Diabetes merupakan salah satu tantangan penanganan kesehatan yang paling serius di seluruh
dunia. Menurut proyeksi terakhir, akan mempengaruhi 239 juta orang pada tahun 2010, dua
kali lipat dari prevalensinya sejak 1994. Diabetes akan mempengaruhi 28 juta orang di Eropa
Barat, 18,9 juta orang di Amerika Utara, 138,2 juta orang di Asia, dan 1,3 juta orang di
Australia.1
Kebutaan merupakan komplikasi dari diabetes yang paling ditakutkan, tapi juga merupakan
salah satu yang paling dapat dicegah. Diabetes merupakan penyebab kebutaan yang umum
pada orang berusia antara 30 sampai 69 tahun (20 sampai 74 tahun). Prevalensi kebutaan
karena retinopati diabetika di negara-negara Barat diperkirakan antara 1,6–1,9/100.000.1,2,3
Retinopati diabetika merupakan penyebab utama kebutaan pada usia produktif di negara-
negara industri. Dua puluh tahun setelah onset dari diabetes, hampir semua pasien dengan
diabetes tipe 1 dan hampir 60% pasien dengan diabetes tipe 2 akan mengalami beberapa
derajat retinopati. Bahkan pada saat diagnosis dari diabetes tipe 2, sekitar seperempat dari
pasien telah dengan berkembangnya latar belakang retinopati. Studi skrining di Inggris
mengungkapkan bahwa pada orang yang baru didiagnosa dengan diabetes tipe 2 sekitar 5 –
10 % mempunyai retinopati yang mengancam penglihatan dan sampai 40 % mempunyai
sedikit retinopati. Pada Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR),
3,6% dari pasien berusia onset-lebih muda (diabetes tipe 1) dan 1,6% pasien beronset lebih
tua (diabetes tipe 2) secara legal mengalami kebutaan.2,3,4
Sekitar 2% diabetes tipe 2 mempunyai clinically significant macular oedema saat diagnosis
dan sekitar 10,2% sudah mempunyai tanda lain dari retinopati diabetika saat diabetesnya
didiagnosa. Mithcell dkk mendapatkan bahwa 15,8 pasien diabetes yang tak terdiagnosa pada
populasi usia tua di Australia mempunyai tanda-tanda retinopati diabetika, menurut Blue
Mountains Eye Study. Kenyataannya kadang dibutuhkan 9-12 tahun pada penderita diabetes
tipe 2 untuk dapat terdiagnosa. Penatalaksanaan sekarang ini dapat mencegah kebutaan pada
sebagian besar kasus, sehingga adalah penting untuk mengidentifikasi pasien dengan
retinopati sebelum mempengaruhi penglihatannya.1,4
1
a b
Gambar 1 (a). Penglihatan normal. (b). Penglihatan yang sama pada pasien retinopati DM.
2
Retinopati diabetika pertama kali tampak dengan oftalmoskop sebagai retinopati diabetika
non-proliferatif (non-proliferative [sebelumnya disebut background’] diabetic
retinopathy/NPDR), yang ditandai oleh mikroaneurisma, perdarahan dot, blot atau flame,
hard exudates, cotton wool spot (soft exudates), abnormalitas mikrovaskular intraretina dan
venous beading.4,6,9
Tahap proliferatif dari retinopati diabetika (proliferative diabetic retinopathy/PDR) ditandai
oleh pertumbuhan pembuluh darah baru yang abnormal dan berlanjut dengan proliferasi
fibrous sebagai akibat dari iskemia retina, dan berkembangnya perdarahan preretina atau
vitreus. Jika pembuluh darah baru muncul pada atau dalam satu diameter diskus dari batas
diskus, mereka dikenal sebagai pembuluh darah baru pada diskus (NVD). Pada lokasi lain,
mereka dikenal sebagai pembuluh darah baru di tempat lain/’elsewhere’ (NVE).4,6,9
Pasien PDR dengan ‘karakteristik resiko tinggi’ (HRC) diidentifikasi the Diabetic
Retinopathy Study (DRS) dengan suatu prognosis visual yang buruk. HRC ini adalah (1)
NVD ≥ ⅓ area diskus, atau (2) NVD dimanapun dengan perdarahan vitreus atau pre-retina,
atau (3) NVE ≥ ½ area diskus dengan perdarahan vitreus atau pre-retina, atau (4) perdarahan
vitreus atau pre-retina kurang jelas pada ≥ 1 area diskus.6
Bocornya kapiler pada makula atau area perimakular yang menyebabkan penebalan retina
atau edema makula diabetika (DME), didefinisikan sebagai penebalan yang berlokasi
dalam dua diameter diskus dari pusat makula. Bila itu terdapat dalam atau dekat pusat
makula, disebut clinically significant macular oedema (CSMD).6,8,9
PATOGENESIS6,9
Mengikuti suatu serial penelitian pada binatang dari retinopati diabetika, hasil percobaan
klinis dari Diabetes Control and Complications Study (DCCT) dan data epidemiologi dari
3
Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR) telah menekankan
hubungan yang kuat antara kontrol glikemik pada perkembangan dan progresifitas retinopati
diabetika. Tampaknya ada sejumlah mekanisme yang terlibat, termasuk jalur sorbitol atau
aldose reduktase, glikasi non-enzimatik atau glikosilasi dari protein, produksi faktor
pertumbuhan di retina, seperti halnya perubahan aliran darah kapiler retina dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Hubungan biokimia antara hiperglikemia dan retinopati diabetika ini
disimpulkan belum lama oleh Larkins, yang menggambarkan sejumlah kemungkinan jalur
biokimia yang menghubungkan metabolisme glukosa secara langsung dengan
berkembangnya retinopati diabetika: jalur aldose reduktase, peningkatan aktivitas protein
kinase C yang meningkatkan produksi prostaglandin vasodilatorik, peningkatan glikasi non-
enzimatik, dan glukosa yang menginduksi kerusakan auto-oksidatif.
Jalur aldose reduktase (sorbitol) aktif selama hiperglikemia, dengan akumulasi dari sorbitol.
Pada jaringan vaskular retina yang kritis, dia menyebabkan kerusakan perisit retina dan
penebalan membran basalis, dengan penutupan kapiler retina. Perubahan-perubahan ini telah
lama diidentifikasi sebagai kunci lesi awal pada retinopati diabetika.
Glikasi non-enzimatik (glikosilasi) dari berbagai protein yang berbeda bersamaan dengan
diabetes dan dapat memainkan peran penting dalam patogenesis retinopati. Konsentrasi
glukosa yang tinggi memodifikasi makromolekul long-lived, membentuk advanced glycation
endproducts (AGEs). Ini menyebabkan perubahan dalam komponen matriks ekstraselular,
termasuk adesi sel dan perubahan fungsi sel lain, yang berhubungan dengan retinopati.
Pada kondisi hiperglikemia, terdapat peningkatan fluks glukosa melalui jalur fosfat pentose
dengan meningkatnya aktivasi protein C dan meningkatnya produksi prostaglandin
vasodilatorik. Ini mungkin sebagai suatu mekanisme dari peningkatan aliran darah retina dan
permeabilitas vaskular yang terdapat pada retinopati dan dapat juga dihubungkan dengan
jalur aldose reduktase.
Penelitan-penelitian telah mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin meningkatkan atau
menginhibisi proliferasi pembuluh darah retina dengan sejumlah ‘growth factors’ yang
teridentifikasi. Ini termasuk fibroblast growth factor acidic dan basic, (aFGF dan bFGF),
insulin-like growth factor (IGF), vascular endothelial growth factor (VEGF) dan platelet-
derived growth factor (PDGF). Pelepasan faktor-faktor ini sebagai respon terhadap iskemia
merupakan suatu hipotesis baru untuk patogenesis retinopati diabetika. Studi imunositokimia
jaringan telah melokalisasi FGF pada pasien-pasien dengan neovaskularisasi diabetik. Serupa
juga, peningkatan kadar serum IGF-1 telah diukur pada pasien-pasien dengan retinopati
proliferatif, baik pada diabetes onset awal maupun late. VEGF merupakan suatu sitokin
multifungsi yang diekspresi dan disekresi oleh banyak sel, dan merupakan suatu faktor
4
permeabilitas yang poten. Telah diperlihatkan mempengaruhi fungsi blood-retinal barrier
pada retinopati diabetika dan didapatkan meningkatkan konsentrasi vitreus pada mata dengan
PDR. Suatu peran untuk ligan dan reseptor PDGF telah dipostulasi dalam patogenesis
penyakit-penyakit proliferatif lain, seperti proliferative vitreoretinopathy, seperti halnya pada
PDR.
5
awalnya berdinding tipis. Kemudian, sel-sel endotelial berproliferasi dan membentuk lapisan
material membran basalis disekitarnya. Fibrin dan eritrosit dapat berakumulasi dalam
aneurisma. Walaupun terdapat lapisan membran basalis, mereka permeabel terhadap air dan
molekul besar, memungkinkan akumulasi air dan lipid pada retina. Juga lebih banyak
mikroaneurisma yang dapat terlihat dengan angiografi fluoresen daripada pada
oftalmoskopi.1,4
Ada dua tipe anatomi dari mikroaneurisma. Pertama yang berkembang sebagai kantung
dinding kapiler, sementara yang lainnya didahului oleh varikosis dan kinking dinding kapiler.
Mekanisme dari tipe yang pertama terus merupakan perkiraan, teori-teori termasuk
kelemahan fokal akibat degenerasi perisit (Cogan dkk, 1961), kelemahan sekunder pada
perubahan membran basalis (Pose, 1960), obliterasi kapiler yang menyisakan suatu residu
(Yanoff 1969), dan usaha revaskularisasi abortif pada daerah tertutupnya kapiler (Yanoff
1969). Namun bukti pendukung teori-teori ini sepenuhnya sirkumstansial dan masing-masing
mendapat sanggahan yang serius (Garner 1970). Faktor hemodinamik sekunder terhadap
peningkatan aliran darah, kemungkinan, dengan meningkatnya viskositas mungkin penting,
karena juga merupakan gambaran dari retinopati vaskular lain dengan tanda mikroaneurisma,
namun tak menjelaskan karakter fokal dari lesi. Tipe kedua mikroaneurisma tampaknya mulai
sebagai suatu hiperplasia terbatas yang menyebabkan dilatasi sirkumferensial dan
pertumbuhan longitudinal. Pelebaran dan perpanjangan itu predominan pada sisi vena dari
sirkulasi retina dan menyebabkan tortousity dan kinking yang eksesif, dimana, kadang
tampak mengakibatkan aneurisma loop-type (Ashton, 1958).10,11
Perdarahan retina, dapat terjadi dalam lapisan tengah retina yang padat, dan tampak sebagai
perdarahan ‘dot’ atau ‘blot’, atau walau jarang, pada lapisan serat saraf superfisial dimana
tampak sebagai perdarahan ‘flame shaped’. Ini lebih dikenal saat dihubungan dengan
hipertensi berat. Saat dinding suatu kapiler atau mikroaneurisma yang sangat melemah,
sehingga ruptur, menyebabkan suatu perdarahan intraretina. Jika perdarahannya dalam
(misalnya pada lapisan nuklearis dalam atau lapisan pleksiformis luar), biasanya berbentuk
bulat atau oval (dot atau blot). Perdarahan dot tampak sebagai suatu titik merah terang dan
mempunyai ukuran yang sama dengan mikroaneurisma yang besar. Perdarahan blot adalah
lesi yang lebih besar berlokasi dalam mid retina dan kadang berada didalam atau dikelilingi
daerah iskemia. Jika perdarahan lebih superfisial pada lapisan serat saraf, dia mengambil
bentuk flame atau splinter, yang tak dapat dibedakan dengan suatu perdarahan pada retinopati
hipertensif. Mereka sering diabsorbsi setelah beberapa minggu.1,4,11
6
Hard exudates (intra retinal lipid deposite), merupakan deposit lipid berwarna kuning dan
protein dengan batas yang relatif jelas pada retina. Biasanya terdapat pada tepi ditempat
bocornya mikrovaskular dan dapat membentuk suatu pola circinate sekitar suatu
mikroaneurisma yang bocor. Mereka dapat menyatu membentuk lembar eksudat yang
ekstensif. Bila hard exudates menginvasi makula dapat mempengaruhi penglihatan.1,4
Cotton wool spots, merupakan hasil dari oklusi arteriol pre kapiler retina yang menyuplai
lapisan serat saraf dengan pembengkakan konkomitan dari akson serat saraf fokal. Juga
disebut “soft exudates” atau “nerve fibre layer infarctions”, berwarna putih, lesi seperti busa
halus pada lapisan serat saraf. Angiografi fluoresen memperlihatkan tak ada perfusi kapiler di
daerah soft exudates. Walau umumnya dihubungkan dengan iskemia fokal akut, seperti yang
mengikuti nekrosis arteriol pada hipertensi, juga ditemukan pada pasien diabetik yang
normotensif (Kohner dkk, 1969). Eksperimen yang melibatkan embolisasi artifisial cabang
dari arteriol retina telah memperlihatkan pengaruh dari fenomena iskemik (Ashton dkk
1966).1,4
Gambar 3. (A) Regio temporal superior mata kiri menunjukkan NPDR berat dengan venous
beading, intraretinal microvascular abnormalities (IRMAs), cotton wool spots &
haemorrhages. (B) sama dengan (A) tetapi 10 bulan kemudian menunjukkan neovaskularisasi
dan perdarahan besar yang muncul dari neovaskularisasi tersebut. (C) Regio makula kiri
menunjukkan hard exudates multiple (exudative maculopathy). (D) Gambaran fotografi
berwarna regio makula kanan dengan NPDR moderat. Terdapat mikroaneurisma multipel,
perdarahan & hard exudates. (E) Angiogram flouresens area yang tampak pada (D)
menunjukkan area kapiler nonperfusi yang besar di sekitar dan lateral makula.
7
DIAGNOSIS
Deteksi awal abnormalitas retina sangat penting dalam mencegah retinopati diabetika dan
kehilangan penglihatan. Telah diestimasi bahwa skrining sistematik untuk retinopati diabetika
dapat mencegah sekitar 260 kasus kebutaan baru tiap tahun pada orang berusia dibawah 70
tahun di Inggris dan Wales. Konsensus terbaru dari Eropa dan AS bahwa skrining oleh
praktisi yang berpengalaman dan terlatih adalah cost effektive dan dapat menurunkan
morbiditas karena kebutaan.1,2,5
Deteksi retinopati diabetika termasuk1,4,7:
anamnesis: adanya riwayat gangguan visual atau perubahan dalam penglihatan
visual acuisity test: harus diperiksa tiap tahun, atau lebih sering jika terdapat retinopati
atau jika ada perubahan yang tak diharapkan. Menggunakan eye chart dengan pasien
mengenakan kaca matanya atau melalui pinhole.
pemeriksaan retina: semua pasien diabetik harus menjalani pemeriksaan fundus rutin
dengan funduskopi atau fotografi retina, dan lebih dianjurkan keduanya.
Direkomendasikan penggunaan tetes mata tropicamide 0,5%, kecuali bagi mereka dengan
glaukoma sudut tertutup.
Metode skrining1,4:
pemeriksaan konvensional dengan oftalmoskop dalam ruang gelap dan pupil didilatasi
merupakan persyaratan minimum. Pemeriksa harus terlatih, namun bahkan oftalmologis
konsultan tak mencapai suatu sensitifitas 80%.
fotografi retina dilakukan dengan pupil didilatasi. Fotografi digital sekarang merupakan
metode yang lebih dipilih karena gambarannya yang dapat disimpan secara elektronik,
memudahkan dalam konsultasi, review, dan dalam mengajar. Fotografi warna
konvensional juga menghasilkan gambar yang baik, namun kualitas fotografi Polaroid
kurang ideal.
Lebih ideal untuk melakukan baik funduskopi konvensional dan skrining fotografi, dan
ada bukti bahwa prosedur skrining kombinasi menurunkan angka kegagalan.
a b
Gambar 4. Metode skrining (a). Snellen chart dan oftalmoskopi. (b). pinhole
8
TATALAKSANA
Ada tiga terapi utama untuk retinopati diabetika, yang sangat efektif dalam mengurangi
kehilangan penglihatan karena penyakit ini. Sebenarnya, walaupun orang dengan retinopati
advanced punya 90% kesempatan untuk mempertahankan penglihatannya bila mereka
mendapatkan penanganan sebelum retinanya sangat rusak. Tiga terapi ini adalah operasi laser,
injeksi triamsinolon kedalam mata, dan vitrektomi. Penting dicatat, walaupun terapi-terapi ini
sangat sukses, namun tak menyembuhkan retinopati diabetika.1,3,5,7
Fotokoagulasi laser, fotokoagulasi panretinal, atau PRP (juga disebut scatter laser
treatment), digunakan untuk terapi PDR. Tujuannya untuk menghasilkan 1.000-2.000 bakaran
pada retina dengan harapan mengurangi kebutuhan oksigen retina dan kemungkinan iskemia.
Sebelum laser, pupil didilatasi dan pada mata diberikan tetesan anastetik. Pasien duduk
menghadap mesin laser sementara dokter memegang lensa khusus pada mata. Dapat
digunakan titik laser tunggal atau laser sken berpola untuk pola dua dimensi seperti segi
empat, lingkaran atau busur. Selama prosedur, pasien mungkin melihat kilatan cahaya.
Kilatan cahaya kadang dapat menimbulkan sensasi menyengat yang tak enak bagi pasien.
Terapi ini mengecilkan pembuluh darah abnormal dan pasien mungkin dapat kehilangan
sedikit penglihatan perifernya setelah operasi, juga dapat mengurangi penglihatan warna dan
penglihatan malam.1,5,7
a b
Gambar 5 (a). Gambaran skematik fotokoagulasi panretinal. (b). Gambaran PDR pasca-PRP
9
menunggu. Vitrektomi sering dilakukan dalam anastesi lokal, dimana dibuat insisi kecil pada
sklera, lalu memasukkan suatu instrumen kecil ke dalam mata untuk mengeluarkan vitreus
dan menginjeksi cairan saline ke dalam.5,7
a. b.
KEPUSTAKAAN
1. O’Shea GO, Harvey RB. Current perspective of diabetic retinopathy-a photo essay for health
professionals. Birmingham and Midland Eye Centre, UK. 2002.
2. Anonym. Complication of diabetes:screening for retinopathy-Management of foot ulcers.
University of York, The Royal Society of Medicine Press Limitted, August 1999; 5(4)
3. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blakenshio G, Cavallerano JD, et all. Retinopathy in
diabetes. Diabetes Care, Jan 2004; 27:S84-7.
4. Watkins PJ. ABC of diabetes retinopathy. BMJ, April 2003; 326:924-6.
5. Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. Diabetic retinopathy and diabetic macular edema. Diabetes
Care, Sept 2003; 26(9):2653-61.
6. Mitchell P, Foran S. Guideline for the management of diabetic retinopathy. Commonwealth of
Australia, Australia, 2008.
7. Anonym. Diabetic retinopathy. Available at: www.nei.nih.gov/health/diabetic/retinopathy.asp
8. Anonym. Preserving vision in diabetes. Commonwealth of Australia, Australia, June 1997.
9. Anonym. Management of diabetic retinopathy-clinical practice guidelines. Commonwealth of
Australia, Australia, June 1997.
10. Garner A. Developments in the pathology of diabetic retinopathy: a review. journal of the Royal
Society of Medicine, June 1981, 74:427-31.
11. Cunha JG. Pathophysiology of diabetic retinopathy. British Journal of Ophtalmology,1978;
62:351-5.
10