Anda di halaman 1dari 5

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus kelainan yang terjadi pada anak seperti kasus Hidrosefalus. Dengan
semakin kritisnya cara berfikir pasien untuk mengetahui keadaan yang terjadi pada kelainan yang diderita,
sikap profesional seorang dokter dibutuhkan dengan tuntutan harus mengetahui tentang berbagai macam
penyakit genetic untuk dapat menjelaskan dan menjawab segala pertanyaan yang muncul. Selain itu,
untuk membantu dokter dalam menganalis lebih lanjut tentang penyakit dan menegakkan diagnosis. Oleh
karena itu, di dalam skenario 3 Blok Biologi Molekuler ini membahas Manifestasi Klinis Toxoplasmosis
Konginetal sampai pada tingkatan molekulernya. Toxoplasma gondii adalah parasit yang jika menginfeksi
pada awal kehamilan dapat ditransmisikan ke janin. Janin yang terinfeksi dalam kandungan dapat
menunjukkan gejala klinis ketika lahir, misalnya hidrosefalus. Namun, suatu studi multisenter tentang
Toxoplasmosis konginetal di Eropa menemukan bahwa tidak semua bayi dengan Toxoplasmosis
Konginetal menunjukkan gejala klinis. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada faktor lain termasuk
predisposisi genetic berperan dalam pathogenesis penyakit. Sebelumnya telah diketahui bahwa bayi yang
menunjukkan gejala klinis yang lebih berat adalah mereka yang terinfeksi Toxoplasma gondii pada awal
kehamilan, ketika system imun fetus belum begitu berkembang. Pemeriksaan molekuler yang dilakkan
selanjutnya menemukan bahwa ada kaitan antara polimorfisme dan genomic imprinting dengan
gambaran klinis yang muncul pada bayi dengan toksoplasmosis konginetal. Dari skenario diatas,
mahasiswa diharapkan mampu memahami mengenai Epigenetik secara konsep baik dari prinsip dasar,
analisis, aspek herediter hingga integrasi antara genetic dan epigentik. Hal ini dengan tujuan untuk benar-
benar paham tentang keanekaragaman genomic manusia sehingga dibutukan dasar-dasar yang harus
dikuasai sebelum mempelajari epigenetic dan manifestasi klinis penyakit pada manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab penyakit Toxoplasmosis? 2. Apa kaitan genomic imprinting dan polimorfisme terhadap
Toxoplasmosis? 3. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis dari Toxoplasmosis Kongenital? 4.
Bagaimana manifestasi dan gambaran klinis Toxoplasmosis Kongenital? 5. Apa hubungan antara
Toxoplasma Gondii dengan umur kehamilan? 6. Apakah predisposisi genetik berperan terhadap
penyakit Toxoplasmosis? 7. Hal apa yang mendasari pemeriksaan Toxoplasmosis Gondii pada bayi
yang tidak menujukkan gejala klinis? 8. Bagaimana penegakkan diagnosis serta penatalaksanaan
Toxoplasmosis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penyebab penyakit Toxoplasmosis. 2. Untuk mengetahui kaitan antara
genotic imprinting dan polimorfisme terhadap Toxoplasmosis. 3. Untuk mengetahui patofisiologi
dan patogenesis Toxoplasmosis. 4. Untuk mengetahui manifestasi dan gejala klinik
Toxoplasmosis. 5. Untuk mengetahui hubungan antara Toxoplasmosis gondii dengan usia
kehamilan. 6. Untuk mengetahui apakah predisposisi berperan terhadap Toxoplasmosis. 7. Untuk
mengetahui sebab pemeriksaan Toxoplasmosis gondii pada bayi yang tidak menunujukkan gejala
klinis Toxoplasmosis. 8. Untuk mengetahui langkah-langkah penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan Toxoplasmosis.

D. Manfaat
1. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab, patogenesis, patofisiologi, manifestasi serta gejala
klinis, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan Toxoplasmosis. 2. Mampu memahami definisi
serta kaitan genomic imprinting dan polimorfisme terhadap penyakit Toxoplasmosis. 3.
Mahasiswa mampu memastikan dan mengetahui apakah predisposisi berperan terhadap
Toxoplasmosis. 4. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara Toxoplasmosis gondii
dengan usia kehamilan. 5. Mahasiswa mampu mengetahui sebab pemeriksaan Toxoplasmosis
gondii pada bayi yang tidak menunjukkan gejala klinis Toxoplasmosis.

BAB II STUDI PUSTAKA


A. TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis, yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan
ke manusia, dengan manusia sebagai inang insidental. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa
yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak
terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan. Penderita toxoplasmosis sering tidak
memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas (asimptomatis). (Hiswani) Hingga sepertiga
populasi dunia terbukti mengalami infeksi Toxoplasma gondii. Namun, infeksi yang menimbulkan
gejala sangat jarang, kacuali pada penderita immunocompromise dan pada bayi yang mengalami
infeksi kongenital. (Schwartzman, 2001) Terdapat beberapa bentuk dari daur siklus hidup
Toxoplasma gondii, bentuk infektifnya adalah oosista pada feses kucing atau bradizoit pada
daging hewan (kambing, domba, babi, sapi) yang termakan manusia. Bentuk sista tidak akan
mengakibatkan respon negatif pada sel sekitarnya hingga sista pecah, mengeluarkan bradizoit
yang dapat berubah menjadi bentuk takizoit dan dapat menyebabkan necrosis dan peradangan.
(Schwartzman, 2001)

B. TOXOPLASMOSIS CONGENITAL Toxoplasma dapat menginfeksi ibu hamil dan bila parasit dapat
masuk ke dalam tubuh janin, maka janin akan terinfeksi. Kemampuan parasit untuk menembus
dinding plasenta bergantung pada karakter anatomi dari plasenta, yang akan berkembang sesuai
dengan umur kehamilan. Janin yang terinfeksi pada awal kehamilan memiliki resiko lebih tinggi
akan adanya manifestasi klinis yang menunjukkan adanya infeksi Toxoplasma. (Schwartzman,
2001) Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha pencegahannya
diharapkan lebih mudah dilakukan. Pada saat ini diagnosis toxoplasmosis menjadi lebih mudah
ditemukan karena adanya antibodi IgM atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan cara
diagnosis maka pengobatan penyakit ini menjadi lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga
pengobatan yang diberikan dapat sembuh sempurna bagi penderita toxoplasmosis. Dengan jalan
tersebut diharapkan insidensi keguguran, cacat kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh
penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin. Pada akhirnya kejadian kecacatan pada anak dapat
dihindari dan menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. (Hiswani)

C. DIAGNOSIS TOXOPLASMOSIS. Diagnosis toxoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala


klinis, pemeriksaan serologis dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita. Seperti
telah diuraikan diatas, gejala klinis sering kali meragukan dan menemukan parasit dalam jaringan
tubuh penderita bukanlah suatu hal yang mudah. Maka pemeriksaan secara serologis terhadap
antibodi penderita toxoplasmosis merupakan alat bantu diagnosis yang mudah dan baik. Dasar
pemeriksaan serologis ialah antigen toxoplasmosis bereaksi dengan antibodi spesifik yang
terdapat dalam serum darah penderita. Beberapa jenis pemeriksaan serologis yang umum
dipakai ialah : Dye test Sabin Feldman, Complement Fixation test (CFT), reaksi Fluoresensi
antibodi, Indirect Hemagglutination Test dan enzym linked immunosorben assay (Elisa). Dye test
Sabin Feldman merupakan pemeriksaan yang pertama kali ditemukan. Dasar test ini yaitu
toxoplasma gondii mudah diwarnai dengan metilen blue. Tetapi bila dicampur dengan serum
kebal, maka parasit tidak dapat mengambil warna lagi karean anti bodi toxoplasma yang ada
dalam serum tersebut akan melisis parasit ini. Complement fixaton test (CFT) berdasarkan reaksi
antigen antibodi yang akan mengikat komplement sehingga pada penambahan sel darah merah
yang dilapisi anti bodi tidak terjadi hemolisis. Reaksi fluoresensi anti bodi memakai sediaan yang
mengandung toxoplasma yang telah dimatikan. Anti bodi yang ada dalam serum akan terikat
pada parasit. Setelah ditambah antiglobulin manusia yang berlabel fluoresens. Inderect
hemaglutination test mempergunakan antigen yang diletakkan pada sel-sel darah merah, bila
dicampur dengan serum kebal menimbulkan aglutinasis. Elisa mempergunakan antigen
toxoplamosis yang diletakkan pada penyangga padat. Mula-mula diinkubasi dengan reum
penderita, kemudian dengan antibodi berlabel enzim. Kadar anti bodi dalam serum penderita
sebanding dengan intertitas warna yang timbul setelah ikatan antigen anti bodi dicampur dengan
substat. Diagnosis terhadap toxoplasmosis secara mudah dapat ditegakkan dengan menemukan
anti bodi terhadap penderita terhadap serum darah penderita. Anti toxoplasma gondii kelas IgM
timbul segera setelah infeksi, dan baru mencapai puncaknya pada minggu keempat kemudian
menurun secara lambat dan tidak terdeteksi lagi setelah empat bulan. Sedang anti toxoplasma
kelas IgG dapat dideteksi setelah 3 atau 4 bulan infeksi dan akdarnya menetap sampai
bertahuntahun. Dengan memeriksa antibodi kelas IgG dan IgM, maka kita dapat mengetahui
apakah seseorang dalam efeksi akut, rentan atau kebal tehadap toxoplasmosis. Selain seperti
cara diatas bisa juga dilakukan pemeriksaan histopatologis jaringan otak, sum-sum tulang
belakang, kelenjar limpe, cairan otak merupakan diagnosis pasti tetapi cara ini sulit dilakukan.

D.DIAGNOSIS TOXOPLASMOSIS KONGENITAL PADA BAYI.


Di Indonesia sering dijumpai bayi yang dilahirkan dengan kelianan kongnital. Penyebab kelainan
kongenital karena infeksi termasuk golongan toxoplasma. Janin mulai membentuk zat anti pada
akhir trimester pertama, yang terdiri dari IgM zat anti ini biasanya menghilang setelah 1 – 3
bulan. Zat anti IgM pada bayi didapat dari ibunya melalui plasenta. Konsentrasi IgG pada
neonatus berkurang, dan akan naik lagi bila bayi dapat mebuat IgG sendiri pada umur lebih
kurang 3 bulan. Serodiagnosis infeksi kongenital berdasarkan kenaikan jumlah zat anti IgG
spesifik atau deteksi zat anti IgM spesifik. Kelainan klinik pada bayi-bayi yang tersangka
toxoplasmosis kongenital ini adalah merupakan trias klasik yaitu Hidrocephalus, koriokretinitis,
dan perkapuran otak. Ada bayi yang hanya menunjukkan suatu kelainan seperti
hepatosplenomegali katarak, mikrosefalus, kejang, dan ada yang menunjukkan lebih dari satu
kelainan di atas. E. GENETIKA DAN EPIGENETIKA DARI TOKSOPLASMOSIS KONGENITAL Hipotesis
spesifik genetik bahwa polimorfisme pada dua gen yang bertanggung jawab atas kelainan
penglihatan, ABCA4 dan COL2A1, disebabkan oleh toxoplasmosis kongenital. COL2A1 mengkode
collagen tipe 2 yang dapat ditemukan pada vitreous humor, cornea, sclera, lensa, dan retina.
Pada toxoplasmosis COL2A1 menghasilkan perbedaan dalam ekspresi kolagen di retina dan
vitreous mempengaruhi migrasi parasit ke mata dan membelah diri. ABCA4 mengkode retina-
specific ATP-binding cassette transporter protein Toxoplasmosis mengubah mekanisme
modifikasi epigenetik COL2A1 dan ABCA4 khususnya selama masa perkembangan. Toxoplasma
juga mempengaruhi regulasi genetik patogenesis penyakit, yaitu NFκB sites yang mengatur
regulasi ekspresi sel dan proses perkembangan. Yang juga memungkinkan parasit mungkin
mempengaruhi secara langsung dengan metylasi dan asetilasi histon. Secara keseluruhan,
polmorfisme pada ABCA4 dan COL2A1 berhubungan dengan kelainan mata dan manifestasi
lainnya dari toxoplasmosis kongenital. (Jamieson, et al, 2008)
BAB III PEMBAHASAN
Permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam skenario merupakan kemunculan manifestasi
klinis pada bayi yang terdiagnosis menderita toxoplasmosis congenital. Menjadi suatu masalah
dikarenakan tidak semua bayi penderita toxoplasmosis congenital memunculkan gejala klinis,
bahkan pemunculan gejala ini sangat jarang pada sebagian besar penderita. Berdasarkan literatur
yang ada, menyebutkan bahwa infeksi toxoplasma gondii (parasit penyebab toxoplasmosis) pada
usia kehamilan dini berpotensi lebih tinggi memunculkan manifestasi toxoplasmosis congenital
pada bayi. Selain waktu infeksi dari toxoplasma gondii berpengaruh terhadap pemunculan
manifestasi klinis, dipercayai faktor genetika dan epigenetika juga turut berperan dalam
manifestasi klinis toxoplasmosis congenital. Hipotesis spesifik genetik bahwa polimorfisme pada
dua gen yang bertanggung jawab atas kelainan penglihatan, ABCA4 dan COL2A1, disebabkan oleh
toxoplasmosis kongenital. COL2A1 mengkode collagen tipe 2 yang dapat ditemukan pada
vitreous humor, cornea, sclera, lensa, dan retina. Pada toxoplasmosis COL2A1 menghasilkan
perbedaan dalam ekspresi kolagen di retina dan vitreous mempengaruhi migrasi parasit ke mata
dan membelah diri. ABCA4 mengkode retina-specific ATP-binding cassette transporter protein.
Toxoplasmosis mengubah mekanisme modifikasi epigenetik COL2A1 dan ABCA4 khususnya
selama masa perkembangan. Toxoplasma juga mempengaruhi regulasi genetik patogenesis
penyakit, yaitu NFκB sites yang mengatur regulasi ekspresi sel dan proses perkembangan. Yang
juga memungkinkan parasit mungkin mempengaruhi secara langsung dengan metylasi dan
asetilasi histon. Secara keseluruhan, polmorfisme pada ABCA4 dan COL2A1 berhubungan dengan
kelainan mata dan manifestasi lainnya dari toxoplasmosis kongenital. Dari pembahasan di atas
telah diketahui bahwa toxoplasmosis turut merusak secara genetis dan epigenetis. Akan tetapi
bagaimana genetika dan epigenetika mempengaruhi pemunculan manifestasi klinis pada
penderita toxoplasmosis congenital belum diketahui secara pasti. Hipotesis sementara
berhubungan dengan methylasi protein histon, apakah toxoplasma tersebut menyebabkan
methylasi ataukah adanya methylase dapat menghambat infeksi dari toxoplasma itu masih perlu
dilakukan penelitian dan penelusuran tinjauan pustaka lebih lanjut.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan Analisis variasi genetik manusia dapat dijadikan suatu studi yang ampuh dalam
memahami faktor risiki untuk penyakit. Banyak penyakit justru lebih mudah dicari faktor
risikonya dengan analisis variasi genetik. Toxoplasmosis conginetal yang disebabkan oleh
toxoplasma gondii yang dapat ditularkan ibu ke janinnya. Bayi dengan tanda-tanda klinis yang
paling parah adalah adanya kelainan pada otak dan mata karena adanya infeksi toxoplasma
gondii pada awal kehamilah, yaitu pada saat system kekebalan janin belum berkembang dengan
baik. Tetapi juga terjadi banyak kasus bahwa si bayi tidak menunjukkan adanya gejala klinis.
Analisis variasi genetik dapat memberikan wawasan mengenai peristiwa di dalam rahim yang
sulit diketahui menggunakan analisis biasa. Adanya toxoplasmosis conginetal ternyata bukan
sekedar karena adanya infeksi dari toxoplasma gondii pada awal kehamilan, tetapi juga ada
kaitanya dengan genetik maupun epigenetik. Fenomena genomic imprinting dan polimorfisme
menjawab hipotesa tersebut. Hal ini telah dibuktikan dengan berbagai penelitian.

B. Saran
2. Dalam menentukan diagnosis terhadap suatu penyakit, sebaiknya dokter memahami analisis
variasi genetik manuasia. Karena tidak sedikit penyakit yang justru lebih mudah dipahami
patogenesisnya dengan menggunakan analisis variasi genetik.
3. Dokter harus pandai-pandai memberikan konseling kepada pasien yang menderita penyakit-
penyakit akibat adanya kelainan genetik, hal ini dikarenakan banyak penyakit akibat kelainan
genetik itu merupakan suatu sindrom (kumpulan gejala) yang biasanya dapat menyebabkan
cacat pada si penderita.
4. Dokter harus memahami prinsip pengaruh epigenetik terhadap perkembangan janin, karena
banyak penyebab kelainan konginetal pada bayi akibat adanya pengaruh epigenetik baik dari
orang tua maupun yang terjadi selama kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA
Hiswani, Toxoplasmosis Penyakit Zoonosis yang Perlu Diwaspadai oleh Ibu Hamil.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani5.pdf (diakses 24 November 2010)
Jamieson S.E., de Roubaix L., Cortina-Borja M., et al. 2008. Genetic and epigenetic factors at
COL2A1 and ABCA4 influence clinical outcome in congenital toxoplasmosis. Plos One.
Schwartzman J.D. 2001. Toxoplasmosis. In: Gillespie S. and Pearson R.D. (eds). Principles and
Practice of Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd Principles and Practice of Clinical Parasitology, Bab 5 (Toxoplasmosis oleh
Joseph D. Schwartzman) editor: S. Gillespie dan Richard D. Pearson, 2001, John Wiley & Sons Ltd

Anda mungkin juga menyukai