia 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit nomor ( Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor
153, Tambahan Lembaran negara RI Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5072 )
1.5.3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran ( Lembaran Negara RI tahun 2004
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4431)
1.5.4 Undang – undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara RI ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 4437 )
1.5.5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal.
1.5.6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1575/Menkes/ Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.14


1.5.7 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
1.5.8 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Di Rumah Sakit.
1.5.9 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan
1.5.10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan
Minimal
1.5.11 Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007
tentang Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru.
1.5.12 Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor
YM.02.08/III/673/07 tentang Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Rumah Sakit.
1.5.13 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016 tentang
Penaggulangan Tuberculosis.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.15


BAB II
STANDAR KETENAGAAN

2.1 Kualifikasi sumber daya manusia

KUALIFIKASI
NAMA JUMLAH
NO
JABATAN KEBUTUHAN

FORMAL INFORMAL
Dokter Pelatihan
Penanggung
1 Spesialis pelayanan tuberkulosis dengan 1
jawab DOTS
Penyakit Dalam strategi DOTS di RS

Pelatihan
2 Ketua DOTS Dokter umum pelayanan tuberkulosis dengan 1
strategi DOTS di RS

Pelatihan
Sekretaris
3 S1 keperawatan pelayanan tuberkulosis dengan 1
DOTS
strategi DOTS di RS

Pelatihan
Penanggung
4 Apoteker pelayanan tuberkulosis dengan 1
jawab farmasi
strategi DOTS di RS

Penanggung Pelatihan
D4 Rekam
5 jawab rekam pelayanan tuberkulosis dengan 1
Medik
medis strategi DOTS di RS

Penanggung Pelatihan
6 jawab rawat S1 keperawatan pelayanan tuberkulosis dengan 1
jalan strategi DOTS di RS

Penanggung Pelatihan
D3
7 jawab rawat pelayanan tuberkulosis dengan 1
keperawatan
inap strategi DOTS di RS

Pelatihan
Penanggung D3
8. pelayanan tuberkulosis dengan 1
jawab IGD Keperawatan
strategi DOTS di RS

Pedoman Pelayanan TB DOTS.16


Pelatihan
Penanggung
9 D3 Gizi pelayanan tuberkulosis dengan 1
jawab Gizi
strategi DOTS di RS

Pelatihan
Pencatatan dan D3
10 pelayanan tuberkulosis dengan 3
Pencatatan Keperawatan
strategi DOTS di RS

Penanggung Pelatihan
11 jawab D4 Analis pelayanan tuberkulosis dengan 1
laboratorium strategi DOTS di RS

Penanggung Pelatihan
12 jawab D3 Radiologi pelayanan tuberkulosis dengan 1
Radiologi strategi DOTS di RS

2.2 Pengaturan Jaga

2.3.1 Pengaturan jadwal poli DOTS dan dipertanggungjawabkan oleh Ketua


TIM DOTS.

2.3.2 Jadwal dinas terbagi atas dinas siang


2.3 Pelatihan
Untuk meningkatkan mutu pelayanan keterampilan dan pengetahuan
tenaga yang bekerja di Poli DOTS sehingga dapat memberikan pelayanan
yang bermutu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran
dan keperawatan.Pelatihan yang diperlukan yaitu : Pelatihan pelayanan
tuberculosis dengan strategi DOTS di RS bagi tenaga dokter, perawat dan
laboratorium, .

Pedoman Pelayanan TB DOTS.17


BAB III
STANDAR FASILITAS

3.1 PRASARANA DAN SARANA


Dalam rangka menjaga mutu pada penyelenggaraan DOTS , diperlukan
antara lain :
3.1.1 Ruangan atau tempat khusus yang berfungsi sebagai Unit
DOTS
3.1.2 Ruang unit DOTS memenuhi persyaratan standar PPI : ada
ventilasi, arah angin, dan penempatan pasien, sinar matahari
dan ketersediaan cuci tangan.
3.1.3 Untuk rawat inap tersedia ruang inap kusus untuk pasien TB
yang memenuhi persyaratan standar kewaspadaan sesuai
standar PPI meliputi :
1. Kebersihan tangan
2. Sarung tangan
3. Masker/respirator particulat
4. Gaun
5. Perawatan Peralatan pasien
6. Kontrol lingkungan
7. Penatalaksanaan linen
8. Penempatan pasien
9. Hygiene respirasi dan etika batuk
10. Praktek menyuntik aman

3.1.4 Untuk unit laboratorium RS :

1. Ada sarana pembuatan sediaan dahak


2. Ada sarana pewarnaan dahak
3. Ada sarana pemeriksaan mikroskopik
4. Ada sarana penyimpanan sediaan dahak
5. Ada sarana pengelolaan limbah
6. Ada sarana untuk berdahak, sesuai standar ( ventilasi, arah
angina, sinar matahari, sarana cuci tangan )

Pedoman Pelayanan TB DOTS.18


3.1.5 Unit KIE
Ada sarana penyuluhan ( konseling, poster, leaflet ) tentang
TB RS.
3.1.6 Unit Radiologi
Unit ini berfungsi untuk diagnosis foto thoraks

3.2 DENAH RUANG

3.3 STANDAR FASILITAS DAN SARANA


3.3.1 Ruang Poli DOTS
a. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB ( Unit DOTS ) yang
berfungsi sebagai pusat pelayanan TB di RS
b. Ruangan tersebut harus memenuhi persyaratan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi ( PPI – TB ) di RS
c. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB
d. Tersedia sarana bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan
keluarga
1. ART

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET

1 Meja kayu 1 1x2 m


2 Seperangkat computer 1 LG 4 inch
3 Telepon 1 Standart
4 Kursi 3 Standart
5 Lemari 2 1x1,5 m
6 Pengharum ruangan 1 Standart
7 Kipas Angin 1 Standart
8 Jam dinding 1 Standart
9 Lampu baca hasil foto 1 45x45 cm

Pedoman Pelayanan TB DOTS.19


2. ATK

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET

1 Rak file 1 Standarat


2 Map dokumen 1 Standart
3 Staples 1 Standart
3 ALKES

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET


1 Bed pasien 1 Standart
2 Tensimeter 1 Standart
3 Timbangan pasien 1 Standart
4 Stetoskop 1 Onemed Standart

5 Hand Wash 1 Standart

6 Handscrub 1 Botol + Standart Standart

7 Masker 1 Standart

4 OBAT - OBATAN

Untuk obat-obatan masih disimpan diapotik untuk pengambilan


obat.

3.3.2 Ruang Laboratorium


Dikarenakan keterbatasan tempat maka, ruang pemeriksaan dahak
bercampur dengan laborat umum
1. ART

NO NAMA ALAT JUMLAH KLASIFIKASI UKURAN KET

1 Lemari file 1 Standart


Lemari
2 1 30x45x30 cm
laminar

Pedoman Pelayanan TB DOTS.20


3 Bunsen 1 Standart

4 Mikroskop 1 Olimpus cx 21 Inch

5 Kursi 1 Standart
Seperangkat
6 1 Panasonic
AC
Alat pengukur
7 1 Standart
waktu

8 Slide 23

9 Pot sputum 25

10 Box slide 1

2. ALKES

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKASI UKURAN KET

1 Bed pasien 1

2 Kaca sediaan 1

Aplikator dari
1
3 bambu/lidi
Botol berisi pasir
dan desinfektan
untuk 1
membersihkan
4 ose

5 Lampu spiritus 1 Standart

Tempat
pembuangan 1 Standart
6 desinfektan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.21


(misalnya lysol
5%)

7 Masker 1 box

Rak sediaan
untuk meletakkan 1
8 sediaan
Pinset atau
1
9 penjepit kayu
10 Hand wash 1

11 Handscrub 1

12 Pot dahak 50

13 Mikroskop 1

3. OBAT-OBATAN

NO NAMA ALAT JUMLAH SPESIFIKSI UKURAN KET

1 Metylene blue 0,3% 1

2 Karbol fuchin 0,3% 1

Asam alkohol (3%


3 2
HCL dalam ethanol)

4 Spiritus 0,5 lt

Pedoman Pelayanan TB DOTS.22


BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

4.1 PENEMUAN KASUS TUBERKULOSIS


Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB,
pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan
pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan
adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap
fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang
mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara
bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB,
penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan
penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
4.1.1. Strategi penemuan
Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif,
intensif, aktif, dan masif.Upaya penemuan pasien TB harus didukung
dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB
dapat ditemukan secara dini.
1. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif intensif di fasilitas
kesehatan dengan jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix
(PPM), dan kolaborasi berupa kegiatan TB-HIV, TB-DM
(Diabetes Mellitus), TB-Gizi, Pendekatan Praktis Kesehatan paru
(PAL = Practical Approach to Lung health), ManajemenTerpadu
Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit
(MTDS).

Pedoman Pelayanan TB DOTS.23


2. Penemuan pasien TBsecara aktif dan/atau masif berbasis
keluarga dan masyarakat, dapat dibantu oleh kader dari posyandu,
pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini
dapat berupa:
a. Investigasi kontak pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak
erat dengan pasien TB.
b. Penemuan di tempat khusus: Lapas/Rutan, tempat kerja,
asrama, pondok pesantren, sekolah, panti jompo.
c. Penemuan di populasi berisiko: tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh
4.1.2 Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci
berdasar keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala
dan tanda TB yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk
sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga
gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai

Pedoman Pelayanan TB DOTS.24


seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan
pada orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan
pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh,
daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan
kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
- Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan
diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan
menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan
berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
- S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
- P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah
bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau di
bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani rawat inap.
- Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB dengan
metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk
penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan
untuk evaluasi hasil pengobatan.
- Pemeriksaan Biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria
Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium
tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.25


Dalam menjamin hasil pemeriksaan laboratorium,
diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada faskes
yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan
TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem
transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk
menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap
pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan
jika pasien bepergian langsung ke laboratorium.
b.Pemeriksaan Penunjang Lainnya
- Pemeriksaan foto toraks
- Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB
ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada
tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat
tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji
pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan
sertifikat nasional maupun internasional.
d.Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
3.Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa
- Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat tes
cepat molekuler
- Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan
tidak memiliki akses ke tes cepat molekuker.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.26


Alur Diagnosa TB dan TB Resisten Obat di indonesia
Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM

Tidak memiliki akses untuk TCMTB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB


(Sewaktu dan Pagi)

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg


(- -) (+ +) Sensitive Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
TB Terkonfirmasi TB Terkonfirmasi TB RR Foto Toraks
Bakteriologis Bakteriologis
Foto Terapi
Toraks Antibiotika
Non OAT

Mulai Pemeriksaan Gambaran Tidak


Pengobatan Pengobatan Biakan dan Uji mendukung Mendukung
TB TB
Gambaran Tidak TB Lini 1 TB RO Kepekaan OAT
Mendukung Mendukung Lini 1 dan Lini 2
TB TB

Ada Tidak Ada Perbaikan TB RR TB MDR TB Pre XDR TB XDR


Perbaikan Klinis, ada factor
Klinis risiko TB, dan atas
pertimbangan
dokter Lanjutkan Pengobatan TB RO TB Klinis
Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru
TB Klinis Bukan TB
TB Klinis
Pengobatan
TB Lini 1
Cari kemungkinan
Pengobatan
penyebab penyakit lain
TB Lini 1

Pedoman Pelayanan TB DOTS.27


Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang
terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah
pemeriksaan HIV dan gula darah.Pemeriksaan lain dilakukan
sesuai indikasi misalnya fungsi hati,fungsi ginjal dll.

Keterangan alur:

Prinsip penegakan diagnosis TB:

1. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan


terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan
biakan.
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis
TB, sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis
ataupun underdiagnosis.
4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis
- Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler
(TCM) TB:
 Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM,
penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan
dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana
pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat
TCM melampui kapasitas pemeriksaan, alat TCM

Pedoman Pelayanan TB DOTS.28


mengalami kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
 Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan
terduga TB dengan HIV positif, harus tetap diupayakan
untuk dilakukan penegakan diagnosis TB dengan TCM
TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes
cepat molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan
pasien atau rujukan contoh uji.
 Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk
pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas
yang bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu
contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil
indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB
yang bukan kriteria terduga TB RO, pada hasil Rif -
Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke
Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan
Lini2 dengan metode cepat)
 Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan
MTB/RIF terdiri atas cairan serebrospinal (Cerebro
Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan lambung
(gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric
aspirate).
 Pasien dengan hasil Mtb Resistan Rifampisin tetapi
bukan berasal dari kriteria terduga TB RO harus
dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat
perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang
terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
 Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan
TCM ulang. Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan
TB Lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.29


 Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada
semua pasien TB RR, tanpa menunggu hasil
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar.
Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan
pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistensi
terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan
dengan hasil uji kepekaan OAT.
 Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA
(Line Probe Assay) Lini-2 atau dengan metode
konvensional
 Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan
paduan standar TB pre XDR atau TB XDR atau
menggunakan paduan obat baru.
 Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan
pemeriksaan foto toraks. Jika gambaran foto toraks
mendukung TB dan atas pertimbangan dokter, pasien
dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi
klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB
kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab
lain.
- Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler
(TCM) TB
 Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan
mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap
menggunakan mikroskop.
 Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh
uji dapat berasal dari dahak Sewaktu-Sewaktu atau
Sewaktu-Pagi.
 BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji
dahak menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.30


Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada
pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera
ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)
 BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil BTA negatif. Apabila pemeriksaan
secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis
menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang
(setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai
dan ditetapkan oleh dokter.
 Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya
negatif dan tidak memilki akses rujukan
(radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non
kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika
tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik,
pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis
sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud
antara lain:
 Terbukti ada kontak dengan pasien TB
 Ada penyakit komorbid: HIV, DM
 Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan,
tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll.
- Diagnosis TB ekstraparu:
 Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena,
misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada
pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.31


 Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan
dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ
tubuh yang terkena.
 Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk
memastikan kemungkinan TB Paru.
 Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB
ekstraparu dilakukan dengan contoh uji cairan
serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF) pada
kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah
bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum
Halus/BAJAH (Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB)
pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh
uji jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan
lainnya.
- Diagnosis TB Resistan Obat:
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-
RO juga diawali dengan penemuan pasien terduga TB-RO
 Terduga TB-RO Terduga
TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi
resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai
gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di
bawah ini:
o Pasien TB gagal pengobatan Kategori2
o Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak
konversi setelah 3 bulan pengobatan.
o Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan
TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon
dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1
bulan.
o Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.32


o Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak
konversi setelah 2 bulan pengobatan.
o Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan
pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2
o Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up
(lalai berobat/default).
o Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat
dengan pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini
warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian
padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
o Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons
secara bakteriologis maupun klinis terhadap
pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis
awal tidak menggunakan TCM TB).
 Pasien dengan risiko rendah TB RO Selain 9 kriteria
di atas, kasus TB RO dapat juga dijumpai pada kasus
TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan
penegakan diagnosis dengan TCM TB jika fasilitas
memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil
pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR,
maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan sekali
lagi untuk memastikan diagnosisnya.
Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis
menggunakan metode standar yang tersedia di Indonesia
yaitu metode tes cepat molekuler TB dan metode
konvensional. Saat ini metode tes cepat yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan molecular dengan Tes
cepat molekuler TB (TCM) dan Line Probe Assay
(LPA). Sedangkan metode konvensional yang digunakan
adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan MGIT.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.33


- Diagnosis TB pada pasien dengan Ko-morbid
Setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan
penyandang Diabetes Mellitus (DM) pada prinsipnya harus
dievalusi untuk TB meskipun belum ada gejala. Penegakan
diagnosis TB pada ODHA maupun DM sama dengan
diagnosis TB tanpa ko-morbid.
 Diagnosis TB pada ODHA
Gejala klinis pada ODHA seringkali tidak spesifik.
Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan
penurunan berat badan yang signifikan (sekitar 10% atau
lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena
misalnya TB Pleura, TB Pericardius, TB Milier, TB
meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat penegakan
diagnosis TB pada pasien dengan HIV positif maka
diutamakan mengunakan pemeriksaan TCM TB, seperti pada
alur bagan 2 di atas.
 Diagnosis HIV pada pasien TB
o Salah satu tujuan dari kolaborasi TB-HIV adalah
menurunkan beban HIV pada pasien TB. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan kegiatan-
kegiatan yang dapat menjadi pintu masuk bagi pasien
TB menuju akses pencegahan dan pelayanan HIV
sehingga dengan demikian pasien tersebut
mendapatkan pelayanan yang komprehensif.
o Tes dan konseling HIV bagi pasien TB dapat
dilakukan melalui dua pendekatan yaitu:
Providerinitiated HIV testing and counselling (PITC=
Tes HIV Atas Inisiasi Petugas Kesehatan dan
Konseling/TIPK) dan Voluntary Counselling and
Testing (VCT= KT HIV Sukarela/ KTS).

Pedoman Pelayanan TB DOTS.34


o Merujuk pada Permenkes no. 21 tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS, semua pasien TB
dianjurkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK
sebagai bagian dar standar pelayanan oleh petugas TB
atau dirujuk ke layanan HIV.
o Tujuan utama TIPK adalah agar petugas kesehatan
dapat membuat keputusan klinis dan/atau menentukan
pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin
dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang
seperti dalam pemberian terapi ARV.
- Diagnosis TB Pada Anak
Tanda dan gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau
sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit selain TB. Gejala khas TB sebagai berikut:
 Batuk ≥ 2 minggu
 Demam ≥ 2 minggu
 BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
 Lesu atau malaise ≥ 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan
terapi yang adekuat

Pedoman Pelayanan TB DOTS.35


Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB:
- Batuk ≥ 2 minggu - Malaise ≥ 2 minggu
- Demam ≥ 2 minggu - Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan
terapi yang adekuat
- BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya

Pemeriksaan mikroskopis/Tes Cepat Molekuler


(TCM) TB

Positif Negatif Contoh uji tidak diperoleh

Ada akses foto rontgen toraks dan/atau uji Tidak ada akses foto rontgen toraks dan uji
tuberkulin*) tuberkulin

Skoring sistem

Skor ≥6 Skor < 6

Uji tuberkulin (+) Uji tuberkulin (-) dan


dan/atau ada kontak Tidak ada kontak TB
TB paru**) paru**)

TB anak
terkonfirma TB anak klinis Ada Tidak ada/tidak
si kontak jelas kontak pasien
bakteriologi TB TB paru**)
s paru**)

Terapi OAT***) Observasi gejala selama 2 minggu

Menetap Menghilang

Bukan TB
Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi
bakteriologis.
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan
adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau
rujuk.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.36


Tabel 1.Sistim Skoring TB Anak

Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Laporan BTA
positifkeluarga,BTA
Kontak TB Tidak jelas negatif atau tidak BTA positif
--
tahu, BTA tidak
jelas
Positif
(=10mm, atau
Uji Tuberkulin Negatif -- -- =5mm pada
keadaan
imunosupresi)
Klinis gizi buruk
Berat badan / BB/TB<90%
- atau BB/TB<70% -
keadaan gizi BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam tanpa
-- >2 minggu - -
sebab jelas
Batuk - =3 minggu - -
Pembesaran
kelenjar limfe >1 cm, Jumlah
- -
koli, aksila 1 tidak nyeri
inguinal -
Pembengkakan
tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Normal/tidak Gambaran sugestif
-
Foto thoraks jelas TB
SKOR TOTAL MAKSIMAL 13

Pedoman Pelayanan TB DOTS.37


Penjelasan:
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap
merupakan pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB
pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memperoleh
contoh uji dahak, di antaranya induksi sputum. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu
contoh uji diperiksa memberikan hasil positif.
2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak
bergejala namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit
TB. Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan
lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk
menentukan diagnosis TB anak.
3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah
ataupun kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat
bermain, dan sebagainya.
4. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan
perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya
kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis,
adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas
tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud
dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
4.1.3. Definisi Kasus dan Klasifikasi Pasien TB
1. Definisi kasus TB
Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu;
a. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis

Pedoman Pelayanan TB DOTS.38


Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil
pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum dan jaringan)
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau
biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
- Pasien TB paru BTA positif
- Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
- Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
- Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji
jaringan yang terkena.
- TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan
bakteriologis. Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut
di atas harus dicatat.
b. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis
secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif
oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
- Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto
toraks mendukung TB.
- Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan
klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan
mempunyai faktor risiko TB
- Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis
maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi
bakteriologis.
- TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Pasien
TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun

Pedoman Pelayanan TB DOTS.39


setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang
sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
-
2. Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut
datas, pasien juga diklasifikasikan menurut:
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
- Tuberkulosis paru :
Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan)
paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya
lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien
TB paru.
- Tuberkulosis ekstraparu:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran
kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat
ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis
atau klinis.
Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan secara
bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium
tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ,
penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses
TB terberat.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.40


b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
- Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari
28 dosis).
- Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau
lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan
hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
 Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
(4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif
 Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
 Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.
 Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
 Kasus Pindahan (Transfer ln)
Adalah pasien yang dipindahkan ke UPK lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
 Kasus lain:

Pedoman Pelayanan TB DOTS.41


Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik
yaitu pasein dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan:

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga


mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi
kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik,
dan pertimbangan medis spesialistik.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan
contoh uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan
dapat berupa:
- Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis
resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
- Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis
resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
- Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium
tuberculosis resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa
diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
- Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang
sekaligus juga Mycobacterium tuberculosis resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
- Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium
tuberculosis resistan terhadap Rifampisin dengan atau

Pedoman Pelayanan TB DOTS.42


tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau
metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
- Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi
TB/HIV) adalah pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
- Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB
dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil
tes HIV menjadi positif, pasien harus disesuaikan
kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan
HIV positif.
- Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah
pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat
diagnosis TB ditetapkan.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat
diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien harus
disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil
tes HIV terakhir.

4.1.4 PENGOBATAN TUBERKULOSIS


1. Tujuan Pengobatan TB adalah
- Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta
kualitas hidup.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.43


- Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak
buruk selanjutnya.
- Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
- Menurunkan risiko penularan TB.
- Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
2. Prinsip Pengobatan TB:
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting
dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya
paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
- Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
- Diberikan dalam dosis yang tepat.
- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
- Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi
dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan,
sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.
3. Tahapan Pengobatan TB
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal
dan tahap lanjutan dengan maksud:
- Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya

Pedoman Pelayanan TB DOTS.44


penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.

- Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa
sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan
4. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel 2 .OAT lini pertama
Jenis Sifat Efek samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer
(Gangguan saraf
tepi), psikosis
toksik, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu
syndrome(gejala
influenza berat),
gangguan
gastrointestinal,
urine berwarna
merah, gangguan
fungsi hati,
trombositopeni,
demam, skin rash,
sesak nafas,
anemia hemolitik.
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan
gastrointestinal,

Pedoman Pelayanan TB DOTS.45


gangguan fungsi
hati, gout arthritis.
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat
suntikan,
gangguan
keseimbangan dan
pendengaran,
renjatan
anafilaktik,
anemia,
agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol (E) bakteriostatik Gangguan
penglihatan, buta
warna, neuritis
perifer (Gangguan
saraf tepi).

Tabel 3.Pengelompokan OAT lini kedua

Grup Golongan Jenis Obat


A Florokuinolon  Levofloksasin (Lfx)
 Moksifloksasin
(Mfx)
 Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik lini  Kanamisin (Km)
kedua  Amikasin (Am)*
 Kapreomisin (Cm)
 Streptomisin (S)**
C OAT oral lini  Etionamid

Pedoman Pelayanan TB DOTS.46


Kedua (Eto)/Protionamid
(Pto)*
 Sikloserin (Cs)
/Terizidon (Trd)*
 Clofazimin (Cfz)
 Linezolid (Lzd)
D D1 o OAT lini pertama
 Pirazinamid (Z)
 Etambutol (E)
Isoniazid (H)
dosis tinggi

D2 o OAT baru
Bedaquiline (Bdq)
 Delamanid
(Dlm)* 
Pretonamid (PA-
824)*
D3

o OAT tambahan
Asam para
aminosalisilat
(PAS)

Imipenemsilastati
n (Ipm)*
Meropenem
(Mpm)*
Amoksilin
clavulanat (Amx-

Pedoman Pelayanan TB DOTS.47


Clv)*
 Thioasetazon (T)*

Keterangan:

*Tidak disediakan oleh program

**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan


pada kondisi tertentu dan tidak disediakan oleh program

5 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan yang digunakan adalah ;
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
- Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
- Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya
serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Catatan:
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang
digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian
maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan
mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan (
Dosis rekomendasi OAT Lini Pertama untuk pasien Dewasa).
Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang
dalam proses pengadaan oleh Program TB Nasional. Paduan
OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.48


Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1
(satu) masa pengobatan.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol
(E) yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan paduan OAT KDT. Paduan OAT kategori anak
disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien untuksatu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
(1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
 Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
 Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
 Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
Paduan OAT TB RO disediakan dalam bentuk lepasan
dengan dosis yang disesuaikan dengan berat badan pasien.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.49


6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang
digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian
maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan
mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.
Tabel 4.Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa

Dosis yang direkomendasikan ( mg/kg


Jenis OAT Sifat
Hari 3 x seminggu
5 (4-6) 10 (8-12)
Isoniazid ( H ) Bakterisid
Max300mg Max 900mg
10 (8-12) 10 (8-12)
Rifampicin ( R ) Bakterisid
Max 600mg Max 1000mg

Pyrazinamid ( Z ) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)

Streptomycin ( S ) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)

Ethambutol ( E ) Bakteriostatik 15 (15-18) 30 (20-35)

- Kategori-1:
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
 Pasien TB ekstra paru.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.50


o Dosis harian (2(HRZE)/4(HR)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
(2(HRZE)/4(HR))

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat tiap hari 3 kali seminggu
badan selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275

30 - 37 g 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 -70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

>71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

o Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase


lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
(2(HRZE)/4(HR)3)

Berat Tahap Intensif Setiap hari Tahap Lanjutan 3 kali seminggu


Badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
Selama 56 hari Selama 16 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Pedoman Pelayanan TB DOTS.51


Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

Jumlah
Hari/kal
Dosis perhari / kali
i

Tahap Lama Menelan

pengobatan pengobatan Tablet Obat


Tablet Tablet Tablet
Isoniazid
Rifampicin Pirazinamid Ethambutol
@
@450mgr @500mgr @250mgr
300mgr

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - 48

- Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif
yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
 Pasien kambuh.
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori
1 sebelumnya.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up)

Pedoman Pelayanan TB DOTS.52


o Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
Tabel 8.Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

Tahap Intensif Tiap hari RHZE Tahap Lanjutan setiap

Berat (150/75/400/275) + S hari RHE (150/75/275)

badan

Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

2 tab 4KDT + 500mg


30-37kg 2 tab 4KDT 2 tab
Streptomisin inj

3 tab 4KDT + 750mg


38-54kg 3 tab 4KDT 3 tab
Streptomicin Inj

4 tab 4KDT + 1000mg


55-70kg 4 tab 4KDT 4 tab
Streptomicin Inj.

5 tab 4KDT + 1000mg


>71kg 5 tab 4KDT 5 tab
Streptomicin Inj.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.53


o Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase
lanjutan {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}
Tabel 9.Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}

Tahap Lanjutan 3 kali


Tahap Intensif Tiap hari RHZE
seminggu RH (150/150)
Berat (150/75/400/275) + S
+ E(400)
badan

Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu

2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 2KDT + 2 tab


30-37kg 2 tab 4KDT
Streptomisin inj Ethambutol

3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 2 KDT + 3 tab


38-54kg 3 tab 4KDT
Streptomicin Inj Ethambutol

4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 2KDT + 4 tab


55-70kg 4 tab 4KDT
Streptomicin Inj. Ethambutol

5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 2KDT + 5 tab


>71kg 5 tab 4KDT
Streptomicin Inj. Etambutol

Pedoman Pelayanan TB DOTS.54


Tabel 10. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Tahap Lama Tablet Table Tablet Ethambutol Strepto Jumlah


Pengoba Pengobat Isoniazi t Pirazina micin hari/kali
tan an d @ 300 Rifa mid @ Table Table inj menelan
mpici 500mg t t obat
n @ @250 @400
450
Tahap
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 _ 0,75gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 _ _ 28
harian)
Tahap
Lanjutan
dosis 3 x 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
seminggu
)

7. Pengobatan TB pada pasien keadaan khusus

a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir
semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang
akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya

Pedoman Pelayanan TB DOTS.55


proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pengobatan pada umumnya semua jenis OAT aman untuk
menyusui.Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus
mendc paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB
kepada bayinya. Ibu bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus disusui.Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi terse Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan
kontrasepsi non-hormol atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 m).
d. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberi streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid selama 6 bulan.
e. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan
faal sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat
lebih dua kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam
pengobatan, harus dihentikan.Kalau peningkatannya kurang dari
3 kali, pengobatan di dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat.Pasien dan kelainan hati, Pirasinamid (Z)

Pedoman Pelayanan TB DOTS.56


tidak boleh digunakan.Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
f. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di
ekskresi empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa
yang tidak toksik.OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis
standar pada pasiendengan gangguan ginjal.Streptomisin dan
Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena hindari
penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal.Apa
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal
ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk ,pasien dengan
gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes
perlu ditingkatkan.
h. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
a. Meningitis TB
b. TB milier dengan atau tanpa meningitis
c. TB dengan Pleuritis eksudativa
d. TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg
per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama
pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.
i. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi
paru), adalah:

Pedoman Pelayanan TB DOTS.57


- Untuk TB paru:
 Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif.
 Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang
tidak dapat diatasi secara konservatif.
 Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
 Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan
komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai
kelainan neurologik.
8.Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB
a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis.
Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan dengan
pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil dari
pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB
yang terkonfirmasi bakteriologis merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan
hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai
pengobatan tahap lanjutan. Pemberian OAT sisipan sudah tidak
dilakukan.
Semua pasien TB baru yang tidak konversi pada akhir 2
bulan pengobatan tahap awal, tanpa pemberian paduan sisipan,
pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap lanjutan. Pemeriksaan
dahak diulang pada akhir bulan-3 pengobatan. Bila hasil tetap
BTA positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB RO.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.58


Semua pasien TB pengobatan ulang yang tidak konversi akhir
tahap awal ditetapkan juga sebagai terduga TB-RO.
Semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak
selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke 5 pengobatan.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh
dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang
dahak kembali pada akhir pengobatan. Bilamana hasil
pemeriksaan mikroskopis nya positif pasien dianggap gagal
pengobatan dan dimasukkan kedalam kelompok terduga TB-
RO.
Pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai
kemajuan hasil pengobatan pasien TB ekstra paru (ISTC Standar
10). Sebagaimana pada pasien TB BTA negatif, perbaikan
kondisi klinis merupakan indikator yang bermanfaat untuk
menilai hasil pengobatan, antara lain peningkatan berat badan
pasien, berkurangnya keluhan, dan lain-lain.
Tabel 11. Pemeriksaan dahak ulang untuk
pemantauan hasil pengobatan
KATEGORI BULAN PENGOBATAN
PENGOBATAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Pasien baru (====) (====) (-------) (-------) (-------) (-------)
2(HRZE)/4(HR)ӡ X (X) X X
apabila apabila apabila
hasilnya hasilnya hasilny
BTA BTA a BTA
positif, positif, positif,
dinyatakan dinyatakan dinyata
tidak gagal * kan
konversi*. gagal*.
Pasien (====) (====) (====) (-------) (-------) (-------) (------- ) -------)

Pedoman Pelayanan TB DOTS.59


pengobatan X (X) X X
ulang 2(HRZE)S apabila apabila apabila
/(HRZE)/ hasilnya hasilnya hasilnya
5(HR)ӡEӡ BTA BTA BTA
positif, positif, positif,
dinyatak dinyatakan dinyatak
an tidak gagal* an gagal*
konversi
*

Keterangan :
(====) : Pengobatan tahap awal
(-------) : Pengobatan tahap lanjutan
X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan
pengobatan untuk memantau hasil pengobatan
( X ) : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan
hanya apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap
awal hasilnya BTA(+)
o Jika pasien tidak konversi atau pasien gagal,
lakukan pemeriksaan dengan tes cepat tes cepat
molekuler TB, apabila hasil nya Resisten
Rifampisin rujuk ke RS rujukan MDR Pasien dan
lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
Apabila hasil nya negative atau Sensitif Rifampisin
lanjutkan pengobatan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.60


b. Tata laksana pasien yang berobat tidak teratur
Tata laksana pasien yang berobat tidak teratur dapat dilihat
pada tabel;

Tabel 12. Tata laksana pasien yang berobat tidak teratur

Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan
•Dilakukan pelacakan pasien
•Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat
•Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi *
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 – 2 bulan
Tindakan pertama Tindakan kedua
 Lacak pasien Apabila Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
 Diskusikan hasilnya pengobatan terpenuhi*
dengan BTA
pasien untuk negatif
mencari atau pada
faktor awal
penyebab pengobatan
putus berobat adalah
 Periksa pasien TB
dahak ekstra paru
dengan 2 Apabila Total dosis Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa
sediaan salah satu pengobatan sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi
contoh uji atau lebih sebelumnya ≤
dan hasilnya 5 bulan
melanjutkan BTA
pengobatan positif
sementara
Total dosis  Kategori 1 :

Pedoman Pelayanan TB DOTS.61


pengobatan 1. Lakukan pemeriksaan tes cepat
sebelumnya ≥ 2. Berikan Kategori 2 mulai dari awal **
5 bulan  Kategori 2 : Lakukan pemeriksaan TCM TB
atau dirujuk ke RS Rujukan TB MDR ***
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up)
 Lacak pasien Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan
 Diskusikan dengan oleh dokter tergantung pada kondisi klinis
pasien untuk Apabila hasilnya pasien, apabila:
mencari faktor BTA negatif atau 1. .sudah ada perbaikan nyata: hentikan
penyebab putus pada awal pengobatan pengobatan dan pasien tetap diobservasi.
berobat adalah pasien TB Apabila kemudian terjadi perburukan
 Periksa dahak ekstra paru kondisi klinis, pasien diminta untuk periksa
dengan 2 sediaan kembali atau
contoh uji dan atau 2. belum ada perbaikan nyata:
TCM TB lanjutkanpengobatan dosis yang tersisa

 Hentikan sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi

pengobatan *

sementara
menunggu hasilnya

Apabila salah satu Kategori 1


atau lebih hasilnya Dosis pengobatan Berikan pengobatan
BTA positifdan tidak sebelumnya Kat. 1 mulai dari awal
ada bukti resistensi Dosis pengobatan Berikan pengobatan
sebelumnya > 1 bln Kat. 2 mulai dari awal
Kategori 2
Dosis pengobatan Berikan pengobatan
sebelumnya < 1 bln Kat. 2 mulai dari awal
Dosis pengobatan Dirujuk ke layanan
sebelumnya > 1 bln spesialistik untuk

Pedoman Pelayanan TB DOTS.62


pemeriksaan lebih
lanjut
Apabila salah satu Kategori 1 maupun Kategori 2 Dirujuk ke RS
atau lebih hasilnya rujukan TB MDR
BTA positif dan ada
bukti resistensi

(dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National


Programme, WHO, 2003)
Keterangan :
* Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis
pengobatan terpenuhi dan dilakukan pemeriksaan ulang
dahak kembali setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada
bulan ke 5 dan AP
** Jika tersedia sarana TCM, tunggu hasil pemeriksaan dengan
TCM sebelum diberikan OAT Kategori 2. Jika sarana TCM
tidak memungkinkan segera dilakukan, sementara menunggu
hasil pemeriksaan TCM pasien dapat diberikan pengobatan
paduan OAT kategori 2.
***Sementara menunggu hasil pemeriksaan TCM pasien tidak
diberikan pengobatan paduan OAT

Tabel 13. Hasil Pengobatan Pasien TB

Hasil pengobatan Definisi


Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal
pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan
menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana
lengkap pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif

Pedoman Pelayanan TB DOTS.63


namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama masa pengobatan; atau kapan
saja dalam masa pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau
sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya
(loss to follow- terputus terus menerus selama 2 bulan atau lebih.
up)
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk
dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota
lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota
yang ditinggalkan

9. Pengobatan Pasien TB - RO

Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) adalah suatu


keadaan di mana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat
dibunuh dengan obat anti TB (OAT) lini pertama.
a.Prinsip Pengobatan TB-RO
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB
RO mengacu kepada strategi DOTS.
- Semua pasien yang sudah terbukti TB RO ataupun Resistan
Rifampisin berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M.
tuberculosis baik dengan TCM TB maupun metode
konvensional harus segera dimulai pengobatan TB RO yang
baku dan bermutu.
- Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal
termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.64


- Paduan OAT untuk pasien TB RO adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua dan lini pertama. Paduan OAT
tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru
- Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB
MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT
MDR diputuskan oleh dokter dan atau TAK yang sudah
dilatih, dengan masukan dari tim terapik jika diperlukan.
- Inisiasi pengobatan TB RO dapat dimulai di Puskesmas yang
telah terlatih. Pemeriksaan Laboratorium penunjang dapat
dilakukan dengan melakukan jejaring rujukan ke RS Rujukan.
- Pada pasien TB MDR dengan penyulit yang tidak dapat
ditangani di Puskesmas, rujukan ke RS harus dilakukan
- Prinsip ambulatory, seperti halnya pengobatan TB non MDR.
Hanya pasien dengan kondisi dan atau komplikasi khusus yang
memerlukan rawat inap di RS atau fasyankes.
- Pengawasan menelan obat dilakukan oleh petugas kesehatan di
fasyankes. Jika pemberian OAT MDR dilakukan di rumah
pasien, maka pengawasan menelan obat dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan/kader yang ditunjuk, atau oleh keluarga
pasien dengan sebelumnya sudah disepakati oleh petugas
kesehatan dan pasien.
- Pasien TB RO yang memulai pengobatan TB MDR di RS
Rujukan dapat dilanjutkan pengobatannya di
Puskesmas/fasyankes terdekat dengan tempat tinggal pasien.
Proses desentralisasi (perpindahan) pasien dari RS Rujukan ke
Puskesmas/Fasyankes dilakukan dengan persiapan
sebelumnya.
Pada prinsipnya semua pasien TB ROharus mendapatkan
pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.
Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB

Pedoman Pelayanan TB DOTS.65


RO harus dieksklusi dari pengobatan atau tidak dapat
mendapatkan penanganan. Kondisi pada tabel adalah kondisi
khusus yang harus diperhatikan oleh semua faskes yang
menangani pasien TB RO, terutama oleh TAK sebelum memulai
pengobatan TB RO.
Tabel 14.Pasien TB Resistan Obat dengan kondisi
khusus
1. Penyakit penyerta yang Kondisi berat karena penyakit utama atas dasar riwayat dan
berat (ginjal, hati, epilepsi pemeriksaan laboratorium
dan psikosis)
2. Kelainan fungsi hati. Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai normal atau terbukti
menderita penyakit hati kronik.
3. Kelainan fungsi ginjal. kadar kreatinin > 2,2 mg/dl
4. Ibu Hamil Wanita dalam keadaan hamil.

Pada kasus seperti di atas, pasien sebaiknya dirujuk ke RS


Rujukan TB MDR untuk memulai pengobatan di RS Rujukan.
b.Pengobatan TB Resistan Obat
Pengobatan pasien TB Resistan Obat menggunakan paduan
OAT Resistan Obat yang terdiri dari OAT lini kedua dan lini
pertama, yaitu:
- Paduan pengobatan TB Resistan Obat standar konvensional
(20-26 bulan)
Pilihan paduan OAT Resistan Obat saat ini adalah
paduan standar, yang pada permulaan pengobatan akan
diberikan sama kepada semua pasien TB Resistan Obat.
 Paduan standar yang diberikan adalah:
Km – Lfx – Eto – Cs – Z– (E)– (H) / Lfx– Eto – Cs – Z– (E)– (H)
 Paduan standar diberikan pada pasien yang sudah
terkonfirmasi TB RR secara laboratoris (hasil tes cepat atau
metode konvensional).

Pedoman Pelayanan TB DOTS.66


 Pengobatan dengan standar dapat dimulai berdasarkan hasil
Tes cepat molekuler TB yang menyatakan TB RR
 Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai
telah ada resistansi, misalnya pasien sudah pernah mendapat
fluorokuinolon pada pengobatan TB sebelumnya maka
diberikan Levofloksasin dosis tinggi atau Moksifloksasin.
Sedangkan pada pasien yang sudah mendapatkan
Kanamisin sebelumnya maka diberikan Kapreomisin
sebagai bagian dari paduan OAT standar yang diberikan.
 Paduan OAT Resistan Obat standar tersebut di atas akan
disesuaikan paduan atau dosisnya jika:
o Terdapat bukti tambahan resistansi terhadap OAT
lainnya berdasarkan hasil uji kepekaan konvensional
untuk OAT lini pertama dan lini kedua.
o Terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah
diketahui, maka obat bisa diganti bila tersedia obat
pengganti atau dihentikan, contoh:
 Apabila pasien mengalami efek samping karena
Sikloserin misalnya muncul gangguan kejiwaan maka
Sikloserin dapat diganti dengan PAS.
 Apabila pasien mengalami gangguan pendengaran
karena Kanamisin, maka Kanamisin dapat diganti
dengan Kapreomisin
 Apabila pasien mengalami gangguan pengelihatan
disebabkan oleh Etambutol maka pemberian Etambutol
bisa dihentikan.
 Dosis atau frekuensi disesuaikan bila:
o terjadi perubahan kelompok berat badan
o terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak
tersedia

Pedoman Pelayanan TB DOTS.67


- Paduan pengobatan TB RO jangka pendek (9-11 bulan)
Paduan pengobatan 9 bulan terdiri dari:
4-6 Km – Mfx – Pto – H – Cfz – E-Z / 5 Mfx – Cfz – E-Z
Paduan ini diindikasikan untuk pasien yang
diperkirakan tidak resistan terhadap fluorokuinolon dan obat
injeksi lini kedua berdasarkan riwayat pengobatan dan atau
hasil uji kepekaan obat baik molekuler maupun fenotipik.
Pasien yang terbukti resistan atau kemungkinan resistan
terhadap FQ dan/atau obat injeksi lini kedua atau memiliki
kontraindikasi penggunaan paduan pengobatan 9 bulan akan
diberikan paduan pengobatan sesuai dengan tipe resistensinya.

Pasien akan mendapatkan terapi selama 9–11 bulan,


tergantung durasi fase intensif dan selanjutnya dimonitor
selama minimal 12 bulan.

- Paduan pengobatan TB RO individual


 Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin (TB
pre-XDR), maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto–Cs–Z– (E)– (H)/ Lfx – Eto – Cs–Z – (E)– (H)

 Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon


(TB pre-XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Km – Mfx – Eto –Cs – PAS –Z – (E)– (H)/ Mfx – Eto – Cs –
PAS –Z – (E)– (H)

 Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan


fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Mfx – Eto –Cs– PAS –Z– (E)– (H)/ Mfx – Eto – Cs – PAS–Z –
(E)– (H)

Pedoman Pelayanan TB DOTS.68


 Saat ini program telah menyediakan OAT grup-5
(Bedaquiline, Linezolide, Clofazimin) dalam jumlah dan
pemakaian terbatas untuk uji pendahuluan dan akan
dikembangkan.
Sementara ini ketersediaan OAT grup-5 yaitu Bedaquilin,
Linezolid dan Klofazimin khusus diperuntukkan bagi:
o Alternatif paduan bagi pasien TB XDR dimana semua
obat injeksi lini dua dan kuinolon cadangan sudah pernah
dipakai.
Eto – Cs – PAS – Z – (E) –Bdq – Lnz– Cfz/Eto – Cs – PAS –
Z – (E) – Lnz– Cfz

o Pasien TB Pre XDR resistan kuinolon tetapi sensitif


dengan obat injeksi lini kedua
Km - Eto – Cs – PAS – Z – (E) - Bdq/ Eto – Cs – PAS – Z –
(E)

o Pasien dengan alergi atau efek samping berat terhadap 2


atau lebih dari obat bakteriostatik oral lini kedua (Grup
4) sedangkan injeksi lini kedua dan golongan kuinolon
masih bisa dipakai

Km – Lfx – (Eto/Cs/PAS) – Z – (E) -Bdq – (Lnz /Cfz)/ Lfx –


(Eto/Cs/PAS) – Z – (E) – (Lnz /Cfz)

o Penggunaan Obat Delamanid dan obat/paduan baru


untuk TB MDR mengikuti pedoman nasional.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.69


- Dosis OAT Resistan Obat
Dosis OAT Resistan Obat ditetapkan oleh TAK di faskes
rujukan dan oleh dokter yang sudah dilatih di faskes;
penetapan dosis berdasarkan kelompok berat badan pasien.
Tabel 15.Perhitungan dosis OAT Resistan Obat
Berat Badan (BB)> 30 kg
OAT Dosis Harian 30-35 kg 36-45 kg 46-55 kg 56-70 kg >70 kg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 625- 750 875- 1000 1000 mg 1000 mg
mg mg
Kapreomisin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 600- 750 750- 800 1000 mg 1000 mg
mg mg
Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 800 mg 1000 mg 1200 mg 1600 mg 2000 mg
Etambutol 15-25 mg/kg/hari 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1200 mg
Isoniasid 4-6 mg/kg/hari 150 mg 200 mg 300 mg 300 mg 300 mg
Levofloksasin 750 mg/ har 750 mg 750 mg 750 mg 750- 1000 mg
(dosis standar) 1000 mg
Levofloksasin 1000 mg/ hari 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
(dosis tinggi)
Moksifloksasin 400 mg/ hari 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserina 500-750 mg/ hari 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
Etionamida 500-750 mg/ hari. 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
Asam PASa 8 g/hari 8g 8g 8g 8g 8g
Sodium PASb 8 g/ hari. 8g 8g 8g 8g 8g
Bedaquilinc 400 mg/ hari 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
Linezolid 600 mg/ hari 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg
Klofazimind 200–300 mg/ hari 200 mg 200 mg 200 mg 300 mg 300mg

Keterangan:
1. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan
dalam dosis terbagi untuk mengurangi terjadinya efek

Pedoman Pelayanan TB DOTS.70


samping. Selain itu pemberian dalam dosis terbagi
direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan
ART.
2. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan
Asam PAS dan bisa diberikan dalam dosis terbagi.
Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi dalam hal
persentase kandungan aktif per berat (w/w) maka
perhitungan khusus harus dilakukan. Misal Sodium
PAS dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr
akan memiliki kandungan aktif sebesar 2,4 gr.
3. Bedaquilin diberikan 400 mg/ hari dosis tunggal selama
2 minggu, dilanjutkan dengan dosis 200 mg intermiten
3 kali per minggu diberikan selama 22 minggu (minggu
3-24). Pada minggu ke 25 pemberian Bedaquilin
dihentikan.
4. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per
hari dosis tunggal selama 2 bulan, dilanjutkan dengan
dosis 100 mg per hari.
- Lama dan cara pemberian pengobatan TB Resistan Obat
standar konvensional
 Lama pengobatan pasien TB resistan obat adalah:
o Pasien baru/belum pernah diobati dengan pengobatan
TB RR/ RO:
 Lama pengobatan adalah 18 bulan setelah konversi
biakan.
 Lama pengobatan paling sedikit 20 bulan.
 Pasien sudah pernah diobati dengan pengobatan TB RR/
RO atau pasien TB XDR:
o Lama pengobatan adalah 22 bulan setelah konversi
biakan
o Lama pengobatan paling sedikit 24 bulan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.71


- Pengobatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
 Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan
menggunakan obat oral dan obat suntikan kanamisin atau
kapreomisin.
o Pasien baru:
 Lama tahap awal adalah 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan.
 Diberikan sekurang-kurangnya selama 8 bulan.
o Pasien sudah pernah diobati atau pasien TB XDR:
 Lama tahap awal adalah 10 bulan setelah terjadi
konversi biakan.
 Diberikan sekurang-kurangnya selama 12 bulan

Tabel 16. Lama Pengobatan


Tipe pasien Bulan konversi Lama tahap awal Lama pengobatan Lama tahap
(a) (b) lanjutan (b-a)
Baru Bulan 0-2 8 bulan 20 bulan 12 bulan
Bulan 3-4 8 bulan Tambah 18 bulan 13 – 14 bulan
dari bulan
konvers
Bulan 5-8 Tambah 4 bulan Tambah 18 bulan 12 bulan
dari bulan konversi dari bulan
konversi
Pernah Bulan 0-2 12 bulan 24 bulan 12 bulan
diobati atau Bulan 3-4 Tambah 13 bulan Tambah 22 bulan 12 bulan
TB XDR dari bulan konversi dari bulan
konversi
Bulan 5-8 Tambah 10 bulan Tambah 22 bulan 12 bulan
dari bulan konversi dari bulan
konversi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.72


Keterangan :
 Pasien Baru adalah pasien yang belum pernah
diobati atau pernah diobati dengan paduan OAT
Resistan Obat kurang dari satu bulan.
 Pasien yang pernah diobati adalah pasien yang
pernah diobati dengan paduan OAT Resistan Obat
lebih dari satu bulan.
 Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai
pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan
dihentikan.
o Pasien Baru: Lama tahap lanjutan adalah 12-14 bulan.
o Pasien pernah diobati TB RR/ ROatau pasien TB
XDR: Lama tahap lanjutan adalah 12 bulan
o Satuan bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis
yang diberikan, bukan bulan kalender. Satu bulan
pengobatan adalah bila pasien mendapatkan 28 dosis
pengobatan (1 bulan = 4 minggu = 28 hari).
o Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap
awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT =
Directly Observed Treatment dengan PMO diutamakan
adalah tenaga kesehatanselama tahap awal, sedang pada
tahap lanjutan dapat juga dilaksanakan oleh kader
kesehatan terlatih
o Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.
o Cara pemberian obat:
 Tahap awal:
 Suntikan diberikan 5 kali seminggu (Senin-
Jumat),
 Obat per-oral diberikan 7 kali seminggu
(SeninMinggu).

Pedoman Pelayanan TB DOTS.73


 Jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan
minimal 224 dosis dan suntikan minimal 160
dosis.
 Tahap lanjutan:
 Obat per oral diberikan 7 kali dalam seminggu
(Senin-Minggu)
 Obat suntikan sudah tidak diberikan pada tahap
ini.
 Jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan
minimal 336 dosis)
o Pada pengobatan TB Resistan Obat dimungkinkan
terjadinya pemberian obat dengan dosis naik bertahap
(ramping dose/incremental dose) yang bertujuan untuk
meminimalisasi kejadian efek samping obat. Tanggal
pertama pengobatan adalah hari pertama pasien bisa
mendapatkan obat dengan dosis penuh. Lama
pemberian ramping dose tidak lebih dari 1 (satu)
minggu.
o Piridoksin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang
mendapat sikloserin dengan dosis 50 mg untuk setiap
250 mg sikloserin.
o Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid,
etambutol dan fluoroquinolon diberikan sebagai dosis
tunggal. Sedangkan etionamid, sikloserin dan PAS
(obat golongan 4) dapat diberikan sebagai dosis terbagi
untuk mengurangi efek samping jika terjadi efek
samping yang berat atau pada kasus TB RO/HIV.
o Pada saat memulai pengobatan, penulisan paduan
standar obat TB Resistan untuk tujuan peresepan adalah
sebagai berikut:

Pedoman Pelayanan TB DOTS.74


 Paduan standar TB Resistan Obat untuk pasien baru:
8 Km5 – Lfx7 – Eto7 – Cs7 – Z7– (E)7 – (H)7 / 12
Lfx7 – Eto7 – Cs7 – Z7– (E)7– (H)7

 Paduan standar untuk pasien yang pernah diobati TB


Resistan Obat:
12 Km5 – Lfx7 – Eto7 – Cs7 – Z7-(E)7 – (H)7 / 12
Lfx7 – Eto7 – Cs7 – Z7-(E)7– (H)7

Keterangan :
 Angka di depan obat menunjukkan jumlah bulan
 Angka di belakang bawah obat menunjukkan hari
pemberian per minggu
 Tanda slash (/) untuk membedakan tahap
pengobatan
 Tanda kurung () menunjukkan obat dapat
diberikan atau tidak sesuai ketentuan. *Catatan:
Angka bulan nantinya akan menyesuaikan
dengan bulan konversi biakan.
- Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB RO
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan
meliputi pemantauan secara klinis dan pemantauan
laboratorium seperti pada tabel 17 berikut.
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau
secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB berupa
batuk, berdahak, demam dan BB menurun, pada umumnya
membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons
pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.75


biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari
menunjukkan hasil negatif yang semula biakan positif
Tabel17. Pemantauan pengobatan TB- RO
Pemantauan Bulan pengobatan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan √ Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan
dahak dan
biakan dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
(termasuk BB)
Uji kepekaan √ Berdasarkan indikasi
obat
Foto toraks √ √ √ √
Ureum, √ 1-3 minggu
Kreatinin sekali selama
suntikan
Elektrolit (Na, √ √ √ √ √ √ √
Kalium, Cl)
EKG √ Setiap 3 bulan sekali
Thyroid √ √ √ √
stimulating
hormon (TSH)
Enzim hepar √ Evaluasi secara periodik
(SGOT, SGPT)
Tes kehamilan √ Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap √ Berdasarkan indikasi
Audiometri √ Berdasarkan indikasi
Kadar gula darah √ Berdasarkan indikasi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.76


Asam Urat √ Berdasarkan indikasi
Tes HIV √ dengan atau tanpa faktor risiko

- Evaluasi Akhir Pengobatan TB RO.


 Sembuh
o Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
pedoman pengobatan TB RO tanpa bukti terdapat
kegagalan, dan
o Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-
turut dengan jarak pemeriksaan minimal 30 hari
selama tahap lanjutan.
 Pengobatan
Lengkap Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan
sesuai pedoman pengobatan TB RO tetapi tidak
memenuhi definisi sembuh maupun gagal.
 Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB RO.
 Gagal
Pengobatan TB RO dihentikan atau membutuhkan
perubahan paduan pengobatan TB RO yaitu ≥ 2 obat TB
RO yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa
kondisi di bawah ini yaitu:
o Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-
8 pengobatan.
o Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah
sebelumnya konversi).
o Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB
RO golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua.
o Terjadi efek samping obat yang berat.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.77


 Lost to Follow-up
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan
berturut-turut atau lebih.
 Tidak di Evaluasi Pasien yang tidak mempunyai/tidak
diketahui hasil akhir pengobatan TB RO termasuk pasien
TB RO yang pindah ke fasyankes di daerah lain dan hasil
akhir pengobatan TB RO nya tidak diketahui.
- Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan
Lengkap
Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dengan tujuan
untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca pengobatan.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik,
pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks, dilakukan setiap
6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan
keluhan TB.
C. Pengobatan TB Pada Anak
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk
paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet
OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 dan 2 jenis obat dalam
satu tablet (2HRZ/4HR 3). Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.

Tabel 18. OAT yang dipakai dan dosisnya

Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping


(mg/kgBB/ hari) (mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.78


kulit, hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman
mata berkurang, buta
warna merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal

Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih


sedikit (pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4
macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak
dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB
pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH,
Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama
kemudian diikuti oleh Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase
lanjutan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.79


Tabel 19. Paduan OAT pada anak

Kategori Diagnostik Fase Intensif Fase Lanjutan


TB Paru BTA negative 2HRZ 4HR
TB Kelenjar
Efusi pleura TB
TB Paru BTA positif 2HRZE 4HR
TB paru dengan kerusakan luas
TB ekstraparu (selain TB Meningitis
dan TB Tulang/sendi)
TB Tulang/sendi 2HRZE 10 HR
TB Millier
TB Meningitis

Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi :
1. TB Meningitis,
2. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial
TB)
3. Perikarditis TB
4. TB milier dengan gangguan napas yang berat,
5. Efusi pleura
6. TB abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison
dengan dosis 2mg/kg/hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus
sakit berat, dengan dosis maksimal 60mg/hari selama 4
minggu. Tappering-off dilakukan secara bertahap setelah 2
minggu pemberian kecuali pada TB meningitis pemberian
selama 4 minggu sebelum tappering-off .

Pedoman Pelayanan TB DOTS.80


Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed
Dose Combination) Untuk mempermudah pemberian OAT
sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket
KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin
(R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg,
serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam
satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 20. Dosis kombinasi pada TB anak


Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150) 4 bulan (RH (75/50)
5–7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3tablet 3tablet
17 – 22 4tablet 4tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah,
tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap, dan
sebaiknya dirujuk ke RS
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet
yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu
3. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat
Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan
berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran

Pedoman Pelayanan TB DOTS.81


4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh
dibelah, dan tidak boleh digerus)
5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh,
dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air
dalam sendok (dispersable)
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling
cepat 1 jam setelah makan
7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH
tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari
8. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer,
maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan
dicampur dalam satu puyer
- Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB anak
 Tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk
melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya
efek samping obat dan tahap lanjutan pasien kontrol tiap
bulan.
 Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan
pasien harus dievaluasi.
 Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
yang terdapat pada awal diagnosis berkurang misalnya
nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai
dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan
kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap
dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap.
 Tes uji Tuberkulin hanya digunakan untuk diagnosis,
bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.82


 Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat
dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan foto rontgen dada.
 Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil
pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan
pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan
pasien.
- Tata laksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur
 Ketidak patuhan minum OAT pada pasien TB merupakan
penyebab kegagalan pengobatan.
 Jika anak tidak minum obat >2 minggu di tahap intensif
atau > 2 bulan di tahap lanjutan dan menunjukkan gejala
TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal. Jika anak
tidak minum obat < 2 minggu di tahap intensif atau < 2
bulan di tahap lanjutan dan menunjukkan gejala TB,
lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
 Pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB-RO.
d.Pengobatan TB pada ODHA
1. Diantara pasien TB yang mendapatkan pengobatan, angka
kematian pasien TB dengan HIV positif lebih tinggi
dibandingkan dengan yang HIV negatif. Angka kematian lebih
tinggi pada ODHA yang menderita TB paru dengan BTA
negatif dan TB ekstra paru oleh karena pada umumnya pasien
tersebut lebih imunosupresi dibandingkan ODHA dengan TB
yang BTA positif.
2. Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA termasuk wanita
hamil prinsipnya adalah sama seperti pada pasien TB lainnya.
Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV,
dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.83


angka kesakitan dan kematian. Pengobatan ARV sebaiknya
dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah
dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik .
3. Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah
apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau
tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya
pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan
pengobatan ARV
4. Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk
pasien ke unit HIV atau RS rujukan ARV untuk
mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.
5. Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS
RS dapat membantu dalam melakukan persiap
6. Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu
memberikan tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di
RS rujukan ARV atau satelitnya. Sedangkan untuk pengobatan
TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun yang
terintegrasi di dalam unit PDP.
7. Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak
lagi dijumpai reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi
obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke Puskesmas/unit RS
DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap
diberikan oleh unit HIV.
8. Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan
pelayanan pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat
adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV agar
pengobatan dapat berhasil dengan baik.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.84


e. Pengawasan langsung menelan obat
Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku
pedoman ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru
tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Agar hal hal
tersebut tercapai, sangat penting memastikan bahwa pasien
menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran, dengan
pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan
Obat) untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat
pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar
dapat memberikan kenyamanan. Pasien bisa memilih datang ke
fasyankes terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang
berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit,
pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
- Persyaratan PMO
 Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus
disegani dan dihormati oleh pasien.
 Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
 Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan
bersamasama dengan pasien.
- Siapa yang bisa jadi PMO?
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan
di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan
lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya
atau anggota keluarga.
- Tugas seorang PMO
 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.85


 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur.
 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan.
 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB
yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti
kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan
kesehatan. Pada saat pasie mengambil obat, diupayakan
bahwa dosis hari itu ditelan di depan petugas keseheatan.
Pada pengobatan TB RO, pengawasan menelan obat
dilakukan oleh petugas kesehatan di fasyankes. Pada
beberapa kondisi tertentu, pemberian OAT MDR dilakukan
di rumah pasien, maka pengawasan menelan obat dapat
dilakukan oleh petugas kesehatan/kader yang ditunjuk, atau
oleh keluarga pasien dengan sebelumnya sudah disepakati
oleh petugas kesehatan dan pasien
- Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
 TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau
kutukan.
 TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
 Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan
dan cara pencegahannya.
 Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan).
 Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara
teratur.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.86


4.1.5 EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA

Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat


dengan pendekatan gejala.

Tabel 21. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, Semua OAT diminum malam


Mual, sakit perut Rifampicin sebelum tidur

Nyeri Sendi Pyrazinamid Beri Aspirin


Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100
terbakar di kaki mg perhari

Warna kemerahan pada Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa tapi


air seni / urine perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 22. Efek samping berat OA T

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk penalaksanaan


pada kulit OAT dibawah
Tuli Streptomycin Streptomycin dihentikan, ganti
Ethambutol
Gangguan Streptomycin Streptomycin dihentikan, ganti
keseimbangan Ethambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
lain OAT ikterus menghilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT segera
muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati
ikterus karena obat)

Pedoman Pelayanan TB DOTS.87


Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan Ethambutol

Purpura dan renjatan Rifampycin Hentikan Rifampycin


(syok)

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping "gatal dan


kemerahan kulit
jika seorang pasien dalam pengobatan OA T mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu
antihistmin sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-
gatal terus pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien
malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini,
hentikan semua OAT Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping, bertambah berat, pasien perlu dirujuk
Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara "drug challenging" der
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
2. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi
hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk
membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas ka reakasi hipersensitivitas.
3. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah
diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin,
maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat
tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.
Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.88


4. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas
(kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini
merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan
obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan
desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB
dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi
keracunan yang berat.
4.1.6 Pmberian kekebalan dan pengobatan pencegahan
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit
yang berat adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi
dan pengobatan pencegahan (profilaksis).
1. Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup
yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis.
Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin.
Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman
Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB
berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan
pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan
karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
a. Bayi terlahir dari ibupasien TB BTA positif Bayi yang terlahir
dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan
amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari
ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko

Pedoman Pelayanan TB DOTS.89


tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dirujuk. Vaksinasi BCG dilakukan
sesuai alur tata laksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB
atau ibu sakit TB
b. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Vaksinasi BCG tidak boleh diberikan pada bayi yang
terinfeksi HIV karena meningkatkan risiko BCG diseminata.
Di daerah yang endemis TB/HIV, bayi yang terlahir dari ibu
dengan HIV positif namun tidak memiliki gejala HIV boleh
diberikan vaksinasi BCG. Bila pemeriksaan HIV dapat
dilakukan, maka vaksinasi BCG ditunda sampai status HIVnya
diketahui.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi
setelah vaksinasi BCG. Komplikasi paling sering termasuk
abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis supuratif dan
pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh
selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi
lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan.
Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin
memerlukan rujukan.
c. Limfadenitis BCG
Limfadenitis BCG merupakan komplikasi vaksinasi
BCG yang paling sering. Definisi limfadenitis BCG adalah
pembengkakan kelenjar getah bening satu sisi setelah vaksinasi
BCG. Limfadenitis BCG dapat timbul 2 minggu sampai 24
bulan setelah penyuntikan vaksin BCG (sering timbul 2-4
bulan setelah penyuntikan), terdapat 2 bentuk limfadenitis
BCG, yaitu supuratif dan non supuratif. Tipe non supuratif
dapat hilang dalam beberapa minggu. Tipe supuratif ditandai
adanya pembekakan disertai kemerahan, edem kulit di atasnya,
dan adanya fluktuasi. Kelenjar getah bening yang terkena

Pedoman Pelayanan TB DOTS.90


antara lain supraklavikula, servikal, dan aksila, dan biasanya
hanya 1-2 kelenjar yang membesar.
Diagnosis ditegakkan bila terdapat pembesaran kelenjar
getah bening sisi yang sama dengan tempat penyuntikan vaksin
BCG tanpa penyebab lain, tidak ada demam atau gejala lain
yang menunjukkan adenitis piogenik. Limfadinitis tuberkulosis
sangat jarang terjadi hanya di aksila saja. Pemeriksaan
sitopatologi dari sediaan aspirasi BCG limfadenitis tidak
berbeda dengan limfadenitis tuberkulosis.
Limfadenitis BCG non-supuratif akan sembuh sendiri
dan tidak membutuhkan pengobatan. Pada limfadenitis BCG
supuratif yang dilakukan aspirasi jarum memberikan
kesembuhan lebih tinggi (95% vs 68%) dan lebih cepat (6,7 vs
11,8 minggu) dari kontrol. Eksisi hanya dilakukan bila terapi
aspirasi jarum gagal atau pada limfadenitis BCG multinodular.
4.1.7 Pengobatan Pencegahan dengan INH
Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA,
pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) dapat
diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada
kontraindikasi terhadap INH. Dosis INH yang diberikan adalah 300
mg per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah
Vitamin B6 25 mg per hari selama 6 bulan.
1. Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH)
pada anak
PP INH diberikan kepada anak umur dibawah lima tahun
(balita) yang mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi tidak
terbukti sakit TB

Pedoman Pelayanan TB DOTS.91


Tabel 21. Tata laksana pada kontak anak

Umur HIV Hasil pemeriksan Tata laksana

Balita (+)/(-) ILTB PPINH

Balita (+)/(-) Terpajan PPINH

> 5 th (+) ILTB PPINH

> 5 th (+) Terpajan PPINH

> 5 th (-) ILTB Observasi

> 5 th (-) Terpajan Observasi

a. Dosis INH adalah 10 mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari).


b. Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang
sama (pagi, siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
c. Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan (1 bulan = 28 hari
pengobatan), dengan catatan bila keadaan klinis anak baik.
Bila dalam follow up timbul gejala TB, lakukan pemeriksaan
untuk penegakan diagnosis TB. Jika anak terbukti sakit TB, PP
INH dihentikan dan berikan OAT.
d. Obat tetap diberikan sampai 6 bulan, walaupun kasus indeks
meninggal, pindah atau BTA kasus indeks sudah menjadi
negatif.
e. Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.
f. Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan,
dan dapat disesuaikan dengan jadwal kontrol dari kasus indeks.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.92


g. Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan
Vitamin B6 10 mg untuk dosis INH ≤200 mg/hari, dan 2x10
mg untuk dosis INH >200 mg/hari
h. Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua
atau anggota keluarga pasien.
2. Pengobatan pencegahan dengan Rifapentine dan Isoniazid
Saat ini telah terdapat pilihan pengobatan pencegahan
dengan Rifapentin dan Isoniazid. Sebagai catatan, obat ini tidak
direkomendasikan penggunaannya pada anak berusia < 2 tahun
dan anak dengan HIV AIDS dalam pengobatan ARV.
- Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH)
pada ODHA
Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan
untuk mencegah TB aktif pada ODHA, sehingga dapat
menurunkan beban TB pada ODHA. Jika pada ODHA tidak
terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi, maka PPINH
diberikan yaitu INH diberikan dengan dosis 300 mg/hari dan
B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak 180 dosis atau 6 bulan.
- Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol
(PPK) pada ODHA
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan
untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA
dengan atau tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan
dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai
dengan Pedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit
DOTS
4.1.8 Promosi program Tuberculosis
Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan
terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk
meningkatkan dan memelihara kesehatan mereka sendiri.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.93


Dalam promosi kesehatan dalam penanggulangan TB
diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan, pengobatan, pola
hidup bersih dan sehat (PHBS), sehingga terjadi perubahan sikap dan
perilaku sasaran program TB terkait dengan hal tersebut serta
menghilangkan stigma serta diskriminasi masyakarat serta petugas
kesehatan terhadap pasien TB.
1.Sasaran
Sasaran promosi kesehatan penanggulangan TB adalah:
a. Pasien, individu sehat (masyarakat) dan keluarga sebagai
komponen dari masyarakat.
b. Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, petugas kesehatan,
pejabat pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan media
massa. Diharapkan dapat berperan dalam penanggulangan TB
sebagai berikut:
- Sebagai panutan untuk tidak menciptakan stigma dan
diskriminasi terkait TB.
- Membantu menyebarluaskan informasi tentang TB dan
PHBS.
- Mendorong pasien TB untuk menjalankan pengobatan secara
tuntas.
- Mendorong masyarakat agar segera memeriksakan diri ke
layanan TB yang berkualitas.

c.Pembuat kebijakan publik yang menerbitkan peraturan


perundang-undangan dibidang kesehatan dan bidang lain yang
terkait serta mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan
sumber daya. Peran yang diharapkan adalah
- Memberlakukan kebijakan/peraturan perundang-undangan
untuk mendukung penanggulangan TB.
- Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan
lainlain) untuk meningkatkan capaian program TB

Pedoman Pelayanan TB DOTS.94


2. Strategi Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB
Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB
diselenggarakan dengan strategi pemberdayaan masyarakat,
advokasi dan kemitraan.
a. Pemberdayaan masyarakat Proses pemberian informasi
tentang TB secara terus menerus serta berkesinambungan
untuk menciptakan kesadaran, kemauan dan kemampuan
pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat. Metode yang
dilakukan adalah melalui komunikasi efektif, demontrasi
(praktek), konseling dan bimbingan yang dilakukan baik di
dalam layanan kesehatan ataupun saat kunjungan rumah
dengan memanfaatkan media komunikasi seperti lembar
balik, leaflet, poster atau media lainnya.
b. Advokasi Advokasi adalah upaya atau proses terencana untuk
memperoleh komitmen dan dukungan dari pemangku
kebijakan yang dilakukan secara persuasif, dengan
menggunakan informasi yang akurat dan tepat. Advokasi
Program Penanggulangan TB adalah suatu perangkat
kegiatan yang terencana, terkoordinasi dengan tujuan:
- Menempatkan TB sebagai hal/perhatian utama dalam
agenda politik
- mendorong komitmen politik dari pemangku kebijakan
yang ditandai adanya peraturan atau produk hukum untuk
program penanggulangan TB
- meningkatkan dan mempertahankan kesinambungan
pembiayaan dan sumber daya lainnya untuk TB Advokasi
akan lebih efektif bila dilaksanakan dengan prinsip
kemitraan melalui forum kerjasama.
c. Kemitraan
Kemitraan merupakan kerjasama antara program
penanggulangan TB dengan institusi pemerintah terkait,

Pedoman Pelayanan TB DOTS.95


pemangku kepentingan, penyedia layanan, organisasi
kemasyarakatan yang berdasar atas 3 prinsip yaitu
kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan.
3.. Pelaksanaan
Promosi kesehatan untuk Penanggulangan TB dilakukan
disemua tingkatan administrasi baik pusat, provinsi,
kabupaten/kota sampai dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Promosi TB selain dapat dilakukan oleh petugas khusus juga
dapat dilakukan oleh kader organisasi kemasyarakatan yang
menjadi mitra penanggulangan TB.
Dalam pelaksanaaannya promosi kesehatan harus
mempertimbangkan:
a. Metode komunikasi, dapat dilakukan berdasarkan:
- Teknik komunikasi, terdiri atas:
 metode penyuluhan langsung yaitu kunjungan rumah,
pertemuan umum, pertemuan diskusi terarah (FGD), dan
sebagainya; dan 2) metode penyuluhan tidak langsung
dilakukan melalui media seperti pemutaran iklan layanan
masyarakat di televisi, radio, youtube dan media sosial
lainnya, tayangan film, pementasan wayang, dll.
 Jumlah sasaran dilakukan melalui pendekatan
perorangan, kelompok dan massal.
 Indera Penerima
o Metode melihat/memperhatikan.
Pesan akan diterima individu atau masyarakatmelalui
indera penglihatan seperti: pemasangan spanduk,
umbul-umbul, poster, billboard, dan lain-lain.
o Metode mendengarkan.
Pesan akan diterima individu atau masyarakat melalui
indera pendengaran seperti dialog interaktif radio,
radio spot, dll.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.96


o Metode kombinasi.
Merupakan kombinasi kedua metode di atas, dalam
hal ini termasuk demonstrasi/peragaan. Individu atau
masyarakat diberikan penjelasan dan peragaan
terlebih dahulu lalu diminta mempraktikkan, misal:
cara mengeluarkan dahak.
b. Media Komunikasi
Media komunikasi atau alat peraga yang digunakan
untuk promosi penanggulangan TB dapat berupa benda asli
seperti obat TB, pot sediaan dahak, masker, bisa juga
merupakan tiruan dengan ukuran dan bentuk hampir
menyerupai yang asli (dummy). Selain itu dapat juga dalam
bentuk gambar/media seperti poster, leaflet, lembar balik
bergambar karikatur, lukisan, animasi dan foto, slide, film
dan lain-lain.
c. Sumber Daya
Sumber daya terdiri dari petugas sebagai sumber daya
manusia (SDM), yang bertanggung jawab untuk promosi,
petugas di puskesmas dan sumber daya lain berupa sarana
dan prasarana serta dana.
4.1.9 Pengendalian Faktor Infeksi
1. Faktor risiko terjadinya TB
a. Kuman penyebab TB.
- Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko
menimbulkan penularan dibandingkan denganBTA negatif.
- Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin
besar risikoterjadi penularan.
- . Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman,
makin besar risiko terjadi penularan.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.97


b. Faktor individu yang bersangkutan.
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko
menjadi sakit TB adalah:
- Faktor usia dan jenis kelamin:
 Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok
usia dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia
produktif.
 Menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih
banyak terkena TB dari pada wanita.
- Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena
sebab apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, koinfeksi
dengan HIV, penyandang diabetes mellitus, gizi buruk,
keadaan immuno-supressive, bilamana terinfeksi dengan
M.tb, lebih mudah jatuh sakit.
- Perilaku:
 Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak
sesuai etika akan meningkatkan paparan kuman dan
risiko penularan.
 Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak
2,2 kali.
 Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya,
dan cara pengobatan.
- Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
- Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TB.
- Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa
cahaya matahari akan meningkatkan risiko penularan.
-

Pedoman Pelayanan TB DOTS.98


2. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TB
Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi
sampai dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di
masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah:

a. Pengendalian Kuman Penyebab TB

- Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan


pengobatan tetap tinggi
- Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid
TB) yang mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV,
diabetes, dll.
b. Pengendalian Faktor Risiko Individu
- Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat, makan makanan bergizi, dan tidak merokok\
- Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara
membuang dahak bagi pasien TB \
- ningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas
nutrisi bagi populasi terdampak TB
- Pencegahan bagi populasi rentan
 Vaksinasi BCG bagi bayi baru lahir
 Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah lima
tahun
 Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama 6 bulan
dan diulang setiap 3 tahun
 Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan
indikasi klinis lainnya seperti silicosis
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
- Mengupayakan lingkungan sehat
- Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas
perumahan dan lingkungannya sesuai persyaratan baku
rumah sehat

Pedoman Pelayanan TB DOTS.99


d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
- Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko
tinggi penularan TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan,
tempat kerja, institusi pendidikan berasrama, dan tempat
lain yang teridentifikasi berisiko.
- Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil,
belum ada program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang
terlibat dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus
menjadi perhatian utama. Semua fasyankes yang memberi
layanan TB harus menerapkan PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan
pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan
menderita TB.
Upaya tersebut berupa Penanggulangan infeksi
dengan 4 pilar yaitu:
- Pengendalian secara Manajerial Komitmen,
kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif
berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI
TB yang meliputi:
 Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
 Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO)
mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans.
 Membuat perencanaan program PPI TB secara
komprehensif.
 Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta
pemeliharaannya sesuai PPI TB.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.100


 Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya
program PPI TB, yaitu tenaga, anggaran, sarana dan
prasarana yang dibutuhkan.
 Monitoring dan Evaluasi.
 Melakukan kajian di unit terkait penularan TB.
 Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan
organisasi masyarakat terkait PPI TB
- Pengendalian secara administratif
Pengendalian secara administratif adalah upaya yang
dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman M.
tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung
dan lingkungan sekitarnya dengan menyediakan, menyebar
luaskan dan memantau pelaksanaan prosedur baku serta alur
pelayanan. Upaya ini mencakup:
 Strategi Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara
aman, Obati secara tepat.(Tempo)
 Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.
 Penyediaan tisu dan masker bedah, tempat pembuangan
tisu, masker bedah serta pembuangan dahak yang benar.
 Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE.
 Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.
- Pengendalian lingkungan fasyankes
Pengendalian lingkungan fasyankes adalah upaya
peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi sederhana untuk mencegah
penyebaran kuman dan mengurangi/menurunkan kadar
percikan dahak di udara. Upaya Penanggulangan dilakukan
dengan menyalurkan percikan dahakkearah tertentu
(directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida. Sistem ventilasi ada3 jenis,
yaitu: 1) Ventilasi Alamiah 2) Ventilasi Mekanik 3) Ventilasi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.101


campuran d. Pemanfaatan Alat Pelindung Diri Penggunaan
alat pelindung diri pernafasan olehpetugas kesehatan di
tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko
terpajan, sebab kadar percik renik tidak - 58 - dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Alat
pelindung diri pernafasan disebut dengan respirator partikulat
atau disebut dengan respirator. Respirator partikulat untuk
pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi
untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5
mikron yang dibawa melalui udara. Sebelum memakai
respirator ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit tes
untuk mengetahui ukuran yang cocok. PPI TB pada
kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan Penanggulangan
infeksi pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara,
barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan
sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus
dilakukan pada saat Warga Binaan Pemasyarakatan baru, dan
kontak sekamar

4.1.9 TATA LAKSANA JEJARING PENATALAKSANAAN TB


1. Pengertian
Secara umum jejaring adalah merupakan pendekatan komprehensif
pelibatan semua fasilitas kesehatan dan melakukan pelayanan TB
dan program pengendalian TB atau disebut juga dengan PPM (
Public Private Mix ) bauran layanan pemerintah – swasta.
2. Tujuan
Agar memudahkan akses dan untuk mendapatkan layanan yang
efektif, efisien dan bermutu bagi pasien dalam menjaga keteraturan
pengobatan pasien sampai selesai. Jejaring ini meliputi :

Pedoman Pelayanan TB DOTS.102


a. Jejaring Internal Adalah jejaring yang dijalankan didalam
Rumah Sakit dengan melibatkan seluruh unit yang menangani
pasien TB. Koordinator dilaksanakan oleh tim DOTS.
b. Jejaring Eksternal Adalah jejaring yang dibangun antara
instansi / unit Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas dan
fasyankes lainnya dalam layanan pasien TB dengan strategi
DOTS dan dalam program pengendalian TB. Tujuan jejaring
eksternal :
- Memastikan semua pasien TB mendapatkan akses
pelayanan DOTS yang bermutu, mulai dari diagnosis,
pengobatan, pemantauan sampai akhir pengobatan.
- Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien
sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.
Jejaring PPM dapat berfungsi sebagai :
- Jalur rujukan pasien TB untuk diagnosis, pengobatan
maupun pemantauan diantara fasyankes
- Jalur pencatatan dan pelaporan program antara fasyankes
dengan Dinas Kesehatan atau puskesmas.
- Supervisi, monitoring dan evaluasi oleh Dinas Kesehatan
Pelacakan pasien TB mangkir
- Alur distribusi logistik ( OAT dan non OAT )
Agar jejaring dapat berjalan dengan baik diperlukan :
1. Seorang koordinator jejaring DOTS ditingkat propinsi atau
kabupaten/kota
2. Peran aktif supervisor propinsi/ kabupaten/kota
3. Mekanisme jejaring antar institusi yang jelas
4. Tersedianya alat bantu kelancaran proses rujukan antara lain
berupa
5. Formulir rujukan
6. Daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk

Pedoman Pelayanan TB DOTS.103


7. Daftar nama dan nomor telpon petugas penangggung jawab di
fasyankes
8. Dukungan dan kerjasama antara fasyankes dalam kegiatan
rujukan pasien TB
9. Pertemuan koordinasi secara berkala minimal setiap 3 bulan
diantara fasyankes yang dikoordinasi oleh dinkes kab/ kota
setempat dengan melibatkan semua pihak lain yang terkait
4.1.10 SISTEM PELAYANAN RUJUKAN TB DI RS
1. Indikasi di rujuk pasien TB
a. Keterbatasan fasilitas misalnya pada pasien suspek MDR ( Multi
Drugs Resistance) harus dilakukan pemeriksaan kultur yang
tidak dapat dilakukan di RS, pengobatan pasien MDR.
b. Pengobatan dilakukan di fasyankes terdekat dengan tempat
tinggal pasien
c. Permintaan pasien sendiri
2. Persiapan rujukan pasien
a. Memberitahu penjelasan kepada pihak keluarga alasan pasien
dirujuk
b. Pada kasus karena keterbatasan fasilitas Pada saat merujuk
pasien harus disertakan surat pengantar rujukan , tindakan atau
pengobatan yang telah diberikan dan keterangan lain yang perlu
atau ditemukan sehubungan dengan kondisi pasien dirumah
sakit.
c. Pada kasus karena Pengobatan dilakukan di fasyankes terdekat
dengan tempat tinggal pasien fasilitas, pada saat merujuk pasien
harus disertakan surat pengantar rujukan TB 09 dan tindakan
atau pengobatan yang telah diberikan dan keterangan lain yang
perlukan misalnya hasil laboratorium atau hasil radiologi yang
ditemukan sehubungan dengan kondisi pasien dirumah sakit
d. Memberitahu pasien untuk mengembalikan rujukan balik bila
rujukan sudah sampai di fasyankes setempat

Pedoman Pelayanan TB DOTS.104


e. Pasien dan keluarga diberi penjelasan pengobatan yang akan
dilaksanakan.
f. Menghubungi petugas atau pengelola program TB di fasyankes
tempat pasien dirujuk.

BAB V
LOGISTIK

7.2 Siklus manajemen logistic


Pengelolaan logistik meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
distribusi dan penggunaan
7.3 Jenis logistik program
Dalam manajemen Program Pengendalian TB, logistik dikelompokan
menjadi 2 jenis yaitu logistik OAT dan logistik non OAT.
5.2.1 Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OA T) Sediaan OAT lini pertama
ada dua macam yaitu Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan
Kombipak, penjelasannya adalah;
1. OAT KDT terdiri dari kombinasi dua (HR) atau empat jenis
(HRZE) obat dalam satu tablet yang dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien.
2. OAT Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol
(E) yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program
a. Kategori 1 : 2 ( HRZE ) / 4 ( HR ) 3
b. Kategori 2 : 2 ( HRZE ) S / ( HRZE ) / 5 ( HR ) 3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
( HRZE )
c. Kategori anak : 2 HRZ/4HR
5.2.2 Logistik Non Obat Anti Tuberkulosi s (OAT )
1. Alat Laboratorium : Mikroskop, Pot dahak, kaca sediaan, oli
emersi, ether alkohol, tisu, lampu spritus, ose, pipet, kertas
saring dll.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.105


2. Bahan diagnostik, antara lain : reagensia ZN, PPD RT (
Tuberkulin )
3. Barang cetakan, antara lain buku pedoman, formulir pencatatan
dan pelaporan, booklet, brosur, poster, lembar balik, kertas, tinta
printer, map dll
5.3 Mekanisme pengadaan logistic
Untuk kebutuhan logistik ini dari TIM DOTS membuat surat
permintaan ke dinas kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan
untuk penyimpanannya di Instalasi farmasi RS atau gudang sebagai
buffer stok.
Untuk pemenuhan kebutuhan logistik di unit DOTS baik alat medis
dan non medis serta obat – obatan yang diperlukan, disetiap unit
melakukan pengadaan di bagian logistik. Pengadaan rutin di jadwal
setiap hari Senin dan Kamis dari jam 08.00 – 13.00. setiap pengadaan
mengetahui ketua DOTS. Untuk pengadaan alat medis yang
membutuhkan biaya yang besar maka dianggarkan lewat RAPB tahunan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.106


BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

6.1 DEFINISI
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi:
6.1.1 Assesment resiko
6.1.2 Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko
pasien
6.1.3 Pelaporan dan analisis insiden
6.1.4 Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
6.1.5 Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko

6.2 TUJUA N

Adapun tujuan dari keselamatan pasien adalah :

6.2.1 Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit


6.2.2 Meningkatnya akuntabilitas rumah sakitterhadap pasien dan
masyarakat
6.2.3 Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan ( KTD ) di Rumah Sakit
Nahdlatul Ulama Banyuwangi.
6.2.4 Terlaksananya program – program pencegahan sehingga tidak
terjadi pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan

6.3 STANDAR PATIENT SAFETY


Standar keselamatan pasien untuk TB di RS adalah :

Pedoman Pelayanan TB DOTS.107


6.3.1 Hak pasien Pasien / keluarga pasien mempunyai hak
mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan
termasuk kemungkinan terjadinya KTD
6.3.2 Mendidik Pasien dan keluarga Edukasi kepada keluarga pasien
tentang kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam suhan
perawatan / asuhan kebidanan. Untuk keluarga pasien diajarkan
cara mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial seperti
mencuci tangan
6.3.3 Keselamatan Pasien dan Kesinambungan Pelayanan Rumah sakit
menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga ( dokter, bidan / perawat, gizi, dll ) dan antar unit
pelayanan terkait
6.3.4 Penggunaan metode – metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan
pasien. Rumah sakit harus terus memperbaiki pelayanan,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD dan melakukan perubahan
untuk meningkatkan kinerja dan keselamatan pasien
6.3.5 Peran pimpinan rumah sakit dalam meningkatkan keselamatan
pasien Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi
program pasien safety melalui penerapan tujuh standar pasien
safety
6.3.6 Mendidik staf tentang keselamatan pasien Rumah sakit
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sesuai
standar profesi, standar pelayanan rumah sakit dan standar
prosedur operasional untuk meningkatkan kompetensi staf dalam
pelayanan TB di RS
6.3.7 Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien. Komunikasi antara tenaga kesehatan dan
keluarga pasien selama melaksanakan pelayanan dapat mencegah
kemungkinan terjadi KT

Pedoman Pelayanan TB DOTS.108


BAB VII
KESELAMATAN KERJA

7.1 Latar Belakang


Berbagai tindakan yang dilakukan di laboratorium,baik akibat
spesimen maupum zat dan alat dapat menimbulkan bahaya bagi petugas.
Untuk mengurangi bahaya yang dapat terjadi, setiap petugas harus
melakukan pekerjaannya menurut praktek laboratorium yang benar.
Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan
perangkat kemanan dan keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh
setiap petugas dilaboratorium dengan pemantauan dan evaluasi secara
berkala yang diikuti dengan tindakan koreksi yang memadai.
7.1.1 Kegiatan – kegiatan yang harus dilaksanakan :
1. Perencanaan
Identifikasi kegiatan dan resiko,menentukan proseedur
keamanan dan keselamatan lerja yang sesuai,jadwl,pemantauan
dan evaluasi.
2. Penyediaan perangkat (protap,peralatan,dsb)
3. Sosialisasi agar setiap petugas memahami dan melaksanakan
prosedur keamanan dan keselataman kerja di laboratorium.
4. Pemntauan terhadap pelaksanaan prosedur keamanan dan
keselamatan kerja.
5. Evaluasi dan koreksi

Pedoman Pelayanan TB DOTS.109


Sistem keamana dan keselamatan kerja laboratorium TB
disesuaikan dengan kegiatan pemeriksaan laboratorium yang
bersangkutan (mikroskopi,biakan,uji kepekaan,serologi,dsb)
Sistem ini harus menjamin perlindugan terhadap petugas
laboratorium,lingkungan sekitar laboratorium,masyarakat
umum,dan menghindari pemanfaatan bahan infeksius untuk hal-
hal yang dapat membahayakan masyarakat luas.
7.2 Tujuan
Adapun tujuan diadakannya program ini adalah:
7.2.1 Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya
dapat melindungi diri sendiri, pasien dan masyarakat dari
penyebaran infeksi.
7.2.2 Petugas kesehatan didalam menjalankan tugas dan kewajibannya
mempunyai resiko tinggi terinfeksii penyakit menular dilingkungan
tempat kerjanya, untuk menghindarkan tersebut, setiap petugas
harus menerapkan prinsip “Universal Precaution”. paparan
7.3 Tindakan yang beresiko terpajan
Adapun tindakan yang beresiko terpajan adalah: 1.
7.3.1 Cuci tangan yang kurang benar.
7.3.2 Penggunaan sarung tangan yang kurang tepat.
7.3.3 Penutupan kembali jarum suntik secara tidak aman.
7.3.4 Pembuangan peralatan tajam secara tidak aman.
7.3.5 Tehnik dekontaminasi dan sterilisasi peralatan kurang tepat.
7.3.6 Praktek kebersihan ruangan yang belum memadai.
7.4 Prinsip Keselamatan Kerja
Prinsip utama prosedur Universal Precaution dalam kaitan keselamatan
kerja adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan
dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tesebut dijabarkan menjadi 5
(lima) kegiatan pokok yaitu :
7.4.1 Cuci tangan guna mencegah infeksi silang

Pedoman Pelayanan TB DOTS.110


7.4.2 Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan
guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksi yang lain.
7.4.3 Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
7.4.4 Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan

7.4.5 Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan.

BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

8.1 Pemantapan Mutu Internal


8.1.1 Definisi
Kegiatan yang dilakukan dalam penelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalhan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi prose
pemeriksaan laboratorium agar hasil pemerisaan tepat dan benar.
8.1.2 Tujuan
1.Mempertinggi kewaspaaan tenaga laboatoriu agar tidak trjadi
kesalahan pemeriksaan dan koreksi kesalhan dapat dilakukan
segera.
2.Memastikan bahwa semua proses sejak periapan
pasien,pengambilan,penyimpanan,pengiriman,pengolahan
contoh uji,pemeriksaan contoh uji,pencatatan dan pelaporanhasil
dilakukan dengan benar.
3.Mendeteksi kesalahan,mengetahui sumber/penyebab dan
mengoreksi dengan cepat dan tepat.
4. Membantu penngkatan pelayanan pasien.
Kegiatan ini harus meliputi setiap tahap pemeriksaan
laboratorium yaitu tahap pranalisis,analisis,pasca analisis dan
harus dilakukan terus menerus. Beberapa hl yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaan PMI yaitu:

Pedoman Pelayanan TB DOTS.111


i. Tersedia Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh prosees
kegiatan pemeriksaan laboratorium,misalnya:
ii. Protap pengambilan dahak
iii. Protap pembuatan sediaan dahak.
iv. Protap pewarnaan ziehl neelsen.
v. Protap ppemeriksaan mikroskopi.
vi. Protap pengolahan limbah.
vii. Protap pembuatan media.
b.Tersedianya formulir/buku untuk pencatatan dan pelaporan
kegiatan pemeriksaan laboratorium TB.
c.Tersediaya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat,audit
internal,pelatihan petugas.
d.Tesedianya sediaan kontrol (positif dan negtif) dan kuman
kontrol.
8.2 Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang,karena itu penting
sekali membentuk jejaring dan tim aboratorium yang utuh dan aktif
dikelola dengan baik. PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur /
berkala dan berkesinambungan. Koordinasi PME harus dilakukan secara
bersama – sama oleh lab penyelenggara dengan dinas kesehatan
setempat.
8.3 Perencanaan PME
8.3.1 Melakukan koordinasi berdasarkan jejaring laboratorium TB.
8.3.2 Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara.
8.3.3 Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan
beban kerja laboratorium.
8.3.4 Menentukan jenis kegiatan PME.
8.3.5 Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam kegiatan PME.
8.3.6 Penilaian dan umpan balik.
8.4 Pelaksanaan PME
PME mikroskopi BTA dapat dilakukan melalui:

Pedoman Pelayanan TB DOTS.112


8.4.1 Uji silang sediaan dahak
Yaitu pemeriksaan ulang sediaan laboratorium UPK oleh
laboratorium yang diberi wewenang melalui kemampuan yang
dilakukan oleh petugas teknis yang berada pada jejaring tertinggi
diwilayah jejaring laboratorium tersebut.Pengambilan sediaan
untuk uji silang dilakukan dengan metode lot sampling karena
pengambilan 10% sediaan BTA negatif dan seluruh sediaan BTA
positif tidak dianjurkan lagi oleh WHO dianggap kurang
menggambarkan kinerja petugas laboratorium.
8.4.2 Supervisi Laboratorium TB
1 .Kegiatan ini diilakukan dengan mengunjungi laboratorium
untuk melihat langsung kinerja,sarana dan prasarana
laboratorium, kemampuan danketerampilan teknis maupuan
administrasi petugas laboratorium.
2. Petugas supervisi harus memiliki kemampuan teknis dan
adminitrasi laboratorium TB.
3. Dalam melakukan supervisi harus menggunakan daftar tilik
yang memuat semua aspek yangg ada di laboratorium.
4. Hasil supervisi dibicarakan pada akhir kunjungan sehngga
seluruh temua/masalah dapat dipecahkan.
5. Penjadwalan dan penujukan lokasi supervisi harus ditetapkan
terlebih dahulu oleh supervisor dan penggelola peogram TB di
wilayah tersebut.
8.4.3 Kegiatan PME
Kegiatan lainnya yaitu Uji profisiensi/panel testing,kegiatan
ini bertujuan unruk menilaii kinerja laboratorium TB tetapi hanya
dilaksanakan apabila uji silang dan supervisi belum berjalan
drngan memadai.
Hasil PME dapat mengidentifikasi masalah yang
berpengaruh terhadap kinerja laboratorium sebagai tindak lanjut

Pedoman Pelayanan TB DOTS.113


dibuat analisis dan prioritas pemecahan maslah agar ada upaya
perbaiakn yang dapat segera dilakukan ,meliputi:
a. Tenaga : Pelatihan,penyegaran,mutasi.
b. Sarana dan prasarana : pengadaan,pemeliharaan,uji fungsi.
c. Metode pemeriksaan : revisi prosedur tetap,pengembangan
metoda pengembangan.

BAB X
PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM

9.1 PENCATATAN DAN PELAPORAN


Formulir – formulir yang digunakan dalam pencatatan:
9.1.1 Pencatatan di Unit Pelayana Kesehatan
1. Daftar pasien (suspek) yang diperiksa dahak S/P/S
2. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan
dahak.
3. Kartu pengobatan TB.
4. Kartu identitas pasien
5. Registrasi TB UPK.
6. Formulir rujukan / pindah pasien
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan.
9.1.2 Pencatatan di laboratorium
1. Registrasi laboratorium TB.
2. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan
dahak.
9.1.3 Pencatatan dan pelaporan di kabupaten / kota
1. Registrasi TB kabupaten
2. Laporan triwulan penemuan pasien baru dan kambuh.
3. Laporan triwulan hasil pengobatan.
4. Formulir pemeriksaan sediaan uji silang.
5. Laporan penerimaan dan permintaan OAT.

Pedoman Pelayanan TB DOTS.114


6. Laporan pengembangan ketenagaan(staf) program TB.
9.2 INDIKATOR PROGRAM TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian TB
digunakan beberapa indikator. Indikator pengendalian TB secara nasional
ada dua :
9.2.1 Angka penemuan pasien baru TB BTA positif ( Case Detection
Rate = CDR)

9.2.2 Angka Keberhasilan Pengobatan ( Succes Rate = SR )


Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk
mencapai indikator Nasional tersebut diatas,yaitu :
1. Angka penjaringan suspek
2. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang
diperiksa dahaknya
3. Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB
Paru
4. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
5. Angka Konversi
6. Angka kesembuhan
7. Angka Kesalahan Laboratorium
8. Angka Notifikasi Kasus ( CNR )
9. Angka Penemuan Kasus ( CDR )
10. Angka keberhasilan pengobatan
11. Angka keberhasilan rujukan
12. Angka default
9.3 Analisa
9.3.1 Angka penjaringan Suspek :
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara
100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun.
Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan dan
upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.115


memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (
triwulan / tahunan)
Rumus :Jumlah pasien yang diperiksa X 100%
Jumlah penduduk

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar


suspek (TB .06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan
penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek
swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.

9.3.2 Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek.


Adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara
seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini
menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis
pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

Rumus :Jumlah pasien TB positif yang ditemukan X 100%


Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 %
kemungkinan disebabkan:

1. Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak


memenuhi kriteria suspek, atau
2. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif
palsu). Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan
disebabkan:
- Penjaringan terlalu ketat atau
- Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif
palsu).

Pedoman Pelayanan TB DOTS.116


9.3.3 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien
TB Paru Tercatat.
Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara
semua pasien Tuberkulosis paru tercatat.Indikator ini
menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang
menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.

Rumus :Jumlah pasien positif (baru+kambuh)X 100%


Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%.Bila angka ini


jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular
(pasien BTA Positif).

9.3.4 Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB


Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh
pasien TB tercatat.

Rumus :Jumlah pasien TB anak ( < 15 tahun ) yang ditemukan X 100%


Jumlah seluruh pasien TB ( semua tipe )

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan


ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak.Angka ini berkisar
15%.Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi
overdiagnosis.
9.3.5 Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif
yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani
masa pengobatan intensif.Angka konversi dihitung tersendiri
untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.117


pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori-2.Indikator ini berguna untuk mengetahui secara
cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk
mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan
dengan benar. Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien
TB baru BTA positif:

Rumus: Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang konversi X 100%


Jumlah Pasien TB baru BTA positif yang diobati

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien


TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru
BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya,
kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan
dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Di tingkat
kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB. 11.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka


konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang
tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien baru TB paru
BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB
paru BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori 2.

9.3.6 Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan
persentase pasien TB BTA positif yang sembuh setelah selesai
masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang
tercatat.Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru
BTA positif yang mendapat pengobatan kategori 1 atau pasien
BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2.Angka ini

Pedoman Pelayanan TB DOTS.118


dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah
potensial.
Contoh perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan
pengobatan kategori 1.

Rumus :Jumlah pasien TB baru BTA Positif yang sembuh X 100%


Jumlah Pasien TB baru BTA positif yang diobati

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien


TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru
BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12 bulan sebelumnya,
kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh, setelah
selesai pengobatan. Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat,
angka ini dengan mudah dapat dihitung dari laporan TB.08.Angka
minimal yang harus dicapai adalah 85%.Angka kesembuhan
digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan.
Bila angka kesembuhan lebih rendah dari 85%, maka harus
ada informasi dari hasil pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien
yang digolongkan sebagai pengobatan lengkap, default (drop-out
atau lalai), gagal, meninggal, dan pindah keluar. Angka default
tidak boleh lebih dari 10%, sedangkan angka gagal untuk pasien
baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang
belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar
dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
Selain dihitung angka kesembuhan pasien baru TB paru
BTA positif, perlu dihitung juga angka kesembuhan untuk pasien
TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan ulang dengan
kategori 2.
9.3.7 Kesalahan Laboratorium ( error rate )
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka
kesalahan laboratorium yang menyatakan prosentase kesalahan

Pedoman Pelayanan TB DOTS.119


pembacaan slide / sediaan yang dilakukan oleh laboratorium
pemeriksa pertama setelah di uji silang ( cross check ) oleh BLK
atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara
mikroskopis langsung laboratorium pemeriksaan pertama

Rumus : Jumlah sediaan yang salah X 100%


Jumlah seluruh sediaan yang diperiksa

Angka kesalahan baca sediaan ( error rate ) ini hanya bisa


ditoleransi maksimal 5 %. Apabila error rate = 5% dan positif
palsu serta negatif palsu keduanya < 5% berarti mutu
pemeriksaan baik.
9.3.8 Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu
wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke
tahun di wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah semua TB ( Semua tipe ) yang dilaporkan dalam TB 07 X 100%
Jumlah penduduk

Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau


kecenderungan meningkat atau menurunnya penemuan pasien
pada wilayah tersebut.
9.3.9 Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate - CDR)
Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.Case Detection Rate

Pedoman Pelayanan TB DOTS.120


menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif
pada wilayah tersebut.
Rumus;
Jumlah pasien TB ( Semua tipe ) yang dilaorkan dalam TB 07 X 100%
Perkiraan jumlah pasien TB baru BTA positif

Target Case Detection Rate Program Penanggulangan


Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
9.3.10 Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase
pasien TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik
yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB
BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan
lengkap
Rumus:
Jumlah pasien TB BTA positif ( sembuh + pengobatan lengkap ) X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang diobati
9.3.11 Angka Keberhasilan Rujukan
Angka keberhasilan rujukan adalah persentase pasien TB yang
dirujuk dan sampai di sarana pelayanan kesehatan rujukan
diantara seluruh pasien TB yang dirujuk.Angka ini dihitung untuk
mengetahui keberhasilan rujukan.
Rumus:
Jumlah pasien TB yang ditemukan dan diobati kmdn dirujuk ke sarana
pelayanan Kesehatan lain dan kembali informasinya
Jumlah seluruh pasien yang dirujuk x 100%

9.3.12 Angka Default


Angka Default adalah persentase pasien TB yang default diantara
seluruh pasien TB yang diobati dalam kurun waktu

Pedoman Pelayanan TB DOTS.121


tertentu.Angka ini dihitung untuk mengetahui kepatuhan
pengobatan pasien TB.

Rumus: Jumlah pasien TB BTA yang default satu tribulan X 100%


Jumlah pasien TB dalam satu triwulan yang sama

Angka Default sebaiknya <5% pada setiap rumah sakit


BAB IX
PENUTUP

TB Paru masih merupakan masalah di negara berkembang,. Faktor-faktor


yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan diantaranya antara lain : Faktor
sarana, Faktor penderita, Faktor keluarga dan Masyarakat Lingkungan.
Strategi DOTS sesuai dengan anjuran WHO telah terbukti dapat menekan
angka drop out dengan meningkatkan angka kesembuhan. Strategi DOTS juga
akan menjamin kesembuhan, mencegah penularan, terbukti mencegah resistensi,
efektif dengan biaya relatif rendah.
Keberhasilan pelaksanaan strategi DOTS di Rumah Sakit sangat
tergantung pada komitmen pada kemampuan para penyelenggara pelayanan
kesehatan serta dukungan dari semua pihak untuk mencapai hasil yang optimal.

Ditetapkan di :Banyuwangi
Tanggal : 15 Juni 2017
Direktur ,

dr. IKA PRIMAWATI


NRP :2698.001.104

Pedoman Pelayanan TB DOTS.122


Pedoman Pelayanan TB DOTS.123

Anda mungkin juga menyukai