Anda di halaman 1dari 7

TUTORIAL KLINIK

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A IDENTITAS MAHASISWA
Jenis Kelamin : Laki-laki Nama : Almas Nur Prawoto
Usia : 18 tahun NIPP : 20164011061
Alamat : Gamping, Sleman, Yogyakarta Bagian : Kulit dan Kelamin
Tanggal Periksa : 25-5-2018 Perceptor : dr. Siti Aminah TSE. Sp. KK ,M.kes

Case Analysis

Problem Hipotesis Mekanisme Data Tambahan Tujuan Belajar


Diagnosis Klinis: Terlampir Dilakukan kerokan kulit 1. Mekanisme
a.Keluhan utama: gatal dan kulit menebal di bokong Tinea corporis dengan KOH 20% dan terjadinya infeksi
b. RPS: didapatkan hasil pada tinea
Pasien laki-laki berusia 18 tahun datang dengan Diagnosis mikroskopis sebagai berikut: corporis?
keluhan kulit gatal, menebal dan bersisik di bokong Banding: 2. Bagaimana
sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan awal terasa hanya -Dermatitis diagnosis tinea
gatal pada bokong kemudian kulit menebal dan kontak alergi corporis dan
semakin meluas. Pasien merasa sangat terganggu oleh -Dermatitis pemeriksaan
rasa gatal. Gatal terutama dirasakan waktu berkeringat. atopik penunjang apa saja
Pasien sudah mendapatkan terapi berupa ketoconazol -Pytiriasis rosea yang dapat
cream namun keluhan tidak membaik. digunakan untuk
c. RPD: menegakkan
Keluhan serupa : disangkal diagnosis?
Riwayat atopik : disangkal 3. Bagaimana
Alergi : disangkal penatalaksanaan
d. RPK: diagnosis tinea
Keluhan serupa : disangkal corporis?
Riwayat atopik : disangkal 4. Bagaimana
Alergi : disangkal edukasi kepada
Rencana Tata laksana oleh pasien ?
f. Riw. Personal Sosial: Dokter Muda:
Pasien merupakan mahasiswa tingkat akhir yang R/ Ketokonazol tab 200 mg
no. XV
sedang sibuk menyelesaikan studinya.
S 1 dd 1 tab
Keadaan Umum: R/Desoximethasone 0,25%
Tidak tampak kesakitan cr 15g
Kesadaran: CM Miconazole cr 2% 10g
Vital Signs: Mf ungt
BP = 125/70 mmHg S 2 dd ue
HR = 80 bpm
RR = 20 bpm R/Cetirizine tab 10 mg no.
XV
Pemeriksaan Fisik S 0-0-1
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Kontrol setelah 2 minggu
Tekanan Darah : tidak ada kelainan
Nadi : tidak ada kelainan
Pernapasan : tidak ada kelainan
Suhu : tidak ada kelainan
Mata : tidak ada kelainan
THT : tidak ada kelainan
Thoraks : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan
Status Dermatologis
Pada regio sacral dan gluteal tampak patch eritem batas
tegas dengan skuamasi dan ekskoriasi tunggal. Central
healing (+).
PEMECAHAN MASALAH
1. Mekanisme terjadinya infeksi pada tinea corporis?
Tinea corporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (glaborous skin) di daerah muka, badan, lengan dan glutea.(1)
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku
yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Jamur ini dapat menginvasi
gejala melalui aktivasi respons imun pejamu (2).
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif
sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) (3). Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan
di Jakarta adalah T. Rubrum 57,6%, E. Floccosum 17,5%, M. Canis 9,2%, T. Mentagrophytes granulare 9%, M. Gypseum 3,2%, T.
Concentricum 0,5% (4). Jamur dapat ditularkan secara geofilik (transmisi dari tanah ke manusia), zoofilik (dari hewan ke manusia) atau
antrofilik (transmisi dari manusia ke manusia).
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur
merupakan karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur
bagian dalam (organela0 terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan
fungsi dan perannya masing-masing. Benang-benang hifa bila bercaband dan membentuk anyaman disebut miselum (5).
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat
reproduksi yang dibentuk hifa, berbentuk bulat, segi empat kerucut atau lonjong. Spora dalamm pertumbuhannya makin lama makin besar
dan memanjang membentuk hifa.
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada
saat perlekatan, jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompentsi
dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya
jamur ke epidermis.
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik respon imun nonspesifik maupun resopn imun spesifik.
Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umu, seperti
gizi, keadaan hormonal, usia dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons
inflamasi. Respons peradangan merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur.
Terdapat dua unsur reaksi radang yaitu pertama produksi komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap ivasi organisme yaitu
lisozim, sitokin, interferon, sistem komplemen dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler seperti netrofil dan makrofag
dengan fungsi utama fagositosis, mencerna dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam resopns imun yang spesifik. Sel lain
yang termasuk resopns radang non spesifik adalah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan natural killer cell. Neutrofil mempunyai
peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur (6)
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan
limfosit B merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan
dan mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merespons secara cepat terhadap adanya
presentasi dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat
penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.
2. Bagaimana diagnosis tinea corporis dan pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis?
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya, serta pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan
larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur (1). Tinea glabrosaatau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai
morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorf).
Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah (central healing). Daerah sentral biasanya menipis
dan terjadi penyembuhan, sementara di tepi lesi makin meluas ke perifer. Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi
tidak menunjukkan tanda-tanda radang yang akut. Kelainin ini biasanya terjadi pada bagian tubuh dan tidak jarang bersama-sama tinea
kruris.
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan laboratorium anatara lain pemeriksaan mikroskopis,
kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi. (7)
Pemeriksaan mikroskopis: dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10-
20%. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif
bila ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil.
Kultur: dilakukan dalam media agar Sabaroud pada suhu kamar (25-30 derajat selsius) kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah
ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora.
Pemeriksaan lampu wood: pemeriksaan yang menggunakan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat
dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat
dilihat dengan memberi warna (flueresensi). Beebrapa jamur yang memberikan fluoresensi yaitu M. Canis, M. Audouini, M. Ferrugineum
and T. Schoenleinii.
3. Bagaimana penatalaksanaan tinea corporis?
Pengobatan tinea korporis derdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengna lesi terbatas, cukup diberikan
obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogrin
dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan
kompres basah secara terbuka.
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat
perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien (8)
Pengobatan Topikal: pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Pengobatan salep Whitfield (Asam benzoate + asam salisilat) masih
cukup baik hasilnya. Selain obat klasik obat derivat imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea korporis.
Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negatif. Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan
selama 7-10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan (8)
Pengobatan Sistemik:
 Griseofulvin: obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
 Ketokonazol: digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200
mg/hari selama 3 minggu. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar karena bersifat hepatotoksik.
 Itrakonazol: Dapat digunakan sebagai obat pengganti ketokonazol terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. 100 mg sehari selama
2 minggu.
 Terbinafin 250 mg sehari selama 2 minggu
4. Bagaimana edukasi kepada pasien ?
 Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk
mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya
 Jangan menggunakan handuk, baju atau benda lainnya secara bergantian dengan orang lain
 Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah penyebaran infeksi jamur.
 Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh
 Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan
sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara
 Pasien juga harus diberitahu bahwa tinea korporis sering kali resisten terhadap pengobatan dan sering kambuh.
Daftar Pustaka

1. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates. 2015


2. SW Menaldi, Bramono K, Indriantmi W et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (edisi ketujuh). Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2016.
3. Havlickova B, Czika VA, Friendrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide. Mycoses. 2008 Sep; 51 Suppl 4:2-15.
4. Adiguna MS. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. 2004.
5. Ryan K, George RC, Ahmad N. Sherris Medical Microbiology Ed: 5. 2010.
6. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Balai Penerbit FKUI. 2004.
7. Hay RJ, Moore MK. Mycology Rook’s Textbook of Dermatology. 7th Ed. Blackwell Publishing Company. 2004.
8. Verma S, Heffernan MP. Superficial fungal infection: dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. 7th ed. McGraw Hill. 2008.

Anda mungkin juga menyukai