Anda di halaman 1dari 3

EVIDENCE BASED DALAM PRAKTIK ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL CARE

Berdasarkan evidence based, pemotongan tali pusat lebih baik ditunda karena sangat tidak
menguntungkan, baik bagi bayi maupun bagi ibunya. Mengingat fenomena yang terjadi di
Indonesia, antara lain tinginya angka morbiditas ataupun mortalitas pada bayi salah satunya
uang disebabkan karena asfiksia hyperbillirubinemia/icteric neonatorum. Selain itu juga
menigkatnya dengan tajam kejadian autis pada anak-anak di Indonesia tahun ke tahun tanpa
tau pemicu penyebabnya. Ternyata salah satu asumsi sementara atas kasus fenomena di atas
adalah karena adanya ICC (Imediettly Cord Clamping). Beberapa hasil penelitian dari jurnal-
jurnal internasional dibawah ini mungkin bisa menjawab pertanyaan diatas.

1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kinmond, S. et al, (1993) menunjukan bahwa
pada bayi premature, ketika pemotongan tali pusat ditunda paling sedikit 30 menit atau
lebih, maka bayi akan:
a. Menujukan penurunan kebutuhan untuk transfuse darah.
b. Terbukti sedikit mengalami gangguan pernafasan.
c. Hasil tes menunjukan tingginya level oksigen.
d. Menunjukan indikasi bahwa bayi tersebut lebih viable dibandingkan dengan bayi
yang dipotong tali pusatnya setelah lahir.
e. Mengurangi resiko perdarahan pada kala III persalinan.
f. Menunjukan jumlah hematocrit dan hemoglobin dalam darah yang lebih baik.
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ellen K. Hutton (2007) bahwa dengan
penundaan pemotongan tali pusat dapat:
a. Peningkatan kadar hematocrit dalam darah.
b. Peningkatan hemoglobin dalam dalam darah.
c. Penurunan angka anemia pada bayi.
d. Penurunan resiko jaundice, / bayi kuning.

Mencermati hasil hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemotongan tali pusat
segera setelah bayi lahir sangat tidak menguntungkan, baik bagi ibu maupun bayinya..
namun, dalam prakik APN dikatakan bahwa pemotongan tali pusat dilakukan segera setelah
bayi lahir. Dari situ kita bisa lihat betapa besarnya resiko kerugian, kesakitan maupun
kematian dapat terjadi.

Review dari Cochrane menginformasikan bahwa epidural tidak hanya menghilangkan nyeri
persalinan, tetapi seperti tindakan medical lainnya berdampak pada perpanjangan persalinan,
peningkatan penggunaan oksitosin, peningkatan persalinan dengan tindakan seperti forcep
atau vakum ekstraksi, dan tindakan seksio sesaria karena kegagalan putaran paksi dalam,
resiko robekan hingga tingkat 3-4 dan lebih banyak membutuhkan tindakan episiotomy pada
nulipara.

Studi lain tentang sentuhan persalinan membuktikan bahwa dengan sentuhan persalinan 56%
lebih sedikit yang mengalami tindakan seksio sesarea, pengurangan penggunaan anastesi
epidural hingga 85%, 70% lebih sedikit persalinan dengan forceps, 61% penurunan dalam
penggunaan oksitosin, durasi persalinan yang lebih pendek 25% dan penurunan 58% pada
neonatus rawat inap.

Pada saat proses persalinan sedang berlangsung bidan sering sekali menganjurkan pasien
untuk menahan nafas pada saat akan mengerang dengan alasan agar tenaga ibu untuk
mengeluarkan bayi pun lebih cepat. Padahal berdasarkan penelitian tindakan untuk menahan
nafas pada saat mengerang ini tidak dianjurkan karena:

1. Menahan nafas pada saat mengerang tidak menyebabkan kala II menjadi lebih singkat.
2. Ibu yang mengerang dengan menahan nafas cenderung mengerang hanya sebentar.
3. Selain itu membiarkan ibu bersalin bernafas dan mengerang pada saat ibu merasakan
dorongan akan lebih singkat.

Penggunaan berbagai metode dalam pengurangan rasa nyeri dalam persalinan mulai dari
tekhnik massage, aromatherapy, hypnotherapy, dan hydrotherarpy. Pada saat proses
persalinan akan berlangsung, ibu biasanya akan dianjurkan mulai mengatur posisi terlentang
ini tidak boleh dilakukan secara rutin pada proses persalinan. Hal ini dikarenakan:

1. Bahwa posisi terlentang pada proses persalinan dapat mengakibatkan berkurangnya aliran
darah ibu ke janin.
2. Posisi terlentang dapat berbahaya bagi ibu dan janin. Selain itu posisi terlentang juga
menyebabkan ibu mengalami kontraksi lebih nyeri, lebih lama dan trauma perineum lebih
besar.
3. Posisi lithotomi / terlentang juga dapat menyebabkan kesulitan penurunan bagian bawah
janin.
4. Posisi terlentang bisa menyebabkan hipotensi karena bobot uterus dan isinya akan
menekan aorta, vena kava inferior, serta pembuluh-pembuluh lain dalam vena tersebut.
Hipotensi dapat menyebabkan ibu pingsan dan seterusnya bisa mengarah anoreksia janin.
5. Posisi litotomi bisa menyebabkan kerusakan pada syaraf dikaki dan di punggung dan
akan ada rasa sakit yang lebih banyak didaerah punggung pada masa postpartum (nifas).

Apapun posisi yang dianjurkan pada proses persalinan antara lain posisi setengah duduk,
berbaring miring, berlutut dan merangkak. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Bhardwaj, Kokadai Alai (1995), Nikkodein (1995) dan Gardosi (1989). Posisi ini
mempunyai kelebihan sebagai berikut:

1. Posisi tegak dilaporkan mengalami lebih sedikit rasa tak nyaman dan nyerri.
2. Posisi tegak dapat membantu proses persalinan kala II yang lebih singkat
3. Posisi tegak membuat ibu lebih mudah mengerang, peluang lahir spontan lebih besar, dan
robekan penineal dan vagina lebih sedikit
4. Pada posisi jongkok berdasarkan bukti radiologis dapat menyebabkan terkadinya
regangan bagian bawah simfisis pubis akibat berat badan sehingga mengakibatkan 28%
terjadinya perluasan pintu panggul.
5. Posisi tegak dalam persalinan memiliki hasil persalinan yang lebih baik dan bayi baru
lahir memiliki nilai APGAR yang lebih baik.
6. Posisi berlutut dapat mengurangi rasa sakit dan membantu bayi dalam mengadakan posisi
rotasi yang diharapkan (ubun-ubun kecil depan) dan juga mengurangi keluhan hemoroid
7. Posisi jongkok atau berdiri memudahkan dalam pengosongan kamdung kemih karena
kandung kemih yang penuh akan memperlambat proses penurunan kepala janin.
8. Posisi berjalan, berdirim dan bersandar efektif dalam membantu stimulasi kontraksi
uterus serta dapat memantaafkan gaya gravitasi

Anda mungkin juga menyukai