Anda di halaman 1dari 44

Case Report Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A202129/ Juni 2018


** Pembimbing : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

TINDAKAN ANESTESI SPINAL PADA OPERASI


LAPARATOMI TUMOR PADAT OVARIUM

Oleh :
Yoga Zunandy Pratama*
G1A216068

Pembimbing:
dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp. An**

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ANASTHESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018
CASE REPORT SESSION

TINDAKAN ANESTESI SPINAL PADA OPERASI


LAPARATOMI TUMOR PADAT OVARIUM

Oleh :
Yoga Zunandy Pratama
G1A216068

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi Fakultas
kedokteran Dan Ilmu Kesehatan/ Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Jambi

Jambi, Juni 2018


Pembimbing,

dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan


rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Case Report Session (CRS) pada
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Jambi yang berjudul “Tindakan Anestesi Spinal Pada
Operasi Laparotomi Tumor Padat Ovarium”.

Case Report Session (CRS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami
lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Anestesiologi di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat
penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.Panal Hendrik Dolok saribu, Sp.An
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan Case Report Session (CRS) ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya.Semoga tugas ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, Juni 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Anestesi spinal
ialah pemberian obatan estetik lokal kedalam ruang subaraknoid yang berisi
cairan serebrospinal (CSF/ Cerebrospinal fluid). Lokasi prinsipal dari kerja blok
neuraxial anestesi spinal adalah akar saraf.1,2

Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan


ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif.3

Tumor ovarium merupakan neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium.


Tumor ovarium berdasarkan konsistensinya ada yang bersifat solid atau kistik.
Tumor ovarium berdasarkan histopatologinya bias bersifat jinak atau ganas.
Angka kejadian tumor ovarium yaitu sekitar 30% dari keseluruhan jenis tumor
pada sistem genitalia wanita, menempati peringkat keenam dari keseluruhan jenis
tumor di Indonesia.4

Salah satu tindakan yang dilakukan pada tumor ovarium ialah dengan
pembedahan yaitu laparatomi. Laparatomi yaitu pembedahan perut, membuka
selaput perut dengan operasi.4

Seorang penderita perempuan bernamaNy. E berusia 40 tahun masuk ke


RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan benjolan di perut sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa adanya benjolan di perut semakin
membesar dan tidak disertai nyeri.

Hasil dari pemeriksaan dokter spesialis obstetri dan ginekologi didapatkan


pasien menderita tumor padat ovarium dan direncanakan akan dilakukan operasi
laparotomi untuk mengangkat tumor pada hari selasa tanggal 22 Mei 2018.
Pada saat kunjungan Pra Anestesi (KPA) sesaat sebelum operasi
didapatkan pemeriksaan status generalisata dalam batas normal. Riwayat
hipertensi tidak ada, riwayat DM tidak ada, riwayat penyakit sistemik lainnya
tidak ada, oleh karena itu pasien digolongkan pada ASA II.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Tanggal : 22 Mei 2018
Nama : Ny. EY
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Alamat : RT 05 Talang Bakung
No Reg : 885780
Ruangan : Kebidanan
Diagnosis : Tumor Padat Ovarium
Tindakan : Laparotomi
TB/BB : 160 cm/60kg
Gol Darah :B

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


2.2.1 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Benjolan pada perut kanan bawah yang semakin membesar sejak ± 2
minggu SMRS
b. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Os datang dengan keluhan terdapat benjolan pada perut kanan bawah sejak
1 bulan SMRS. Benjolan dirasakan semakin membesar sejak 2 minggu SMRS.
Sebelumnya Os mengatakan tidak pernah merasakan terdapat benjolan apapun
di sekitar perutnya. Benjolan tersebut tidak disertai nyeri.
Os mengatakan dalam 1 bulan SMRS tidak menstruasi lagi, sebelumnya
Os mengatakan menstruasinya teratur, dengan jumlah darah menstruasi dalam
batas normal, dan tidak disertai nyeri haid yang hebat.
Os sudah memiliki dua anak, keduanya dilahirkan secara perabdominam.
Sebelumnya Os pernah menjalani operasi kista 1 tahun yang lalu, sebelum
masuk rumah sakit.
Keluhan lainnya mual (-), muntah (-), pusing (-), jantung berdebar-debar
(-), sesak (-), nafsu makan baik, BAB dan BAK lancar.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat hipertensi : (-) tidak ada
- Riwayat Gagal ginjal dan cuci darah : (-) tidak ada
- Riwayat DM : (-) tidak ada
- Riwayat asma : (-) tidak ada
- Riwayat penyakit jantung : (-) tidak ada
- Riwayat Batuk lama : (-) tidak ada
- Riwayat operasi : (+) ada

d. Riwayat Kebiasaan dan penyakit keluarga:


- Keluhan serupa di keluarga : (-) tidak ada
- Merokok : (-) tidak ada
- Gigi palsu : (-) tidak ada
- Riwayat alergi makanan : (-) tidak ada
- Riwayat alergi obat : (+) ampisilin

2.2.2 PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
 TD : 130/90 mmHg
 Respirasi : 20x/ menit
 Nadi : 88 x/ menit, isi cukup, reguler
 Suhu : 36,7° C
 SpO2 :100%
b. Kepala : Normocephal
c. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil Isokhor, Reflek
Cahaya (+/+)
d. THT : Discharge (-), faring hiperemis (-), Tonsil T2-T2, edema (-), hiperemis
(-) detritus (-)
e. Leher : JVP 5+1 cmH2O, KGB tidak teraba membesar
f. Thorax:
Paru :
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis ICS V linea axilaris sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan ICS II linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri ICS V
linea axilaris sinistra
Auskultasi : BJ I/II (+/+), BJ tambahan (-), murmur (-)
g. Abdomen :
Inspeksi : Datar, luka bekas operasi (+) terpasang
drain
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani, asites (-)
h. Ekstremitas:
- Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
- Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
2.2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah rutin
WBC : 4.97 x 109/L
RBC : 4.6 1012/L
HB : 12,3 gr/dl
HCT : 36,9 %
PLT : 234 109/L
b. Kimia darah lengkap
Fungsi Hati:
Protein Total : 5.5 g/dl
Albumin : 4.9 g/dl
Globulin : 1.2 g/dl
SGOT : 20 U/L
SGPT : 16 U/L
Fungsi Ginjal:
Ureum : 14 mg/dl
Kreatinin : 0.9 mg/dl
Clotting Time : 5 menit
Bleeding Time : 3 menit
Hasil USG
Kesan : massa padat abdomen bawah hipervaskular dengan asites, adanya proses
malignansi tidak dapat diabaikan. Hepar, lien, pankreas, kantung empedu, ginjal,
VU, uterus, aorta tak tampak kelainan.

c. Pemeriksaan EKG

Kesan: Sinus Rhythm

d. Pemeriksaan Radiologi
Rho-Thorax PA : Cor dan Pulmo normal
Penentuan Status Fisik ASA : 1/2/3 /4/5
Persiapan Pra Anestesi :
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Puasa 6 jam sebelum operasi
- Persiapan darah 2 kolf
- Siapkan SIO

2.3 RENCANA TINDAKAN ANESTESI


1. Diagnosis pra bedah : Tumor Pada Ovarium
2. Tindakan Bedah : Laparotomi
3. Status fisik ASA :2
4. Jenis tindakan anestesi : Spinal Anestesi
a. Premedikasi :
 Ranitidin 50 mg
 Ondansentron 4 mg
 Asam Traneksamat 1000 mg
 Dexamethason 10 mg
b. Tekhnik anestesi : Spinal ( intratekal )
 Lokasi Penusukan : L3-L4
 Obat anestesi lokal : bupivakain 0,5% 4 cc
 Adjuvant : Klonidin 0,3 mcg
Morphin 0,1 mg
 Maintenance : O2 nasal kanul 2 liter/menit
c. Medikasi Analgetik : Ketorolac 30 mg dalam RL 500 cc

5. Monitoring Perioperative

Waktu Tindakan TD NADI SpO2 Keterangan


10.30 Pasien posisi 130/90 80 100 %
terlentang di atas mmhg
tempat tidur
pemasangan
elektroda, TD, SpO2
10.45 Infus sudah 140/90 82 100 % RL 500 cc
terpasang dan mmhg Premedikasi
diberikan (Ranitidin,
premedikasi Ondansentron,
As. Traneksamat,
Dexa)
11.00 Anestesi mulai 111/70 74 100 % Bupivacaine
dilakukan mmhg Hiperbarik 0,5%
4cc
11.15 Operasi dimulai 104/70 68 100 % Asering 500cc
mmhg
11.30 90/67 68 100 % Transfusi PRC 1
mmhg kolf
11.45 110/70 72 100 % Asering 500 cc
mmhg
12.00 Operasi selesai 122/70 78 100%
mmhg
12.15 Pasien dipindahkan 120/70 78 100% RL + Analgetik
ke Recovery Room

6. Keadaan Selama Operasi


Letak Penderita : Terlentang
Penyulit Waktu anestesi : Tidak ada
Lama Anestesi : 1 jam 30 menit

7. Ruang Pemulihan
Masuk jam : 12.15 wib
Keadaan Umun : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 / E : 4 M : 6 V : 5
Vital Sign
 TD : 120/70 mmHg
 HR : 78 x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : Afebris.
Pernapasan : Baik
Skor aldrette
 Aktifitas :1
 Pernapasan :2
 Warna kulit :2
 Sirkulasi :2
 Kesadaran :2
Jumlah :9
Penyulit : Tidak ada
Pindah/pulang : Pindah ke ruangan bangsal bedah pukul.12.45 Wib
8. Instruksi Anestesi
 Awasi Tanda-tanda vital dan perdarahan setiap 15 menit.
 Bed rest menggunakan bantal selama 1 x 24 jam pertama postoperasi
 Boleh minum bertahap setelah BU (+)
 Terapi sesuai dr.Rudi Gunawan, Sp.OG, K
9. Prognosis :
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Regional Anestesi

3.1.1 Pembagian Anestesi Regional

Anestesi regional terbagi atas : 1) Blok Sentral (blok neuroaksial), yaitu


meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. 2) Blok Perifer (blok saraf), misalnya
blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intravena dan lain-lainnya.1

3.1.2 Anatomi Medula Spinalis


Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan
dari sistemsaraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang
belakang. Fungsi utamamedulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan
antara perifer dan otak. Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf
pusat.terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan
agak melebar yang disebut conus terminalis atauconus medullaris. Terbentang
dibawah cornu terminalis serabut-serabut bukan saraf yangdisebut filum terminale
yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang saraf spinal, 8 pasang saraf
servikal; 12 pasang saraf thorakal; 5 pasang saraf lumbal; 5 pasang saraf sacal dan
1 pasang saraf coxigeal.1

3.1.3 Analgesia Spinal

Analgesia spinal (anestesi lumbal, blok subaraknoid) adalah pemberian


obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3
atau L3-L4 atau L4-L5. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.1

Spinal anestesi disebut pula spinal analgesia subarachnoid nerve block


terjadi karena obat anestesi lokal di dalam ruangan subaraknoid. Terjadi blok saraf
yang reversibel pada radik anterior dan posterior, radik ganglion posterior dan
sebagian medula spinal yang akan menyebabkan terjadinya hilangnya aktivitas
sensoris, motoris dan otonom.1

3.1.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya


sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual, muntah, nyeri otot,
gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah sehingga kita dapat
merencanakan anestesia berikutnya dengan lebih baik.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan rutin secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak


boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Klasifikasi Status Fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang


ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA).5,6

ASA 1  pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia.


ASA II  pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
ASA III  pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas,
ASA IV  pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
ASA V  pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan Oral

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minum bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi.5

Premedikasi

Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan


tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anestesia.
Obat peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg
intramuskular.6
Induksi Anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi
anestesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuskular atau
rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.6

3.1.5 Indikasi:

Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah


(daerah papilla mammae kebawah).

1. Bedah ekstremitas bawah.


2. Bedah panggul.
3. Tindakan sekitar rektum-perineum.
4. Bedah obstetri-ginekologi.
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bawah.1

3.1.6 Kontraindikasi:

Kelainan pembekuan darah, hipovolemia (syok), septisemia, infeksi kulit


daerah pungsi (punggung), tekanan intrakranial yang meninggi, penderita
menolak/tidak kooperatif.1

 Kontraindikasi absolut:
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minim.
7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesi.
 Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis.1

3.1.7 Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan anestesi


umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosessus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent (izin dari pasien)


Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal.

2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain-
lainnya.

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran


Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial
thromboplastine time).1

3.1.8 Peralatan analgesia spinal

1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.

2. Peralatan resusitasi/ anestesia umum


3. Jarum Spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, Quincke Babcock)
atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point, Whitecare).1

3.1.9 Teknik Analgesia Spinal

Inspeksi : Garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan –


kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4 atau L4-
L5.

Palpasi : Untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis.

Pungsi lumbal hanya antara: L2-L3, L3-L4, L4-L5 atau L5-S1.

Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal.

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan


pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan.
Biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa dipindahkan lagi
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.


Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3
atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya beresiko trauma terhadap
medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml. 1
Gambar 3. Posisi pasien duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi
maksimal untuk analgesia spinal

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G


atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29
G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoduser), yaitu jarum suntik
biasa spuit 10 cc. Tusukan intraduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit
kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90O biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.1
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perianal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6
cm. 1

Gambar 4. Jarum lumbal menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang


terakhir duramater-subarachnoid.

3.1.10 Anestetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan serebrospinal (CSS) pada suhu 30OC ialah 1,003 –
1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik1

Penyebaran anestesi lokal tergantung

1. faktor utama
 Berat jenis anestesi lokal
 Posisi pasien (kecuali isobarik)
 Dosis dan volume anestesi lokal (kecuali isobarik)
2. Faktor tambahan
 Ketinggian suntikan
 Kecepatan suntikan/ barbotase.
 Ukuran jarum.
 Keadaan fisik pasien.
 Tekanan intraabdominal.
Lama kerja anestesi lokal tergantung

1. jenis anestesi lokal


2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor.
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal.1
Komplikasi tindakan :

1. Hipotensi Berat
2. Bradikardi
3. Hipoventilasi
4. Trauma pembuluh darah
5. Trauma saraf
6. Mual muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi, atau spinal total.1
Komplikasi pasca tindakan:

1. Nyeri tempat suntikan


2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urin
5. Meningitis.1

3.1.11 Obat Lokal Anastesi

Dibedakan menjadi 2 golongan:5

 Amida (Bupivacaine, nupercain, etidocaine, lidocaine, mepivacaine, prilocaine,


ropivacaine)
 Ester (chloroprocaine, cocaine, procaine, tetracaine)
Mekanisme Kerja Obat Anastesi lokal

Obat anastesi local bekerja pada pompa Na dan K, sehingga terjadi polarisasi:
 Menghambat transmisi impuls saraf atau blockade konduksi → mencegah
peningkatan permeabilitas membrane saraf terhadap ion Na
 Mekanisme kerja: keadaan istirahat, depolarisasi, repolarisasi, polarisasi penuh
 Obat local anastesi mencegah proses depolarisasi membrane saraf dengan
memblok aliran ion Na → hambatan transmisi impuls saraf (blockade
konduksi).5

Dosis Obat Lokal Anastesi

Adjuvant Obat Anastesi Lokal

1. Opioid

 Reseptor opiate ditemukan di CNS seperti cortex cerebri, cortex limbic


system, thalamus bagian medial, midbrain substansia gelatinosa saraf
simpatis preganglionik
 Contoh: fentanyl akan memperlama masa kerja blok sensoris tanpa
memperpanjang blok simpatis
 Efek samping seperti mual,muntah, pruritus, retensi urin, hipoventilasi
 Depresi respirasi terjadi akibat penyebaran opioid ke dalam batang otak
sehingga terjadi depresi respirasi, biasanya akibat morfin. Dapat terjadi
dalam 12 jam pertama setelah pemberian morfin.
 Penggunaan opioid lain seperti fentaniyl tidak menunjukkan depresi
respirasi karena sifat lipofilik obat tersebut
 Hipoventilasi dapat juga disertai dengan somnolen, sehingga harus di
observasi derajat sedasi dan tingkat kesadaran
2. Midazolam

 Bekerja melalui reseptor GABA benzodiazepine yang juga terdapat di


medulla spinalis terutama di lamina II cornu dorsalis
 Efek antinosiseptik ini dapat dihilangkan dengan pemberian nalokson, di
duga bekerja melalui reseptor opioid
3. Acetylcholinestrase Inhibitor

 Neostigmin merupakan reseptor acetylcholinestrase yang menghambat


pemecahan neurotransmitter asetilkolin endogen di tingkat medulla
spinalis, sehingga menghasilkan analgesia
 Efek samping utama mual, muntah, kelemahan ekstremitas bawah
 Penambahan neostigmin dengan bupivacaine akan menyebabkan
peningkatan mual dan muntah
4. Epinefrin

 Epinefrin memperpanjang analgesia akan tetapi efek ini kurang menonjol


bila dengan bupivacaine atau ropivacaine
 Epinefrin (0.2 µg) ditambahkan pada bupivacain atau lidocaine akan
memperpanjang durasi anastesi sensorik pada anggota bawah dan
abdominal. Selain itu apabila ditambahkan dengan bupivacaine hiperbarik
7,5 mg akan meningkatkan masa anastesi pembedahan dari 103 menit
menjadi 172 menit, juga meningkatkan masa pulih dari 172 menit menjadi
220 menit.
5. Alpha 2 Adrenergik Agonis

 Contoh : klonidin, dapat menimbulkan analgesia tanpa blok motorik dan


propioseptif
 Efek samping : hipotensi, bradikardi dan sedasi.5

3.2 Tumor Ovarium

3.2.1 Definisi
Tumor ovarium adalah suatu massa yang tumbuh pada ovarium. Tumor
jinak ovarium, yang juga dikenal sebagai ‘atypical proliferating tumors’ adalah
massa yang terdiri dari kelompok tumor yang menunjukkan proliferasi epitel yang
biasanya jinak dan non-invasive. Diantara tumor-tumor ovarium ada yang bersifat
neoplastik dan ada yang bersifat non-neoplast.7

3.2.2 Epidemiologi
Tumor jinak ovarium kira-kira 15% dari jumlah seluruh kanker epitel
ovarium. Biasanya terjadi pada usia kurang dari 35 tahun. Penggunaan obat-obat
penyubur meningkatkan risiko terjadinya tumor ovarium.7

3.2.3 Etiologi
Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya tumor ovarium,
diantaranya adalah sebagai berikut :7
 Teori ovulasi
Terjadi invaginasi kapsul epitel pasca ovulasi ke dalam stroma ovarium.
Dengan rangsangan hormon pada stroma, sel-sel epitel berpotensi untuk
menjadi kista-kista baru yang nantinya akan menjadi tumor epitel ovarium
 Teori endokrin
Epitel pada kapsul ovarium berasal dari mullerian dan jaringan ini
responsif terhadap hormon dengan cara yang sama seperti epitel mullerian
berespon saat muncul dalam endometrium atau tuba falopii. Menurut teori
endokrin, di lingkungan hormonal yang tidak seimbang ini dapat
menyebabkan neoplasia
 Teori substansial eksogen
Teori ini menduga bahwa iritan seperti bedak merupakan faktor pemicu
tumor neoplastik jinak dan ataupun ganas
 Teori transformasi
Tidak semua tumor jinak dapat menjadi ganas, namun ada kemungkinana
terjadi degenerasi maligna pada tumor tersebut

3.2.4 Klasifikasi Tumor Jinak Ovarium


Tumor Ovarium Neoplastik Jinak
Solid
 Fibroma ovarii
Tumor ini berasal dari elemen-elemen fibroblastic stroma ovarium
atau dari beberapa sel mesenkhim yang multipoten. Potensi untuk menjadi
ganas sangat rendah yaitu kurang 1%. Sering ditemukan pada penderita
dalam masa menopause dan sesudahnya. Tumor ini dapat mencapai
diameter 2-30 cm, beratnya dapat mencapai 20 kg dengan 90% unilateral.
Permukaannya tidak rata, konsistensi keras, warnanya merah jambu
keabu-abuan. Konsistensinya ada yang benar-benar keras yang disebut
fibroma durum, dan ada yang cukup lunak disebut fibroma molle. Bila
tumor dibelah, permukaannya biasanya homogen, akan tetapi pada tumor
yang agak besar, mungkin terdapat bagian-bagian yang menjadi cair
karena nekrosis. Fibroma ovarii yang besar biasanya mempunyai tangkai,
dan dapat terjadi torsi dengan gejala-gejala mendadak. Yang penting ialah
bahwa pada tumor ini sering ditemukan sindroma meigs. 7
 Tumor Brenner
Tumor ini sangat jarang ditemukan, yaitu 0,5% dari semua tumor
ovarium. Biasanya pada wanita yang dekat atau sesudah menopause.7
Menurut Meyer, tumor ini berasal dari sisa-sisa sel-sel Walthard yang
belum mengadakan diferensisasi, tetapi penelitian terakhir memberi
petunjuk bahwa sarang-sarang tumor Brenner berasal dari epitel selomik
duktus Mulleri.8
Besarnya tumor beraneka ragam. Lazimnya tumor unilateral, yang
pada pembelahan berwarna kuning muda menyerupai fibroma, dengan
kista-kista kecil (multikistik). Mikroskopiknya terdiri dari dua elemen,
yaitu sarang-sarang yang terdiri atas sel-sel epitel yang dikelilingi jaringan
ikat yang luas dan padat. Sarang-sarang tersebut dapat mengalami
degenerasi sehingga terbentuk ruangan yang terisi sitoplasma. Tumor
Brenner ini menghasilkan estrogen, sehingga terapinya terdiri dari
pengangkatan ovarium.8
 Tumor sisa adrenal (maskulinovo-blastoma)
Tumor ini sangat jarang, biasanya unilateral dan besarnya
bervariasi antara 0,5-16 cm diameternya. Tentang asalnya, ada 2 teori,
yang satu menyatakan bahwa tumor berasal dari sel-sel mesenkim folikel
primordial, dan yang lain mengatakan dari sel adrenal ektopik dalam
ovarium.8
Pada pembelahan warna permukaan tumor kuning, dan pada
pemeriksaan histologik sel-sel disusun dalam stroma seperti zona
glomerulosa dan zona fasikulata pada glandula suprarenalis. Tumor ini
menyebabkan gejala maskulinisasi seperti hirsutisme, pembesaran klitoris,
atrofi mammae, dan perubahan suara.7
 Tumor sel germinal (Germ cell tumours)
Tumor ini berasal dari sel germinal dan derivatnya. Jarang
dijumpai, hanya 15-20% dari seluruh tumor ovarium.8
1) Disgerminoma
Paling umum dari kelompok tumor sel germinal. Merupakan
homolog dari seminoma testis. Mengenai wanita pada usia
reproduksi dan sangat radiosensitive dan dapat muncul selama
masa kehamilan. Permukaan tumor rata, konsistensi kenyal kecuali
di bagian yang mengalami degenerasi. Berwarna sawo matang
sampai keabu-abuan. Tidak menunjukkan gejala klinis yang
berarti. Bila letaknya unilateral dan kapsul masih baik, dapat
ditangani hanya dengan USO (Unilateral Salpingo Ovorectomy).8
2) Tumor sinus endodermal
Berasal dari yolk sac atau saccus vitellinus. Umumnya
ditemukan pada wanita muda dan sangat ganas. Prognosa kurang
baik karena jarang yang dapat bertahan hidup lebih dari 6-18 bulan
sejak diagnosis ditegakkan dan ditangani. Gambaran
mikroskopiknya terdapat reticulum dengan ruangan berbentuk
kistik (sinus endodermal) di tengahnya. Sinus tersebut terdiri atas
pembuluh darah di tengahnya dikelilingi oleh sel-sel kuboid.7
3) Teratoma ovarii
Diduga berkembang dari jaringan embrional yang pluripoten.
Bentuk yang benign merupakan tumor yang relatif banyak
ditemukan pada wanita yang lebih tua. Sedangkan teratoma yang
maligna jarang ditemukan. Teratoma ovarii bisa ditemukan dalam
bentuk kistik maupun solid.7
Bentuk kistik ini disebut kista dermoid yang bersifat jinak.
Pada kista dermoid struktur ektodermal seperti epitel kulit, rambut,
gigi dan produk glandula sebasea berwarna putih kuning
menyerupai lemak Tampak lebih menonjol daripada elemen
endoderm dan mesoderm. Tidak ada ciri yang khas pada kista
dermoid. Dinding kista terlihat putih keabu-abuan dan agak tipis.
Konsistensi kenyal namun di bagian lain terasa padat. Terapi
dengan pengangkatan, biasanya dengan seluruh ovarium.7
Teratoma yang ganas biasanya ditemukan pada anak-anak dan
penderita pada masa pubertas. Tumor ini tumbuh cepat dan
prognosisnya buruk. Pada pemeriksaan klinik ditemukan tumor
disamping uterus, kadang disertai perdarahan dari uterus dan
ascites. Tumor sering bilateral, menyebar ke daerah di sekitarnya
hingga ke tempat di luar rongga panggul. Terapi dilakukan
pembedahan dengan kemoterapi sebelum dan sesudahnya.9
 Karsinoma ovarium metastatic
Ovarium merupakan alat reproduksi tubuh yang paling sering
terkena metastasis dibanding dengan alat kelamin yang lain. Tumor
primernya biasanya berasal dari karsinoma alat tubuh pelvis lain
melalui saluran limfe atau per continuitatum, atau dari karsinoma
dari saluran pencernaan bagian atas, yaitu lambung, saluran empedu
dan pancreas. Tumor ini disebut tumor Krukenberg, yang
mempunyai gambaran mikroskopik khas berupa sel-sel yang
menyerupai cincin signet di tengah-tengah stroma.9
Karsinoma ini biasanya bilateral dan solid karena sifat
keganasannya. Karena itu ada baiknya untuk menyelidiki juga
adanya kemungkinan tumor ganas primer di tempat lain.9

3.5. Gejala dan Tanda Tumor Ovarium


Banyak tumor ovarium yang tidak menunjukkan gejala dan tanda,
terutama tumor ovarium yang kecil. Sebagian besar gejala dan tanda adalah akibat
dari :7
 Akibat pertumbuhan
Adanya tumor di dalam perut bagian bawah bisa menyebabkan
pembenjolan perut. Tekanan terhadap alat-alat di sekitarnya disebabkan
oleh besarnya tumor atau posisinya dalam perut. Misalnya gangguan
miksi, obstipasi, edema pada tungkai, tidak nafsu makan, rasa sesak, dan
lain-lainnya.
 Akibat aktivitas hormonal
Pada umumnya tumor ovarium tidak mengubah pola haid, kecuali tumor
itu sendiri mengeluarkan hormon. Dapat menyebabkan amenore dan
hipermenore.
 Akibat komplikasi
Perdarahan ke dalam kista biasanya terjadi sedikit-sedikit sehingga
berangsur-angsur menyebabkan pembesaran kista dan menimbulkan gejala
yang minimal. Akan tetapi bila perdarahan banyak akan terjadi distensi
dari kista dan menimbulkan nyeri perut mendadak.
Putaran tangkai dapat terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm
atau lebih, akan tetapi belum terlalu besar sehingga terbatas gerakannya.
Kondisi yang mempermudah terjadinya torsi adalah kehamilan, karena
pada kehamilan, uterus yang membesar dapat mengubah letak tumor
sehingga terjadi perubahan mendadak dalam rongga perut.
Infeksi pada tumor terjadi jika dekat tumor terdapat sumber kuman
patogen seperti appendicitis, divertikulitis atau salpingitis akut. Robekan
dinding kista dapat terjadi pada torsi tangkai dan trauma seperti jatuh,
pukulan pada perut, dan waktu persetubuhan. Bila kista mengandung
cairan serous, maka rasa nyeri akan segera mengurang. Tetapi bila robekan
kista disertai perdarahan yang timbul secara akut, maka dapat terjadi
perdarahan bebas yang menimbulkan rasa nyeri terus-menerus disertai
tanda-tanda akut abdomen.7

3.6. Pemeriksaan
Selama usia reproduktif, kebanyakan massa di ovarium adalah jinak.
Pasien dengan gejala yang akut biasanya memerlukan operasi. Sebaliknya pasien
dengan gejala yang kronik sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
o Riwayat Ginekologik
Meliputi tanggal haid terakhir, siklus haid, kehamilan, kontrasepsi, riwayat
obat-obatan dan riwayat keluarga.9
o Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada regio abdomen dan pelvis.
Pemeriksaan fisik ini juga diikuti dengan pemeriksaan PAP smear.7
Pemeriksaan rektovaginal sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik
fisik dari massa tersebut. Penentuan akan ukuran tumor ovarium ini sangat
penting dalam memutuskan apakah massa ini memerlukan tindakan eksplorasi
pembedahan atau tindakan observasi dan tindakan yang bersifat non-invasive.7
Bila pasien dalam keadaan gawat, perhatikan apakah ada hipovolemik. Dapat
juga menyebabkan perbesaran KGB dan efusi pleura, tetapi jarang dijumpai
pada tumor jinak ovarium.9
o Pemeriksaan Abdomen
Pada abdomen dapat ditemukan adanya cairan, caput medusa pada dinding
abdomen, pada palpasi dapat ditemukan adanya massa pada abdomen bawah.
Untuk mengetahui adanya akut abdomen, dapat dengan cara mendengarkan
bising usus, apabila negative kemungkinan terjadi peritonitis. Pasien juga
merasa perutnya tegang, tidak nyaman, adanya tekanan pada perut bawah,
gejala urinary dan gastrointestinal.7
o Pemeriksaan Bimanual
Ini merupakan pemeriksaan yang penting. Dengan cara palpasi massa antara
vagina dan abdomen, dinilai apakah massa mobile dan konsistensinya.7
o USG
USG dapat memperlihatkan adanya massa ovarium, walaupun tidak dapat
membedakan antara yang jinak dan ganas. Massa yang padat cenderung ganas,
dibanding dengan massa yang kistik. Selain itu dapat juga digunakan
Transvaginal USG, MRI ataupun CT Scan juga dapat membantu.7
o Pemeriksaan Darah dan Serum Marker
Adanya massa di daerah pelvis disertai dengan peningkatan sel darah putih
dapat disebabkan oleh infeksi. Serum marker merupakan pemeriksaan yang
rutin dikerjakan untuk tumor ovarium. Wanita dengan endometriosis juga
menyebabkan peningkatan level CA 125, tetapi tidak setinggi adanya
keganasan. Konsentrasi -hCG yang meningkat dapat disebabkan adanya
kehamilan ektopik, selain itu juga dapat disebabkan oleh tumor trophoblastik
dan germ cell tumor. Level estradiol juga dapat meningkat pada pasien dengan
kista folikular dan sex cord stromal tumor. Peningkatan androgen dapat terjadi
pada Sertolli-Leydig tumor.7

Perbedaan massa jinak dan ganas :7


Jinak Ganas
Unilateral Bilateral
Kistik Solid
Mobile Terfiksasi/immobile
Halus Irregular
Ascites (-) Ascites (+)
Pertumbuhan lambat Pertumbuhan cepat
Sering pada usia muda Sering pada usia tua
3.7. Diagnosis Banding
 Nyeri :
o KET
o Spontaneous abortion
o Pelvic inflammatory disease
o Appendicitis
o Meckel’s diverticulum
o Diverticulitis
 Pembesaran abdomen :
o Kehamilan
o Fibroid uterus
o Full Bladder
o Distended bowel
o Ovarian malignancy
o Colorectal carcinoma
 Efek tekanan :
o Urinary tract infection
o Constipation
 Efek hormonal
Semua hal yang menyebabkan gangguan menstruasi, pubertas prekoks,
dan perdarahan post menopausal.7

3.8. Penatalaksanaan
Tergantung pada berat ringannya penyakit, usia pasien, dan keinginan
pasien untuk memiliki anak.
 Asimptomatik pasien
Bila pada pemeriksaan didapatkan tumor berdiameter 6 cm, CA 125 < 35
mU/ml, vaskularisasi normal pada sekitarnya, dapat dilakukan tindakan
konservatif. Pada kasus ini, bila tumor tidak membesar dalam 3 bulan, dan
tetap tidak membesar setelah 6 bulan, disertai dengan kadar CA 125 < 35
mU/ml biasanya akan mengalami resolusi dalam 3-7 tahun.9
Tumor jinak dengan diameter < 10 cm dapat dilakukan laparoskopik. Kriteria
observasi tumor ovarium yang asimptomatik :9
 Unilateral tumor atau kista tanpa adanya massa padat
 Wanita premenopause dengan tumor berdiameter 3-10 cm
 Wanita postmenopause dengan tumor berdiameter 2-6 cm
 CA 125 dalam batas normal
 Tidak ada ascites atau perlengketan dalam omentum
 Simptomatik pasien
 Wanita hamil
Bila pasien menunjukkan penyakit yang berat, perdarahan atau akut
abdomen diperlukan operasi segera. Pada pasien dengan kista ovarium dan
hamil, sering terjadi torsio atau perdarahan. Kista dermoid dapat rupture
dan mengakibatkan peritonitis. Kista ovarium dapat didiagnosis sebelum
kehamilan, sehingga dapat direncanakan persalinan secara Sectio Caesar
 Wanita pubertas
Jarang ditemukan kista ovarium dan biasanya jinak. Yang paling sering
adalah teratoma dan kista folikular. Gejalanya meliputi nyeri abdomen,
distensi abdomen, pubertas prekoks. Penatalaksanaan tergantung pada
beratnya penyakit Terapi
 Aspirasi kista dengan bantuan USG
Keuntungan dari teknik ini adalah tidak perlu dilakukan operasi, dengan
syarat kista yang diaspirasi tidak membentuk cairan kembali. Setelah
cairan diaspirasi perlu pemeriksaan sitologi. Tidak dianjurkan untuk tumor
ganas. Calon terbaik untuk aspirasi adalah wanita muda dengan kista
unilateral, unilokular, diameter < 10 cm. Dapat diterapkan pada pasien
yang memiliki risiko yang besar jika dilakukan operasi
 Laparoskopi
Indikasi laparoskopi :
o Massa abdomen yang meragukan
o Usia < 35 tahun
o USG menunjukkan tidak ada massa padat
 Simple ovarian cyst
Keuntungan laparoskopi yaitu nyeri post operatif sedikit, mempersingkat
lamanya perawatan, dapat cepat kembali beraktivitas, memperkecil
kemungkinan terjadinya perlengketan dibanding dengan laparotomi.
Kerugiannya antara lain, eksisi yang tidak lengkap dari dinding kista, dan
kemungkinan adanya keganasan yang tidak diprediksi dapat terjadi
 Laparotomi
Kista dermoid sebaiknya dilakukan laparotomi, karena kemungkinan
cairannya bocor dan mengakibatkan komplikasi yang serius. Pada wanita
< 35 tahun, tumor ovarium jarang menyerupai keganasan. Laparotomi
penting untuk mengeksplorasi seluruh abdomen dan melihat keadaan
kedua ovarium. Pada wanita < 35 tahun, tumor ovarium sering kelihatan
tidak ganas, bahkan mungkin massa tersebut adalah tumor ganas, yang
tampak seperti germ tumor yang responsive terhadap kemoterapi. Maka
kistektomi atau oophorectomy merupakan terapi yang cocok dan aman
untuk massa ovarium pada kelompok usia ini.9
BAB IV
ANALISA KASUS

Pemilihan Jenis Anestesi

Pasien ini direncanakan untuk dilakukan operasi laparatomi tumor padat


ovarium. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah, bedah obstetri, bedah urologi, rektum-perineum, dan ekstremitas
bawah. Adapun beberapa keuntungan spinal anestesi dibandingkan general
anestesi yaitu jumlah perdarahan yang lebih sedikit, angka kejadian thrombosis
vena dalam lebih kecil, menghindari efek samping general anestesi seperti mual,
tenggorokan kering, gangguan kesadaran, dan sebagainya, serta kontrol nyeri
yang lebih baik. Pada pasien ini yang akan dilakukan laparatomi dan pasien usia
dewasa maka dipilih anastesi spinal pada pasien.

Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragaman,
diantaranya :

- Mengurangi kecemasan dan ketakutan


- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ranitidine 50 mg


(golongan antagonis reseptor H2 Histamin) tujuannya yaitu untuk mencegah
pneumonitis asam yang disebabkan oleh cairan lambung yang bersifat asam
dengan PH 2,5. Untuk meminimalkan kejadian tersebut dipilihlah antagonis
reseptor H2 Histamin. Pada pasien ini juga diberikan ondansetron 4 mg (golongan
antiemetik) dan untuk mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan.
Mekanisme kerja obat ini adalah mengantagonisasi reseptor 5HT-2 yang terdapat
pada Chemoreseptor Trigger Zone di area postrema otak dan pada aferen vagal
saluran cerna, Ondancentron juga mempercepat pengosongan lambung, mual dan
muntah pasca pembedahan. Obat-obatan lainnya yang biasa dipakai sebagai anti
emetik adalah dexamethasone (4 mg I.V), droperidol (0.625 mg I.V),
diphenhydramine (25 mg I.V) yang dapat diberikan tunggal ataupun kombinasi.
Pada pasien ini juga diberikan asam traneksamat 1000 mg.

Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan


waktu pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat
1-2 jam sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit
sebelum induksi spinal.

Spinal Anestesi

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan


kepala menunduk hingga prosessus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan
garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu
antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan dengan alkohol dan
betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan dengan arah median spuit 5 cc yang
berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.

Pada kasus ini digunakan obat anestesi spinal yaitu bupivacaine 0,5% (4
cc). Bupivacaine merupakan golongan amide lokal anestesi yang dapat
memberikan blokade reversible, penyebaran impuls melalui serabut saraf
dihambat dengan masuknya ion Na dalam membran saraf. Mulai kerja lambat
dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam.

Adjuvant yang digunakan adalah morfin 0,1 mg dan klonidin 0,3 mcg.
Klonidin dipakai dalam anestesi untuk menimbulkan analgesia tanpa blok motorik
dan propioseptif. Mekanisme lain efek analgesia pada pemberian intratekal adalah
dengan adanya vasokonstriksi lokal. Klonidin memperpanjang durasi blok.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid dengan efek utama mengikat
dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi ini akan
menyebabkan efek analgesik, sedasi, euforia, phyical dependence dan respiratory
depression. Morfin juga bertindak sebagai reseptor k-opioid yang terkait analgesik
spinal dan miosis. Pada pasien ini diberikan klonidin dan morfin.

Tabel 1. Dosis Obat Anestesi Lokal pada Anestesi Spinal

Permasalah pada pasien ini terdapat pada dosis anestesi bupivacain yang
terlalu besar. Berdasarkan tabel diatas, pada bedah perut bagian bawah, dosis yang
dianjurkan adalah sebesar 12-18 mg, sedangkan dosis yang diberikan lebih 2 mg
lipat dari dosis anjuran yakni 20 mg.

Monitoring Intraoperatif

Pada pasien dengan anestesi spinal, maka perlu dilakukan monitoring


tekanan darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan
bradikardi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena
penurunan kerja dari syaraf simpatis. Untuk mencegah hipotensi yang terjadi,
dapat dilakukan pemberian cairan kristaloid secara cepat 10-15 ml/kgBB dalam
10 menit segera setelah penyuntikan spinal. Namun bila dengan cairan infus
masih terjadi hipotensi, maka dapat diberikan vasopresor berupa efedrin dengan
dosis 10 mg intravena yang dapat diulang tiap 3-4 menit sampai tekanan darah
yang dikehendaki. Sebaiknya penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari
tekanan darah awal. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1
dan β2, baik bekerja langsung maupun tidak langsung, efek tidak langsung yaitu
dengan merangsang pelepasan noradrenalin.

Pada pasien ini, untuk mencegah hipotensi, maka perlu dilakukan


pemberian cairan kritaloid secara cepat sebanyak 600-900 ml dalam 10 menit
sesuai 10-15 cc/kgBB segera setelah penyuntikan spinal. Pada pasien ini diberikan
2 kolf cairan. Sebelum anestesi 1 kolf dan setelah beberapa menit dilakukan
anestesi 1 kolf. Tensi pasien kini 90/67, 30 menit setelah anastesi pasien
dilakukan transfusi 1 kolf prc, sebaiknya sebelum dilakukan transfusi pasien
diberikan efedrin terlebih dahulu, karena pasien mengalami penurunan tekanan
darah 15% dari tekanan darah awal.

Terapi cairan

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh


dalam batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid
secara intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit
cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin
saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah ke ruang ketiga.

Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 2 jam,


jam I 50% dan jam II 25%.

Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1.500
ml (3 kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam.

 Kebutuhan cairan pasien ini


Diketahui :
o Berat badan : 60 kg
o Lama puasa : 6 jam
o Lama anestesi : 1 jam 30 menit
o Stress operasi : Sedang

 Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 60 Kg/jam

= 120 cc/jam

 Pengganti puasa = puasa x maintenance


= 6 jam x 120 cc/jam

= 720 cc

 Stress operasi = 6 cc/KgBB/jam


= 6 cc x 60 Kg/jam

= 360 cc/jam

Jadwal pemberian cairan (lama operasi 1 jam 30 menit)

Jam I = ½ PP + SO + M

= 360 + 360 + 120

= 840 cc

Jam II = ¼ PP + SO + M

= 180 + 360 + 120

= 660 cc

Jumlah cairan yang sudah diberikan pada pasien ini adalah 1.500
cc, dari hitungan teori 1 jam pertama diberikan 840cc sudah sesuai tetapi ½ jam
pertama harusnya diberikan 330 cc, sehingga hanya dibutuhkan 1.170 cc cairan
infus. Pada pasien digunakan cairan infus RL 500 cc dan asering 1.000 cc.

Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke RR. Pasien berbaring dengan
posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah PDPH ( post dural punctum headache ),
karena PDPDH merupakan salah satu komplikasi iatrogenik dari anastesi spinal
berupa nyeri kepala yang biasanya ditandai dengan nyeri pada daerah frontal dan
occipital yang dapat dinilai dengan Visuao Analogue Scale (VAS). Tanda dan
gejala PDPH muncul akibat keluanya LCS melalui celah yang terbentuk pada saat
penusukan jarum spinal yang mengakibatkan traksi pada komponen-komponen
intracranial dan refleks vasodilatasi cerebral. Pasien yang mengalami PDPH juga
mengalami mual, muntah, gangguan penglihatan, tinnitus, atau ketulian.
Patofisiologinya belum diketahui namun teori yang selama ini dianut akibat
penurunan volume dan tekanan css. Sehingga PDPH dapat dicegah dengan tirah
baring selama 24 jam. karena efek obat anestesi masih ada. Observasi tanda vital
dan pemberian oksigenasi tetap diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum
stabil, maka pasien dibawa ke ruangan.
BAB V
KESIMPULAN

Ny. Ey Usia 40 dengan diagnosa tumor padat ovarium pro laparatomi,


dilakukan operasi dengan teknik spinal anastesi pada tanggal 22 Mei 2018. Teknik
anestesi spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan teknik anestesi sederhana,
cukup efektif dimana tindakannya cepat dilakukan, pasien tetap sadar, bahaya
aspirasi minimal, jumlah perdarahan karena tindakan lebih sedikit serta mobilisasi
pasien lebih cepat. Pasien diberikan premedikasi ranitisin, ondansentron, asm
trnexamat, dexametason yang seharusnya diberikan 1-2 jam sebelum operasi,
tetepai pada kasus ini diberikan 15 menit sebelum operasi.

Anestesi dengan menggunakan Bupivacain spinal 20 mg, adjuvan adalah


morfin dan klonidin untuk meningkatkan efek anastesi dan untuk maintenance
dengan oksigen 2-3 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri digunakan ketorolac
sebanyak 30 mg RL 500 ml. Terapi cairan yang diberikan berlebih dari
seharusnya, pemberian transfusi darah juga sudah diberikan yang sebaiknya
dilakukan dengan transfusi cairan terlebih dahulu dan menggunakan efedrin,
setelah hal itu diberikan transfusi.

Selesai operasi pasine dipindahkan ke RR dengan menggunakan satu


bantal untuk mencegah terjadiny PDPH. Keadaan umum pasien stabil dan pasien
dapat diapntau di ruang perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S.A., Suryadi, K.A. &Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. Jakarta; 2009
2. Mackey DC, Butterworth JF, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s
Clinical anesthesiology 5th edition. New York: Mc Graw-Hill. 2013.
p.945
3. Jenkins, K dan Baker AB. 2003. Consent and Aneaesthetic Risk.
Original Article. Anaesthesia (10). Hlm. 962-984.
4. Monga, ASH. 2000. Benign Tumors of The Ovary DalamGynaecology
by Ten Teachers 18th Edition. New York: Edward Arnold Publisher
5. Dobson MB. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: 1994.
6. Omoigui, Sota. Buku Saku Obat-obatan Anestesi. Edisi II. Jakarta : EGC,
2012.
7. Monga, Ash. Benign tumors of the ovary. Dalam : Ginecology By Ten
Teachers, ed. 18. New York : Edward Arnold Publishers. 2000.
8. Moon W. J., Koh B. H., Kim S. K., et al. : Brenner tumor of the ovary :
CT and MR findings. J Comput Assist Tomogr, 2000, 24 : 72-76.
9. R. James, S. Ronald, Y. Beth. Neoplasm of the Ovarian and Fallopian
Tube. Dalam : Danforth’s Obstretics and Gynecology, ed. 9. California :
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2000.

Anda mungkin juga menyukai