Tingkat kejahatan narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami
kenaikan diikuti dengan jenis narkoba yang terus bervariasi dan modus operandi yang berubah-ubah. Indonesia dan beberapa negara dunia lainnya menetapkan hukuman mati terhadap kasus narkoba. Ini merupakan genderang perang, dunia memerangi narkoba. Perlahan dan pasti narkoba sudah menjadi “monster pembunuh” generasi masa depan bangsa. Ancaman ini sangat nyata, karena sindikat narkoba internasional telah menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial bagi peredaran gelap narkoba. Bali merupakan salah satu destinasi utama jalur peredaran gelap narkoba. Pemerintah bersama BNN, Polri, TNI, Bea Cukai, PNS serta lembaga-lembaga masyarakat anti narkoba berjibaku menahan laju masuknya narkoba ke Indonesia. Perangkat dan produk hukum pun dibuat untuk menguatkan gerakan ini. Namun tak bisa dipungkiri bahwa masih ada celah yang bisa dimanfaatkan sindikat narkoba pada setiap kebijakan tersebut. Kini saatnya jajaran kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya bersama seluruh elemen masyarakat bersinergi dan saling mendukung merancang sebuah gerakan memerangi narkoba melalui kearifan lokal yang telah terbukti sangat efektif membentengi masyarakat agar memiliki daya cegah dan daya tangkal yang baik, melalui perangkat adat dan produk hukum adat (awig-awig dan pararem) guna menutup celah yang masih terbuka pada kebijakan-kebijakan pemerintah memerangi narkoba. *****
Peredaran Gelap Narkoba adalah Musuh Bersama
Berdasarkan seluruh kasus narkotika yang telah diungkap tahun 2015, BNN telah menyita barang bukti sejumlah 1.780.272,364 gram sabu kristal, 1.200 mililiter sabu cair, 1.100.141,57 gram ganja, 95,86 gram canna chocolate, 303,2 gram happy cookies, 14,94 gram hashish, 606.132 butir ekstasi, serta cairan prekursor sebanyak 32.253 mililiter dan 14,8 gram. Selain itu pada 2015 laboratorium BNN juga menemukan 2 jenis zat baru (new psychoactive substances) yaitu CB-13 dan 4-klorometkatinon, sehingga NPS yang telah ditemukan hingga akhir 2015 sebanyak 37 jenis narkoba varian terbaru (spesifikasi detilnya bisa diakses di www.bnn.go.id). Sedangkan prevalensi penyalahguna narkoba nasional tahun 2011 adalah 2,2% (4,2 juta jiwa) dan diproyeksikan akan mencapai 2,8% pada 2015. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,2 juta jiwa tidak bisa lagi direhabilitasi, dan sebanyak 33 orang di Indonesia meninggal tiap harinya karena narkoba. Sebuah angka yang sangat mengerikan. Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Umum lainnya, Kejaksaan Agung RI hingga pertengahan Desember 2015 telah menetapkan 55 orang terpidana kasus narkotika dengan vonis hukuman mati, dimana 14 orang terpidana sedang menunggu proses eksekusi hukuman mati. Mengatasi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba adalah tanggungjawab bersama, oleh karena itu narkoba harus menjadi musuh bersama seluruh bangsa Indonesia. Aparat pemerintah harus bersinergi menyatukan kekuatan untuk menghadapi kejahatan ini. Apalagi nanti akan diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia merupakan bagian dari ASEAN Community sehingga semua aparat negara dan semua elemen masyarakat harus mewaspadai hal ini. Jangan sampai kemudahan dalam ASEAN Community dimanfaatkan oleh mafia narkotika lintas negara dan mafia narkotika nasional untuk semakin mudah menyelundupkan narkoba ke wilayah-wilayah negeri kita. Indonesia yang pada awalnya hanya menjadi negara transit peredaran gelap narkotika dari Segitiga Emas menuju Australia dan New Zealand, kini berubah status sebagai salah satu negara tujuan utama peredaran (point of market state) gelap narkotika dan tindak kejahatan pencucian uang (money laundering). Mengantisipasi kondisi di atas, maka strategi ke depan perlu dirancang upaya-upaya konkrit untuk memberikan penguatan pada kemampuan masyarakat untuk memiliki “daya cegah dan daya tangkal” dalam menekan laju peredaran gelap narkotika di lingkungannya. Hal ini merupakan langkah alternatif yang sangat kuat dan mengakar, karena di setiap daerah masyarakat memiliki kearifan lokal masing-masing. Melalui kearifan lokal (salah satu contoh konkritnya melalui hukum adat dan sanksi sosial masyarakat) aparat negara akan mendapat dukungan yang sangat kuat jika masyarakat mampu membentengi komunitasnya dengan kearifan masing-masing kawasan.
Kearifan Lokal Menjadi Perisai Bali
Pertemuan pertama para pelaut Eropa dengan pulau Bali terjadi pada 1597. Laporan pertama ke benua Eropa adalah ditemukannya sebuah pulau eksotik yang mereka juluki “Last of Paradise” mengalahkan keindahan kepulauan Tahiti yang kala itu disebut-sebut sebagai “Permata Samudera Selatan.” Semenjak itu kisah-kisah tentang keindahan pulau laksana surga terakhir di muka bumi mendominasi benua Eropa. Para petualang jaman itu kemudian banyak melakukan perjalanan membelah lautan untuk menemukan dan menyaksikan sendiri “Last of Paradise” yang melegenda. Perjalanan banyak yang berakhir di Semenanjung Malaka, Kepulauan Ternate, hingga terdampar di Sunda Kelapa. Bali tak mudah dicari. Setelah pemerintah Hindia Belanda banyak menguasai wilayah Nusantara, barulah misteri “Last of Paradise” semakin terkuak pada dunia. Banyak seniman jaman Renaissance Eropa mulai berdatangan. Merekalah yang berjasa mencitrakan Bali begitu tinggi di mata dunia. Awal abad 20 tercatat dua seniman kondang Eropa yang jatuh hati pada Bali, yakni W.O.J. Nieuwenkamp dari Belanda serta Gregor Krause seorang dokter Jerman pada jawatan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian diikuti oleh novelis Austria, Vicky Baum yang karyanya mampu membius seorang seniman Meksiko Miguel Covarrubias untuk melenggang dan jatuh cinta pada kehidupan Bali kala itu. Masih banyak lagi pesohor dunia yang jatuh hati pada keelokan Bali. Semua keindahan-keelokan-kemistisan-kemegahan Bali tempo dulu pada akhirnya harus berhadapan dengan nafsu ekspansi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagian besar penegas kebesaran Bali diluluhlantakkan oleh moncong-moncong meriam Kompeni Belanda saat pecahnya Perang Puputan Badung, juga hancur-leburnya bangunan bersejarah puri-puri kerajaan pada Perang Puputan Klungkung, serta perang lainnya di seluruh tlatah Bali. Catatan masa lampau di atas hanya sekelumit data, sekaligus sumber inspirasi kita bahwa semua yang ada di hadapan kita, alam semesta pulau Bali tak ternilai harganya sehingga layak diperjuangkan bersama seluruh elemen masyarakat. Jika pada jaman kolonial sebagian besar jejak-jejak kearifan leluhur dihancurkan oleh moncong meriam Kompeni Belanda, maka kini kita sedang dihadapkan kepada “moncong mesin pembunuh” berbentuk narkotika dan obat-obatan terlarang. Dan kita pasti sepakat bahwa musuh bersama kali ini jauh lebih mengerikan daripada meriam-meriam Kompeni Belanda.
MoU Klungkung Menolak Narkoba
Sejak awal 2016 jajaran Polres Klungkung bergerak bersama seluruh perangkat desa adat di Klungkung menggagas kegiatan focus group discussion (FGD) guna mencari titik temu untuk membangkitkan kembali potensi kearifan lokal masyarakat adat Klungkung dalam memperkuat daya cegah dan daya tangkal terhadap serbuan peredaran gelap narkoba di wilayah Klungkung. Pada 19 Mei 2016 lalu pertemuan berbagai elemen masyarakat di Klungkung meliputi jajaran Polres Klungkung, Majelis Madya, Majelis Alit, Majelis Pekraman Klungkung bersama jajaran Badan Narkotika Kabupaten Klungkung sepakat menyusun dan menandatangani sebuah nota kesepahaman bersama untuk menolak dan memerangi narkoba melalui penguatan peran awig-awig dan pararem desa adat di Klungkung. Secara bersama-sama pula menyusun draft acuan pararem dan awig-awig untuk dijadikan sebagai blue-print setiap desa adat di Klungkung. Masyarakat Bali memiliki kearifan lokal yang sangat kuat yakni hukum adat yang hingga kini terbukti masih sangat berpengaruh pada tata kehidupan semeton Bali. Saya memiliki keyakinan tinggi, bahwa peran masyarakat adat sangat besar dan menentukan dalam upaya mempersempit ruang gerak peredaran gelap narkotika di Bali, khususnya Klungkung yang menjadi wilayah hukum Polres Klungkung. Dengan adanya pararem atau awig-awig yang menolak narkoba dan penyalahgunaannya di setiap desa adat, maka program pemerintah memerangi narkoba akan mendapat dukungan kekuatan yang sangat besar dan menentukan. Kearifan lokal masyarakat Bali berupa pararem dan awig-awig di setiap desa adat hingga kini masih sangat kuat dalam menata keselarasan kehidupan sosial masyarakatnya. Selain itu kedua produk hukum adat Bali ini juga sangat adaptif terhadap perkembangan jaman, sehingga fenomena bahaya narkoba akan menjadi wacana serius dan mendesak untuk dimasukkan ke dalam produk-produk hukum adat masyarakat, baik berupa pararem maupun produk hukum adat yang lebih tinggi lagi yakni awig-awig desa adat.
Bali Menjadi Pionir Kebangkitan Kearifan Lokal Secara Nasional
Secara sosiologis awig-awig maupun pararem memiliki legitimasi yang kuat dalam menata kehidupan masyarakat adat. Sejak jaman dulu pararem serta awig-awig berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang mampu mengatur perilaku krama desa dan menciptakan kesesuaian perilaku masyarakat, baik secara preventif maupun represif. Awig-awig dan pararem sekaligus juga berperan menjadi media perubahan masyarakat (social engineering) karena kemampuannya dalam merespon dan mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adat. Awig-awig akan mengarahkan perubahan tersebut agar sesuai dengan rel yang telah dibakukan dalam hukum adat. Keberadaannya akan memudahkan terwujudnya kasukertan desa sekala niskala (ketertiban, ketenteraman dan kedamaian lahir-bathin). Kasukertan desa tidak saja berlaku bagi internal desa pakraman (karma desa) namun juga berlaku bagi eksternal desa pakraman, terutama dengan desa pakraman tetangga (pasuwitran nyatur desa). Dengan kekuatan hukum sebesar itu, sangatlah logis dan realistis jika kita meyakini upaya untuk mempersempit peredaran gelap narkoba di wilayah Bali akan bisa berhasil, khususnya wilayah Klungkung yang telah merealisasinya secara bertahap. Perang melawan narkoba dengan benteng kearifan lokal inilah yang kita harapkan mampu menggandeng dan menggugah daerah-daerah lainnya di Indonesia untuk aktif melindungi wilayah dan masyarakatnya dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Aparat keamanan takkan pernah mampu mengamankan suatu wilayah secara optimal tanpa bantuan konkrit masyarakat wilayah termaksud. Ibarat dua sisi mata uang, masyarakat dan aparat memiliki kepentingan senada dalam menciptakan keamanan suatu wilayah. Sehingga semua bisa menjalankan kesehariannya dengan aman dan kondusif sesuai tugas dan peran masing-masing dalam strata kehidupan sosial di wilayah tersebut. Jika upaya membangunkan “naga tidur” (baca: paparem dan awig-awig) ini berjalan baik, saya yakin gerakan membangkitkan kembali kekuatan kearifan lokal di Bali akan mampu menjadi salah satu rujukan konkrit skala nasional dalam upaya memerangi narkoba. Kita memiliki aset leluhur yang mumpuni. Kita hanya perlu menggali dan mengolahnya kembali sesuai dengan situasi dan kondisi terkini untuk kepentingan kita dan generasi penerus kita. “Pengetahuan apa pun bila tidak memberikan kontribusi nyata kepada kehidupan yang lebih baik, ia hanyalah kesia-siaan belaka.” Pernyataan Karl Marx tersebut cukup mewakili spirit yang ada dalam paparan di atas. Semoga tulisan ini bisa mengawali sebuah gerakan untuk menulis ulang kebesaran peninggalan para leluhur kita yang tentunya akan kita update dan disesuaikan dengan kondisi kekinian masyarakat kita. Astungkara Svaha. *****