Oleh :
Yoga Zunandy Pratama*
G1A216068
Pembimbing:
dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp. An**
UNIVERSITAS JAMBI
2018
CASE REPORT SESSION
Oleh :
Yoga Zunandy Pratama
G1A216068
Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Fakultas
kedokteran Dan Ilmu Kesehatan/ Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Jambi
Case Report Session (CRS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami
lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Anestesiologi di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat
penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.Panal Hendrik Dolok saribu, Sp.An
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan Case Report Session (CRS) ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya.Semoga tugas ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tindakan yang dilakukan pada tumor ovarium ialah dengan
pembedahan yaitu laparatomi. Laparatomi yaitu pembedahan perut, membuka
selaput perut dengan operasi.4
c. Pemeriksaan EKG
d. Pemeriksaan Radiologi
Rho-Thorax PA : Cor dan Pulmo normal
Penentuan Status Fisik ASA : 1/2/3 /4/5
Persiapan Pra Anestesi :
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Puasa 6 jam sebelum operasi
- Persiapan darah 2 kolf
- Siapkan SIO
5. Monitoring Perioperative
7. Ruang Pemulihan
Masuk jam : 12.15 wib
Keadaan Umun : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 / E : 4 M : 6 V : 5
Vital Sign
TD : 120/70 mmHg
HR : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : Afebris.
Pernapasan : Baik
Skor aldrette
Aktifitas :1
Pernapasan :2
Warna kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah :9
Penyulit : Tidak ada
Pindah/pulang : Pindah ke ruangan bangsal bedah pukul.12.45 Wib
8. Instruksi Anestesi
Awasi Tanda-tanda vital dan perdarahan setiap 15 menit.
Bed rest menggunakan bantal selama 1 x 24 jam pertama postoperasi
Boleh minum bertahap setelah BU (+)
Terapi sesuai dr.Rudi Gunawan, Sp.OG, K
9. Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anamnesis
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minum bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi.5
Premedikasi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi
anestesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuskular atau
rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.6
3.1.5 Indikasi:
3.1.6 Kontraindikasi:
Kontraindikasi absolut:
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minim.
7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesi.
Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis.1
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-
lainnya.
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.
Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal.
Berat jenis cairan serebrospinal (CSS) pada suhu 30OC ialah 1,003 –
1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik1
1. faktor utama
Berat jenis anestesi lokal
Posisi pasien (kecuali isobarik)
Dosis dan volume anestesi lokal (kecuali isobarik)
2. Faktor tambahan
Ketinggian suntikan
Kecepatan suntikan/ barbotase.
Ukuran jarum.
Keadaan fisik pasien.
Tekanan intraabdominal.
Lama kerja anestesi lokal tergantung
1. Hipotensi Berat
2. Bradikardi
3. Hipoventilasi
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi, atau spinal total.1
Komplikasi pasca tindakan:
Obat anastesi local bekerja pada pompa Na dan K, sehingga terjadi polarisasi:
Menghambat transmisi impuls saraf atau blockade konduksi → mencegah
peningkatan permeabilitas membrane saraf terhadap ion Na
Mekanisme kerja: keadaan istirahat, depolarisasi, repolarisasi, polarisasi penuh
Obat local anastesi mencegah proses depolarisasi membrane saraf dengan
memblok aliran ion Na → hambatan transmisi impuls saraf (blockade
konduksi).5
1. Opioid
3.2.1 Definisi
Tumor ovarium adalah suatu massa yang tumbuh pada ovarium. Tumor
jinak ovarium, yang juga dikenal sebagai ‘atypical proliferating tumors’ adalah
massa yang terdiri dari kelompok tumor yang menunjukkan proliferasi epitel yang
biasanya jinak dan non-invasive. Diantara tumor-tumor ovarium ada yang bersifat
neoplastik dan ada yang bersifat non-neoplast.7
3.2.2 Epidemiologi
Tumor jinak ovarium kira-kira 15% dari jumlah seluruh kanker epitel
ovarium. Biasanya terjadi pada usia kurang dari 35 tahun. Penggunaan obat-obat
penyubur meningkatkan risiko terjadinya tumor ovarium.7
3.2.3 Etiologi
Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya tumor ovarium,
diantaranya adalah sebagai berikut :7
Teori ovulasi
Terjadi invaginasi kapsul epitel pasca ovulasi ke dalam stroma ovarium.
Dengan rangsangan hormon pada stroma, sel-sel epitel berpotensi untuk
menjadi kista-kista baru yang nantinya akan menjadi tumor epitel ovarium
Teori endokrin
Epitel pada kapsul ovarium berasal dari mullerian dan jaringan ini
responsif terhadap hormon dengan cara yang sama seperti epitel mullerian
berespon saat muncul dalam endometrium atau tuba falopii. Menurut teori
endokrin, di lingkungan hormonal yang tidak seimbang ini dapat
menyebabkan neoplasia
Teori substansial eksogen
Teori ini menduga bahwa iritan seperti bedak merupakan faktor pemicu
tumor neoplastik jinak dan ataupun ganas
Teori transformasi
Tidak semua tumor jinak dapat menjadi ganas, namun ada kemungkinana
terjadi degenerasi maligna pada tumor tersebut
3.6. Pemeriksaan
Selama usia reproduktif, kebanyakan massa di ovarium adalah jinak.
Pasien dengan gejala yang akut biasanya memerlukan operasi. Sebaliknya pasien
dengan gejala yang kronik sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
o Riwayat Ginekologik
Meliputi tanggal haid terakhir, siklus haid, kehamilan, kontrasepsi, riwayat
obat-obatan dan riwayat keluarga.9
o Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada regio abdomen dan pelvis.
Pemeriksaan fisik ini juga diikuti dengan pemeriksaan PAP smear.7
Pemeriksaan rektovaginal sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik
fisik dari massa tersebut. Penentuan akan ukuran tumor ovarium ini sangat
penting dalam memutuskan apakah massa ini memerlukan tindakan eksplorasi
pembedahan atau tindakan observasi dan tindakan yang bersifat non-invasive.7
Bila pasien dalam keadaan gawat, perhatikan apakah ada hipovolemik. Dapat
juga menyebabkan perbesaran KGB dan efusi pleura, tetapi jarang dijumpai
pada tumor jinak ovarium.9
o Pemeriksaan Abdomen
Pada abdomen dapat ditemukan adanya cairan, caput medusa pada dinding
abdomen, pada palpasi dapat ditemukan adanya massa pada abdomen bawah.
Untuk mengetahui adanya akut abdomen, dapat dengan cara mendengarkan
bising usus, apabila negative kemungkinan terjadi peritonitis. Pasien juga
merasa perutnya tegang, tidak nyaman, adanya tekanan pada perut bawah,
gejala urinary dan gastrointestinal.7
o Pemeriksaan Bimanual
Ini merupakan pemeriksaan yang penting. Dengan cara palpasi massa antara
vagina dan abdomen, dinilai apakah massa mobile dan konsistensinya.7
o USG
USG dapat memperlihatkan adanya massa ovarium, walaupun tidak dapat
membedakan antara yang jinak dan ganas. Massa yang padat cenderung ganas,
dibanding dengan massa yang kistik. Selain itu dapat juga digunakan
Transvaginal USG, MRI ataupun CT Scan juga dapat membantu.7
o Pemeriksaan Darah dan Serum Marker
Adanya massa di daerah pelvis disertai dengan peningkatan sel darah putih
dapat disebabkan oleh infeksi. Serum marker merupakan pemeriksaan yang
rutin dikerjakan untuk tumor ovarium. Wanita dengan endometriosis juga
menyebabkan peningkatan level CA 125, tetapi tidak setinggi adanya
keganasan. Konsentrasi -hCG yang meningkat dapat disebabkan adanya
kehamilan ektopik, selain itu juga dapat disebabkan oleh tumor trophoblastik
dan germ cell tumor. Level estradiol juga dapat meningkat pada pasien dengan
kista folikular dan sex cord stromal tumor. Peningkatan androgen dapat terjadi
pada Sertolli-Leydig tumor.7
3.8. Penatalaksanaan
Tergantung pada berat ringannya penyakit, usia pasien, dan keinginan
pasien untuk memiliki anak.
Asimptomatik pasien
Bila pada pemeriksaan didapatkan tumor berdiameter 6 cm, CA 125 < 35
mU/ml, vaskularisasi normal pada sekitarnya, dapat dilakukan tindakan
konservatif. Pada kasus ini, bila tumor tidak membesar dalam 3 bulan, dan
tetap tidak membesar setelah 6 bulan, disertai dengan kadar CA 125 < 35
mU/ml biasanya akan mengalami resolusi dalam 3-7 tahun.9
Tumor jinak dengan diameter < 10 cm dapat dilakukan laparoskopik. Kriteria
observasi tumor ovarium yang asimptomatik :9
Unilateral tumor atau kista tanpa adanya massa padat
Wanita premenopause dengan tumor berdiameter 3-10 cm
Wanita postmenopause dengan tumor berdiameter 2-6 cm
CA 125 dalam batas normal
Tidak ada ascites atau perlengketan dalam omentum
Simptomatik pasien
Wanita hamil
Bila pasien menunjukkan penyakit yang berat, perdarahan atau akut
abdomen diperlukan operasi segera. Pada pasien dengan kista ovarium dan
hamil, sering terjadi torsio atau perdarahan. Kista dermoid dapat rupture
dan mengakibatkan peritonitis. Kista ovarium dapat didiagnosis sebelum
kehamilan, sehingga dapat direncanakan persalinan secara Sectio Caesar
Wanita pubertas
Jarang ditemukan kista ovarium dan biasanya jinak. Yang paling sering
adalah teratoma dan kista folikular. Gejalanya meliputi nyeri abdomen,
distensi abdomen, pubertas prekoks. Penatalaksanaan tergantung pada
beratnya penyakit Terapi
Aspirasi kista dengan bantuan USG
Keuntungan dari teknik ini adalah tidak perlu dilakukan operasi, dengan
syarat kista yang diaspirasi tidak membentuk cairan kembali. Setelah
cairan diaspirasi perlu pemeriksaan sitologi. Tidak dianjurkan untuk tumor
ganas. Calon terbaik untuk aspirasi adalah wanita muda dengan kista
unilateral, unilokular, diameter < 10 cm. Dapat diterapkan pada pasien
yang memiliki risiko yang besar jika dilakukan operasi
Laparoskopi
Indikasi laparoskopi :
o Massa abdomen yang meragukan
o Usia < 35 tahun
o USG menunjukkan tidak ada massa padat
Simple ovarian cyst
Keuntungan laparoskopi yaitu nyeri post operatif sedikit, mempersingkat
lamanya perawatan, dapat cepat kembali beraktivitas, memperkecil
kemungkinan terjadinya perlengketan dibanding dengan laparotomi.
Kerugiannya antara lain, eksisi yang tidak lengkap dari dinding kista, dan
kemungkinan adanya keganasan yang tidak diprediksi dapat terjadi
Laparotomi
Kista dermoid sebaiknya dilakukan laparotomi, karena kemungkinan
cairannya bocor dan mengakibatkan komplikasi yang serius. Pada wanita
< 35 tahun, tumor ovarium jarang menyerupai keganasan. Laparotomi
penting untuk mengeksplorasi seluruh abdomen dan melihat keadaan
kedua ovarium. Pada wanita < 35 tahun, tumor ovarium sering kelihatan
tidak ganas, bahkan mungkin massa tersebut adalah tumor ganas, yang
tampak seperti germ tumor yang responsive terhadap kemoterapi. Maka
kistektomi atau oophorectomy merupakan terapi yang cocok dan aman
untuk massa ovarium pada kelompok usia ini.9
BAB IV
ANALISA KASUS
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragaman,
diantaranya :
Spinal Anestesi
Pada kasus ini digunakan obat anestesi spinal yaitu bupivacaine 0,5% (4
cc). Bupivacaine merupakan golongan amide lokal anestesi yang dapat
memberikan blokade reversible, penyebaran impuls melalui serabut saraf
dihambat dengan masuknya ion Na dalam membran saraf. Mulai kerja lambat
dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam.
Adjuvant yang digunakan adalah morfin 0,1 mg dan klonidin 0,3 mcg.
Klonidin dipakai dalam anestesi untuk menimbulkan analgesia tanpa blok motorik
dan propioseptif. Mekanisme lain efek analgesia pada pemberian intratekal adalah
dengan adanya vasokonstriksi lokal. Klonidin memperpanjang durasi blok.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid dengan efek utama mengikat
dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi ini akan
menyebabkan efek analgesik, sedasi, euforia, phyical dependence dan respiratory
depression. Morfin juga bertindak sebagai reseptor k-opioid yang terkait analgesik
spinal dan miosis. Pada pasien ini diberikan klonidin dan morfin.
Permasalah pada pasien ini terdapat pada dosis anestesi bupivacain yang
terlalu besar. Berdasarkan tabel diatas, pada bedah perut bagian bawah, dosis yang
dianjurkan adalah sebesar 12-18 mg, sedangkan dosis yang diberikan lebih 2 mg
lipat dari dosis anjuran yakni 20 mg.
Monitoring Intraoperatif
Terapi cairan
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1.500
ml (3 kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam.
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 60 Kg/jam
= 120 cc/jam
= 720 cc
= 360 cc/jam
Jam I = ½ PP + SO + M
= 840 cc
Jam II = ¼ PP + SO + M
= 660 cc
Jumlah cairan yang sudah diberikan pada pasien ini adalah 1.500
cc, dari hitungan teori 1 jam pertama diberikan 840cc sudah sesuai tetapi ½ jam
pertama harusnya diberikan 330 cc, sehingga hanya dibutuhkan 1.170 cc cairan
infus. Pada pasien digunakan cairan infus RL 500 cc dan asering 1.000 cc.
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke RR. Pasien berbaring dengan
posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah PDPH ( post dural punctum headache ),
karena PDPDH merupakan salah satu komplikasi iatrogenik dari anastesi spinal
berupa nyeri kepala yang biasanya ditandai dengan nyeri pada daerah frontal dan
occipital yang dapat dinilai dengan Visuao Analogue Scale (VAS). Tanda dan
gejala PDPH muncul akibat keluanya LCS melalui celah yang terbentuk pada saat
penusukan jarum spinal yang mengakibatkan traksi pada komponen-komponen
intracranial dan refleks vasodilatasi cerebral. Pasien yang mengalami PDPH juga
mengalami mual, muntah, gangguan penglihatan, tinnitus, atau ketulian.
Patofisiologinya belum diketahui namun teori yang selama ini dianut akibat
penurunan volume dan tekanan css. Sehingga PDPH dapat dicegah dengan tirah
baring selama 24 jam. karena efek obat anestesi masih ada. Observasi tanda vital
dan pemberian oksigenasi tetap diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum
stabil, maka pasien dibawa ke ruangan.
BAB V
KESIMPULAN